CINTA DAN RENCANA KEDUA
Langit sore menumpahkan kantung-kantung awan yang menghitam. Menderas bersama kilat dan petir. Tak ada lagi suara tonggoret (nama sejenis hewan), kambing yang mengembik atau kokok ayam yang biasa mewarnai senjaku. Yang ada hanyalah gemercak hujan di atas hamparan sawah yang sudahditandur dan gemercik air yang tertumpah dari atap saung tempatku berteduh. Menderas mengurai tanah.
Sesosok tubuh meringkuk di dadaku yang sedang bersandar di pojok saung. Kudekap erat. Kuberikan seluruh adaku untuk membuatnya nyaman. Kuberikan kecupan di rambutnya yang sedikit basah, lalu kuurai dan kuelus sayang. Tiba-tiba tubuhnya terkejat seiring petir yang menggelegar. Kupindahkan tanganku dan mengelus pipinya yang masih terbenam. Sebetulnya cuaca seperti ini bukan hal yang asing bagi kami; kami sudah akrab dengan semua kebiasaan alam, namun sore ini ia begitu manja. Ia seakan asing dengan keras semesta, dan mencari ketenangan pada dunianya yang lain. Ya. Aku adalah dunianya saat ini, sebagaimana ia juga menjadi semesta hatiku.
Aku dan Sae terjebak di saung sawah Ega. Rencananya kami berkumpul di sini, namun tiba-tiba hujan deras turun, dan ketiga sahabatku belum menampakkan batang hidungnya. Untung saungnya cukup besar dan ketiga sisinya tertutup dinding bambu sehingga kami terlindung. Satu sisi lagi terbuka menghadap hamparan sawah yang sore ini membasah.
“Mungkin mereka batal datang.” Aku menggumam. Sae menggeliat enggan, tanpa melepaskan pelukannya ia mendongak, membagi senyum indah yang mengundang desir. Mata kami lekat perpandangan. Aku memonyongkan bibir yang dibalas senyum sipu. Matanya meredup sayu. Duaaar… cleeep… Bibir ini berjumpa rindu bersama gelegar petir. Dadaku berdebar kencang antara kaget dan getar birahi. Begitu juga nafasnya sedikit tersengal. Kami saling mengulum lembut.. ah bisakah aku menggambarkan keindahan ini. Aku tak punya sebuah umpama untuk menggambarkannya, dan tak ingat satu pun peribahasa; aku melupa dari segala kata. Yang ada hanya rasa yang mengawang akibat sentuhan kami berdua.
Entah berapa lama aku melupa dari semesta. Mulutku terkunci dan pendengaranku tertutup. Bahkan kami tak mendengar cecap bibir atau dengus nafas ini. Sampai kesadaranku sedikit pulang ketika kurasa ada yang menggelinjang di sekitar selangkangan. Aku membuka mataku, ia tetap memejam. Duduknya nampak makin tak karuan.
Lalu aku menjilat lehernya. Kali ini aku sadar karena berusaha mengendalikan gejolak di bawah sana. Desahnya dapat kudengar jelas, dan tangannya menjambak rambutku. Kususupkan tangan kiriku melalui bawah kaosnya.. kurasakan halus dan hangat di sana. Sae menggelinjang dan mengangkat wajahnya. Ia menatapku minta keyakinan. Kuusapkan telapak tanganku yang menempel di perutnya.. cuuup… bibir kami kembali bertemu. Kali ini lebih liar.. bibir kami sudah saling beradu meminta dan memberi kenikmatan.
Tangan kiriku merambat naik dari atas perutnya.. kurasakan sulaman tepi BHnya. Sejenak aku berhenti ragu, tapi mulut kami semakin berpacu. Kuyakinkan niatku.. perlahan jariku menyelusup disertai gelinjangan tubuh Sae. Aku mulai menyentuh bagian bawah gunung kembarnya dan…
GUBRAAAGG
Seketika kami tercekat. Bibir kami terpisah dan spontan kutarik tanganku. Sengal nafas masih menggebu antara tanggung dan takut. Tak lama kemudian aku mendengar suara berkecipak di pinggir saung. Sae segera menjauh dan merapikan pakaian dan rambutnya. Aku sempat melirik paha putihnya yang terbuka. Matanya melotot dan langsung menurunkan ujung roknya. Suara langkah pun terdengar mendekat.
Sosok ardan muncul, tubuhnya basah kuyup. Ia masuk sambil menenteng arit (sabit). Sejenak ia mematung menatap kami penuh curiga. Matanya menatap tajam bergantian kepadaku dan Sae, dan senyum-tengilnya sangat menyebalkan. Aku cuma bisa melotot memberi kode supaya diam.
"Wah.. wah.. wah.. aing nyaho.. sori ya bikin kalian nanggung… atau jangan-jangan udah bucat?” Sial tak ada yang bisa kuraih untuk menimpuknya.
” congor dijaga nyet. Tong loba bacot" jaga mulutmu, jangan banyak bacot). Hardikku. Sae hanya diam dan membuang muka.
“Hahaha… ngambek karena nanggung nih…” Ardan masih tengil. Aku beranjak tapi tangan Sae menahanku.
“Alam ya indah alam… maafkan hamba yang gagal memberi tontonan pada derasmu.. biarlah kulanjutkan nanti malam.” Ardan tak acuh sambil membuka bajunya yang basah dan memerasnya. Setelah itu ia memakainya kembali.
“Anjriiit.” Aku hanya bisa memaki.
"Sori lila euy (maaf lama)… tadi ngarit dulu di lebak.” Ardan berujar.
“Halaaah.. alasan palingan molor (tidur) di saung abah Umar.” Aku masih kesal.
“Ar, bikin api donk biar bisa siduru (menghangatkan badan).” Sae mencairkan suasana.
“Lah bukannya bikin dari tadi, malah bikin kehangatan yang lain.” Ardan masih tengil sambil mengambil beberapa kayu bakar dan bambu kering dari kolong bale-bale lalu menatanya di atas perapian yang sedikit basah karena cipratan hujan. Kemudian ia ngambil baralak (daun kelapa kering) dan mulai menyalakan api. Asap pun mengepul membuat kami sedikit sesak.
Kami ngobrol ringan disertai dengan sikap Ardan yang masih tak habisnya meledek. Aku dan Sae sudah tidak peduli. Tak lama kemudian Ega dan Jaka muncul. Badan mereka juga basah meski berpayungkan daun pisang.
“Hallo kambing-monyet… kami datang.” Seru Jaka. Matanya mengamati aku dan Sae yang tidak basah.
"Ti beurang keneh nya (sudah sejak dari siang ya)?” Jaka menyelidik.
Aku hanya menaikkan alis mataku, sementara Sae cuma nyengir memamerkan barisan giginya yang putih.
“Gak tau udah berada ronde tuh.” Ardan masih kumat.
“Serius, njing?” Ega gak mau kalah.
Gelak tawa pun tak terhindar dari mereka. Sementara aku cuma diam kesal.
“Iiiih…” Sae memekik sambil menyembunyikan wajahnya di pundakku. Dasar si Jaka kampret. Tidak seperti Ega, Jaka bukan hanya membuka baju, tapi juga memelorotkan celana panjang kumalnya; hanya menyisakan celana dalam. Setelah memerasnya ia memakainya kembali. Kupeluk kepala Sae agar tidak melirik. Aku sudah tak merasa canggung lagi untuk menunjukkan kemesraan di hadapan para sahabatku.
“Pameeer”. Seru mereka. Aku cuma tertawa dan Sae mengangkat wajahnya kembali lalu bersandar di dadaku. Tampaknya dia pun sudah tak canggung.
Ardan duduk di atas batu depan perapian. Sementara Ega dan Jaka duduk berseberangan di bibir bale-bale sambil mengisap rokok. Sejenak kami saling diam dengan isi pikiran masing-masing. Sae menoel lenganku. Kutatap sejenak dan ia mengangguk.
“Sebelum keburu gelap kita mulai saja. Kumaha perkembangannya euy?” Aku memecah kebisuan.
"Maneh heula lah (kamu dulu)”. Singkat Ega.
Aku dan Jaka pun menceritakan pertemuan dengan Haji Sosmed di desa.
“Misi berhasil.” Aku mengakhiri.
“Kalau Ega dan Ardan gimana?” Kali ini Sae yang bersuara.
Ega menarik nafas, lalu mulai menceritakan pertemuannya dengan pak RT. Ardan tampak enggan untuk ikut campur tapi aku yakin dia tetap menyimak.
0 Komentar