KETIKA SENJA PART 2


JAHE KEBERUNTUNGAN


Aku tercekat-pucat dan mataku melotot. Tubuhku menjadi kaku, sebaliknya si junior menjadi layu seketika sehingga membuat celana dalam bi Iyah terjatuh. Di belakangku telah berdiri seorang wanita paruh baya dengan mata melotot. Tangan kirinya memegang payung dan tangan kanannya membawa seikat kangkung.




“Ibu.." Kataku.


"Ibu Rohmah kok ada di sini? Aku…” Seketika aku menjadi gugup dan tak mampu melanjutkan ucapanku.


“Senja, kamu mesum sekali! Awas ya kamu, ibu laporkan ke pak RT dan kedua orang tuamu!” Ancam bu Rohmah. 




Ia adalah seorang janda; suaminya meninggal tahun lalu karena sakit. Umurnya 42 tahun. Sebetulnya ia mempunyai dua orang anak yang sepantaran denganku, namun mereka berdua sudah menikah (muda) dengan pemuda dari kampung seberang, sehingga ia tinggal sendiri di rumahnya.




“Ja..jangan bu. Maaf saya khilaf… jangan laporkan saya bu.” Aku memohon.


“Khilaf kok sampai ngocok dua kali. Gak puas ngocok sambil ngintip tadi?” Nada bu Rohmah masih ketus.


“Ibu su…”


“Iya ibu sudah lama memperhatikan perbuatan mesummu. Tadi ibu abis metik kangkung di sawah, lalu saya melihat kelakuan kamu. Ibu perhatikan dari tadi tapi kamu tidak menyadarinya, padahal ibu dari tadi berdiri di situ.” Bu Rohmah menunjuk batu di seberang kolam. Pantesan aku dan bi Iyah tidak melihatnya, karena tempatnya terlindung rumpun pisang.


“Berarti ibu mengintip aku dari tadi bu?”




Muka bu Rohmah sedikit memerah.




“Udah jangan mengalihkan pembicaraan. Dasar kamu anak durhaka.”


“Bu, saya mohon jangan laporkan saya bu. Apapun saya lakukan untuk menebus kesalahan saya.”


“Apa pun?”


“Iya bu.”




Kulihat bu Rohmah menyeringai nakal. Matanya sedikit mendelik.




“Ya sudah ibu pulang dulu. Mau masak.”


“Tapi bu.. saya gimana… jangan dilaporkan ya bu.”


“Kita lihat nanti!”


“Bu…!”


“Oh iya kamu punya jahe di rumah?”


“Pu.. punya bu.”


“Ibu lagi butuh.. bilang ke ibumu saya mau minta, nanti malam kamu anterin ke rumah.”


“Baik bu.”




Bu Rohmah pun melangkah meninggalkanku yang tertunduk lesu…




Aku terus memandangnya sampai ia menghilang di belokan.




“Whaaaat???” Tiba-tiba aku sadar kalau masih telanjang bulat. Berarti tadi selama berbicara dengan bu Rohmah aku dalam keadaan polos.




Arrrghhhhh…. tapi kenapa ia tidak mengingatkanku ya? Apakah tadi ia juga memperhatikan si juniorku? Kepalaku terasa pusing. Segera aku menyelesaikan mandiku, dan bergegas pulang. Kasian kambing-kambingku yang sudah kelaparan.




Aku langsung bergegas menuju kandang yang terletak di belakang rumah dan disambut oleh suara berisik kambing-kambingku yang mungkin sudah menunggu dari tadi. Aku segera memasukkan rumput ke dalam kokopan (tempat menyimpan rumput) dan membaginya dengan rata. Setelah itu aku bergegas masuk ke dalam rumah.




“Sampurasun”, salamku seraya membuka pintu. 


"Rampes" terdengar jawaban bapak dan ibu dari arah dapur. Ibu tampak sedang ngakeul (mengaduk dan mengeringkan nasi), dan bapak sedang duduk di depan tungku.


“Kok pulangnya sampai gelap, Ja?” tanya ibu.


“Iya bu. Tadinya mau nunggu hujan reda, tapi malah gak berenti-berenti.”


“Ya udah kamu ganti baju dulu. Setelah itu kita langsung makan.”


“Iya bu.”




Aku pun bergegas masuk kamar dan mengganti pakaianku. Aku mengenakan kaos dan kain sarung. Pikiranku masih memikirkan kejadian tadi, dan aku sangat takut kalau bu Rohmah melaporkan semuanya. Setelah berganti pakaian aku kembali ke dapur untuk siduru (menghangatkan badan) di depan tungku. Kuambil jojodog (bangku kecil kira-kira seukuran 30x40 cm) dan duduk di depan tungku di samping ayahku.




"Besok kamu tidak usah ke sawah, Ja. Kamu tengok kebun kopi di kulon (barat - karena letaknya di sebelah barat kampung). Toh besok tinggal pekerjaan ibu-ibu untuk tandur"


“Iya pak.”


“Jangan lupa pulangnya bawa suluh (kayu bakar),” tambah ibuku.


“Tapi kan saya harus bawa rumput untuk kambing, bu.” Protesku.


“Biar bapakmu aja yang ngarit (nyari rumput) untuk kambing dan munding (kerbau) mah.”


“Iya, biar bapak aja.” Tambah bapak.


“Baiklah kalau begitu.”




Tak lama kemudian ibu selesai menyiapkan makan malam, dan kami pun makan bersama di sekitar tungku. Menu yang sangat sederhana namun sangat nikmat. Kami makan nasi hangat dengan lauk goreng ikan tanjan, sambel dadak, dan lalapan. Selama makan kami tidak banyak bicara karena menurut tradisi, kami tidak boleh ngobrol sambil makan untuk menghormati Dewi Sri (dewi padi).




“Oh iya bu… tadi saya ketemu bu Rohmah. Katanya ia minta jahe. Gak tahu untuk apa.” Kataku kepada ibu seraya meletakkan piring kotor di atas baskom. “Ya udah kamu ambil di goah (ruangan kecil, semacam gudang tempat menyimpan beras). Trus anterin… mungkin butuh untuk membuat jamu.” Jawab ibuku seraya membereskan sisa makanan.




Aku pun bergegas ke goah dan mengambil jahe seperlunya. Kubungkus dengan daun pisang. Lalu kuraih lampu senter dan beranjak keluar. Gerimis sudah reda… dan aku pun menerobos kegelapan malam menuju rumah bu Rohmah. Suasana kampung sangat sunyi. Sayup-sayup kudengar musik dangdut dari rumah Ega, sahabatku. Biasanya kalau malam begini kami ngumpul di rumahnya sambil main gaple. Rencananya selepas dari bu Rohmah aku mau ke sana bergabung dengan Jaka dan Ardan yang juga pasti sudah di sana.




Setelah melewati beberapa rumah tetangga, aku menyeberangi kebun singkong milik pak RT, berbelok ke arah barat menuju rumah bu Rohmah. Rumahnya berada di pinggir barat kampung bersebelahan dengan rumah Jaka. Sebetulnya perasaanku agak tidak karuan mengingat kejadian sore tadi. Tapi malam ini aku harus datang untuk nego supaya bu Rohmah tidak melaporkan kegiatan mengintipku. Setelah melewati deretan kandang kambing, aku akhirnya sampai di depan rumahnya. Rumahnya tampak terang yang kelihatan dari sela-sela dinding bilik (dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu).




Setelah menarik nafas beberapa kali aku pun mengucapkan salam.




“Sampurasun. Bu.. ini saya Senja.”


“Rampes. Masuk Ja.” Kudengar jawaban dari dalam rumah.




Aku pun melepas sendal jepitku dan naik ke atas rumah panggung bu Rohmah. Kudorong pintu kayu itu, nampak bu Rohmah sedang duduk di lantai kayu seraya merapihkan daun salam. Ia mengenakan kebaya yang mengekspos payudara besar dan lekukan pinggangnya, sedangkan bawahannya ia mengenakan kain jarik.




“Punten bu.. ini jahenya.”


“Hatur nuhun, kamu duduk dulu.”


“iya bu.” Aku pun duduk-kikuk-bersila, sementara ia masih asik mengikat daun-daun salam di pangkuannya. Kuletakkan bungkusan jahe di hadapannya.




Hening.




Sebenernya tubuh seksi bu Rohmah mengundang naluri kelelakianku untuk mengamatinya, namun nyaliku tak cukup berani untuk memandangnya mengingat kejadian tadi sore. Aku hanya duduk menunduk dan lidahku kelu. Bu Rohmah pun meraih jahe yang kubawa tadi dan beranjak. “Kamu tunggu di sini,” katanya lembut namun bernada perintah. Aku hanya menggangguk, sementara bu Rohmah pergi ke dapur.




Krik…krik…krik…




Satu menit, lima menit… sepuluh menit. Ia belum juga kembali. Aku dibuat gelisah karenanya. Lebih baik dimarahi daripada berada dalam situasi kayak gini.




Lima belas menit… fiuh… untunglah ia muncul juga.




“Maaf lama ya… nih kamu minum dulu.” Bu Rohmah menyodorkan gelas berisi minuman hangat berwarna kuning agak kecoklatan.


“Apaan ini bu?”


“Kamu minum aja, bukan racun kok.”


“Hatur nuhun.”




Aku pun meraih gelas dan meniup-niup isinya, setelah itu kuseruput pelan. Rasanya agak manis-manis pedas… entah apa… aku sulitnya menjelaskan gimana rasanya tuh minuman. Namun terasa cukup enak dan hangat di badan. Setelah menyeruputnya dengan beberapa tegukan kuletakkan kembali gelas itu.




“Maaf soal kejadian tadi sore, bu.”




Aku mengawali obrolan sambil menunduk. Akibatnya, aku tak tahu apakah ia tersenyum atau cemberut.




“Gini Ja…” Bu Rohmah memulai omongannya.


“Ibu sebenarnya sangat marah melihat kelakuan kamu… ibu juga sebagai perempuan merasa tersinggung. Kamu bukan hanya melecehkan bi Iyah, tapi ibu juga sebagai perempuan merasa dilecehkan.”




Aku semakin menundukkan kepalaku.




“Sebenarnya kenapa toh kamu melakukan itu? Kamu kan sudah cukup umur (menurut ukuran kampung) untuk melamar seorang gadis dan menikah.”


“A..aku gak tahu bu. Tadi terbawa suasana dan…”


“Nafsu?” Bu Romlah memotongku.




Aku jadi gugup. Kuraih minuman itu dan menyeruputnya kembali sampai tersisa setengah gelas.




“Maaf bu.”


“Dari tadi maaf-maaf melulu… kamu harusnya minta maaf ke bu Iyah, bukan ke ibu.”


“Tapi bu… saya takut. Dan tolong jangan laporkan saya ke bi Iyah.” Aku pun memberanikan diri untuk menatapnya. Tidak ada ekpresi kemarahan di sana, yang ada malah tatapan lembut yang sulit kuungkapkan maknanya. Tapi tatapan itu seakan menyejukkan hatiku dan membuat jantungku berdegup.




Aahhh… tubuhku terasa hangat. Dan ada yang menggeliat di balik sarungku. Ini karena tatapan itu atau… atau karena minumannya ya. Hadeuh… dalam situasi begini tubuh ini malah enggan bekerjasama.




“Ya walaupun awalnya ibu marah, tapi ibu juga maklum kamu anak muda yang sedang puncak-puncaknya. Apalagi ibu tahu kamu itu anak baik, rajin membantu kedua orang tuamu, dan…”




Aku menatap lekat bu Rohmah yang tak meneruskan ucapannya.




“Dan apa bu?


“Kenapa kamu nafsu terhadap bi Iyah?” Bu Rohmah malah mengalihkannya dan balik bertanya.


“Anu bu… anu… sek.. seksi.” Mukaku memerah dan badanku terasa panas.


“Seksian mana dengan ibu?”




Deg..




“Maksud ibu?”


“Iya… seksian mana antara ibu dengan bi Iyah?”




Kulihat ia memandangku lekat seraya tersenyum nakal.




Karena gugup kuraih minuman itu dan kutenggak sampai habis. Jantungku berdegub… Badanku kian hangat.




“Kok diam?”


“Anu bu…”


“Kenapaanu-mu?”


"Bukan… maksud saya… ibu juga seksi.” Ooops… keceplosan.


“Masa? Apa yang seksi dari ibu?”




Duh kenapa lagi tubuhku jadi kayak gini. Aku menjadi bergairah dan si junior menyundul-nyundul tegang. Terasa sakit di balik celana dalamku. Udah gitu kenapa juga bu Rohmah malah ngajak ngobrol yang nyerempet-nyerempet kayak gini. Aah.. ada apa denganku?




“Kok malah bengong lagi?”


“Ibu juga seksi.. terutama.. eh anu… payudara ibu lebih besar dan seksi.”




Senjaaa!!! Ahh goblok..goblok kenapa aku ngomong seberani itu.




Jantungku seakan behenti berdetak menunggu reaksi bu Rohmah. Tapi di luar dugaan, bukan kemarahan yang kuperoleh, tapi senyum nakal yang menggairahkan. Tampak bu Rohmah mengulum senyum sambil sekali-kali menggigit ujung bibir bawahnya.




“Kamu suka?” Bu Rohmah memegang bagian bagian bawah kedua payudaranya dan sedikit mengangkatnya. Tampak belahannya menyembul dari atas kebayanya. Kuning langsat…




Suara jangkrik berderik dari kolong rumah. Samar-sama musik dangdut dari rumah sahabatku masih mengalun. Malam ini terasa begitu syahdu, menyanyikan kesakralan sunyi semesta. Aku menatap lekat bibir itu.. dua sisi yang cukup tebal dan merah alami. Ujungnya ia gigit menahan birahi. Kemudian dahi dan hidung kami menempel lembut.. dan tanganku sudah meraih bahunya agar tidak terhempas. Detak kedua jantung kami berdegup kencang seakan menjadi petikan bass atas simfoni alam malam ini. Entah bagaimana… dia sudah duduk menyamping di pangkuanku yang bersandar di tiang dinding bilik rumahnya.




Kemudian tak ada lagi suara yang kudengar. Bumi dan alam berhenti tegang menyaksikan momen ini. Ya, momen ketika bibir kami bersentuhan lembut untuk pertama kalinya. Menempel tipis tanpa gerakkan. Hanya naluri ini yang kemudian mem-bisa-kanku untuk menggerakkan bibirku dan mengecupnya lembut, dan ia pun membalasnya. Kami pun berkecupan lembut. Tak lama bibir itu sedikit terbuka, dan aku memiringkan kepalaku dan melumatnya. Cecapan ini terasa begitu manis, syahdu, sunyi. Aku melumat bibir atasnya, dan ia melumat bibir bawahku. Kami saling mengecap dan menghisap. Tak lama terasa ia mengeluarkan lidahnya dan aku pun refleks melakukan hal sama. Ujung lidah kami bertemu, menyengat aliran listrik dalam tubuhku. Mulut kami enggan berpisah dan lidah kami saling bergulat. Sunyi. Hanya terdengar cecapan di mulut, deru nafas dan detuk jantung kami.




Perlahan kami terpisah enggan. Tatapan kami menyatu dan senyum kami terlukis mesra. Aku yang enggan terpisah mendekatkan kembali wajahku, namun ia menahanku dengan jarinya di bibirku. Ia beranjak dan menarikku ke kamarnya. Tak berbincang, cukup kode dan bahasa hati yang berbicara.




Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Rambut panjang dan hitamnya tergerai menyamping. Keindahan yang tak mampu kugambarkan. Kuposisikan diriku di atas tubuhnya. Bibir kami kembali bertemu. Saling melumat seakan sudah sangat lama tidak bertemu. Emmmh… erangnya halus. Kami adalah dua manusia yang hanya berbicara dalam diam. Kami adalah dua manusia berbeda yang memiliki magnet yang sama. Saling menarik, saling melekat, saling menggesek. Kami lupa beda usia. Kami lupa status sosial. Kami lupa norma dan aturan. Kami lupa semesta karena semesta adalah diri kami sendiri.




Perlahan tanganku menari lincah membuka kancing kebayanya, melepas ikatan BHnya, membuka lipatan kain di pinggangnya. Kuangkat tubuhku dan kulanjutkan tugasku… untuk menelanjanginya. Penuh kerjasama, ia bangkit untuk membantuku menyelesaikan tugasku ini. Kuloloskan kain pembungkus itu…




Aku tercekat. Keindahan sempurna. Seorang wanita paruh baya dengan kematangan yang tergurat di wajahnya. Rambut yang sedikit acak-acakkan. Lipatan indah di lehernya. Bahu yang lebar. Dada yang menggunung sekal. Perut yang rata. Sungguh gurat matang keibuannya terpancar, kesempurnaan wanita dewasa yang telah diterpa pengalaman hidup, sekaligas gerak binal tubuhnya yang sempurna. Ia terbaring dengan hanya menyisakan celana dalam warna hitam. Kedua payudaranya menggunung di dadanya. Kedua tanggannya ditempatkan di bawah kepalanya menampakkan kelebatan bulu ketek yang menggiurkan.




Aku adalah lelaki yang punya hasrat dan panggilan. Panggilanku saat ini adalah sebagai seorang pasangan dan memiliki tugas mulia untuk tidak menyia-nyiakan dan membiarkannya terombang-ambing oleh tanggungnya nafsu. Kupelorotkan celana dalam hitam itu. Kerjasama yang sempurna. Ia pun mengangkat pinggulnya untuk membantu tugasku. Kulempar celana dalamnya entah ke mana. Sambil menatap lekat gundukan lebat itu kubuka kaosku, kupelorotkan sarungku, kuloloskan celana dalamku. Mata kami masih sama-sama terbelalak. Saling mengagumi, saling mengekspos nakal, saling mengundang.




Cepat kutempatkan tubuhku di atasnya. Penyatuan yang sempurna. Dia berpinggul besar, dan aku berdada bidang. Mungkin penyatuan dua tubuh ini seperti membentuk kotak yang sempurna; saling melengkapi. Kali ini bibir kami langsung saling melumat tanpa basa-basi. Kedua payudaranya mengganjal lembab karena keringat. Kemaluanku melintang vertikal di atas vaginanya. Kugeser kepalaku mencium kedua telinganya bergantian; kugesek kemaluanku. Dengan nafas yang semakin berpacu kuciumi lehernya, turun ke bawah, ke kedua payudaranya. Namun kubiarkan putingnya… aku lebih ingin membenamkan wajahku di belahan itu. Aku diam sejenak di sana dan terasa tangannya mengelus rambutku. Terasa tenteram aku berada di sana, meski nafasku harus tersengal.




Setelah merasa cukup, kuangkat wajahku dan kukecup-kecup payudara berputing kehitaman itu. Kukecup-kecup dindingnya yang kenyal dan… haaap.. kucaplok puting kirinya yang menegang. “Aaaah…” Untuk pertama kalinya aku bisa mendengarkan suara alam, dan itu adalah suaranya yang mendesah. Kusedot dan kuhisap bergantian.. kujilat dan kuremas. Rambutku dijambaknya.




Aku yang punya mainan baru menjadi asik dibuatnya. Berlama-lama aku berada di sana. Kemudian terasa ada tarikan kuat di rambutku. Aku pun mendongak memandangnya… tatapannya syahdu dan berbinar nafsu. Dadanya tersengal. Aku pun beranjak melumatnya.




Aku adalah lelaki kampung yang belum mengenal bagaimana memuaskan perempuan, belum mengenal bagaimana oral, aku hanya tahu bahwa bersetubuh itu memasukkan kemaluan ke dalam vagina perempuan. Terasa di bawah sana ia merenggangkan paha dan menekuknya. Aku tahu inilah saatnya. Kuangkat wajahku memandangnya. Ia mengangguk, tapi aku menggeleng. Ia mengerti. Ia kemudian menggenggam penisku. Inilah pertemuan pertama si junior dengan telapak tangannya. Ia menggenggam dan mengocoknya pelan. Menggesekkannya ke bibir vaginanya. Lembab. Kemudian ia mengarahkannya ke lubang yang seharusnya. Kutatap lekat matanya. Mata kami bertemu dalam binar birahi. Kutekan pantatku.. slep. Penisku menyeruak bibir basah nan lembut itu. Penisku sudah tahu jalannya, maka dilepaskanlah tangannya dan beralih meremas-meremas dan menekan pantatku. Sesuai keinginannya, dan juga keinginanku, kutekan penisku makin dalam.. dalam.. dan semakin dalam… sleeep… akhirnya sampai ke ujung. Mentok. Aku terhisap. Aku teremas kedutannya.




Setelah sejenak terdiam untuk mengatur nafas, kami saling melumat kembali. Dan secara naluriah aku mulai menggenjot vaginanya. Kami saling bersambut, saling menjemput, saling menggoyang, saling mengerang. Basah keringat membuatku semakin bersemangat. Suara kami sudah tak terbendung. Mengerang. Mendesah. Bukan hanya kami yang memekik, tetapi ranjang pun turut berderit.




Tiba-tiba tubuhnya mengejang. Kedua tangannya meremas seprei kuat-kuat. Ia menjadi liar dan berkelejotan. Tiba-tia ia mengangkat tubuhnya dan menggigit pundakku. Perih. Terasa cairan hangat berdesir di bawah sana. Hah..hah..hah… “Ibu nyampe, sayang.” Aku terdiam sambil mengelus rambut hitamnya. Kudiamkan tubuhku. Lalu kuangkat wajahku dan kuusap dahinya yang berkeringat. Kukecup keningnya.




Setelah nafasnya kembali normal, kembali kunaik-turunkan penisku perlahan. Dia masih diam. Kuterus bergoyang. Tiba-tiba bu Rohmah mendorongku kuat. Dibalikkannya tubuhku tanpa melepas kelamin kami yang menancap. Ia kini mendudukiku. Dinaik-turunkannya pinggulnya. Aku pun menyambutnya dengan sodokan-sodokan liar. Sekali-kali ia berhenti naik-turun dan menggantinya dengan bergoyang berputar, membuatku merasa linu. Kuraih payudara itu, kuremas, kupilin, kugosok seirama dengan goyangannya. Tiba-tiba bumi seakan berhenti berputar. Penisku mendesak hendak mengeluarkan laharnya. Bu Rohmah tahu itu. Ia mempercepat goyangannya, demikian juga aku. Kami mengerang bersamaan seiring puncak kepuasan yang kami capai bersama. Tubuhnya ambruk di atasku. Tidak ada lagi aku ataupun dia. Tiada lagi dunia. Semua tenang. Damai. Aku berada di dunia kenikmatan yang menenteramkan. Semua hilang sejenak. Aku memasuki dunia ketidaksadaranku.








Telegram : @cerita_dewasaa








Aku menggeliat. Tubuhku terasa lemas. Terasa ada tubuh yang memelukku. Perlahan kubuka mataku. Ada kepala yang menempel di dadaku, tangannya melingkar, dan setengah pahanya menumpang di atas pinggangku. Kami sama-sama telanjang. Kesadaranku kembali pulang. Kubuka semua ingatanku, dan senyumku pun mengembang. Kuusap rambutnya penuh kasih sayang. Terasa ia menggeliat dan mengangkat kepalanya. Senyum kepuasan mengembang syahdu. Kukecup pelan bibir itu.




“Terima kasih.” Kami berucap bersamaan sehingga membuat kami cekikikan, dan ia mencubit perutku.


“Bu..”


“Sttt.. tidak usah dibahas. Yang penting kita saling menikmati. Kamu hebat, sayang.” Kurasakan usapan lembut tangannya di dadaku. Dan aku pun kembali membelai rambutnya. Ya oloooh aku jantuh cinta. Jatuh cinta pada wanita paruh baya ini.


“Bu, minuman itu?”


“Iya. Ibu sengaja membuat ramuan untuk merangsangmu. Ibu sudah lama merindukkan kenikmatan ini. Ibu kesepian.” Kurasakan basah di dadaku. Tak perlu kujelaskan, isakkannya sudah menjelaskan dari mana sumbernya. Kupererat pelukanku dan membiarkan dia mengungkapkan segala keluh dan kegelisahannya selama ini.




Tidak ada ronde kedua. Tidak ada permainan lanjutan. Kemesraan ini sudah cukup bagi kami. Aku pun beranjak seiring suara bedug subuh di masigit. Setelah merapihkan diri. Aku kembali memeluknya. Cukup lama kami berpelukan sambil berdiri. Tapi harus kuakhiri… kukecup bibirnya mesra. Dan aku pun beranjak menerobos dinginnya pagi.

Posting Komentar

0 Komentar