KETIKA SENJA PART 3

 

SINGKONG RASA CINTA


“Kampret, kemana aja maneh semalam?”


“Ditungguin malah gak nongol. Kirain udah raib dimakan setan hutan garong.”




Jaka memberodongku yang sedang duduk di depan tungku sambil menyeruput kopi. Bapak-ibuku tentu saja sudah berangkat ke sawah sejak pagi tadi.




Aku cuma nyengir.




“Si kampret, ditanya malah nyengir.”


“Cape Ka. Kemaren kehujanan jadi badanku sedikit menggigil.” Aku beralibi.


“Halah sia… Biasanya juga kehujanan gak kenapa-napa. Ya sudah aku ke kebun dulu, jangan lupa nanti malam kita ngumpul.” Jaka mengeratkan tali golok di pinggangnya dan beranjak pergi dari rumahku. “Siap cuy,” teriakku.




Aku pun beranjak meraih golok yang menggantung di tembok, kuikatkan di pinggangku. Kuraih gulungan tali yang terbuat dari bambu dan kulilitkan di kepalaku. cus ah..aku pergi ke kebun. Tanah masih becek sisa hujan kemarin. Kususuri jalan yang sama yang kulewati semalam. Hari ini aku mau kebun kopi seraya mengambil kayu bakar sesuai perintah bapakku.




Setelah melewati deretan kandang kambing, aku sampai di depan rumah bu Rohmah. Tampak ia sedang menjemur pakaian. “Mau ke kebun, Ja?” Dia menyapaku duluan dengan senyumnya yang sangat indah menurutku.




“Iya bu. Mau ke kebun kopi. Ibu gak ke sawah?”


“Nanti aja agak siangan, lagian kan sawah ibu sudah selesai ditandur"




Kudekati dirinya dan kucolek pipinya yang langsung memerah.




“Hush.. nanti ada yang lihat.” Protesnya seraya menepis tanganku. Aku pun hanya cengengesan.


“Kamu mesum ya sekarang,” lirihnya.




Aku cuma memonyongkan bibirku. Dia mengerti dan kemudian celingukan. Cup! Ya dia mengecup bibirku dengan cepat. “Dah sanah,” ucapnya sambil tersipu. Ah.. wanita kepala empat ini bersikap seperti anak ABG yang menggemaskan.




“Ya sudah.. aku ke kebun dulu ya istriku.” Ucapku nakal.


“Hati-hati.” Jawabnya singkat.




Aku beranjak pergi. Baru beberapa langkah, ia memanggilku.




“Ja.”


“Iya?”


“Nanti malam?”




Aku pun tertawa sambil mengacungkan kedua jempolku. Ah indahnya hari ini.








Telegram : @cerita_dewasaa








Aku mengendap-endap sambil mendekati sosok itu. Ia tampak asik memetik daun singkong di kebunnya. Rambutnya bergelombang diterpa angin, bibirnya bersenandung mawar bodas, karangan Yayan Jatnika. Aku pun mendekatinya dengan sangat perlahan. 




Puk. Kutepuk bahunya dengan cukup keras. “Aaaaaw…” Dia menjerit dan melompat, daung singkong di tangannya berhamburan.




“Senjaaaaaa!!!! Kamu tuh ya!!!!” Mukanya pucat dan dadanya turun naik karena tersengal.




Buuuuuk!! Sebuah tonjokkan mendarat di perutku dengan sukses. Aku terhuyung dibuatnya. Dia sudah melayangkan tangannya mau menonjokku untuk yang kedua kalinya, namun kali ini aku sukses menangkapnya.




“Ampun Sa… ampun…”


“Aaarrgh lepasin gak? Kamu tuh bisanya cuma bikin kaget aja.” Aku pun melepaskan tangannya dan hanya cengengesan melihat wajahnya yang merengut kesal.




Kedua tangganya dilipatkan di depan dadanya. Matanya masih mendelik kesal.




“Ambilin!!” Perintahnya sambil menunjuk daun singkong yang berserakkan.


“Gak mau!!”


“Ambilin gak? Ini semua kan gara-gara kamu!”


“Aku kan cuma mau me..”


“Ambil!!” Pekiknya.




Dengan lesu kukumpulkan daun-daun singkong itu. Dia masih berdiri dengan judesnya.




“Nih Sa.”


“Pegangin dulu.”




Dengan acuh ia meninggalkanku dan melanjutkan pekerjaannya memetik daun singkong.




“Buat apa toh, kok banyak banget?”


“Mau bikin urab.” Ketusnya.


“Asik.. boleh donk saya makan malam di rumahmu?”


“Bodo!!!”




Uuuh… masih marah dia.




“Kamu gak jaga warung, Sa?” Aku berbasa-basi.


“Kan ada ibu. Lagian bosen di rumah melulu.”




Asik.. udah mulai cair dia.




“Kamu mau ke mana?” Tanyanya.


“Mau ke kebun kopi sekalian cari kayu bakar.”


“Aku ikut yah.”


“Lah.. ngapain ikut. Kan kamu katanya mau bikin urab.”


“Kan ini buat makan malam. Masih lama juga kali.”


“Ya udah hayu.”




Kami pun membereskan daung singkong muda yang telah ia petik, dan mengikatnya menjadi satu. “Ditunda di sini aja ya, nanti pulang baru diambil.” Usulku. “Iya.” Jawabnya singkat. Aku memangkas daun pisang untuk menutupinya dari sengat matahari.




Setelah itu kami pun menyusuri jalan setapak menuju ke kebunku. Kuperhatikan tubuh di hadapanku itu. Tingginya hampir sama denganku, rambutnya tergerai hitam dan tebal. Pinggulnya lebar menggiurkan. Kaki jenjangnya hanya ditutupi celana pendek selutut. Ya. Ia adalah sae, sahabatku sekaligus gadis idaman yang selalu membuatku bahagia ketika bersamanya.




Sepanjang jalan, kami ngobrol ringan seputar kenangan di sekolah dan aktivitas setelah lulus. Sekali-kali kami bercanda dan cekikikan. Setelah melewati jalan setapak yang becek (tentu saja kami nyeker, alias tidak memakai alas kaki), kami menaiki bukit yang kiri kanannya berjejer pohon kopi yang menghijau.




“Kita ke saung dulu ya.” Usulku.


“Iya.. lagian capek juga.”




Kami pun menuju saung yang berada di puncak perkebunan kopi ayahku. Saung ini hanya bertiangkan batang pohon mahoni; tanpa dinding. Atapnya terbuat dari daun ilalang yang dientep. Setengah bagian dalam saung dibuat bale-bale setinggi lutut yang berbuat dari bambu. Dan setengahnya lagi, bagian bawah atau di atas tanah, ada tempat perapian yang biasa dipakai untuk sekedar menghangatkan badan ketika berteduh karena hujan. Kami masuk ke dalam saung dan aku langsung merebahkan diri di atas bale-bale dengan kaki menjuntai, sementara Sae hanya duduk menikmati pemandangan yang menghampar.




“Sa…”


“Hmmm…”


“apa kamu mau tetap di kampung dan tidak ada rencana merantau ke kota?”


“Gak tahu Ja. Pengennya sih cari pengalaman ke kota. Tapi belum tau.. aku masih bingung. Kalau kamu?”


“Aku sih terserah kamu.”


“Maksudnya?” Ia menoleh ke arahku dan menatapku lekat.




Dada ini terasa berdesir menerima sorotan matanya yang bening.




Aku cuma nyengir tanpa mengacuhkan pertanyaannya.




“Kamu tuh ya…” Dengusnya kesal seraya mengalihkan pandangannya.




Setelah lama saling diam. Aku pun bangkit dari bale-bale.




“Aku mau cari kayu bakar dulu. Kamu mau pulang atau menunggu?” Tanyaku.


“Nunggu aja. Lagian di rumah juga bosen.” Jawabnya.


“Ya sudah tunggu ya. Gak lama kok.”


“Iya.” “Sinih korekmu.” Lanjutnya.


“Untuk apa?” 


"Udah sini.. jadi lalakikok bawel.”




Aku cuma bisa garuk-garuk kepala sambil merogoh korek dari saku celanaku dan menyerahkannya. Aku bergegas menerobos hutan kecil di atas saung. Hatiku tiba-tiba merasa bimbang. Aku mencintai Sae, tapi aku merasa belum punya keberanian untuk menembaknya. Apalagi setelah kejadi semalam dengan bu Rohmah, aku merasa tidak pantas untuk Sae. Tiba-tiba hatiku merasa sedih tanpa alasan. Di kemudian hari aku menjadi tahu kalau anak kota menyebut situasi perasaan seperti ini dengan sebutan mellow




Ah.. daripada ngelamun mendingan mencari kayu bakar. Kulihat ada pohon mahoni yang beberapa dahannya kering. Dengan gesit aku memanjat dan memotong dahan-dahan kering tersebut hingga berjatuhan. Setelah selesai aku turun dan segera memotong-motong serta menumpuknya. Kutebang juga pohon pete cina yang sudah mati. Lumayan aktivitasku ini bisa mengalihkan diri sejenak dari segala pikiranku yang berkecamuk. Aku bekerja dengan cepat mengingat Sae menungguku di saung. Setelah merasa cukup, aku kumpulkan semua kayu itu dan kuikat dengan tali bambu yang tadi kubawa dari rumah dan melilit di kepalaku.




Aku memikulnya dan turun menuju saung. Tampak ada asap mengepul dari dalamnya. Setibanya di saung kuturunkan kayu bakar dari pundakku dan mengusap keringat dengan ujung lengan baju.




Aku masuk ke dalam saung, dan nampak Sae sedang menyiapkan bakar singkong di atas daun pisang yang diletakkan di atas bale-bale. “Maaf kelamaan ya.” Kataku. Tak perlu aku bertanya dari mana Sae mendapatkan singkong tersebut. Pasti ia mencabutnya dari kebun pinggir saung dan membakarnya. “Nggak kok.” Jawabnya sambil tersenyum manis.




Setelah mengerik bagian singkong yang hangus, Sae membelah singkong-singkong tersebut sehingga mengepulkan asap putih dari dalam dagingnya yang tampak lezat. Aku pun meraih botol aqua kosong yang menggantung di tiang saung dan beranjak pergi.




“Mau ke mana lagi?” Tanyanya.


“Aku cari air minum dulu, biar nanti gak seret.” Jawabku tanpa menoleh.




Aku berjalan menuju rumpun pisang yang tidak jauh dari saung. Kupangkas sebuah ranting dan meruncingkan bagian ujungnya. Kutancapkan ke dalam pohon pisang yang paling besar sehingga mengalirkan air. Dengan segera kutampung dengan botol aqua. Kulakukan beberapa kali sehingga botol menjadi penuh.




Setibanya di saung tampak Sae sedang duduk menungguku. Senyum manisnya menyambut kedatanganku. Aku pun membalas sambil meletakkan air minum. Kuterima singkong yang ia sodorkan dan melahapnya. Kami pun makan berdua. Sekali-kali kami saling melirik dan beberapa kali bertemu pandang. Kalau sudah begitu senyum kikuk pun mengembang dari bibir kami.




Kulihat bibirnya sedikit cemong. Aku pun tersenyum geli. Kubersihkan tanganku dengan mengusap-usapkan pada celana panjangku. Kuraih dagunya.




“Eh?” Dia kaget.




Aku diam tak berucap, sementara jari-jariku menyangga dagunya, jempol tangan kupakai untuk mengusap dan membersihkan remah-remah di ujung bibirnya. Mata kami berpandangan, pipinya sedikit memerah. Ia memegang tanganku dan menjauhkannya dari bibirnya. Kepalanya menunduk, tapi ia tidak melepaskan genggaman tangannya. Dengan berani kualihkan tanganku ke telapaknya sehingga kami bergenggaman tangan. Sae tetap menunduk tanpa menepiskan tanganku. Dengan tangan satunya kugeser singkong yang belum termakan ke arah belakang, dan aku menggeserkan dudukku lebih dekat.




“Sa..”




Ia menoleh sebentar kemudian menunduk kembali. Kulepaskan tanganku dari genggamannya dan kuraih pundak kirinya. Kutarik biar mendekat sehingga ia tersandar di bahu kiriku. Kuusap-usap lengan atasnya. Aku lakukan semuanya itu dalam diam. Tiba-tiba tangan kanannya beralih ke belakang dan memeluk pinggangku.




“Sa, kamu mengerti kan maksudnya?”


Terasa ia mengangguk.


“Lalu? Jawabannya?”




Ia mengeratkan pelukannya di pinggangku. Tak perlu kutanya lagi… tangannya adalah tanda dari jawabannya.




“Terima kasih.” Lirihku. Hatiku berbunga-bunga… rasanya aku adalah pria yang paling beruntung saat ini.


“Kenapa?” Bisiknya, nyaris tidak terdengar.


“Heh?”


“Kenapa gak dari dulu. Aku menunggu saat ini sejak lama, Ja. Sudah lama…” Tubuhnya bergetar.




Kurenggangkan pelukanku dan kuangkat dagunya. Ada tetes air mata di sana. Bening mengaliri pipinya yang putih. Sambil kuusap air matanya aku berkata, “Maaf Sa. Aku juga sudah memendam ini sejak lama, tapi entah kenapa aku selalu takut.. takut ditolak.”




Ia mendongak, menatapku tajam.




“Terus kalau aku tolak, kamu mau ngapain?”


“Bunuh diri,” jawabku sekenanya.


“Pengecut.” Sebuh cubitan ringan hinggap di lenganku. “Bukannya mengejar, malah menyerah dan bunuh diri.”


“Ya tapi kan gak perlu bunuh diri sa kamunya mau. Ternyata mudah ya untuk mendapatkanmu.”


“Iiiih apaan sih?” Ia merengut manja sambil menampar pipiku pelan. Bukan menampar sih, tapi semacam mengusap dan mendorongnya dengan agak keras.




Senyum kami mengembang. Semesta menjadi saksi kini. Dua insan menyatu dalam gejolak rasa yang selama ini kami simpan dalam-dalam. Pelukkan erat pun tak terelakan lagi. Terasa ada yang mengganjal kenyal di dadaku, namun tak ada nafsu di sana. Yang ada hanya luapan kasih sayang yang enggan terurai oleh apapun dan oleh siapapun.




Ia menggelanjut manja di dalam pelukkanku. Kuusap-usap rambutnya dengan lembut. Tak banyak kata. Yang ada hanyalah rasa yang terungkap dalam setiap sentuhan kami. Cicit burung di kejauhan adalah musik kami saat ini, dan desiran angin menjadi melodinya, berpadu dengan detak jantung yang berdebam-debam. Kini, dua anak kampung menjadi sejoli yang memadu kasih dalam keheningan semesta ini.




Lama kami berpelukkan sambil membisu. Diam kami adalah cara kami menyampaikan rasa, dan pelukkan kami adalah ungkapan kasih sayang yang jauh melampaui kata-kata manis atau janji-janji yang belum tentu bisa diuji. Tanpa janji akhirnya kami serempak merenggangkan pelukan masing-masing, saling pandang sejenak dan berbagi senyum. Aku mengambil sisa singkong yang sudah dingin. Kusodorkan ke Sae tapi ia menggeleng. Akhirnya aku makan sendiri, sementara ia mengambil air dan meminumnya. Kuhabiskan dua potong singkong yang tersisa, dan kuambil air minum yang tinggal setengah karena diminum Sae.




Kusandarkan tubuhku di tiang saung sambil menyelonjorkan kedua kakiku. Sae mendekat kepadaku sehingga aku harus melebarkan kedua kakiku, dan ia bersandar di bahuku. Kupeluk pinggangnya, dan ia menggenggam punggung tanganku. Kukecup kepalanya. Ia mendongak. Mata kami bertatapan sayu. Perlahan kuturunkan wajahku… nafas kami tiba-tiba tersengal dan dadaku berdesir. Cup… kukecup bibirnya tipis. Ia tampak lemas karenanya. Kerutan di dahinya tampak jelas. Kukecup lagi bibir tipisnya. Kali ini aku tempelkan lama dan sedikit mengulumnya. Naluri kami bangkit, akhirnya kami saling mengulum. Tidak perlu sekolah untuk bisa saling berciuman. Buktinya kami sudah bisa saling melumat dengan panas dan penuh gairah. Kujulurkan lidahku dan berusaha menerobos melewati bibirnya. Sae pun sedikit membuka bibirnya dan lidah kami bertemu. Saling menggelitik, saling membelit.




“Terima kasih bu Rohmah telah mengajariku semalam.” Batinku. Hadeuh… segera kutepiskan bayangannya. Dan kulanjutkan kembali aksiku. Ciuman kami semakin panas. Tanganku yang sejak tadi menempel di perutnya yang ramping mulai kuusap-usapkan sehingga Sae semakin melenguh. Tak mau keterusan, kukurangi tempo ciumanku, pelan dan semakin pelan. Kuturunkan tensi ciuman kami dan kulepaskan. Kedua mata Sae pun terbuka dan memandangku sayu. Aku tersenyum sambil mengelus pipinya.




“Cukup.” Bisikku. “Nanti kebablasan.”




Wajahnya tersipu sayu, lalu membenamkannya di dadaku. Kuusap-usap punggungnya.




“Pulang yuks.” Kataku.




Sae tak menjawab, tapi malah mempererat pelukannya.




“Kita harus pulang sayang. Nanti ibumu khawatir.”


“Masih betah.” Manjanya.


“Kan masih banyak waktu sayang. Kita pulang dulu, entar kalau ibumu marah aku bisa ditolak jadi menantu.”


“Iiih apaan sih.” Ia mencubit pinggangku sambil melepaskan pelukannya.




Kami pun beranjak keluar saung. Ia berjalan di depan dan aku mengekor sambil memikul kayu bakar. Indahnya hidup, kami bagaikan sepasang suami-istri yang pulang dari kebun. Meski saling diam, kami tahu bahwa hati kami sama-sama sedang mendendangkan lagu cinta, lagu yang hanya dimengerti oleh kami berdua. Tak lupa kami pun mengambil daun singkong yang tadi kami tinggalkan.




Kami berpisah di persimpangan depan rumah bu Rohmah. Aku tahu rumah itu pasti kosong karena tadi pagi ia bilang mau ke sawah. Sae berbalik dan menatap mataku. Tentu saja aku tidak bisa memeluknya karena aku sedang memanggul kayu bakar. Sae nampaknya mengerti, “Dadah.” Katanya.




“Dah Sae.”




Ia pun beranjak sambil menggendong daun singkong. Langkahnya tampak ringan dan aku memandangnya sampai ia menghilang. Aku pun melanjutkan perjalananku. “Terima kasih Sae. Aku akan selalu menyayangimu.” Batinku.

Posting Komentar

0 Komentar