Silent rose part 7

 

Bab 7






"Loe tunggu aja disana, gua panggilin para cowok, loe harus disodok tuh", Gea beranjak pergi tanpa mengindahkan Cintya yang protes tertahan. 




Bagaimanapun Cintya tidak mau ditiduri oleh cowok, apalagi temannya sendiri, namun badannya terlalu lemas untuk bereaksi, dengan lemah dia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tidak lama setelah Gea pergi, seseorang masuk ke dalam kamar. Cintya menoleh dan melihat Tommy menutup dan mengunci pintu kamar.




Dengan senyum bengisnya, Tommy, ketua pecinta alam keturunan Flores itu mendekati Cintya yang masih lemas karena orgasmenya.






"Kata Gea loe butuh kontol Cint?" ucapnya dengan nada mengejek. Diam-diam Tommy memang suka menjadikan Cintya sebagai objek onaninya, sayang dulu Cintya lebih dulu dekat dengan seniornya.






Badan Cintya masih sangat lemas saat Tommy menyibak selimt yang menutupi tubuh telanjangnya. Tommy menatap lekat-lekat ke setiap lekuk tubuh polos Cintya sebelum menurunkan celana pendeknya, menampakkan penis besarnya yang dalam posisi siap-guna. Tommy naik ke atas ranjang, Cintya berusaha menggeser tubuhnya untuk lari namun sia-sia, tangan Tommy lebih cepat menarik tubuhnya ke arah Tommy, dengan mudah Tommy menarik tubuh Cintya yang masih lemas.






"Basah banget" Komentar Tommy saat mengelus bibir lubang kenikmatan Cintya yang masih lembab akibat cairan orgasmenya. Tommy menindih tubuh Cintya.


"Bakal enak nih..." Seringai Tommy sambil mulai menghisap leher Cintya.


"Jangan Tom...". Ujar Cintya lemah saat Tommy membuka kedua kakinya dan mengarahkan penisnya ke lubang kenikmatan Cintya yang lembab. Tommy menjawabnya dengan menjadikan penisnya, batang kejantanan kedua yang melesak masuk, menikmati jepitan liang kenikmatan Cintya yang masih rapat.






*_*_*​








Jauh di tengah laut, Ian tengah sibuk menata kembali jala yang tadi digunakannya melaut. Meski dia bukan pelaut, dia harus total dalam menjalankan peran yang dipilihnya demi misi kali ini. Pelaut yang tidak melaut jelas akan menimbulkan banyak kecurigaan dari banyak pihak. Namun tentu saja, Ian tidak sembarangan melaut. Dia tengah mempelajari topografi perairan yang ada di sekitar situ, mempelajari celah-celah yang bisa dia gunakan untuk memperlancar misinya kali ini.




Ian mengambil nightvision binocular dari laci kemudinya dan melihat ke arah kilang minyak besar milik Antonius Handoko yang merupakan targetnya kali ini. Ian memang tidak punya akses masuk ke kilang minyak tersebut, namun dia telah membeli cukup informasi dari Wise Crow.




Kilang minyak itu memiliki empat pompa raksasa yang beroperasi selama 18 jam setiap harinya, dengan empat tanker yang terus bergantian mengirim minyak mentah langsung ke Singapura. Kilang minyak itu sekilas terlihat luar biasa. Namun, ijin pengoperasiannya didapat dari kerjasama dengan pejabat korup, jika saja tidak bekerja sama, maka sudah pasti ijinnya tidak diberikan dikarenakan hampir semua peralatan yang digunakan adalah peralatan bekas yang sudah tidak layak pakai. Itulah yang menyebabkan pencemaran terjadi di perairan tersebut.




Ian mengenakan pakaian selam khususnya, dengan motor kecil yang bisa dibawa seperti tas jinjing. Setelah melumuri pakaian tersebut dengan Algaea, sejenis ganggang yang dikeringkan Ian masuk ke dalam air, mengeset GPS pada motor kecil dan motor itupun membawanya meluncur dalam lautan, membawanya ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang juga milik Antonius Handoko.




Antonius Handoko membeli pulau itu dengan alasan akan membangun silo penampungan minyak, namun rencana pembangunan itu dibatalkan karena kondisi tanah pulau tersebut kurang begitu bagus. Namun Ian tahu ada alasan lain terbelinya pulau itu.






"Oke, air hitam sudah komplit, gak ada masalah! Sampai pengiriman minggu depan!" seorang pria berbadan tinggi kekar dengan brewok dan tatto naga di lengannya menjabat seorang pria etnis cina berjas abu-abu.


"Senang berbisnis dengan kalian" Ucap pria cina itu dengan logat bahasa indonesia yang terdengar lucu.


"Bahasa Indonesia kau makin bagus saja Mr. Tien!. Hahahaha..." pria bertato naga itu berkelakar, diikuti tawa rekan-rekannya yang berpenampilan tak kalah seram.






Mr. Tien meninggalkan tempat itu menuju speedboat kecil bersama beberapa orang yang mengenakan pakaian serupa. Boatspeed itu lalu pergi menjauhi pulau. Pria bertatto naga itu membuka koper besar berwarna perak yang ada di atas meja. Bubuk-bubuk putih yang diterjemahkan dalam kata sandi “air hitam” terlihat rapi dalam bungkusan-bungkusan plastik transparan. Pria bertatto itu mengambil sebungkus dan melemparkannya kepada rekan-rekannya.






"Yang itu untuk pesta malam ini!" ujarnya disambut sorakan dari rekan-rekannya. Kegaduhan itu baru berakhir saat terdengar dering ponsel dari atas meja. Pria bertatto itu mengangkatnya.


"Ya Bos Anton, disini Jim" jawab Pria bertatto yang ternyata bernama Jim. "Semua lancar Bos, seperti biasalah... kalau aku yang pegang semua pasti bereslah!. Bos Antonius Handoko tinggal duduk santai sajalah" Logat batak yang kental keluar dari bibirnya.






Dan semua kejadian itu terekam jelas dalam kamera jarak jauh Silent Rose.






*_*_*​








"Eenghh... ahhh..." Tubuh lemas Cintya bergerak terdorong-dorong oleh Tommy yang tengah menikmati tubuhnya dalam posisi doggy style. Meski dia tidak menginginkan penis Tommy merojoknya, badan Cintya makin lemas karena sudah dua kali Tommy membuatnya orgasme. Sedang sang ketua organisasinya terlihat bersemangat menggagahi gadis cantik idamannya ini.


"Ooohh... enak banget kamu Cin... Seret abis!.. hhh..."






Tommy melenguh dan mendesah keenakan menikmati liang kewanitaan Cintya yang sudah lama tidak dipakai. Tommy mendorong tubuh Cintya hingga telungkup lalu menindihnya dari belakang. Penisnya yang besar dipompa keluar-masuk lubang surgawi Cintya dengan sangat kencang, membuat gadis cantik itu mengeluarkan erangan-erangan lemas. Dalam hati, Cintya sangat tidak rela Tommy menikmati tubuhnya.






"Yup! Posisi penghabisan!" Tommy mencabut penisnya dan membalik tubuh lemas Cintya. Cintya sendiri sudah pasrah, Tommy menindih tubuhnya sekali lagi dan melesakkan penisnya, seluruh badannya menindih rapat tubuh gadis idamannya itu.


"Ooogh... waktunya nyiram rahimmu Cin..." Tommy mempercepat genjotannya. Mendengar apa yang diucapkan Tommy Cintya terbelalak dan berusaha melepaskan diri, namun Tommy menindihnya kencang-kencang.


"Tom... jang..ahh...nganh..." Cintya mengiba, tubuhnya terhentak-hentak akibat hujaman penis Tommy.


"Bodddoo...aargghh...." Tommy menggeram sambil melesakkan seluruh penis besarnya ke liang peranakan Cintya. Cintya memekik, batang kejantanan Tommy terasa penuh mengisi vaginanya, berdenyut, dan Cintya memekik sekali lagi saat cairan hangat terasa memenuhi rahimnya. Dia orgasme seketika.






Tommy mendiamkan penisnya di dalam vagina gadis cantik itu, tidak peduli Cintya mulai menangis dan memohon agar Tommy segera mencabut penisnya. Disetubuhi oleh Tommy saja dia tidak rela, apalagi kalau harus sampai mengandung anaknya.




Tommy mengatur nafasnya yang memburu sebelum mencabut penisnya yang mengecil dan beranjak turun dari ranjang, mengenakan kembali celananya.






"Akhirnya kesampaian, memek loe lebih rapet dari punya Gea Cin..." Ujarnya sambil membuka kunci kamar dan meninggalkan Cintya sendiri di kamar.






Cintya masih terbaring lemas, cairan kental hangat milik Tommy terasa mengalir keluar dari bibir vaginanya. Dia masih memandang kosong memikirkan apa yang baru saja dialaminya saat Dimas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.






"jangan Mas...hikks..", isak Cintya saat Dimas melucuti pakaiannya dan mengarahkan batang kejantanannya ke lubang kenikmatan gadis cantik itu. Lenguhan kenikmatan keluar dari mulut Dimas saat penisnya mulai membelah kewanitaan Cintya.






Cintya membuka mata dan menemukan dirinya tertidur dengan busana lengkap, padahal seingatnya, semalam dia tertidur tanpa busana setelah Dimas selesai menyemprotkan sperma ke dalam rahimnya. Cintya duduk dalam bingungnya, memeriksa kaos, bra, hotpants dan celana dalam yang dikenakannya. Celana dalamnya basah namun tidak ada tanda-tanda bahwa semalam tempat tidur itu jadi ajang pelampiasan nafsu teman-temannya. Cintya sedikit kaget saat Gea membuka pintu kamar. Gea memandang Cintya dengan pandangan yang sama herannya.






"Loe kenapa Cin? Kayak abis liat setan" Gea masuk dan menyisir rambutnya di depan cermin. "Semalam loe tidur pulas banget abis orgasm", Tambah Gea.


"Orgasme?!" Cintya mempertegas pendengarannya.


"Iya, loe gua ceritain permainan gua ama pak Kades sambil gua grepe-grepe eh loe orgasme. Gua tinggal ambil minum ke dapur sebentar, gua balik loe udah pulas aja kayak orang wafat" Gea menjelaskan.


"Jadi semalam gua tidur?, trus cowok-cowok?" 






Gea memandang aneh ke Cintya lalu mendekatinya. "Gua becanda waktu ngomong gua panggilin cowok-cowok!. Ah eloe ni.... atau jangan-jangan loe ngarep ya??", goda Gea.




"Ih.. apaan sih! Udah ah mau mandi" Cintya beranjak dari tempat tidurnya. Dalam hati dia bersyukur kejadian itu hanya mimpi, meski dia masih merasa ganjil, jika benar mimpi kenapa bisa terasa sedemikian nyatanya?. Tanpa berpikir lebih jauh Cintya mengambil peralatan mandinya dan bergegas mandi.






Saat tiba di ruang makan, Cintya sempat terkejut melihat beberapa hidangan laut tersaji di meja makan. Dimas, Gea dan Tommy tampak asyik menyantap makanan tersebut.






"Eh baru bangun bu? Tumben siang?" Goda Tommy sambil asyik menyantap sate cuminya. Cintya mengambil kursi dan memandang hidangan-hidangan di meja sambil menggeleng.


"Ini sih bukan sarapan kalau hidangannya kayak gini" Gumam Cintya. "Beli dimana?"


"Enak Loh Cin. Nggak beli kok, tuh kokinya" Gea menunjuk ke arah Ian yang baru keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi sate cumi-cumi bakar. Ian meletakkan nampan itu di dekat Cintya tanpa bersuara atau berekspresi sama sekali. Cintya terlihat kikuk.




"kayaknya dia masih marah ke gua, ya?" tanya Cintya pada Gea. Gea mengangkat bahunya tanda tidak tahu. 


"Eh... Sandy kemana?" Cintya baru menyadari sang profesor tak ada diantara mereka.


"Tadi sih katanya jalan-jalan di dekat dermaga, biasa... namanya juga anak kota nggak pernah lihat pantai" Jawab Dimas sekenanya.






Angin bertiup cukup kencang pagi itu. Beberapa burung camar tampak terbang di atas laut biru yang memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Sandy mencelupkan sebuah tabung untuk mengambil air laut untuk dijadikan sample uji laboratorium. Saat hendak kembali ke dalam rumah, sesuatu di kapal tua Ian menarik perhatiannya. Sandy mendekat ke kapal Ian, sebuah goresan di cat luar kapal bagian bawah terlhat cukup mencolok. Sandy mulai mengira-ngira penyebab goresan itu, imajinasi aktif yang terbentuk karena sering menonton film detektif membuat dia mengambil beberapa kemungkinan penyebab goresan :




1. Kapal ini pernah tersangkut karang, kemungkinan 60%


2. Kapal ini diserang oleh hiu, kemungkinan 10%


3. Kapal tergores kayu dermaga saat merapat, kemungkinan 29%


4. Penyebab lainnya, 1%.






Setelah puas dengan permainan analisa nggak pentingnya itu Sandy beranjak menuju rumah, namun langkahnya tertahan saat melihat sebuah puntung rokok di lantai dermaga. Sandy mengambil dan mengamati puntung tersebut. Dia merasa pernah melihat rokok dengan stempel mawar bertuliskan SR yang kini ada di tangannya. Yang jelas, ini bukan rokok yang dijual bebas di pasaran. Gagal mengingat dimana dia pernah melihat rokok seperti itu, Sandy memasukkan puntung rokok itu ke dalam saku dan bergegas kembali ke rumah.






*_*_*​






Seperti hari kemarin, hari itu mereka membagikan angket kepada penduduk di sekitar pulau. Hanya Gea yang tidak ikut membagikan karena dia sudah menyerahkan kepada Kepala Desa yang menyetubuhinya kemarin malam.




Gea sedang duduk di teras sambil membaca saat dia melihat Ian keluar dari kapalnya dengan bertelanjang dada. Meski badan Ian tergolong kecil, Gea bisa melihat badan Ian cukup berotot. Sedikit iseng, Gea beranjak mendekati Ian.






"Sepertinya sibuk sekali" Sapa Gea. Sinar mentari yang cukup terik membuat wajah imutnya makin cerah. Ian membalasnya dengan senyuman.


"Tidak keliling seperti yang lain?" Ian bertanya sambil memaku beberapa kotak kayu berisi ikan hasil tangkapannya semalam.


"Oh... urusanku sudah beres, aku kan lebih cerdik dari yang lain" Gea memuji dirinya sendiri tanpa menjelaskan arti sebenarnya dari cerdik versinya. "Banyak hasil melaut semalam?", Gea bertanya lagi.


"Banyak yang tertangkap. Namun sedikit yang layak jual" Ian mengangkat sekotak ikan dan menatanya diatas kotak yang lain. 


"Hasil laut di sekitar sini kurang begitu segar, aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu"


"Kualitas ekosistemnya memburuk ya? Itu penyebab gua ama temen-temen kesini. Kita mau survey lingkungan perairan sekitar sini" Gea bergerak mendekati Ian namu dia membatalkan niatnya saat mencium bau amis dari badan Ian.


"Mungkin... Aku tidak begitu paham soal teknis. Maklumlah aku Cuma bocah laut" Ian merendah. "Oh itu ganggang kering", lanjutnya saat melihat Gea asyik memperhatikan sebuah botol berisi serbuk hijau.


"Bukan, itu bukan untuk dikonsumsi, Ganggang itu sudah dikeringkan dan aku yakin siapa yang memakannya akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi", Kelakarnya sambil meletakkan satu kotak kayu berisi ikan segar. "Banyak hiu di perairan sekitar sini. Ganggang itu mencegah hiu mendekati kita saat kita berenang, mereka tidak suka dengan baunya”"


"Oh... aku baru tahu"


"Aku juga...", Ian menjawab dalam hati. Ganggang itu adalah salah satu barang yang dipesan Ian dari Wise Crow, Ian belum pernah mencobanya, namun ia percaya Wise Crow tidak pernah mengecewakan.






Mereka mengobrol sebentar, Gea membatalkan niatnya menggoda Ian karena tidak tahan dengan bau amis ikan yang menyebar dari tubuh Ian. Ian sebenarnya paham kalau Gea terganggu dengan bau badannya. Ian sengaja membiarkan bau menyengat, karena dia telah mempelajari data karakter Gea yang sedikit ‘nakal’ kepada lawan jenisnya, dan bermain dengan tokoh hero dalam rencananya, dapat merusak rencana itu sendiri.




Tidak berapa lama kemudian Dimas dan yang lainnya kembali ke pondok dan Gea menyusul mereka.








*_*_*








Sore hari, Boris, anak buah Pak Anton menjemput mereka untuk jamuan makan malam seperti yang telah dijanjikan. Sandy tidak ikut bersama mereka, dia bilang akan meyusul kemudian setelah data yang dikumpulkannya selesai disortir. Merekapun meninggalkan Sandy sendiri di rumah.




Adzan Isya baru saja selesai berkumandang saat Sandy datang menemui Ian di kapalnya. Ian yang saat itu tengah membaca beberapa data tentang case kali ini segera merapikan bahannya setelah menyadari Sandy mendekati kapalnya.






"Ian, loe tau dermaga di rumah pantai keluarga Antonius Handoko?" Tanya Sandy pada Ian.


"Ya, aku tahu. Mau kuantar kesana?"


"Kalo loe ga keberatan sih, gua tadi nyusun data dulu jadi ditinggal"


"Oke, nggak masalah" Ian beranjak ke buritan kapal dari menarik jangkarnya, lalu kembali dan menyalakan mesin. Ian dapat menangkap sesuatu ada di pikiran Sandy, bagaimanapun Sandy adalah mahasiswa cerdas yang patut diwaspadai.






Kapal bermesin tunggal melaju kencang membelah laut, cuaca malam itu tampak cerah, bulan sabit bertengger dengan gagah di langit. Sandy menyandarkan sikunya pada besi di pinggir kapal sambil menghisap rokoknya, matanya tidak lepas memandang Ian yang sedang memegang kemudi kapal.






"Contoh air laut yang gua ambil di sini jauh lebih buruk dari air laut yang diambil di Jakarta" Sandy membuka pembicaraan dengan sedikit berteriak, mencoba mengalahkan deru mesin dan angin laut yang kencang. "Padahal masih cukup jauh dari kilang minyak. Gua yakin, air di sekitar kilang pasti lebih buruk lagi"






Ian menyetel kunci kemudi ke mode otomatis dan bergabung dengan Sandy di dok sambil membawa dua kaleng bir.






"Nggak, thank you...", tolak Sandy saat Ian menawarkan sekaleng bir padanya. "Loe tau nggak Ian?, masih bisa melaut dan menghasilkan ikan yang segar saja sudah mukjizat di tengah perairan yang tercemar gini"






Ian menenggak bir kalengnya sambil memandang lautan gelap di hadapan mereka. "Hasilnya tidak sebaik dulu waktu aku masih kecil. Daging ikan yang sekarang lebih cepat busuk" komentarnya menanggapi ucapan Sandy.


"Betul kan? perairan ini sudah cukup parah tercemar, kalo gini terus nggak tau deh kalian bisa bertahan berapa lama dari hasil lau", Sandy menguatkan analisanya. 


"Mereka yang mencemari laut tidak berbeda dengan koruptor yang mencemari moral bangsa, seharusnya mereka dibinasakan saja, betul tidak Ian?"






Sandy menatap tajam ke raut wajah Ian, namun sesaat kemudian dia terlihat sedikit kecewa karena raut muka Ian tidak berubah sedikitpun. Tampaknya Sandy mengharapkan sebuah reaksi dari Ian atas pernyataannya barusan, namun Ian tampak tidak mempedulikan komentar Sandy.






"Bagaimana kalian akan memperbaiki laut ini?" Ian bertanya, masih dengan ekspresi datarnya.


"Oh kami tidak melakukan apa-apa" Sandy merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menyodorkannya pada Ian


"Itu bukti yang akan membuat pemerintah terpaksa menutup kilang minyak sumber pencemaran itu. Gua cuma butuh dokumentasi supaya kertas itu jadi bukti tak terbantahkan. Itu kenapa gua butuh kunjungan langsung ke kilang minyak tersebut"






Ian membaca sekilas kertas yang disodorkan Sandy padanya, kertas itu berisi data-data pembelian inventaris kilang berupa mesin dan peralatan pertambangan lainnya, lengkap dengan tahun pembuatannya. Ian cukup terkejut dengan data yang didapat oleh Sandy, data otentik seperti ini tidak didapatkannya dari Wise Crow. Darimana Sandy bisa mendapat informasi penting seperti ini?.






"Aku mendapatkan data itu dari orang dalam Pak Anton, saudaraku sendiri sih..." Sandy menjelaskan, seolah-olah dapat membaca pertanyaan yang timbul di benak Ian. 


"Bisa tolong sembunyikan berkas itu?, setelah kunjungan ke kilang besok aku akan memintanya lagi"






Dalam hati Ian cukup terkejut dengan permintaan Sandy, namun dia tidak menunjukkan keterkejutannya itu. “Oke, akan kuletakkan di laci kemudi. Kau bisa mengambilnya kapan saja”.






"Metode apa yang bakal loe pakai?" Sandy tiba-tiba bertanya sebuah pertanyaan yang membingungkan.


"Maksudmu?" dengan terlatih Ian berpura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan yang baru diajukan Sandy.


"Loe tau maksud gua" Sandy menatap tajam ke wajah Ian. 


"Bagaimana? Racun penghenti jantung?, kecelakaan?, atau tembakan langsung ke otak kecil?"






Ian balas menatap Sandy dalam diam sebelum menjawab; “Aku nggak ngerti apa yang kamu maksudkan”.






"Ini..." Sandy melemparkan sepuntung rokok berstempel mawar dan tulisan SR di filter-nya. "Loe ada di daftar tertinggi di kepolisian, dengan sedikit saja gua udah bisa tau semuany"






Ian menatap puntung rokok itu tanpa reaksi. "Maaf, aku nggak paham" Ujarnya sambil bergegas kembali ke ruang kemudi. Sandy mengenggam lengannya, menahannya untuk pergi.




"Gua bakal simpan rahasia ini, gua tau track-record loe. Loe cuma membunuh para penjahat yang nggak bisa ditangkap hukum, jujur aja, buat gua, Silent Rose adalah pahlawan bangsa. Jadi loe bisa percaya gua", Sandy memberikan tekanan di setiap nada ucapannya.


"Kayaknya kamu salah orang, apa itu Silent Rose?", Ian masih berusaha mengelak dengan wajah tanpa ekspresinya. 


"Kita hampir sampai" Tambahnya. Sandy tertawa keras sambil melepaskan genggaman tangannya.


"Loe emang jago dan terlatih Silent Rose!!, apapun itu, gua mendukung, oke?!" Sandy berkata sambil menyulut sebatang rokok. Ian hanya mengangkat bahu dan kembali ke ruang kemudi.






*_*_*​






Acara makan malam sudah akan dimulai saat kapal Ian merapat ke dermaga kecil di kediaman Pak Antonius Handoko yang megah, beberapa kapal boat versi terbaru terlihat merapat rapi di dermaga itu. Sandy turun dan bergegas menemui kawan-kawannya.






"Ini dia profesor kami... dia yang paling jenius diantara kami", Dimas memperkenalkan Sandy pada Pak Antonius yang segera mengulurkan tangan ke arah Sandy. Pak Antonius tersenyum, wajahnya terlihat ramah dan cukup segar di usia empat puluhannya ini. Sandy menjabat tangan Pak Antonius sambil balas tersenyum.


"Kenapa tidak bareng dengan yang lain?" selidik Pak Anton, masih dengan nada yang sangat ramah.


"Eh... ada beberapa berkas yang harus saya rapikan dulu", Jawab Sandy dengan sopan.






Pak Antonius melayangkan pandangannya ke arah kapal Ian, disana terlihat Ian yang sibuk dengan jangkarnya. "Itu teman kalian juga?" tanyanya kemudian.




"Oh bukan pak, kebetulan kami menyewa pondok miliknya sebagai tempat berkumpul kami" Dimas menjelaskan. "Dia hanya nelayan biasa" tambahnya.




Pak Antonius manggut-manggut sambil tersenyum. "Mari, kita mulai acara jamuannya" Ujarnya mempersilahkan.






Selama pesta berlangsung tidak banyak hal yang dilakukan oleh Ian, tentu Ian tidak ingin tampil mencolok di sarang targetnya. Meski terlihat seperti sedang menggambar sesuatu yang tak jelas, sebenarnya dalam kepalanya Ian sedang menghitung ulang rencananya. Sandy berhasil membongkar samarannya, namun jelas itu bukan hal yang mengejutkan Ian, karena Ian memang dengan sengaja meninggalkan puntung rokok itu di dermaga, sejak awal Ian sudah curiga dengan Sandy, bahwa Sandy punya tujuan lain selain studi. Dan dugaannya tepat, Sandy memiliki data penting yang bisa dia gunakan untuk case kali ini, satu yang jadi ketakutan Ian adalah kemungkinan bahwa Sandy adalah bagian dari Association. Karena selama ini Silent Rose selalu bergerak tanpa campur tangan Association.




Kesendirian Ian berakhir saat dia mendengar langkah kaki menaiki kapalnya. Ian beranjak keluar dari ruang kemudi dan Boris, salah seorang kepercayaan Antonius Handoko sudah ada di atas kapalnya.






"Ada yang harus kita bicarakan" Ujar Boris sambil menodongkan sebuah pistol ke arah Ian.






*_*_*






Dimas turun dari kapal milik Ian dengan dipapah oleh Tommy, Sandy ikut membantunya sedang Gea dan Cintya sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah.






"Ni orang nyusahin banget kalo mabok" Keluh Tommy sambil memapah Dimas yang mabuk berat. Ian geleng-geleng menatap Dimas yang muntah beberapa meter kemudian.






Setelah menurunkan jangkar, Ian kembali ke ruang kemudinya, ingatannya kembali ke kejadian di atas kapal saat jamuan di kediaman Antonius Handoko berlangsung.




Ian berpura-pura sedikit terkejut saat melihat pistol yang diarahkan kepadanya oleh Boris. Boris memberinya isyarat untuk tetap diam dan mendengarkannya.






"Ada hal penting yang dicuri oleh rombongan mahasiswa tersebut dari kami", Boris memulai ucapannya. “Bos Anton memintamu bekerja sama dan masa depanmu terjamin”. Sebuah perbuatan bodoh, tidak ada orang yang menawarkan jaminan masa depan dengan moncong pistol terarah.






Boris mendekat ke arah Ian dengan pistol masih terarah dan menyerahkan sebuah ponsel dengan tangan kirinya yang tidak memegang senjata. Ian menerimanya.






"Tugasmu sederhana, besok kau antar ombongan mahasiswa itu ke lokasi yang akan kami sebutkan. Kami akan menghubungimu besok. Mengerti?!!", Boris memberi tekanan di akhir ucapannya, Ian mengangguk takut, meski sebenarnya melumpuhkan Boris bukanlah hal sulit bagi Silent Rose yang sudah terlatih. Setelah menyerahkan ponsel tersebut Boris beranjak meninggalkan kapal.






Di belakang Boris yang tengah menjauh dari kapal, Ian tersenyum samar karena skenarionya berjalan dengan baik.






.....






Ian langsung siaga saat mendengar langkah kaki menaiki kapal. Tidak lama kemudian, Cinthya muncul di ambang pintu, masih dengan gaun pesta birunya.






"Ada yang ketinggalan?" Tanya Ian sambil beranjak dari kusinya. Cinthya menggeleng, lalu keadaan hening sejenak.


"Ehm" Cinthya membuka pembicaraan dengan ragu-ragu. "Soal kata-kata kasarku tempo hari…"


"Jangan terlalu dipikirka" Ian memotong tegas. "Aku sudah melupakannya"


"Tapi aku tidak" Cinthya berkeras. "Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan semuanya"






Ian membiarkan Cinthya duduk di kursi sebelahnya dan mulai bercerita tentang kehidupannya. Tentang bagaimana dia hidup hanya dengan ibunya, Ayahnya entah kemana. saat menginjak kelas 1 SD, dia harus kehilangan Ibunya, sehingga dia harus dirawat oleh neneknya. Pada usia ke 17 nya, neneknya meninggal dan sejak saat itu dia hidup sendiri dari warisan Ayahnya yang ternyata sangat besar. Cinthya tidak mampu menahan air matanya ketika Ian menanyakan perihal cerita cintanya. Dengan lembut Ian menyodorkan tisu untuk menyeka air mata Cinthya.






"Sebaiknya kau istirahat" ucap Ian. "Besok adalah hari yang panjang bagi kalian"


"Oke" jawab Cinthya sambil beranjak dari kursinya. "Terima kasih mau mendengarkan ceritaku". Cinthya lantas bergerak turun meninggalkan kapal.






Ian menatap Cinthya yang sesekali menoleh ke arahnya, dalam hati, Ian tersentuh dengan cerita gadis cantik itu, dan itu aneh, tidak pernah sebelumnya dia merasa begitu tersentuh dengan tokoh dalam rencananya. Ian menepis perasaan anehnya, dia punya Case yang harus diselesaikan. Ian bergegas turun ke gudang dan melumuri pakaian selamnya dengan ganggang yang dapat menghalau serangan hiu. Besok, panggung yang sebenarnya akan mulai dibuka.








BERSAMBUNG 



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar