Bab 4
PLAKK!! Cintya memukul nyamuk yang menempel di lengannya dengan sedikit kesal. Wajah cantiknya tampak makin kesal saat mengetahui pukulannya tidak mengenai nyamuk yang diincarnya. Gadis cantik berumur 22 tahun itu beranjak dari duduknya dan memandang sekelilingnya, dia sendiri kini tidak tahu dimana dia berada. Yang dia tahu kini dia hanya berdua dengan Gea, rekan mahasiswinya di sebuah gubuk tepi pantai. Beberapa jam yang lalu ia hampir saja tewas di lautan kapal yang ditumpanginya mendadak diserang hingga terbakar. Beruntung dia dan tiga orang rekannya selamat dan berhasil mencapai pulau terdekat dengan sekoci kecil yang belum sempat terbakar.
Gadis itu menyeka keringatnya, tanktop putih yang dia kenakan basah terkena air laut yang bercampur keringat, membuat bra tipisnya samar-samar membayang. Wajahnya tampak kelelahan dan penuh peluh, namun tetap terlihat manis. Cintya mengikat rambut panjangnya, mencoba menghilangkan gerah. Tidak jauh dari tempatnya duduk, Gea terlihat mondar-mandir.
"jangan mondar-mandir dong loe... bikin gua makin gerah tau" ujar Cintya kesal. Tanpa menjawab, Gea berhenti dan duduk tepat disamping Cintya.
"loe kok bisa tenang begitu sih Cin?" tanya Gea pada Cintya. Cintya tidak segera menjawab, dia melemparkan pandangan pada hamparan pasir dan laut di depannya.
"yah abis mau gimana lagi Ge? Panik juga ga akan bikin kita segera dapat pertolongan kan?". Cintya menjawab sekenanya. Dia berdiri dan memandang sekelilingnya untuk ke sekian kalinya. "tuh cowok-cowok pada kemana sih? Kok ga balik-balik?" tanyanya sambil memicingkan mata.
DUARR!!.
Bunyi letupan senjata api seolah menjawab pertanyaan Cintya barusan, dari jauh Tommy, salah satu rekannya tampak berlari cepat ke arahnya namun sebelum sempat mendekat, satu letupan lagi terdengar, dan Tommy ambruk diatas pasir-pasir pantai yang perlahan berubah warna menjadi merah darah.
*_*_*
Jakarta, 6 bulan yang lalu...
Lantunan nada lembut Beethoven mengisi ruangan kafe yang nyaris kosong itu, hanya beberapa turis asing yang asyik bercengkerama di meja sudut ruangan. Tiga meja dari mereka, seorang tua sedang menikmati kopi yang dipesannya. Dinding-dinding kafe itu dihias rapi dengan wallpaper bermotif kulit kayu. Bola lampu kuning sengaja dipasang untuk meredupkan cahaya ruangan. Hanya ada dua orang yang bekerja di kafe itu, Juna, mahasiswa Ekonomi yang bekerja part-time sejak tiga tahun yang lalu, dan pria tua berkacamata berkebangsaan Belanda pemilik kafe yang akrab disebut Mr. Wise (baca : Waish).
pintu kafe itu berdentang. Pemuda dengan jaket merah masuk kedalam kafe itu. Mr. Wise menghentikan kegiatannya dan memandang datar pada ian, pemuda berjaket merah itu. Ian melepas jaketnya dan menggantungkannya di gantungan jaket berbahan kayu mahoni di dekat pintu. Ian duduk di kursi bar, tepat di depan Mr. Wise.
"Cappucino dingin" ian memesan minuman pada Mr. Wise. Tanpa merubah ekspresi, Mr. Wise mengambil gelas kaca tinggi dari rak gelas dibawah mejanya, mengelap gelas tersebut dengan kain bersih, mengeluarkan satu stik es batu dari dalam lemari es kecil di belakangnya.
Klicking... Gyuurr...
Coffw hangat dari termos elektrik ke dalamnya. Mr.Wise masih dengan santai mengaduk cappucino itu hingga menghasilkan suara itu pelan searah jarum jam.
"Menu hari ini?" ian berkata sambil mengangkat dan menyeruput Cappucinnonya. Mr.Wise membuka laci di belakangnya, mengeluarkan buku menu berwarna merah dan meletakkannya di samping cappucino ian. Ian mengambil dan membukanya.
"Tumben melihat menu, ada angin apa?" tanya Mr.Wise sambil mengelapi gelas-gelas.
"Yah... sekali-sekali, toh sudah lama aku tidak melihatnya", jawab Ian sambil membolak-balik halaman menu.
"nomor 3A sepertinya menarik. Apa yang kau rekomendasikan pak tua?"
Mr.Wise tidak menjawab.
"Juna... gantikan aku sebentar!" dia setengah berteriak. Seorang pemuda berumur belasan dengan sebagian rambut dicat biru keluar dari dalam dapur dan menggantikan posisi Mr.Wise. Mr.Wise masuk ke ruangan pribadinya di belakang bar, Ian beranjak mengikutinya.
Ruangan kecil itu berdinding biru, lebih mirip dengan gudang dibandingkan ruang kerja. Rak-rak di dalam ruangan itu penuh dengan berkas-berkas. Mr. Wise duduk dan membuka lacinya lalu mengeluarkan amplop berwarna hitam dari lacinya.
"Case lama, namun sekarang jadi bahan pembicaraan di media massa, jadi tidak ada yang mau membelinya" Mr.Wise bicara sambil melempar amplop tebal itu ke arah ian.
"aku sudah melengkapi case itu dengan informasi-informasi pelengkap, semua ada dalam amplop itu", Mr. Wise mencari sesuaru di sakunya, sebuah pipa hisap kuno dan membakar tembakau di dalamnya. Ian duduk di kursi depan meja tempat Mr.Wise dan membuka amplop tersebut.
"Case 4 star" gumam Ian sambil mengeluarkan isi amplop tersebut.
"Tadinya..." Timpal Mr.wise " sekarang 42 star setelah media mempublishnya" Mr.Wise menunjukkan satu halaman dalam sebuah buku menu berwarna putih. "Tertarik?"
"42 milyar? Ian memastikan 42 star yang dimaksud sebagai harga Case tersebut, ASSOCIATION menggunakan 'star' sebagai mata uang harga di organisasi mereka. "kau jual berapa semua dalam amplop ini?", ian bertanya sambil memasukkan kembali isi amplop hitam itu.
"62 juta", jawab Mr.Wise.
Ian tertawa, "tuan Wise Crow yang terkenal... ada apa ini? Sedang berbaik hati dengan harga serendah itu?", nadanya terdengar sedikit mengejek.
"aku sudah bilang padamu, tidak akan ada yang cukup gila untuk membeli Case yang sedang menjadi sorotan publik, tingkat kesulitannya terlalu tinggi", Mr. Wise menjawab sambil menghisap pipa tembakau. "lagipula... semua yang disitu informasi lama".
Ian segera memahami apa yang dimaksud Wise Crow, Mr. Wise menjual informasi di amplop hitam ini dengan harga jauh lebih rendah dari sebelumnya karena dia punya informasi baru mengenai Case ini. "case ini aku ambil", jawabnya sambil tersenyum.
"terjual pada Silent Rose" jawab Mr.Wise tenang.
"sekarang katakan...", Ian menatap Mr.Wise dalam-dalam. "Berapa harga informasi terbarunya?".
"7 milyar"
Ian mengutak-atik smartphonenya, tidak lama kemudian sebuah SMS balasan masuk ke smartphone itu. Rupanya dia baru saja mentransfer uang senilai tujuh milyar enam puluh dua juta Rupiah ke salah satu rekening Mr.Wise. Segera setelah Mr.Wise memeriksa rekeningnya via notebook , dia menyerahkan beberapa dokumen dalam amplop merah muda pada ian. Ian menerimanya.
"aku akan kembali besok", ujar Ian sambil meninggalkan ruangan itu, mengambil jaket merahnya di gantungan dan meninggalkan kafe bernama Green File itu tanpa mempedulikan Cappucino dinginya. Mr. Wise, pria tua yang menyandang codename, keluar dari tempat itu.
*_*_*
Cintya Safitri yang akrab dipanggil Cintya sedang sibuk dengan laptopnya di meja perpustakaan kampus tempat kuliahnya. Di sampingnya, tiga buah buku tebal tergeletak tidak beraturan. Masing-masing buku itu terbuka pada halaman tertentu. Gadis 22 tahun yang tengah mengerjakan tugas akhir ini tampak begitu serius. Rambut panjangnya selalu diikat kuncir kuda, memperlihatkan rambut-rambut halus di tengkuk putihnya. kaos biru ketat yang dikenakannya sore itu terlihat serasi dengan celana jeans coklat mudanya, memperlihatkan lekuk pinggangnya yang ramping namun berisi. Dengan kecantikan yang terlihat natural itu, pantas bila Cintya merupakan gadis yang digemari oleh para mahasiswa di jurusannya.
"hei.. gimana Cin??", sebuah suara centil menyapanya dari belakang. Cintya menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke sumber suara. Gea Mathilda, teman satu angkatan yang tadi menyapanya segera duduk manis disampingnya.
"dari mana aja sih loe?" Cintya bertanya dengan nada sedikit kesal.
"duuh sewotnya... sory deh Cin, tadi gua ada urusan" jawab Gea sambil merapikan rambutnya.
Gea teman sekelas Cintya, kecantikan gadis blasteran indo-prancis ini membuat kecantikan Gea sedikit diatas Cintya. Tubuh Gea dapat dikatakan lebih berisi dibandingkan Cintya, hidung mancung dan rambut coklat kehitaman menjadi khas gadis-gadis indo-prancis pada umumnya. Sayangnya, tinggi badan Gea hanya berkisar 163 cm. Jika ada satu bagian tubuh dimana Cintya kalah jauh dari Gea, itu ada di buah dadanya. Ya... ukuran buah dada Gea 38D lebih besar dari Cintya yang berukuran 34C. Namun keduanya sama-sama membusung dan kencang. Karena mereka rajin berolahraga, Gea yang rutin mengikuti fitness dan Cintya yang tergabung dalam organisasi pecinta alam.
"wuih... literaturnya kayaknya udah cukup nih...", komentar Gea melihat buku-buku tebal di dekat Cintya.
"banyak sih... tapi kepotong-potong. Untuk literatur sih kita udah cukup, tinggal nunggu kabar dari para cowok aja nih" jawab Cintya sambil melanjutkan aktifitasnya.
"Tenang Cin, kata bokap gua sih ijin bisa didapat dengan mudah, kan ada surat sakti dari bokap?"
"Iya sih, untung bokap loe relasi bisnis perusahaan yang punya kilang minyak itu ya? Kita jadi lebih gampang".
"bocoran dari bokap gua sih besok pagi juga ijin itu dah kelar Cin, minggu depan kita udah mulai survey kan?"
"rencananya sih gitu. Eh! Anterin gua fotocopy angket yuk?"
"kan kemarin udah Cin?" Gea menjawab malas.
"ini form yang baru lagi, temanya sedikt beda, gua sesuain ama literatur tambahan dari buku ini nih" Cintya berkata sambil mengangkat salah satu buku di dekatnya.
Gea menurunkan alis tipisnya. "yah... sory Cin... gua ada janji..." Gea berkata dengan nada menyesal.
"cowok loe kan dinas ke Surabaya?" Cintya mengernyitkan alisnya.
"justru itu Cin... mumpung cowok gua di luar kota..." Gea mengedipkan matanya genit, Cintya sewot.
"gua cabut dulu yah Cin?? Sory banget..." kata Gea mengecup kepala Cintya sambil beranjak pergi.
"dasar loe... pake pengaman, awas bunting loe entar..." seloroh Cintya sedikit sewot.
"ga enak pake pengaman Cin... ga alami" goda Gea sambil berlalu.
Satu perbedaan besar antara Gea dan Cintya adalah gaya hidup mereka. Gea sangat bangga dan senang menunjukkan keseksiannya pada lawan jenisnya, hampir semua mahasiswa-mahasiswi di kelasnya tahu kalau Gea mudah diajak ke ranjang. Meski begitu, Gea selalu pilih-pilih cowok yang akan menjadi lawan mainnya. Cowok-cowok yang masuk kategori tampan atau lumayan di kampus sudah pasti pernah merasakan nikmatnya tubuh Gea, tidak peduli cowok itu alim sekalipun, sangat sulit menangkal godaan dari gadis tercantik di kampus ini.
Sedang Cintya, meski sudah pernah bersetubuh dengan senior di organisasi pecinta alam yang saat itu menjadi pacarnya, Cintya masih minim pengalaman. Seniornya di organisasi itu adalah laki-laki yang mengambil keperawanannya, sekaligus satu-satunya laki-laki yang pernah menikmati tubuhnya, itupun terjadi ketika Cintya mabuk akibat minuman keras. Sekarang seniornya sudah lulus dan menghilang entah kemana. Sejak saat itu Cintya jadi lebih waspada dengan yang namanya cowok dan minuman keras.
*_*_*
Jazz pink milik Gea meluncur masuk ke halaman parkir apartemennya, meski masih sekota dengan orang tuanya, Gea lebih memilih tinggal seorang diri. Sejak SMU kelas 1 Gea sudah merengek ke Ayahnya agar membeli sebuah apartemen untuk ditinggalinya, dengan dalih ingin belajar mandiri seperti remaja-remaja di Amerika. Satu tahun kemudian sang Ayah mengabulkannya, maka sejak kelas 2 SMU Gea telah tinggal di apartemen mewah seorang diri. Petualangan seks Gea memang sudah dimulai sejak dia mengenal pacaran kelas 1 SMP, setelah tinggal sendiri di apartemen, petualangannya semakin bebas dan menjadi-jadi.
Najaar, pengusaha muda asal india tetangga sebelah apartemen Gea adalah pria pertama yang menikmati tubuhnya di apartemen ini. Sebuah seks tanpa ikatan pertama bagi Gea, yang membuat Gea ketagihan dan mengawali seks tanpa ikatan dengan pria-pria lain yang berikutnya, terlebih lagi ukuran batang penis Najaar lebih besar daripada rata-rata orang Indonesia. Kini, Najaar sendiri telah keluar dari apartemen itu 3 tahun yang lalu dan kini entah dimana.
Gea melenggang menuju elevator, melewati meja satpam yang dijaga oleh Sleman, pemuda kampung yang bekerja sebagai satpam di apartemennya. Ada seringai aneh di wajah Sleman saat melihat Gea memasuki gedung, namun Gea berjalan tanpa menghiraukan ekspresi aneh di wajah pria berwajah kampungan itu.
Begitu tiba di kamarnya, Gea melemparkan tasnya dan merebahkan tubuhnya di ranjang empuk yang sering digunakan untuk melampiaskan birahi. Gea melepas kemeja dan celana jeansnya, menggantinya dengan kaos tipis yang kebesaran hingga bagian bawah kaos itu sampai ke bagian lututnya. Baru saja Gea meneguk segelas air dingin, terdengar suara ketukan di pintu kamar apartemennya. Raut wajah Gea sedikit masam saat mengangkat pantat seksinya mendekati pintu itu.
Sleman, satpam apartemen itu tersenyum-senyum sendiri saat Gea membukakan pintu untuknya. Tanpa permisi, Sleman menyelonong masuk ke kamar apartemen Gea. Gea segera menutup pintu. Sleman berjalan ke arah jendela di samping ranjang Gea yang tertutup tirai lalu membuka tirai tersebut lebar lebar dan menatap ke kolam renang apartemen yang terlihat dari jendela kamar Gea.
"pemandangan dari sini lumayan bagus ya non?" komentar Sleman sambil mengintip ke luar jendela kemudian duduk di sofa. Gea hanya diam tak menhiraukan Sleman, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah sedikit memerah sambil menyilangkan tangan nya di depan dada nya dan menatap ke sudut ruangan apartemenya yang mewah.
"Kenapa non koq mukanya merah begitu?", tanya sleman dengan nada sedikit menyindir sambil menyalakan rokok kemudian menghisapnya dengan santai. Gea pun hanya terdiam menanggapi perkatan sleman.
"koq diem aja sih non, sini duduk dipaha mas sleman" goda sleman sambi menepuk nepuk paha nya, namun Gea hanya duduk mematung tidak bereaksi.
Selama beberapa menit dengan sabar Sleman menggodai dara muda tersebut namun Gea hanya Cuek seakan Sleman tidak pernah ada, sehingga akhirnya kesabaran sleman pun habis, sleman bangkit berdiri dari sofa tersebut sambil membanting keras puntung rokok nya ke lantai marmer mulus yang bercorak papan catur tersebut dan dengan langkah yang tegas kearah mahasiswi kaya yeng tampak arogan tersebut dan tiba biba saja.
PLLAKKKKK!!!!!!
Dengan sekuat tenaga dilayangkan pungung tangannya tepat mengenai pipi kiri Gea yang mulus, halus, dan terawat tersebut sehingga Gadis malang tersebut jatuh ke samping, tanpa memberi kesempatan Sleman langsung menjambak rambut panjang gadis Blasteran tersebut,
"Dasar Pelacur ! Sampean itu udah buang buang waktu saya! Ngerti Sampean!" Hardik sleman sambil menjambak muka Gea dan didekatkan tepat di depan mukanya, kemudian dengan ganas dilumatnya bibir tipis khas orang prancis tersebut sehingga Gea kewalahan dan meronta ronta karena sulit bernafas.
"Dasar cewe nakal" maki Sleman Sambil meremasi payudara montok Gea sembari melumati bibir dan menjilati sekaligus mencupangi leher jenjang dan pundak mulus mahasiswi muda tersebut dengan penuh nafsu seakan tidak ada hari esok lagi untuk dirinya, sedangkan Gea yang dari tadi terdiam seperti boneka kini sesekali mengerang tertahan dan menggesekan Vaginanya yang masih terlindungi oleh CD kuning menantang ke paha Si satpam.
"kenapa non kok memeknya di gesekin ke paha bapak sih? ngga tahan yah non" sindir Sleman sembari terkikih-kikih dengan mesum nya, muka Gea pun makin memerah. Sleman pun makin mengerjai gea dengan meremasi dadanya dengan kasar dan melumati bibir mungilnya dengan penuh nafsu.
"Ayo ikut!" bentak si satpam bejat itu sembari menjambak rambut bidadari yang sedang di mabuk hawa nafsu walau sedang di perkosa itu. Sleman membuka jendela yang besar itu kemudian menyeret Gea kearah balkon.
"Pak.. di dalam aja napa sih? Aaah" pekik Gea saat Sleman dengan cuek membalik tubuh Gea hingga menghadap kearah kolam renang lalu menarik pinggangnya ke belakang, kini Gea berpegangan ke balkon, terasa angin menerpa kulit-kulit payudaranya, membuat sensasi tersendiri.
Tidak menunggu lama dan tanpa satu patah katapun, Sleman membuka kancing dan resleting celananya, dengan gerakan cepat satpam kampung itu mengeluarkan penisnya yang sudah mengeras.
"Ngghhh" Gea melenguh saat liang kewanitaannya dijejali sesuatu yang besar, panjang, keras dan hangat. Lenguhannya makin keras saat Sleman melesakkan batang kejantanannya makin dalam, wajah kampungan Sleman terlihat makin aneh, alisnya mengernyit menikmati jepitan liang kewanitaan bidadari kampus yang tengah disetubuhinya ini.
"Oohh, wenak tenan tempikmu non" ujar Sleman sambil mulai menyetubuhi Gea dengan posisi doggy style. gea hanya bisa melenguh, mendesah, setiap satpam kampung itu melesakkan penisnya, terasa tubuhnya dialiri listrik yang dahsyat, Gea sudah lupa, bahwa dia melakukannya di tempat terbuka, lupa dengan rasa malu, lupa bahwa jauh dibawah mereka, beberapa penghuni dan staff apartemen dapat menyaksikan persetubuhan mereka.
Tubuh ramping Gea yang telanjang bulat terlonjak-lonjak akibat genjotan Sleman, liang kenikmatannya terasa penuh dan nikmat karena penis Sleman yang cukup besar. Gea tidak peduli lagi, dia mendesah-desah keenakan, semakin cepat kocokan Sleman, semakin Gea mendesah. Desahan-desahan seksinya membuat Sleman semakin bersemangat.
Pintu balkon kamar sebelah tiba-tiba terbuka, dua orang pria pemilik kamar di sebelah Gea keluar, kini mereka dengan jelas melihat Gea sedang disetubuhi satpam apartemen mereka.
"Wah enak nih Pak, boleh ikutan nggak neh?" celoteh salah satu dari mereka Sleman memperlambat genjotannya.
"Gimana Non? Boleh ga mereka ikut?" tanya Sleman sambil terus menggenjot.
Raut wajah Gea berubah merah, antara malu dan marah, namun kenikmatan yang dia rasakan mengalahkan rasa itu, dengan lemah Gea menggeleng. Tubuhnya bukan untuk dinikmati oleh Bapak-bapak seperti dua orang itu.
"Nggak jawab dia pak, berarti OK.." tukas Sleman seenaknya. Gea terkejut dan berusaha meronta, namun Sleman dengan tangkas mempercepat genjotannya.
"Pintu nggak saya kunci, masuk saja Pak, ajak temen-temen juga biar rame". Jawab Sleman seenaknya lagi.
Dua orang itu tidak terlihat lagi, Sleman mempercepat genjotannya, membuat Gea makin cepat mencapai puncak kenikmatannya. Gea memejamkan mata, berusaha fokus pada kenikmatan yang diberikan oleh Sleman dan akhirnya
"Ooouuuhhhh!!!!", tubuh Gea mengejang, melentng hebat, kedua bukit kembarnya makin membusung, dia mencapai orgasmenya.
Sleman tidak mengurangi genjotannya, membuat Gea tersengal-sengal menahan napas, tidak lama kemudian, Gea merasakan penis Sleman mulai berkedut-kedut.
"ngh. jangan didalam pak. AAkkhhh!!!"
Terlambat, Satpam kampung itu telah melesakkan batang kejantanannya dalam-dalam dan Gea bergidik merasakan semprotan demi semprotan benih di rahimnya.
Beberapa detik kemudian, Sleman mencabut penisnya. Gea masih bertumpu pada pagar balkon, ekor matanya menatap sayu beberapa orang yang menyorakinya dari kolam renang. Butuh waktu beberapa detik bagi Gea untuk menyadari bahwa empat orang pria berumur sudah mengelilinginya, dua diantara mereka adalah yang tinggal di kamar sebelahnya telah ada di balkon, dengan penisnya yang mengeras.
"Wah bisa crot di dalem... bakalan puas nih kita...", ujar salah seorang dari mereka sambil menarik tubuh telanjang Gea.
Gea hanya bisa meronta lemas dan mendesah saat pria berumur itu mulai menyetubuhinya, menuntaskan hajatnya dengan menanamkan benih ke rahimnya. Gea juga hanya bisa pasrah saat yang lain mengambil giliran masing-masing.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar