BAB 4
Aku tiba di Stasion Tawang menjelang subuh. Bukan hanya aku yang turun, ternyata Ariska pun berhenti di kota ini. Aku semakin heran, namun ia tidak mau mengatakan apa-apa. Hanya basa-basi perpisahan yang ia lakukan. Jangankan mau bertukar nomor telpon, akun medsos pun tidak mau ia berikan. Pandangan bahwa aku mesum rupanya sudah melekat dalam pikirannya, sehingga ia enggan untuk kenal lebih dekat denganku, meskipun itu hanya sebatas melalui media sosial. Yasudahlah.. mungkin ini yang terbaik aku tidak kenal dekat dengannya, meskipun aku sangat menginginkannya.
Ariska pun langsung bergegas ke parkiran karena katanya sudah ada yang menjemput, sedangkan aku memutuskan untuk mencari kedai kopi. Setelah menghangatkan diri dengan segelas kopi dan Serabi Bi Radi, aku mencari grab untuk mengantarku keliling kota ini.
Setengah hari aku berada di kota ini, sekedar jalan-jalan dan napak tilas pada tempat-tempat yang pernah kusinggahi semasa kecil dulu. Tepat jam dua belas siang aku pun berangkat menuju kota kecil di pesisir selatan dengan naik bis, menurut perkiraan aku akan tiba di sana sekitar jam tiga sore.
Tidak meleset jauh, aku pun tiba jam 15.15. Aku langsung menggunajakan ojol menuju alamat yang sudah kurekam di dalam ingatan.
“Salkum.. punten… permisi… spada…” seruku di depan sebuah pagar tinggi sebuah rumah. Rumah tua peninggalan zaman belanda dengan halaman depan yang cukup luas.
“Mas.. Mas…” tukang ojek memanggilku.
“Iya, Mas?
“Ini bayar dulu ojeknya.”
“Oh iyah… Maafkan, Mas.” seraya menyodorkan uang dua puluh ribu.
Bersamaan dengan perginya tukang ojek, dari pintu rumah nampak seorang wanita paruh baya keluar. Ia mengenakan pakaian khas Jawa, berbalut kebaya dan kain, hanya rambutnya saja yang tidak disanggul, melainkan digulung dan diikat di belakang.
Aku sedikit terbengong melihat lekuk tubuhnya yang aduhai. Aku sudah mendengar kabar sebelumnya bahwa ia adalah wanita keturunan, ayahnya Jawa tulen sedangkan ibunya berasal dari negeri Tirai Bambu. Mukanya bulat dan cantik, matanya sedikit sipit, dan bibirnya tebal merah tanpa pulasan. Pinggangnya ramping dan mengembang pada pinggulnya yang lebar. Kancing kebayanya seakan mau lepas karena gelembungan besar di baliknya. Tanpa sadar aku pun menelan air liur.
Plukkk… daun jati kering jatuh di hadapannya. Aku berharap ia menunduk mengambilnya sehingga aku bisa mengintip belahan payudaranya, tapi itu tidak ia lakukan. Yasudahlah.. belum rejekiku.
“Iya, nak, mencari siapa yah?” tanyanya dengan logat Jawa yang kental. Terdengar merdu di telingaku.
“Selamat sore, Bu, saya Rakata, datang dari Bandung. Apakah benar ini rumah Ibu Ningnung?” aku mencoba sopan meski mataku mencuri pandang pada putih lehernya.
“Iya, saya sendiri. Nak Rakata siapa, yah?”
“Oh iyah.. saya keponakannya Tante Puki, dari Bandung?”
“Puki?!” ia nampak heran
“Oh.. maaf.. maaf… Tante Pupuh. Pupuh Kinanti.”
“Oalah.. Nak Kata toh. Iyah, tadi pagi Ibu Pupuh menelpon bahwa yang akan datang adalah Nak Kata, bukan Enzo. Memang Nak Enzonya kemana? Oalah… kok malah bawel ya.. mari Nak Kata masuk.”
Ia segera membukakan pintu pagar dan mempersilakanku masuk. “Cerewet juga nih ibu.” batinku.
Begitu pintu terbuka, kami langsung bersalaman, tangannya halus kurasakan. Ibu Ningnung pun mengajakku masuk rumah sambil cerewet menanyai kabar Tante Pupuh dan perjalananku. Aku hanya senyam-senyum sambil menjawab seperlunya, sedangkan mataku selalu mencuri pandang pada goyangan pinggulnya yang nampak lebar dan ketat.
Ibu Ningnung mempersilakan duduk di ruang tamu, sedangkan ia langsung bergegas ke belakang untuk membuatkan minum. Sambil duduk mataku menyapu seluruh ruangan, sebuah rumah tua yang masih sangat terawat. Semua kusen dan furniture terbuat dari kayu jati terbaik yang sudah -menurut taksiranku- berumur ratusan tahun. Nampak ada satu ruangan dengan pintu tertutup yang sepertinya adalah kamar tamu.
Tak lama kemudian, Tante Ningnung muncul sambil membawa baki berisi segelas kopi dan keripik pisang. Aku berdebar menunggu momen yang kuinginkan.
“Silakan diminimun, Nak Kata, pasti capek setelah perjalanan jauh.” ujarnya sambil berlutut untuk meletakan toples dan cangkir.
“Iya, terima kasih, bu.” jawabku pada wanita yang kutaksir berusia empat puluh tahunan ini.
Meski menjawab begitu, mataku langsung menanti momen itu, dan jantungku langsung terkesiap, ketika ia menunduk. Payudaranya seakan mau tumpah, dengan belahan putih dan mulus. Hanya beberapa detik, tapi entah berapa kali aku menelan air liur.
Tak lama kemudian ia duduk di hadapanku sambil mendekap baki, seolah membuat tameng bagi payudaranya, melindungi dari tatapan mesumku.
Ibu Ningnung sangat ramah, dan ramai, suaranya renyah. Ia seperti tidak sedang berhadapan dengan orang baru. Aku pun tidak perlu sungkan lagi, dan cepat bisa menyesuaikan diri. Sambil menikmati hidangan yang ia suguhkan, dan juga suguhan kemolekannya pada mataku, kami pun saling ngobrol ringan untuk mengakrabkan diri. Ia banyak bercerita tentang rumah ini, dan kesedihannya karena ia harus meninggalkannya.
Ya. Bu Ningnung adalah pewaris rumah ini, dan ia terpaksa melepasnya karena desakan ekonomi. Akulah, melalui Tante Puki, yang beruntung mendapatkan dan membelinya. Mendapatkan rumah ini adalah keharusan bagiku, daripada tetap berada di tangan orang lain, karena begitu bersejarah bagi keluarga besarku. Keluarga? Memang aku punya? Ah.. yasudahlah!
Setelah sekitar setengah jam bercengkerama, Bu Ningnung mengajakku berkeling rumah. Kami memasuki ruang tengah, yang adalah ruang keluarga, nampak ada tiga kamar di sini. Masuk lebih dalam lagi melewati dapur, menuju teras belakang.
Teras belakang rupanya lebih luas daripada teras depan. Ada beberapa tempat duduk dan juga tempat bekerja. Halamannya tak kalah luas, dengan dua buah pohon sawo besar yang berbuah lebat. Sekeliling halaman terdapat bangunan tanpa dinding, yang lebih mirip seperti gudang dan kurang terawat. Konon, pada zaman dulu bangunan itu adalah tempat membuat batik, dan sudah hampir tiga puluh tahun tidak dipakai lagi karena bangkrut.
“Yah beginilah…” ujar Bu Ningnung gamang. Ekepresi ramah dan gembiranya seketika hilang, berganti sedih yang aku sendiri tidak mengerti entah karena apa.
Sadar ada yang berubah, aku pun mengajak Bu Ningnung duduk di salah satu kursi kayu.
“Kalau ada apa-apa, Bu Ning tidak perlu sungkan. Ibu bisa menceritakannya kepada saya.” ujarku sambil memandangnya.
“Hiks.. hiks…”
“Bu?” aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa ketika ia mulai berlinang air mata.
“Kalau boleh, ibu minta waktu kepada Nak Kata agar ibu dan Yaning, anak ibu, bisa tetap tinggal di sini beberapa minggu depan lagi, sampai kami mendapatkan rumah baru.” ujarnya sambil mencoba menahan diri agar tidak segukan.
Aku cukup kaget mendengarnya, bukan karena ia meminta waktu untuk tetap tinggal bersamaku, melainkan karena ia belum mendapatkan rumah baru. Lalu uang pembayaranku atas rumah ini lari kemana?
“Saya sih tidak keberatan, Bu, tapi tolong jelaskan kenapa ibu berani menjual rumah ini sementara ibu belum mendapatkan tempat tinggal baru sampai sekarang?” heranku sambil melirik dada atasnya yang terkena tetesan air mata, lalu mengalir menuju lembah di antara dua gunungnya.
“Maafkan ibu, Nak Kata, jadi begini…”
Di sela isak tangisnya mengalirlah sebuah kisah tentang keluarganya. Ternyata selama ini ia hanya menempati rumah ini, sedangkan kepemilikan rumah sendiri masih menjadi sengketa di antara saudara-saudaranya. Keluarga besar akhirnya memutuskan untuk menjual rumah ini dan hasilnya di bagi rata. Karena mereka sepuluh bersaudara, maka Bu Ningnung hanya mendapat bagiannya tidak seberapa, itu pun tidak mendapat penuh karena ada satu keluarga yang mengambil haknya, dengan alasan bahwa itu adalah uang sewa karena Bu Ningnunglah yang selama ini menempati rumah ini.
Rasa sedih dan marah pun mendesak di dalam dadaku. Bisa-bisanya ada keluarga yang seperti itu. Apa bedanya dengan pengalamanku sendiri yang selama ini terbuang? Kisahnya mengingatkanku pada pencarianku selama ini, pada orangtua yang sudah menelantarkanku. Bahkan aku tidak tahu siapa kakak dan adik kandungku.
“Kalau begitu aku tidak mengijinkan ibu…” kata-kataku terhenti karena rasa sedih, marah, dan kecewa.
“Hiks.. hiks… kalau begitu beri ibu waktu beberapa hari ini.. hiks.. hiks… untuk…”
“Eh bukan itu, Bu. Maksud saya… saya tidak mengijinkan ibu meninggalkan rumah ini. Ibu boleh tinggal di rumah ini sampai kapan pun ibu mau. Lagian saya juga hanya seorang diri, dan belum tentu juga saya akan tinggal selamanya di sini. Jadi ibu tidak perlu mencari tempat tinggal baru. Tetaplah di sini!”
“Nak.. hiiiksss.. Nak Kata serius?” air matanya kian berderai.
Aku mengangguk mantap sambil menatapnya. Tanpa diduga ia langsung berdiri dan memelukku erat dengan tubuh terguncang karena tangisnya yang sudah tak tertahan lagi. Aku lupa pada ganjalan kenyal payudaranya, pada tubuh montoknya, mesumku tiba-tiba hilang sesaat. Kubalas pelukannya sambil juga menitikan air mata.
Entah berapa lama kami seperti ini, dan entah bagaimana akhirnya pelukan ini terlepas. Namun air matanya sudah mulai mengering, dan ia kembali ke tempat duduknya. Aku tidak menghitung berapa kali ia mengucapkan ‘terima kasih’ padaku.
“Berapa ibu harus membayar uang sewa tiap…”
“Bu..” aku memotongnya, “Ibu tinggal saja di sini dan ibu simpan uang ibu untuk jaga-jaga ke depannya. Aku tidak memerlukan uang ibu, yang saya butuhkan adalah ibu dan anak ibu tidak telantar gara-gara rumah ini jatuh ke tanganku.”
“Tapi, Nak…”
“Tapi aku lapar, bu. Apakah ibu bisa masak untuk makan kita.”
“Hiks.. hiks.. Nak Kata ini…” ada tawa di balik linang air matanya.
“Yaudah, Nak Kata istirahat dulu, sementara ibu masak. Sebentar lagi juga Yaning akan pulang kuliah.” ujarnya sambil berdiri.
“Makasih, bu.”
Bu Ningnung mengantarku ke kamar yang terletak di salah satu sisi ruang tengah, dengan jendela tepat menghadap ke halaman belakang. Kurebahkan diriku di atas ranjang untuk melepaskan penat, baru sekarang aku merasa lelah dan tubuhku pegal-pegal. Dan aku pun terlelap.
Adalah ketukan pada pintu yang membuat aku terjaga. Kulihat keluar jendela, dan hari sudah gelap.
“Masuk.” jawabku tanpa bangkit dari kasur.
Pintu pun terbuka dan sosok Bu Ningung berdiri di ambang pintu. Kali ini penampilannya berbeda. Nampak segar pertanda sudah mandi, dan tidak berkebaya lagi, melainkan mengenakan daster rumahan.
“Duh maaf, Bu, saya ketiduran.” keluhku sambil bangkit dan duduk di tepi kasur.
“Iya gapapa, Nak, ibu ngerti. Nak Kata pasti capek sekali, jadi ibu baru berani bangunin sekarang. Mari.. Nak kata makan dulu.” undangnya dengan ramah dan penuh keibuan.
“Saya mandi dulu deh, bu. Eh ada siapa, bu?” saat mendengar percakapan di luar kamar.
Mendengar pertanyaanku, Bu Ningnung tidak menjawab, melainkan langsung masuk dan duduk di kursi samping jendela.
“Maaf, Nak, keponakan ibu datang tanpa bilang-bilang, dan ibu minta ijin agar Nak Kata memperbolehkannya menginap di sini selama dua malam.” ia berkata dengan nada sungkan.
“Oh yasudah atuh, gak apa-apa, Bu. Silakan saja. Ini kan rumah ibu juga, jadi siapapun anggota keluarga ibu boleh berkunjung ke sini.” ujarku sambil tersenyum agar Bu Ningnung tidak merasa tidak enak hati.
“Sekali lagi terima kasih, ya Nak.” dengan nada penuh haru.
“Ah ibu… dari tadi terima kasih.. terima kasih melulu.” aku mencoba bercanda.
“Habisnya… Nak Kata baik sekali. Yaudah sekarang mandi dulu, lalu makan, nanti kalau Nak Kata mau, ibu pijatin biar capeknya cepet hilang.” ujarnya sambil meninggalkan kamar.
“Mau bangeeeet!” tapi hanya dalam hati, yang terucap adalah, “Terima kasih, Bu.”
Kutanggalkan pakaianku dan melangkah ke dalam kamar mandi dengan keadaan bugil, inilah satu-satunya kamar dengan kamar mandi di dalam. Sadar akan sesuatu, aku segera kembali dan membongkar tasku untuk mengeluarkan handuk dan perlengkapan mandi.
Drrrttt… drrrtt…
Belum juga aku selesai mengambil handuk, tiba-tiba smartphoneku bergetar. Nampak panggilan dari Tante Puki.
“Hallo, Tante.”
“Kamu sudah nyampe, sayang? Kok gak ngabarin tante? Kenapa WA tante gak dibalas dari sore?”
“Hehe.. tadi aku nyampe jam tiga lebih dan langsung ketiduran, Tante, nih baru bangun.”
“Oh yaudah kalau kamu sudah nyampe dengan selamat. Ada yang mau tante sampaikan nih.”
“Apa itu, Tante?”
“Sayang, besok tante akan ke sana naik pesawat pagi ke Semarang, lalu akan diantar seorang kenalan ke sana. Temui Tante di hotel Cemerlang.”
“Loh kok mendadak gini, Tante, ada sesuatu yang penting kah?”
“Penting banget!”
“Apa itu, Tante?”
“Tante Kangen! Dan…”
“…” menunggu lanjutannya.
“Kamu harus menjadi milik Tante. Tante tidak ingin keperjakaanmu kamu berikan bagi orang lain, itu milik tante. Tante tidak yakin kamu bisa menjaganya, makanya tante mau ambil apa yang menjadi hak tante.”
Penisku melonjak girang…
“Hallo kok diam?”
“Eh iyah, Tante, ng.. nggak… aku senang aja Tante mau datang. Tapi menurutku Bu Ningnung dan anaknya tidak perlu tahu.”
“Ya kalau itu tante juga sudah tahu, makanya tante nginapnya di hotel. Kamu bisa, kan?”
“Siap, Tante.” sambil tanpa sadar mengusap batang penisku yang tiba-tiba tegang.
Aku cukup senang mendengar bahwa Tante Puki akan datang, sekaligus juga grogi karena akan lepas perjaka. Aku rela.. aku ikhlas… sudah lama aku menginginkannya. Menjadikannya janda dan menjadi suaminya pun aku mau.
Kami pun melanjutkan obrolan dan ia banyak bertanya tentang perjalananku. Sekali-kali ia menggodaku dengan suara mesra dan menggoda. Penisku pun semakin tegang membayangkan tubuh tanteku yang satu ini.
Cekleeek!!!
“Hiyaaaa… mesuuum…!!!” teriak seorang gadis.
“Kamu?!!! Kamu kok ada di sini?” saking kaget dan heran karena kehadiran Ariska, aku sampai lupa menjauhkan tangan ini dari batang penisku.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar