Enzo part 3

 

BAB 3

Aku pun duduk dengan sedikit kikuk, sedangkan Ariska membuang muka sambil pura-pura mengambil smartphone dari dalam tas kecilnya.

“Kenapa ia ada di sini? Mau ke mana dia?” tanyaku dalam hati. Yeah.. baru juga bertemu beberapa jam yang lalu, kini sudah bertemu lagi, duduk bersebelahan pula. Rasa heran, malu, dan senang pun bercampur menjadi satu. “Jangan-jangan dia mau membuntutiku,” aku sedikit curiga.

Fiuuuh…!!! Aku menghela nafas panjang.

Sialnya aku sudah telanjur mengaku diri bukan Enzo, jadi aku harus mengarang cerita tentang diriku seandainya ia mengajak ngobrol dalam perjalanan ini. Aku harus mengganti image tentang diriku di hadapannya, from somebody to nobody; dari pemuda terpandang menjadi tak dikenal orang.

Bodo!! Saat ini yang ada di pikiranku adalah Tante Puki. Kejadian di mobil baru saja membuat perjalananku kali ini terasa gamang. Hatiku tertinggal. Bukan perbuatan mesum yang kami lakukan yang membuatku seperti ini, kalau itu mah udah pasti enak, tapi justru kejujurannya bahwa ia menyayangiku yang membuatku merasa tidak rela untuk pergi dari kota ini. Inginku adalah ada bersamanya selamanya. Suaminya? Berikan kepada hansip Gang Celup saja! Cinthunks!

Kulirik gadis di sampingku, nampak ia sedang sibuk dengan smartphonenya. Dari bayangan kaca kereta nampak sekali-kali ia melirik ke arahku dengan pandangan aneh. Hmmm… cantik sih, tapi pesonanya masih kalah oleh Tante Puki. Lagi pula aku khawatir kalau dia adalah… ah ya sudahlah..!!!

Aku mendengus gusar. Kukeluarkan smartphoneku, dan jariku otomatis mencari nama Tante Puki dan mengabarinya bahwa aku baik-baik saja dan tidak ketinggalan kereta. Tak perlu menunggu waktu lama ia pun membalas, dan kami larut dalam percakapan chatting, saling mengungkapkan rasa sayang yang selama ini terpendam. Keberuntungan belum berpihak padaku, ketika kejujuran ini baru terungkap di akhir kebersamaan kami di kota ini.

Chatting terhenti ketika Tante Puki memberi kabar bahwa suaminya menelpon. Membunuh jenuh, kubuka gallery fotonya. Banyak kenangan kami berdua yang terekam di sana. Bodohnya aku, dari bahasa tubuhnya dalam banyak fose, ternyata Tante Puki lebih banyak menunjukan sikap sebagai seorang kekasih daripada seorang tante pada keponakannya.

Jariku terhenti menggeser layar ketika wajah manis itu ada di sana. Wajah bangun tidur ketika secara diam-diam aku menjepretnya. Rambutnya yang sedikit acak-acakan membuatnya terlihat manis sekaligus seksi, ujung-ujung helaiannya menjuntai pada kulit putihnya, dan bahkan ada juga yang menyusup di antara belahan payudaranya. Bahagianya jadi rambut Tante Puki! Aku merasa iri.

Nampak pula dua busungan besar di balik daster tali berwarna putih. Nampak menantang dan seperempatnya menyembul tanpa tertutup apapun. Andai saja aku memotretnya secara full body, pasti akan terpajang juga setengah pahanya yang putih mulus. Shiiit.. membayangkannya saja membuat ada yang menggeliat di dalam celana dalamku.

Aku sedikit mengubah posisi dudukku sekedar untuk memberi ruang pada ‘si kentang’ (demikian aku biasa menyebut penisku sendiri) yang sedang terkulai ke bawah menjadi mendongak ke atas. Tapi terhambat celana dalam. Posisinya yang mulai tegang membuat perjalanannya menunjuk pusar terhambat, tertekuk, dan ini membuatku tidak nyaman. Dudukku sedikit gelisah.

Terganggu oleh keadaan di tengah selangkangan, refleks satu tangan meluruskannya dari luar celana dengan sedikit mengangkang, tanpa berpaling dari layar smartphone. Nafas lega kuhembuskan ketika penisku sudah kembali vertikal. Kulirik tanganku sendiri yang terasa lembab karena menyentuh sesuatu yang basah. Kupret… rupanya dari tadi aku belum menutup risleting dan tanganku menyentuh basahnya sperma bekas percumbuan panas dengan Tante Puki. Segera kunaikan risleting jeans dan kubersihkan tanganku dengan mengelapkannya pada ujung celana.

“Jorok! Mesum!!!”

Tiba-tiba suara ketus terdengar. Aku mendongak dan melirik ke samping. Bazeeengan.. aku lupa kalau ada gadis bernama Ariska di sampingku. Wajahnya merah padam dan satu tangan ia tutupkan pada mulut seakan mau muntah. Matanya melotot jijik.

“Aku pindah duduk aja!!” belum juga aku bereaksi, ia langsung berdiri dan meraih tasnya dan pergi meninggalkanku.

“Eh.. Mbak…!!” sia-sia, ia bergegas ke depan gerbong tanpa menggubrisku.

Fiiiuuuh…!!! Dengan kikuk aku pun berdiri, bukan untuk menyusulnya, tapi untuk mencuci tangan, sekalian mencuci ‘si kentang’. Kuabaikan pandangan heran beberapa penumpang yang melirik ke arah aku dan Ariska bergantian.




Usai membersihkan semua yang lengket, Tante Puki menelpon. Kuputuskan untuk bercakap-cakap dengannya di depan toilet. Selain saling berbagi rindu, kami juga membicarakan beberapa rencana tambahan. Tak lupa aku pun menyampaikan bahwa ada gadis bernama Ariska, dan aku memintanya mencari tahu tentang gadis itu.




“Kamu lanjutkan kebohonganmu, sayang, jangan mengaku bahwa kamu adalah Enzo.” ujar Tante Puki.


“Hmm.. sebaiknya aku pakai nama apa?”


“Hm…” ia balik bergumam seperti sedang berpikir.


“Gimana kalau Mendung?” ia melanjutkan.


“No!”


“Adven?”


“No!”


“Kuciah?”


“No!”


“Arek?”


“No!”


“Zinggo?”


“No.”


“Delimo?”


“No.”


“Ntung?”


“Amit-amit.”


“Hmmm.. lalu apa donk?” ia terdengar frustasi.


“Cari yang lain.” aku sendiri tidak punya ide.




Tik tok tik tok.




“Kopyor?” suaranya terdengar lagi.


“Koplok aja sekalian, Tante.” kesalku.


“Eh.. dengar ya sayang, kata kakekmu dulu, Kopyor itu…”


“Nah itu Tante.” aku memotongnya.


“Maksudmu?”


“Kata. Ya aku akan memakai nama Kata.” aku antusias.


“Eh.. masa aneh gitu? Hmm.. tapi boleh juga.. Kata.. Kata.. Kata… Rakata.”


“Rakata! Setuju!” aku menimpali.




Kami pun tertawa. Setelah melanjutkan percakapan dan memberi ciuman jarak jauh kututup telponku, dan kembali ke tempat duduk.




Gadis itu ada di sana. Di tempat duduknya.




“Gak jadi pindah, Mbak?” tanya polosku.


“Nggak!” ketusnya sambil memiringkan posisi duduknya untuk memberi ruang padaku agar bisa lewat.


“Kenapa?”


“Bodo!”




Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat juteknya. Apalagi ketika ia mengusap-usap celana di bagian lututnya, seolah jijik karena bergesekan denganku saat lewat.




“Aku Rakata.” aku mengulurkan tangan.




Ia melongos dan tidak mengubris uluran tanganku.




“Yaudah kalau tidak mau berkenalan. Aku udah tahu kok nama Mbak kok.” ujarku. Ucapanku sukses membuatnya menengok ke arahku.


“Heh? Tahu dari mana?”


“Tahu aja.” singkatku.


“Emang siapa namaku?” ia nampak penasaran.


“Dewi, kan?” aku ngasal.


“Gak lucu!!” ia tidak suka.


“Loh? Nama Mbak memang Dewi, kan?” aku masih sok percaya diri.


“Enak aja, ngasih nama sembarangan. Huh!!”


“Halah.. gak usah ngeles, Mbak.”


“Heh!! Dengar yah, namaku Ariska, bukan Dewi!!”


“Iyah. Ariska Dewi, kan?” jurus modus masih kulancarkan.


“Dasar mesum!!”




Ariska nampak kesal, dan seperti sadar bahwa ia telah terjebak dengan menyebut namanya sendiri. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Gadis yang tadi siang kulihat nampak feminim dan gemulai ini, ternyata cukup jutek dan galak juga.




“Mbak Ariska kenapa gak jadi pindah?”


“Bodo!!”


“Siapa yang bodo? Mbak atau masinisnya?”


“Kamu?!!!” ia kembali melotot.




Kulihat penumpang di seberang melirik ke arah kami, kuputuskan untuk diam, daripada malah membuat gadis ini semakin marah dan mengundang kericuhan. Aku cukup paham, perjalanan masih panjang dan masih akan banyak stasion yang akan dilewati, sehingga tidak mudah bagi Ariska untuk mengganti tempat duduk. Apalagi kulihat bahwa semua bangku di gerbong ini sudah terisi penuh.




