Sang pewaris part 76


Bab 76



Kudekap tubuhnya erat, mataku terasa panas. Aku sungguh tidak menyangka bahwa ia ada di sini. Aku belum tahu bagaimana prosesnya ia bisa datang ke Anta. Tetapi aku yakin, ia datang atas kesediaan dan kerelaannya.


“Ka? Kenapa?” bibirku bergetar.

“Reiii.. hiks.. kenapa perjuanganmu berat amat sih? Hhiiks…” isaknya dalam dekapanku. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.


Ya. Gadis dalam dekapanku adalah Inka. Seorang gadis yang kutahu menyayangiku, tetapi sekaligus tak memaksakan diri untuk memiliki.


“Gak begini caranya, Ka.” ujarku dengan bibir bergetar.


Aku berusaha mendorong bahunya agar aku bisa menatapnya, tetapi Inka malah semakin membenamkan wajahnya dan mendekapku semakin erat. Sebuah pelukan yang menggetarkan. Ada ungkapan rasa yang ia buncahkan; ada cinta tulus yang tak terucap sekaligus kerelaan untuk melakukan apapun demi orang yang ia kasihi.


Akhirnya aku kembali membalas dekapan Inka sambil berusaha tegar tanpa menjentikan air mata. Kubiarkan ia menghabiskan tangisannya sambil secara spontan mengecupi rambutnya yang sedikit dicat pirang.


Setelah beberapa menit, Inka pun melonggarkan pelukan. Wajahnya mendongak. Basah. Kuusap lembut. Bahkan aku tidak tahu apakah aku melakukannya sambil tersenyum atau tidak. Perjumpaan ini terlalu mengejutkan dan mengaburkan perasaan yang sedang bergejolak.


Satu yang kutahu, Inka tersenyum di balik wajahnya yang masih basah. Ada guratan bahagia, ada keikhlasan tanpa syarat. Ada cinta besar yang selama ini aku abaikan. Tiba-tiba aku merinding. Cinta seakan membuat kewarasan turun derajat; luntur oleh gejolak perasaan yang tak pernah bisa disangkal.


Cintaku pada Rere membuatku menutup mata pada cinta luar biasa gadis yang masih berada dalam pelukanku ini. Cinta Rere padaku membuat ia mengambil keputusan bodoh dengan meninggalkanku dan datang ke Anta terlebih dahulu. Dan sekarang.. cinta Inka yang selama ini ia pendam, membuatnya rela berkorban dan siap memberikan darah perawan sebagai tumbal.


Aku membelai wajahnya dengan jemari bergetar, sedangkan Inka malah memejamkan mata seolah meresapi. Tangannya mengusapi punggungku.


“Rei..” lirih Inka, matanya sedikit terbuka.


Aku memang hanya membelainya untuk sekedar mengeringkan sisa air matanya, sekaligus mengulur waktu untuk menenangkan gemuruh perasaanku sendiri. Sementara Inka, ia seolah meminta lebih. Bukan hanya sekedar ini.


Aku merunduk. Kukecup keningnya, dan Inka kembali memejamkan mata. Bibirku menempel lama, mataku ikut terpejam. Entah kenapa.. perasaan ini berdesir kuat. Aku seakan sedang mencurahkan rasa sayangku sendiri yang selama ini bersembunyi, terbiaskan oleh kehadiran gadis lain.


“Reeeeiii…!” Inka merajuk sambil menggeliat kecil.


Aku tidak mau larut dalam ombang-ambing perasaan. Kulepaskan kecupan sambil mengacak-acak rambutnya. Aku dan Inka sama-sama tertawa kecil. Sebuah tawa getir yang entah karena apa.


Aku mengajak Inka keluar kamar dan duduk di serambi bagian-dalam puri; di tepi kolam. Kupanggil Sri Kencana melalui suara batin. Ia pun datang dan menyuguhkan secangkir teh untuk Inka; untukku ia menyajikan kopi.


Kuabaikan pesan Sri Kencana agar aku dan Inka segera melakukan persetubuhan sebelum pagi menjelang. Masih banyak cerita yang harus kudengar. Sri Kencana pun tidak memaksa. Ia mengulaskan senyum indah sambil pamit meninggalkan kami. Inka tidak tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi perih karena rasa cemburu.


Inka menyeruput tehnya lalu mengedarkan pandangan mengamati suasana puri. Kedua tangannya masih menggengam cangkir seolah sedang menghangatkan diri.


“Indah.” gumamnya.

“Ka, ayo cerita.” aku tak menanggapi kekagumannya.


Kedua bola mata indahnya menatapku, senyumnya terulas. Kami saling pandang. Dia sendiri yang tak tahan, ia menyeruput kembali tehnya sambil menunduk, kali ini ia langsung meletakan cangkir.


Inka malah bercerita tentang keluarga di Bandung. Bukan hanya keluargaku yang sangat mengkhawatirkanku, melainkan juga seluruh keluarga besar Sawer. Ia juga menuturkan bahwa setiap malam jumat orangtuaku datang ke Leuweung Girang di Sawer bersama para wanita ritual ayah di zaman dulu. Sepertinya mereka menghimpun kekuatan dari dunia manusia untuk membentengiku dari marabahaya dan bahkan maut.


Aku mendesah resah mendengarnya. Aku tidak sedang menyepelekan usaha mereka, tetapi kekuatan yang mereka himpun saja tidak akan cukup untuk membantuku. Kami sedang berada di alam yang berbeda. Meski begitu, apa yang mereka lakukan membuat motivasiku berlipat agar misi ini tidak gagal. Aku harus membalas cinta mereka dengan pulang sebagai pemenang sekaligus mengembalikan orang tersayang.


“Lalu bagaimana perusahaan kita?” tanyaku di akhir semua cerita Inka.

“Reii..!!” mimik wajahnya berubah sewot. “Malah mikirin perusahaan?! Kamu gak percaya pada kami?! Urusan kita di sini jauh lebih penting!!”

“Hehe.. maaf…” aku gelagapan dan langsung kusulut lintingan tembakau.

“Hmm.. lalu gimana ceritanya sampai kamu bisa datang ke Anta?” aku mengalihkan pertanyaan setelah menghembuskan asap tembakau.

“Awalnya kupikir hanya mimpi sih tapi…” jawabnya.


Inka pun bercerita panjang lebar. Tapi intinya ia didatangi Sawaka dan makhluk itu menceritakan perjalanan misiku di Anta. Ketika Sawaka menyampaikan maksud kedatangannya, tanpa banyak pikir Inka menyanggupi dan menyediakan diri secara sukarela untuk kuperawani.


“Ka..” hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku kehabisan kata-kata.

“Kamu jangan merasa bersalah, Rei. Aku ikhlas.” Inka seakan tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku.

“Tapi kenapa, Ka? Kenapa kamu mau berkorban untukku?” aku merasa frustasi.

“Asal kamu tahu, Rei, kalau aku mau, aku bisa menolak tawaran Sawaka. Ia bilang bahwa ia tidak memaksa dan ia akan mencari gadis lain jika aku tidak bersedia..” jawabnya.

“Kalau aku menolak resikonya sangat besar, Rei. Bagaimana kalau Sawaka menemui Kak Kekey dan ia mau? Bagaimana kalau Nzi? Rana? Aku yakin, demi kamu, mereka akan melawan akal sehat dan menyanggupi permintaan Sawaka. Kamu mau seperti itu?”

“…” Inka benar.

“Dan yang lebih penting dari itu, Rei, dalam diriku mengalir darah Sawer. Papah dan mamahku asli keturunan Sawer. Lebih daripada itu, semasa hidupnya Senja sudah memperlakukan papah seperti anaknya sendiri, bukan?” Inka masih terus berbicara.


Dia pun menuturkan bahwa dengan kesanggupannya, ia berharap dua kekuatan alam bisa disatukan, yaitu Sawer dan Ewer.


Aku tidak menyangkal penuturan Inka, tetapi aku menangkap bahwa ia tidak berbicara terbuka. Ada hal lain yang ia sembunyikan dan sepertinya tidak mau ia sampaikan, yaitu rasa cintanya padaku.


“Tapi resikonya sangat besar, Ka. Ini menyangkut kehormatanmu…” sambil menghembuskan asap tembakau.

“Kehormatan katamu? Jadi aku bukan perempuan terhormat jika aku kehilangan keperawanan di luar nikah? Jika aku kehilangan keperawanan karena kamu?” ia menatapku tajam.

“Eh.. euu.. bukan itu maksudku. Tapi…”

“Kamu dengar, Rei..” Inka menukas. “Kehormatan Sawer dan Ewer jauh lebih penting dari itu! Aku justru merasa terhormat jika aku bisa ikut andil dalam misimu mengalahkan Raja Anta; jika bisa ikut andil dalam mempertahankan kehormatan dan kesejahteraan warga Sawer dan Ewer.”

“Tapi…”

“Papah dan mamah memahami pilihanku, dan mereka setuju. Sekarang aku berada di sini, itulah yang kupilih. Inilah keputusanku.” potong Inka seakan paham akan kekhawatiranku yang lain.


Aku menghela nafas sambil menatap Inka. Percuma aku bernegosiasi atau berdebat. Aku tidak akan bisa membuat Inka berubah pikiran. Ia tidak akan mau pulang tanpa melakukan apa yang seharusnya kami lakukan.


“Kamu bohong, Ka? Kamu tidak jujur semuanya.” ujarku. Rasa haru atas pengorbanan cinta Inka padaku membuat aku semakin penasaran dan ingin mendengarnya secara langsung.

“Hah? Apa maksudmu, Rei?” Inka nampak kaget dan kecewa.

“Aku tidak meragukan ucapanmu dan aku percaya pada alasanmu untuk datang ke Anta. Tetapi sebenarnya ada alasan lain, kan? Kamu bukan hanya mau berkorban untuk Sawer dan Ewer, tetapi ada alasan lain.”

“Nggak kok!”

“Kamu yakin? Kamu mau melakukannya karena kamu sayang aku, kan?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

“Eh.. euuu.. iiya.. ya iyalah.. kalau aku tidak sayang kamu buat apa aku mau menyanggupi permintaan Sawaka. Kami semua sayang kamu, Rei. Bukan hanya papah dan mamahmu, atau kakak dan adikmu. Kami dari keluarga Sawer, termasuk aku, sayang kamu juga.” Inka yang pada awalnya gelagapan langsung bisa menguasai keadaan.

“Gadis bodoh.” gumamku.


Aku pun berdiri dan pindah duduk ke sampingnya. Inka nampak gugup.


“Jadi kamu gak sayang aku?” tanyaku sambil menatap lekat.

“Eh.. maksud kamu apa sih? Aku kan sudah.. sudah bilang…”

“Jadi?”

“Reiiii!!!”


Inka sebetulnya tahu apa yang kumaksud, dan sepertinya ia merasa gagal menyembunyikan. Maka satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah memukuli dadaku.


Langsung kutarik bahunya dan kudekap tubuhnya sampai akhirnya pukulan-pukulannya melemah. Kuangkat dagunya agar ia menatapku, kulihat kedua bola matanya sudah berair.


“Kamu membuatku bingung, Ka.” ujarku.


Usai berkata begitu aku langsung merunduk dan mengecup bibir Inka. Aku ingin tahu apakah sejujurnya aku juga memiliki rasa yang sama; rasa seperti yang ia miliki.


Inka nampak terkejut atas ciumanku yang tiba-tiba. Namun itu hanya beberapa detik. Tak lama kemudian ia menangkup kedua pipiku dan membalas kecupan. Aku dan Inka saling melumat dengan nafas hangat. Larut.. hanyut… nikmat… untuk sesaat aku melupa. Adaku hanyalah untuk dia.


“Kamu nyebelin.” rengek manjanya di akhir cumbuan.


Kini aku tidak perlu mencari kepastian lagi, caranya membalas cumbuanku sudah menunjukan perasaan terdalam yang ia miliki.


Aku berdiri dan menarik tangannya untuk pindah tempat. Aku duduk selonjoran di atas bangku panjang dan lebar yang menghadap ke kolam. Setengah berbaring. Inka melakukan hal yang sama dengan menyenderkan punggungnya pada dadaku. Kupeluk pinggangnya, dan ia sedikit memiringkan wajah. Kami saling berciuman kembali. Kali ini lembut dan singkat.


Sambil melihat bulan sepasi dan sedikit bintang di langit, kuceritakan perjalananku selama berada di dunia antah berantah ini. Inka hanya menyahut sekali-kali tanpa banyak kata. Sekali-kali tangannya meremas punggung tanganku yang sedang memeluknya.


Aku dan Inka sedikit canggung ketika berbicara tentang Rere. Kusampaikan bahwa aku belum menemukannya. Namun bukan itu yang membuat kami canggung, melainkan kemesraan yang sedang kami lakukan. Biar bagaimana pun kami sedang ‘berselingkuh’ dan mengkhianati pengorbanan cinta gadis itu.


Aku pun berhenti bercerita dan saling diam cukup lama. Saling kehilangan kata. Anehnya, saat ini aku merasa lebih damai. Ada letupan-letupan perasaan yang sama seperti ketika aku sedang bersama Rere. Tetapi perasaan yang ada sekarang bukanlah untuk gadis itu, melainkan untuk Inka yang kini sedang berada dalam pelukanku.


Tentu saja aku tidak kehilangan tekad untuk mencari Rere dan membawanya pulang. Tetapi kenapa kadar rindu ini berkurang, dan sekarang, rasa sayangku justru tercurah pada gadis yang sejak kecil kami tumbuh bersama.


Untuk mengurai kekakuan, kukecupi kepala Inka. Ia pun mendongak dan menatapku. Kubalas.. sorotnya berubah sayu. Cinta mengalahkan logika.


Aku merunduk, bibirnya terbuka. Nafas hangat kami beradu.


“Rei..” lebih berupa desisan dan lenguhan.


Kujawab dengan kecupan. Untuk pertama kalinya, cumbuan kali ini disertai lilitan lidah. Ciuman kami basah.


Tubuh Inka terasa gelisah, dan ia pun membalikan badan menindihku. Kedua payudara ranumnya menekan-nekan dadaku. Sementara cumbuan kami semakin dalam dan basah. Bukan hanya mulut yang saling beradu, tanganku sudah menjalar saling menjelajah. Kuremas bongkahan pinggulnya sambil menekan-nekan sehingga kemaluan kami beradu.


“Aku sayang kamu, Rei.” Inka sudah tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang bertahun-tahun ia pendam.

“Aku juga sayang kamu.” balasku dilanjutkan dengan ciuman susulan yang semakin panas.


Entah.. aku tidak paham mengapa mengucapkan kata sakral seperti itu. Tapi aku merasa lega telah jujur, sepertinya rasa ini juga kumiliki. Namun selama ini tertutup oleh ego karena wacana perjodohan masa lalu yang coba kusangkal, dan kini membuncah tanpa bisa membohongi diri.


Aku melupa. Birahi memang mulai menyelimuti, namun di balik itu semua, ada luapan rasa sayang yang sama dari kami berdua. Ada keinginan untuk saling mencurahkan dan menerima, tanpa paksaan; bukan karena agenda besar untuk melumpuhkan Raja Anta. Yang kami lakukan adalah karena adanya rasa cinta yang sama.


Gerah oleh gairah, kudorong Inka hingga berdiri. Lalu kami saling mendekap sambil melanjutkan cumbuan. Bibir kami seakan enggan menjauh, tak rela lepas berpagut.


Inka sedikit melenguh sambil sigap membelitkan kedua tangannya melingkari tengkukku. Kini aku sudah membopongnya menuju kamar.


Kubaringkan di atas kasur. Nafas kami sama-sama tersengal.


“Mmmmh…”


Aku dan Inka langsung saling melumat, dengan permukaan lidah saling menyapu. Batas kecanggungan sudah hilang, selebihnya adalah keinginan untuk saling memberikan kepuasan.


Cumbuan kami langsung panas; tubuhnya pun mulai gelisah.


“Mmmmh… Sssshhh…” Inka mulai melenguh-lenguh ketika tanganku mulai beraksi mengusapi paha luarnya. Sekali-kali berganti meremas pinggulnya yang kenyal dan berisi.

“Rei..” desahnya sambil melepas cumbuan untuk menghirup nafas.


Aku tersenyum sambil menatapnya. Tak mau menunda, aku kembali menciuminya, kali ini pada kening, mata, dan pelipisnya. Inka menggelinjang sambil meremas bahuku.


Kami berdua sama-sama larut dalam kemesraan yang penuh gairah. Melupakan sejenak pada status yang ada. Bahkan kami melakukan ini bukan lagi demi misi menghancurkan Raja Anta, melainkan semata-mata demi mencurahkan gejolak perasaan yang ada.


Tubuh Inka melenting ketika aku mencumbu leher dan belahan atas payudaranya, sementara tangan kiriku sudah menangkup payudaranya sambil meremas-remas gemas. Nafasnya menderu, pun pula aku.


Sementara itu, Inka sudah berhasil melepas ikatan baju silatku. Kubantu untuk meloloskan bajuku hingga aku bertelanjang dada. Inka bagai tersengat aroma tubuhku, usapan-usapan dan remasannya semakin kerap.


Aku sendiri langsung melepas jaket jeans Inka. Kulempar ke atas lantai. Dengan terburu, kuangkat pula kaos ketatnya. Pandanganku langsung nanar, jakunku turun naik. Kulit perutnya terpajang. Putih dan mulus.


Aku semakin tercekat ketika menatap payudaranya yang tersangga beha putih. Inka mengangkat kedua tangannya untuk mempermudah aku menelanjangi bagian atas tubuhnya. Ketiak putihnya menambah aura seksi.


Kulempar kaosnya sembarangan. Birahiku kian terbakar ketika Inka sudah setengah telanjang. Dengan tangan gemetar kubuka kancing celana jeans ketatnya. Langsung kupelorotkan; Inka membantu dengan mengangkat pinggul.


Aku menggelosor hingga turun dari atas ranjang untuk memudahkan melucuti penutup bagian bawah gadisku. Sebenarnya yang kutarik hanya celana jeansnya, tetapi karena modelnya yang ketat, celana dalamnya ikut melorot. Aku terbelalak ketika melihat gundukan hitam bulu persuwirannya, namun Inka sigap menangkupkan tangannya seolah malu. Kepalang tanggung, kutarik juga celana dalamnya sekaligus dengan celana panjang.


“Wow!” tanpa sadar aku bergumam.


Terpesona oleh keindahan gadis yang selama ini kuabaikan cintanya. Tubuh Inka sangatlah indah. Putih dan mulus tanpa cela.


Tahu sedang kukagumi, kedua pipi Inka nampak merona. Tangan kirinya masih tetap menutupi pangkal pahanya, sedangkan tangan kanan menyilang menutupi payudaranya yang ranum membusung. Terlihat turun naik terdorong oleh deru nafasnya.


Ingin rasanya aku menggabruk dan langsung menggumuli Inka. Tetapi urung kulakukan. Aku berdiri di tepi ranjang tanpa mengalihkan pandangan pada tubuh indahnya. Mataku sangat dimanjakan oleh pemandangan seksi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sementara tanganku bergerak melucuti celanaku.


Inka seperti menahan nafas sambil menggigit bibir. Sorot matanya berbinar.


Setelah aku melolosi penutup tubuhku dan hanya menyisakan celana dalam, aku merangkak ke atas kasur. Sorot mata kami lekat beradu; saling berbinar memancarkan hasrat erotis.


Inka tidak sabar; malunya luntur oleh hasrat gairah. Kedua tangannya terentang menyambutku ke dalam pelukannya, namun pahanya semakin ia rapatkan agar pusat kemaluannya tetap tersembunyi.


“Ka…” suaraku serak.


Kujatuhkan tubuhku di atas tubuh seksinya. Inka menyambutku ke dalam dekapannya. Kami sama-sama menggelinjang ketika kulit kami bersentuhan. Sama-sama melenguh tersengat birahi yang kian tinggi.


Nafas kami menderu. Bibir kami saling menyambut, mencumbu. Permukaan lidah saling menyapu. Mencecap.. menghisap..


“Mmmmh…” lenguhan Inka tertahan ketika tanganku mengangkat behanya dan langsung meremas payudaranya. Kenyal kurasa. Putingnya juga terasa sangat tegang.


Cumbuannya terhenti beberapa detik. Namun panas kembali ketika remasanku makin kuat.


Tubuh kami bergerak tidak karuan hingga tanpa sadar kemaluan kami sudah saling menekan dan hanya terhalang celana dalamku. Pusat penyatuan masih pada mulut. Saling pagut tanpa lepas.


Remasan tangan Inka semakin turun. Kedua telapak tangannya yang halus menyusup ke dalam celana dalamku. Meremas dan menekan-nekan. Aku menggelinjang. Gadisku membuatku limbung dan gandrung.


“Hash…”


Cumbuan kami terlepas karena semakin pendeknya nafas. Kening kami saling menempel dengan mata saling tatap sayu.


Aku melorot. Kukecup ujung dagunya, lantas turun mengecupi lehernya. Sekali-kali lidahku terjulur menyapu. Inka meronta geli, tetapi tidak bisa mengelak karena tindihan tubuhku.


Setiap inchi kulit tubuhnya kujelajahi. Sekali-kali kuhembuskan nafas hangat sehingga pori-porinya meremang geli. Ciumanku semakin turun dan wajahku sudah terbenam di antara belahan payudaranya. Inka yang sudah terbakar birahi mengangkat dadanya sambil memutar beha. Ia membuka kaitannya dan….


Aku tercekat sesaat. Payudara Inka sudah benar-benar terpajang. Putih dengan sedikit urat kebiruan. Sangat seksi. Sekal dan besar, melancip pada pucuknya, putingnya mungil kecoklatan.


Kutatap Inka sebentar, lantas fokus kembali pada dua gundukan indahnya.


“Aaaahhh.. Reiii…!!” Inka memekik ketika aku merunduk cepat dan mengecup salah satu putingnya.


Tubuhnya bergetar hebat tangannya menjambak rambutku.


Aku benar-benar mabuk kepayang oleh keindahan tubuh Inka. Mulutku mencumbu, tanganku meremas. Bibirku menghisap, tanganku menjepit-jepit putingnya. Kamar pun mulai gaduh oleh desahan-desahan yang tak bisa lagi Inka tahan.


Kurasakan kedua paha Inka terbuka lantas menekuk kedua lututnya hingga telapak kaki menjejak kasur. Perutku terasa geli tergesek bulu kemaluannya.


Dan.. Inka rupanya punya cara untuk menelanjangiku yang tak hentinya masih mencumbui payudaranya. Ibu jari kakinya mendorong celana dalamku hingga makin turun. Ruang gerakku menjadi tidak bebas karena celana dalam yang membelit betis. Aku pun bangkit untuk melepaskannya sendiri.


Inka mengambil kesempatan dengan setengah bangkit.


“Sssh… Kaaa…” aku mendesis.


Inka sudah berhasil menggenggam kang pepen dan mengocoknya. Telapak tangan halusnya membuatnkang pepen mendongak-dongak. Keras membengkak..


Tak mau kalah, kuremas kembali payudaranya.


“Sssh.. mmmh…” Inka kelabakan sendiri, tubuhnya terhempas kembali ke atas kasur. Aku meringis karena genggamannya pada kang pepen semakin keras.




BERSAMBUNG

Posting Komentar

0 Komentar