Sang pewaris part 77


Bab 77

Aku kembali mencumbu payudara Inka bergantian kiri dan kanan. Putingnyasemakin tegang, dan kulit kenyalnya basah karena liurku.

“Ooh.. Reiii…” Inka mengabarkan nikmat. Genggamannya pada kang pepen terlepas, berganti meremasi kembali rambutku.

Aku tetap fokus menjilati dan mengecupi permukaan payudaranya. Setelah ujung lidahku menyusuri tepi lingkaran kecoklatan, seketika aku melahap putingnya yang mematung keras. Inka kembali memekik. Ia menumpahkan gerah gairahnya dalam desahan.

Bibirku mengecup puting kecilnya. Sangat tegang terasa di bibirku. Kubuka mulutku dan lidahku mulai menggelitiknya. Inka kian merintih-rintih dengan tubuh gelisah, sekali-kali kakinya menendang-nendang. Kuabaikan bahasa tubuhnya, kini aku punya keasikan baru. Kuciumi dan kuremas payudaranya bergantian hingga memerah. Sangat menggemaskan, dan aku tak ada bosannya mencumbuinya. Kukecup dan kuhisap. Kumainkan lidahku di pucuknya, sementara bibirku mengapit. Kulakukan bergantian antara payudara kiri dan kanan

“Reeeeii…” Inka setengah memekik ketika telapak tanganku berhasil mengusap kemaluannya yang terasa tembem. Sementara mulutku masih mengemut putingnya.

Inka meronta tetapi bisa kutahan. Cumbuanku semakin turun, menyusuri perutnya yang rata, dan mencucuki pusarnya.

Erangan-erangan Inka membuatku semakin bergairah. Cumbuanku semakin turun…

Aku menahan nafas sesaat ketika untuk pertama kalinya aku bisa melihat kemaluan Inka dari dekat. Mataku langsung tertuju pada bulu-bulu lembut yang tertata rapi. Halus dan tipis. Di bawahnya nampak vaginanya yang nampak tembem dan mungil khas vagina perawan. Bibir vaginanya masih rapat meski terlihat sedikit lembab oleh cairan birahi.

Aku mendengus resah memandangnya. Aku pun merunduk dan meniupi bulu kemaluannya. Inka menggeliat, gairahnya naik berlipat-lipat.

Lidahku terjulur menyapu bulu-bulu indah dan seksi yang tertata rapi. Inka kembali memekik, tangannya meremas sprei.

Aku tetap fokus pada pusat selangkangannya. Aku terus asik memainkan bulu-bulu halus kemaluan Inka. Kutarik-tarik gemas.. membuatnya menjerit. Kubuat kusut, lalu kurapikan, begitu seterusnya hingga Inka blingsatan. Jadilah… bulu kemaluannya menjadi kesukaan dan mainanku, kuabaikan nafsuku sendiri yang sudah kian meningkat, kang pepen sudah berdenyut tegang.

Puas dengan rambut kemaluannya, kusibak mahkota Inka yang paling rahasia. Indah kemaluannya membuat pandanganku terasa nanar. Kubuka bibir kemaluannya yang rapat, dan aku pun langsung disuguhi pemandangan seksi menggairahkan. Lubang vagina Inka berwarna merah muda dan sudah begitu basah, sementara permukaan lubangnya berkedut-kedut.

Kucucukan lidahku pada kedutan lubang vaginanya.

“Aaaaah… hiiiks… uuuh Rei…” Inka merintih.

Rintihannya malah membuatku kian bersemangat dan bergairah. Ia menggelinjang tidak karuan saat lidahku menyusuri bibir merah vaginanya. Setiap ada cairan yang merembes, langsung kuhisap dan kutelan.

“Uhhh… iya… du du duuuh.. aaah.. Reii…” Inka lepas kendali, desahannya berubah jeritan.

Dengan cepat dan tanpa aba-aba, langsung kujilat klitrosnya yang basah dan menegang imut.


“Aaaaahhh…” Inka langsung menutup mulut untuk meredam teriakannya. Sedangkan satu tangan menjambak rambutku. Kumainkan terus klitorisnya yang makin tegang.

“reiii… sayaaang… aaahh… oooh….”


Tubuh Inka melenting, pinggulnya terangkat.


Serrrrr… segumpal cairan putih kental keluar. Langsung kusambut dan kuhirup, kuhisap dan kutelan.


Tubuh Inka bergetar hebat. Kedua kakinya menghentak-hentak dan nampak kejang. Lalu terkulai lemas.


Aku beringsut naik, kini tatapan mataku lekat pada wajah Inka yang terkulai puas. Wajah dan lehernya berkeringat.


Kecupan kudaratkan pada keningnya, membuat Inka membuka mata. Kukecupi wajahnya. Ia tidak membalas ketika kukecup bibirnya. Ia masih terlihat begitu lemas, tak bertenaga, namun sorot matanya berbinar puas.


Aku terus merangsang Inka dengan menciumi wajahnya. Ujung jariku memutari lingkaran sekitar putingnya. Tak perlu menunggu lama, Inka kembali bereaksi. Dan entah dapat tenaga dari mana, tiba-tiba ia mendorongku keras hingga aku terguling ke samping.


Ia merangkak dan menempatkan diri di antara dua kakiku yang mengangkang. Tangan kanannya menarik rambutnya yang merumbai dan menyampirkannya ke sisi kanan lehernya, sedangkan tangan kiri menggenggam kang pepen.


Aku meringis merasakan sentuhan lembut telapak tangannya. Nyaris mengerang ketika ia mengocok.


Inka memang perawan, tetapi ia tidak awam dalam hal seks. Banyak tontonan dan bahkan mungkin punya pengalaman. Aku hanya bisa merekatkan gigi ketika lidah Inka menyapukan lidahnya pada kepala botak kang pepen. Permukaan lidah basahnya langsung menari memutar. Aku hanya bisa merekatkan gigi menahan nikmat.


Aku menghela nafas kecewa ketika ia tak juga mengulum. Lidahnya malah menyapu batang kang pepen tanpa ada yang terlewat. Tetap nikmat, tetapi aku ingin lebih.


Aku bangkit setengah duduk dan menarik pinggangnya. Inka paham. Ia memutar tubuh dan mengangkang di atasku yang sudah berbaring kembali.


Kubuka bibir vaginanya dengan kedua jari. Kucucukan lidahku. Inka melenguh. Rasa nikmat yang ia peroleh membuatnya kalap. Mulutnya terbuka dan kang pepen melesak masuk ke dalam mulutnya; disambut sapuan lidah.


Aku berhenti sebentar dengan mulut terbuka. Rasa nikmat ini tak terkatakan lagi.


Setelah merasa terbiasa diservis oleh Inka, aku pun mulai menjilati kembali vaginanya. Tanganku meremasi bongkahan pinggulnya. Gerakan kami kompak dan seirama. Goyangan-goyangan pinggulnya membuatku semakin leluasa menikmati lubang vagina dan klitoris Inka. Sementara Inka semakin asik memainkan kang pepen.


Nampaknya birahi Inka kian menanjak. Ia berhenti mengoral dan berbalik badan. Kuusap bibirku yang basah sambil menatap wajahnya.


Inka mengangkangi kang pepen dengan kedua tangan bertumpu pada dadaku. Sigap kuarahkan kang pepen pada lubang sempitnya.


“Sssshhh…” desisnya ketika kepala kang pepen membelah permukaan vaginanya.


Terasa sempit dan lesakannya tersendat.


Inka berhenti sambil meringis. Matanya sedikit berkaca-kaca.


Tangan kananku bergerak meremas payudaranya yang menggelantung. Inka pun menekan kembali pinggulnya.


Cleeeep.


“Aaah…” Inka kesakitan.


Kutarik bahu Inka hingga memelukku. Kubalikan badan. Kini aku yang menindihnya.


Lantas aku mengangkat pinggul dan mengangkang dengan bertumpukan kedua lutut. Tangan Inka terulur ke bawah, kali ini ia yang menggenggam kang pepen.


Kutempelkan dahiku di atas dahi Inka, sorot mata kami beradu begitu dekat. Sedangkan tangan Inka mulai mengocok pelan.


“Mmmmh…” Inka melenguh, aku meringis. Geli dan ngilu kurasakan. Tangan Inka mulai menggesekkan penisku pada bibir vaginanya yang lembab.


Tak berselang lama, kepala kang pepen sudah kembali menyentuh kendutan basah lubang kenikmatan Inka.


Aku semakin menatap lekat matanya. Sorot mata kami bertemu dalam binar birahi. Kutekan pinggulku.. slep. Ujung kang pepen mulai mencucuk bibir basah nan lembut itu.


“Aahhh…” Inka meringis sambil mengerutkan dahi.


Kuangkat wajahku dan memandangnya lekat untuk meminta keyakinan. Sementara penisku hanya kutekan-tekankan pelan.


“Pelan-pelan..” bisiknya serak-serak basa.


Langsung kulumat bibirnya untuk meningkatkan birahinya sekaligus mengalihkan fokusnya dari rasa sakit yang akan ia terima. Ia membalas ciumanku dengan sangat panas, lidahnya langsung terulur dan mencari lidahku. Saling lilit, saling belit, saling lumat, saling cecap.


Kutekan kang pepen lebih dalam. Sempit dan seret. Inka menggelinjang merasakan benda asing memasuki lubangnya, lumatannya makin diliputi gairah. Kini tangan Inka terlepas dari batang kang pepen dan beralih meremasi pinggulku. Ia malah menekan pinggulku supaya kang pepen semakin terbenam, kedua kakinya semakin ia lebarkan.


Kutarik nafas panjang beberapa kali, rasa iba dan nafsu beradu menjadi satu. Cleeep… kepala kang pepen semakin terbenam, menyentuh dinding lembut selaput daranya yang berdenyut.


“Mmmmh.. Reii.. shhh…?” Inka melepaskan lumatan dan menatapku tajam. Nampak sekali kalau ia meringis sakit.


Kuhentikan tekanan dan membiarkan vagina Inka beradaptasi secara perlahan. Kukecup kembali bibirnya dan kukulum lembut. Setelah ia membalas, aku menekan kembali pinggulku sehingga kang pepen semakin menekan selaput daranya. Kucabut lagi hingga nyaris terlepas, lalu kutekan. Begitulah.. kulakukan berulang-ulang dengan sabar. Vagina Inka semakin basah dan berkedut, bahkan kepala kang pepen terasa dihisap-hisap.


Inka mulai terbuai kembali oleh indahnya ciuman dan rasa nikmat pada vaginanya. Ciumannya kembali panas, dan tangannya mulai meremas pinggulku.


Ternyata menahan gejolak birahi jauh lebih sulit daripada penetrasi itu sendiri. Tubuhku langsung berkeringat. Nafsuku sudah sampai ubun-ubun, tapi kutahan dan berusaha kuredam.


Cleeep… cleeeep… pompaan pendekku mulai kupercepat. Inka mulai gelisah, kulumannya berubah lumatan. Sejenak aku tidak membalas cumbuannya untuk mengatur nafas, mataku terpejam, kukuatkan diri dan kubulatkan tekad. Aku harus menyakitinya terlebih dahulu, sebelum membawanya pada kenikmatan yang tiada tara.


Cleeeep… cleeeep… jleeeeeb…. kini Inka yang menghentikan ciuman, tubuhnya berubah kaku.


Jleeeeeb…. prreeeeet…


“Ssshhh Reii… hiiiiiks…” kalau tidak mengulum bibirnya, mungkin jeritannya akan melengking dan terdengar sampai keluar kamar. Tapi segera kuredam dengan lumatan.


Kang pepen sudah merobek selaput dara Inka dan amblas ke dalam vaginanya. Terbenam seutuhnya. Ada nikmat dan sedikit nyeri kurasakan. Perih dan nikmat beradu pada alat kelamin kami.


Beberapa detik semesta kami bagai terhenti. Tubuh kami terpaku kaku. Kulepaskan ciumanku.


“Perih Rei..” Inka merintih.

“Maaf..” dengan iba kukecupi kening dan kelopak matanya.


Aku terus mengecupi matanya yang berair, juga ujung bibirnya yang terbuka. Tak lama kemudian Inka membalas ciumanku, bersamaan dengan denyutan dinding-dinding vaginanya yang mulai mengurut lembut, cairan pelumas pun mulai menyirami batang kang pepen.


“Masih perih?” tanyaku.

“Shhh.. teruskan.. aah aaah…”


Inka malah menggerakkan pinggulnya. Secara naluriah ia mulai menggoyang pinggulnya sehingga kang pepen terasa diremas. Secara perlahan aku menarik kang pepen keluar, dan menancapkannya kembali. Terasa sangat sempit dan seret, hanya cairan pelumasnyalah yang membuat batangku bisa keluar masuk dengan lancar. Kini yang kudengar bukan lagi rintihan sakit, melainkan lenguh nikmat.


Aku mulai memompa dengan bibir tetap bertautan. Inka menyambut pompaanku dengan menurun naikkan pinggulnya seirama dengan pinggulku. Bukan hanya kemaluan kami yang berkecipak basah, tapi juga bunyi ciuman kami, sedangkan tubuh ini sudah berpeluh deras.


“Mmh.. mmh.. mmhhh… sssh… Reeei.. aaah sayang…” Inka mulai meracau di sela peraduan kelamin kami.


Aku sendiri hanya bisa mendengus merasakan kenikmatan ini. Bercinta dengan gadis perawan ternyata jauh lebih nikmat daripada dengan yang sudah lepas segel. Sialan si mamang.. kenapa tidak dari dulu memberiku jatah nikmat seperti ini.


Ah.. apapun itu. Persetubuhan ini bukan karena nafsu semata, namun mengalir dari rasa cinta yang ada. Sangat berbeda dengan persetubuhan-persetubuhan sebelumnya yang tidak didasari oleh rasa cinta. Kini kayuhan birahi ini sungguh membuat aku terlena dan membumbungkan perasaanku yang terasa melayang, karena ada luapan kasih sayang yang kami curahkan.


“Uuuh.. Rei.. mmmh… sssh…” Inka kian mengabarkan rasa nikmatnya.


Aku dan Inka merintih, kami mendesah. Kami mengerang menjemput nikmat. Pompaan dan goyangan membuat kang pepen terasa ngilu. Vagina sempitnya senantiasa mencengkeram dan meremas ketika amblas; dan terasa ada tarikan yang menghisap ketika kucabut.


“Ka.. mmhhh…” aku sudah tak bisa lagi menahan nikmat.

“Iyah Rei… teruuus.. ooh oooh…sshheeeh… mmmhh… mhhh… Rei.. uuuh..”


Kami saling bersambut, saling menjemput, saling menggoyang, saling mengerang. Basah keringat membuatku semakin bersemangat. Suara kami sudah tak terbendung. Mengerang. Mendesah. Bukan hanya kami yang memekik, tetapi ranjang pun turut berderit.


Tiba-tiba tubuh Inka mengejang. Kedua tangannya meremas seprei kuat-kuat. Ia menjadi liar dan tubuhnya bergetar-getar. “Hah..hah..hah… Rei.. oooh.. aku.. sssh… mau bucat Rei.” erangnya.


Kabar nikmatnya membuatku kian bersemangat, kini pompaanku makin kerap dan keras. Inka pun melingkarkan kedua kakinya membelit pinggangku. Gerakannya semakin tak beraturan dan… “Aaaaaaaarrrrrgh.. Reiiii… buu.. caaat…!!!”


Tubuhnya melenting, jeritnya ia redam dengan menggigit pundakku. Perih kurasakan. Sementara di bawah, cairan hangat terasa menyembur dari dalam lubang dan dinding-dinding vaginanya, sebagian bagai tersumpal, terbendung penisku. Seketika tubuh Inka terhempas dan tak bertenaga, hanya nafasnya yang tersengal. Aku terdiam sambil mengelus wajahnya yang basah oleh keringat. Kukecup keningnya.


“Terima kasih, sayang.” kukabarkan ungkapan dan getaran sayangku. Ah bahkan aku tidak menyesal memanggilnya seperti itu.


Inka membuka mata dan mengucapkan kalimat yang sama meski tanpa suara.


Plooooop…!!!


Kukeluarkan kang pepen dan kulemparkan tubuhku ke sampingnya. Cairan kenikmatannya melumer keluar, bercampur warnah merah segar. Sebagian melumuri batang kang pepen yang masih tegang.


“Uuuuuh.. gila.. enak banget Rei….” lenguh Inka sambil terkulai lemas.


Aku tak menjawab. Kubersihkan kang pepen dengan selimut yang mengumyuk. Setelahnya kubersihkan vagina Inka. Ia hanya meringis tanpa bisa menggerakan tubuhnya.


Tak lama kemudian, aku mencium bibir Inka dengan lembut. Kucumbu dengan mesra dan ia membalas manja.


“Sudah siap lagi, sayang?” tanyaku sambil memosisikan diriku.

“Hmmmm…” sambil mengangguk.


Rambutnya yang kusut dan wajahnya yang bekeringat membuatku tak mau menunggu lama. Nafsuku sangat cepat terbakar.


Kukecupi wajah Inka yang masih nampak lemas. Keningnya… garis alisnya… kedua pipinya… Ia mendesis dan mulai menggerakan tangannya, serta memeluk bahuku. Kukecup kedua matanya, pucuk hidungnya, dagunya… Lalu kuluman lembut kudaratkan pada bibirnya, Inka membalas, ia sudah mulai bertenaga kembali.


Cleeeep. Cleeeeep. Blessss…


“Aaaaaaahhhh…” kami tak mampu menahan erangan saat kang pepen sudah berhasil kusarangkan kembali. Kedutan-kedutan bibir kemaluannya membuat batang kang pepen terasa diremas-remas. Setelah sama-sama bisa menyesuaikan perpaduan kelamin kami, aku pun kembali memompa, kali ini Inka menekuk kedua lututnya dengan telapak kaki menjejak kasur.


Aku bertumpu pada satu tangan, sementara tangan lainnya meremas payudara ranumnya. Kuremas, kupilin, kugosok seirama dengan goyangan pinggulku.


“Mmmh… mmmh… mmmh… Rei… saaa.. sayaaang…” lenguhan nikmatnya semakin membuatku bersemangat.


Tak perlu waktu lama, cengkeraman dan empotan vagina Inka membuat pertahananku hampir jebol.


“Uh Ka.. sayaaang…” puncak nikmat yang hampir menjelang kukabarkan.


Aku merunduk dan mencium bibir Inka, payudaranya mengganjal. Kami saling menjilat, saling membelit; saling mencecap, saling melumat. Sementara di bawah sana, aku semakin kuat menaik-turunkan pinggulku, mengeluar-masukkan penis kebanggaanku. Aku nikmat, aku kalap. Aku mendesis, Inka mendesah; aku mengerang, ia bergoyang. Aku menusuk, Inka menyambut; aku mencabut, vaginanya berkedut.


Keringatku kembali bercucuran karena energiku terkuras menggauli lubang sempit gadis molek yang sedang menggelepar-gelepar menyambut puncak kenikmatan. Vaginanya masih terasa sangat sempit dan menjepit.


Kemaluanku terus berpacu, mulut kami beradu. Nafas kami saling memburu, daan…


“Aaaaaaarrrrrrrrggggghhhh…”


Aku menggeram, Inka memekik. Dinding-dinding vaginanya berkedut keras dengan cairan kenikmatan menyembur, mendesak dan seolah mau meledak keluar tapi terbendung batang kang pepen. Inka bagai orang kalap, ia meracau dengan kaki dihentak-hentak, tangannya mencengkeram punggungku dengan kuku mencancap, pundakku tak luput dari gigitannya.


Bersamaan dengan itu spermaku menyembur deras, menyirami rahim Inka. Angan dan rasaku melayang, kenikmatan ini tiada tara.


Tubuhku ambruk di atas tubuh Inka yang masih kelejotan dan bergetar hebat. Tak lama kemudian ia hanya diam, tergolek lemah. Dengan sisa tenaga yang ada, kucabut kang pepen dan menjatuhkan diri di samping tubuhnya. Ia tidak bergerak, terkulai dalam rasa nikmat.


Kurapikan rambutnya yang acak-acakan, lalu kukecup keningnya cukup lama. Tak terasa air mataku berlinang. Entah karena apa.. apakah karena menyesal atau bahagia.. Entahlah..!!


Tiba-tiba Inka memelukku dan menangis tersedu. Entah.. aku juga tidak mengerti kenapa ia menangis seperti ini.



BERSAMBUNG


Posting Komentar

0 Komentar