Kereta pun terus melaju di atas dua rel yang tidak akan pernah saling menyatu ataupun berpisah, karena kalau itu terjadi, maka kereta pun aku terjerumus dari jalurnya.




Kubuka aplikasi kindle, dan kubaca sebuah novel karangan penulis Brazil, yang membahas tentang rel kereta api dalam cuplikan kisahnya.




“Dasar mesum!” suara judes itu kembali terdengar.


“Heh?!” aku menengok.


“Pasti lagi baca cerita mesum, kan?” ia menuduhku.


“Emang ada yah cerita mesum?” aku balik bertanya.


“Ya ada lah… buka aja di website.”


“Kok Mbak Ariska tahu? Hayooo…”


“Eh.. itu.. kamu… nyebelin!!!”




Ia salah tingkah dan kehilangan kata-kata, wajahnya sedikit memerah.




“Hehehe.. bercanda Mbak.” aku tidak enak hati. Lalu kusodorkan layar smartphoneku agar ia tahu apa yang sedang kubaca.




Ia hendak menolak, tapi karena kutempatkan smartphoneku tepat di depan wajahnya mau tidak mau ia pun melihat layar meski dengan enggan.




“Eh!? Kamu!!”


“Apalagi sih, Mbak? Dari tadi manggil-manggil aku galak terus seperti itu.” aku merasa heran.


“Eh sorry.. bukan.. bukan… maksudku… kamu baca karya Coe*** juga?”


“Loh Mbak juga?”




Aku menghembuskan nafas lega ketika nama novelis tersebut bisa sedikit mencairkan suasana di antara kami. Ia pun mengeluarkan smartphonenya dan membuka aplikasi yang sama. Koleksi novelnya rupanya sudah sangat lengkap, bahkan edisi terbaru pun sudah ia miliki.




Jadilah… obrolan pun tercipta, membahas apa yang masing-masing telah kami baca. Ia menyukai The Zahir, aku menyukai Eleven Minutes, ia membaca Alkemis tiga kali, aku membaca The Winner Stand Alone lima kali. Ia tidak tahu saja kalau aku telah membaca ratusan Cerbung yang semuanya memuat adegan lendir.




“Ngomong-ngomong…”


“Ngomong aja, Mbak.” potongku.


“Kamu itu.. shhh…!!”


“Hehee… kenapa?”


“Jangan panggil aku ‘mbak’.”


“Ok. Riska aja?”




Ia mengangguk.




“Siapa Enzo? Kenapa kamu menyangka aku orang itu?” tanyaku mengalihkan percakapan.




Bukannya menjawab, Ariska malah memandangku lekat, dan aku membalasnya. Aku cukup grogi juga bertatapan cukup dekat seperti ini. Ia memang cantik.. sangat cantik di mataku.. dan ia bisa merawat diri, ia tidak menutupi kecantikan alaminya dengan makeup yang berlebihan. Bahkan garis indah alisnya dibiarkan tetap alami tanpa mengikuti trend yang sedang booming saat ini.




Jantungku terkesiap, hatiku mengatakan bahwa gadis ini adalah ‘dia’. Seseorang yang pernah ada di masa laluku. Apa dayaku, aku harus menutupinya sekarang.




“Siapa dia?” tanyaku lagi sekedar untuk menutupi kekaguman pada paras cantiknya, sekaligus menyembunyikan kegelisahan karena ingatan akan masa lalu.


“Eh.. nggak… kamu mirip dia.” singkatnya sambil membuang pandangan ke depan, tangannya sedikit meremas smartphone dalam genggamannya. “Eh.. siapa namamu tadi?” ia mencoba menyembunyikan sesuatu.


“Kata..”


“Oh iyah aku ingat.. Rakata. Rakata Mesum.. jijik aku..” sambungnya.


“Hehehe…”


“Tertawamu pun mesum!”




Meski sikapnya masih judes tapi sudah ada senyum yang tergambar di sana, dan sejenak aku bisa melupa dari rasa rindu pada Tante Puki. Obrolan pun berlanjut, kembali soal kisah-kisah novel yang telah kami baca. Sampai akhirnya saling terdiam seiring rasa kantuk yang datang, dan ia pun mulai terlelap. Aku sampai lupa bertanya tentang kota tujuannya.




Sejenak aku mengamati paras itu, ingin rasanya aku mengaku sebagai Enzo dan memeluknya, tapi aku tidak ingin semuanya menjadi berantakan.




“Enzo!!”




Ia mengigau dalam lelapnya.










BERSAMBUNG









Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar