Bab 3
Tengah hari, keesokan harinya.
Police line mengitari tempat terjadinya perkara tersebut, kerumunan orang terlihat tampak asyik bergumam diantara mereka. Beberapa diantaranya membawa karangan bunga sebagai tanda belasungkawa terhadap kecelakaan yang merenggut nyawa Qadar Wijaya, orang yang dianugerahi gelar Pahlawan Kemanusiaan. Beberapa petugas berseragam menjaga agar kerumunan itu tetap tertib. Seorang pemuda menyeruak di kerumunan dan langsung meloncati police line.
"Hey!!" sergah salah seorang petugas, namun dia langsung terdiam begitu tahu siapa pemuda itu.
"eh.. maafkan saya detektif Rio..".
"tidak apa sudah biasa" ujar Rio sambil nyengir.
"Ooi Dean... lama amat kau!!" ujarnya menyoraki seorang pria yang tampak susah payah menerobos kerumunan. Mendengar nama Dean disebut, petugas itu langsung membelah kerumunan, membuka jalan untuk detektif Dean. Dean tampak berkeringat ketika berhasil menembus kerumunan.
"apa-apaan sih kerumunan ini?" Rio sedikit risih dengan kerumunan orang-orang disekitar.
"eeh.. mereka datang untuk berbelasungkawa atas meninggalnya Pahlawan Kemanusiaan" petugas itu menjelaskan,
"Pahlawan kemanusiaan dari hongkong??!! Cuma tukang kaos yang bingung mau buang kemana barangnya yang gak laku kok disebut Pahlawan Kemanusiaan?" Rio berucap setengah berteriak dan langsung disambut dengan pandangan tidak suka dari orang-orang yang berkerumun.
"hei... Rio, jaga ucapanmu, kalau masih ingin pulang sebagai manusia utuh.." Dean mengingatkan. Rio hanya mencibir pelan.
"jadi ban mobil Pak Qadar meledak di tikungan ini lalu jatuh ke jurang?" tanya Dean pada petugas setempat.
"Ya Pak, mobil itu jatuh ke jurang tepat ke atas rumpun bambu kering di bawah" jawab petugas itu.
"berapa korban jiwa?" tanya Dean lagi.
"satu, hanya Pak Qadar yang duduk di samping supir, sang Supir sendiri selamat, tapi belum siuman, masih di rumah sakit".
"samping supir??, buat apa beliau duduk di samping supir? Bukannya biasa di jok belakang supir?". Dean mengernyitkan dahinya, petugas itu mengangkat bahu tanda ketidaktahuannya.
"itu sudah kebiasaannya..." jawab Rio santai, Dean mengalihkan pandangannya pada Rio.
"aku melihat dokumentasi sebelum korban dievakuasi dari mobil, lantas aku menanyai beberapa anak buahnya dan orang terdekatnya, Tukang kaos satu ini punya kebiasaan duduk disamping supir apabila tidak menyetir. Aku tadi juga sempat melihat rekaman liputan saat dia hadir di acara penganugerahan dirinya sebagai Pahlawan Kemanusiaan... dia turun dari pintu sebelah supir, kemungkinan akurasi data 99%". Rio menjelaskan analisanya panjang lebar. Dean tersenyum dan manggut-manggut.
"rupanya kabar tentang kehebatan anda itu benar..." ujar petugas itu kagum. "beberapa penyidik dan tim forensik yang semalam mengolah tempat ini juga mengatakan ini adalah kecelakaan yang wajar, saya juga berpendapat begitu".
"justru disini banyak keanehannya" ujar Rio sambil merentangkan tangannya. "apa yang dia lakukan disini? Di jalan ini? Aku sudah menanyai sekretaris pribadinya dan harusnya dia ada di kota sebelah untuk negoisasi bahan tekstil".
"kalau kita lurus ke arah sana kan tembus ke kota sebelah?" jelas Dean.
"kenapa harus lewat jalan ini?, ini jalan memutar yang jarak tempuhnya dua kali lipat seharusnya. Lagipula bukan jalan utama, kenapa tidak lewat jalan tol yang hanya makan waktu 45 menit?". Rio menyangkal.
Dean mengernyitkan dahinya sejenak. "mungkin menghindari kemacetan"
"Oh Ayolah Dean!, ini bukan lebaran... tidak ada kemacetan di jalan tol.. jalan tol ada bagi mereka yang benci kemacetan!".
"mungkin menghindari sorotan publik?" Dean menjawab sekenanya.
"TEPAT SEKALI!! Tukang Kaos ini, memilih jalan ini untuk menghindari sorotan publik dan atau..."
"dan atau?" tanya Dean dan petugas bersamaan.
"dan atau ada tempat yang ingin dia singgahi sebelum ke kota itu. Sesuatu diluar agenda" Rio melihat sekeliling, "bangunan apa yang mencolok di sepanjang jalan menuju titik ini?"
Petugas setempat itu menggeleng. "tidak ada.. hanya tebing, beberapa pertenakan, pabrik rumahan dan sebuah hotel berbintang".
"HOTEL!! Itu dia! Tukang Kaos itu mengambil rute ini, singgah dulu untuk menemui seseorang di hotel itu untuk berselingkuh deng.."
"CUKUP Rio!! Hati-hati ucapanmu bisa menimbulkan fitnah orang yang kita bahas ini Pahlawan kemanu.."
"Persetan dia itu Pahlawan Kemanusiaan atau apapun!! Di mataku dia tetap manusia! Dan semua manusia itu SAMA!" Rio membalas hardikan Dean dengan nada yang tak kalah tinggi.
"kita harus bicara dengan pihak hotel itu". Nadanya menurun.
"Err.. kami sudah melakukan itu, dan pihak hotel menyatakan bahwa beliau tidak singgah" jawab petugas setempat.
"mungkin mereka bohong" Rio berucap dengan nada datar. Rio merogoh tas jinjingnya mengeluarkan sebuah teropong binocular dan melihat ke bawah.
"Dean, ini adalah TKP kita harus kebawah".
Tanpa membuang banyak waktu, dengan bantuan petugas setempat Dean, Rio dan beberapa petugas turun ke bawah, mengelilingi bangkai mobil yang kacanya tertusuk bambu.
"lihat, kaca jendela supir retak tidak pecah, tapi kaca jendela disampingnya pecah tertusuk bambu" Rio mengulangi apa yang dilihatnya.
"bambu yang menusuk kaca samping supir ini terpotong...". Dean menimpali.
"dipotong lebih tepatnya" tambah Rio. "bekas oli di aspal jalan atas terlalu banyak untuk dibilang akibat kebocoran, lagipula hanya ada di satu titik, kalau akibat kebocoran harusnya ada di sepanjang jalan...". Rio menghentikan analisanya sesuatu menarik perhatiannya. Di saat yang sama sebuah e-mail masuk ke smartphone milik Dean.
"Dean, silent rose disini..." Rio menunjukkan puntung rokok berstempel SR dengan lambang mawar yang ditemukannya.
Dean mengangguk "ya... sebuah email masuk ke emailku, subjeknya Silent Rose" jawab Dean getir.
Sore itu Dean dan Rio mendatangi sebuah bank internasional dan membuka isi otak deposit yang disebutkan Silent Rose di dalam e-mail, isinya adalah semua bukti kejahatan yang dilakukan Qadar, lengkap dengan rekaman persetubuhan dan salinan rekaman seksual yang dilakukan anak buah dan tiga orang satpam hotel tersebut.
Hotel itu dituntut karena memberikan keterangan palsu pada kepolisian, seluruh pelaku dalam rekaman itu dijebloskan ke penjara. Keesokan harinya kasus ini dipublikasikan, beberapa surat kabar mengganti judul headline mereka dengan Pahlawan Kemanusiaan Palsu, Penjahat berkedok Pahlawan, dan semacamnya. Gelar Pahlawan Kemanusiaan pun dicabut dari nama Qadar Wijaya. Astri dan Misha dimintai saksi sebagai korban dan mendapat perlindungan hukum Dan kasus ini menambah arsip kasus-kasus sebelumnya yang berkaitan dengan Silent Rose. Anjar Francois yang berusia 54 tahun nyaris lolos dari jerat hukum, sebelum ditemukan tewas di sebuah hotel berbintang miliknya akibat serangan jantung, dan mati sesaat setelah menyemburkan sperma di dalam vagina seorang gadis cantik yang tengah mabuk berat, puntung rokok berlabel SR dengan cap mawar menjadi pertanda bahwa Silent Rose lah yang ada dibalik kematian Anjar Francois meski metode pembunuhannya masih belum terungkap. Detektif Rio, dan Wakil Kepala bagian Intelijensi Kepolisian Dean masih membuka mata dan berusaha menangkap sang pembunuh dalam diam... Silent Rose.
Dan ini bukanlah satu-satunya Case...
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar