Enzo part 5

 

BAB 5

Haiiish!!!

Segera kulempar smartphone ke atas kasur, dan kuraih handuk untuk menutupi dada dan bagian atas tubuhku. Shit… aku tidak punya payudara, maka kuturunkan handuk dan kututupkan pada penisku. Tonjolannya perlahan menghilang seiring layunya ‘si kentang’ karena kaget dan panik melihat kehadiran Ariska yang tiba-tiba ada di dalam rumah ini dan muncul di kamarku.

“Ka.. kamu?!” gugupku sambil berusaha melilitkan handuk.

Ariska hanya terbelalak dengan mata melotot, mulutnya yang menganga segera ia tutup dengan telapak tangan. Untung bukan oleh Laurier bersayap.

“Dasar manusia mesum!!” ketusnya setelah ia bisa menguasai diri.

“Eh.. aku.. aku…” aku masih tergagap.

“Menjijikan!!!”

Braaaak!!!

Setelah membentakku ia langsung berjingkat dan membanting pintu kamar.

“Heiii…!!! Ini rumah dan kamarku!!!” spontan aku teriak.

Tidak ada jawaban dari luar, selain suara berisik Bu Ningnung dan seorang perempuan lain, mungkin Yaning anaknya.

Aku menghela nafas panjang beberapa kali. Kaget, malu, bingung, kesal… bercampur menjadi satu. Kenapa Ariska ada di sini, apakah ia memang benar sedang membuntutiku?

Aku melangkah menuju kamar mandi dengan gontai dan membersihkan diri. Badan ini terasa lengket setelah hampir 24 jam tidak terkena air. Meski begitu aku bukan cewek, mandiku tidak perlu lama. Cukup tiga gayung air untuk membasahi tubuh, menyabuni seluruh kulit dan kuguyur lagi dengan lima gayung air. Selesai.

Setelah berganti pakaian aku pun keluar kamar, hanya terlihat Bu Ningnung dan seorang gadis manis yang ada di ruang makan; sedangkan Ariska tidak terlihat.

“Selamat malam, Bu… hai kamu Yaning yah…?” sapaku sambil mendekati gadis yang nampak sedang terpana, melihatku tanpa berkedip. Cukup dimaklumi secara aku memang ganteng.

“Malam, Nak Kata. Ning… hei… kok malah bengong? Ini kenalin Nak Kata, pemilik baru rumah kita?” ujar Bu Ningnung sambil mencolek lengan gadis di sampingnya.

“Eh iyah.. hmmm… euuuu… hallo Mas, eh Kak.. eh kalau di Bandung Aa yah? Atau Akang?”

“Yaning?!! Yang sopan kamu!”

Aku hanya terkekeh melihat ekspresi kesal Bu Ningnung pada gadis ini, sekaligus geli melihat sikap si gadis yang nampak begitu lucu. Penampilannya agak tomboy, tapi wajahnya imut lucu. Lugu-lugu bikin nafsu..!

“Hehehe.. Hei.. aku Rakata. Gimana enaknya aja, mau manggil apa juga boleh.” sambil mengulurkan tangan.

“Masa manggil ‘apa’ sih, mas?” ia nampak bercanda garing, tapi tetap membuatku tertawa. “Aku Yaning, Mas, udah itu ajah, tidak ada kepanjangannya, ibu pelit ngasih aku nama. Hihi…”

“Yaning!!!” Bu Ningnung menghardik, tapi tak diacuhkan.

Dan telapak tangan kami pun bersentuhan, kulitnya tidak halus pertanda ia pekerja keras, namun tetap saja itu adalah tangan perempuan yang selalu memberi sensasi berbeda. Kugenggam erat, eh dia malah membalas tak kalah erat. Sorot mata kami beradu, ia mencoba bertahan, tapi akhirnya menunduk kalah pamor. Meski begitu ia tidak berusaha menarik tangannya kembali.

“Eheeem..!!!” sebuah deheman yang dibuat-buat terdengar, cukup keras dan ketus.

Aku melirik ke arah datangnya suara sambil melepaskan jabatan tangan. Ariska muncul dari arah belakang sambil membawa brownies kukus, nampaknya oleh-oleh dari Bandung untuk bude dan sepupunya.

“Hai, Ris.” sapaku sambil duduk.

Yaning tiba-tiba pindah duduk ke sampingku, dan memberikan tempat duduknya bagi Ariska, ia tak sungkan mengamati tampang kerenku.

“Hmmm!!” hanya gumaman ketus yang kudengar.

“Ayo duduk, Ris, kita makan. Kok bisa sih kalian sudah saling kenal?” tiba-tiba Bu Ningnung menyahut, seperti hendak mencairkan suasana.


“Kenal di jalan aja sih, Bude. Males sebenarnya kenal manusia mesum seperti dia. Jijik aku.” ketus Ariska. Bu Ningnung sudah mau menegur sikap tidak ramah keponakannya, tapi kalah cepat oleh Ariska, “Ini oleh-oleh dari Bandung, Bude, kemarin mamah yang beliin.”


“Gak modal, bawa brownies aja dari mamahnya, bukan beli sendiri.” maksud hati ingin membatin, tapi eh malah terucap.


“Apaaa?!!!”


“Risss..!!!” Bu Ningnung tidak enak hati.


“Kakaaakkk!!” Yaning ikut tidak suka atas sikap tidak ramahnya padaku.


“Sudah.. sudah.. ayo kita makan. Makasih, ya Ris, malah ngerepotin segala.” ujar Bu Ningnung, “Ayo Nak Kata kita makan.”


“Ayo, Mas.” Yaning sigap mengambil piringku dan mengisi dengan nasi.


“Gak usah diambilin, Ning, dia bisa sendiri kok. Hati-hati kamu, jangan sampai jadi korban mesumnya.” Riska mencegah.


“Riiisss.. sudahlah.. lagian salah kamu sendiri masuk kamar Nak Kata tanpa ngetuk dulu.” Bu Ningnung mengingatkan.


“Iya.. Kakak apaan sih?!” tambah Yaning sambil meletakan piring berisi nasi di hadapanku. “Ayo Mas, mangutnya aku yang masak loh, makan yang banyak yah.”




Aku hanya bisa nyengir kuda berada dalam suasana seperti ini. Bu Ningnung sangat baik dan ramah, cantik pula. Ariska kebalikannya, sangat galak dan judes, meski juga cantik. Sedangkan Yaning berada di antara kedua sifat itu, dan tidak terlalu cantik, tapi bodynya montok menggoda.




“Jadi.. Ariska ini adalah keponakan ibu yang tadi ibu ceritakan ke Nak Kata, dan Yaning ini adalah putri tunggal ibu.” ujar Bu Ningnung untuk mencairkan suasana makan yang terasa kaku.


“Iya, Bu, saya paha… mmm…” ujarku sambil mengunyah.


“Tuh kaan.. mesum…!!!” ada yang melotot di seberang meja.


“Hihi.. Mas Kata lucuuu…” Yaning tertawa.




Bu Ningnung akhirnya hanya bisa kembali terdiam sambil menyembunyikan senyum, sedangkan aku hanya terkekeh sehingga ada satu biji nasi yang muncrat, segera kucomot dan kumasukkan kembali ke dalam mulut.




Yaning semakin tertawa, Bu Ningnung sudah tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya, hanya Ariska yang cemberut seolah jijik.




Suasana obrolan sekitar meja makan hanya terjadi antara kami bertiga, minus Ariska. Ia hanya sekali-kali berbicara, itu pun hanya kepada bude dan sepupunya.




Aku tahu, Bu Ningnung nampak tidak enak hati, tapi aku mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya bercanda, atau dengan menanggapi celotehan Yaning. Anehnya, Ariska nampak semakin tidak suka ketika aku bisa cepat akrab dengan gadis di sampingku ini.




Seusai makan aku pindah duduk ke serambi belakang ditemani oleh Bu Ningnung, sedangkan Ariska dan Yaning membereskan meja makan dan mencuci piring.




“Maafkan keponakan ibu, ya nak.” ujarnya sambil menurunkan ujung dasternya, sepertinya ia sadar kalau bagian itu sering kulirik.


“Gak apa-apa, Bu, ini hanya salah paham aja.” aku menjawab sambil mencelupkan ujung rokok di antara bibir.


“Ada apa, Bu?” tanyaku ketika menyadari bahwa raut wajah Bu Ningnung berubah sedih dan bingung.




Bukannya menjawab, ia malah menunduk sambil meremas-remas tangannya sendiri, beberapa detik aku bisa lebih leluasa mengamati betisnya yang mulus dan berbulu halus.




“Ibu tidak perlu sungkan, kalau ada apa-apa ibu bilang saja ke saya.” sambungku sambil cepat membuang muka ketika kulihat ia mengangkat wajah melihat ke arahku.


“Sebelumnya ibu minta maaf. Sebetulnya kedatangan Ariska ke sini adalah untuk membicarakan masalah rumah.” ujarnya pelan.




Bu Ningnung pun menyampaikan bahwa Ariska adalah keponakannya dari kakak yang paling tua. Ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang tidak mau menjual rumah ini, bahkan orangtuanya sendiri pun ia lawan. Alasannya, karena Ariska pernah menghabiskan masa kecilnya di rumah ini dan tidak ingin keluarga besar menjualnya. Tapi ia kalah suara, dan akhirnya rumah ini keburu dibeli oleh Tante Puki (tentu saja atas namaku).




Aku mengangguk paham sambil mematikan rokok pada asbak batok kelapa. Aku bisa memahami gejolak perasaan Bu Ningnung, aku juga bisa mengerti jika Ariska ingin mempertahankan rumah ini, tapi aku lebih menginginkannya. Rumah inilah yang akan menjadi titik awal pencarianku, dan semoga menjadi petunjuk akan identitasku yang sesungguhnya. Dan aku sama sekali tidak takut karena rumah ini sudah kubeli dan sertifikatnya sudah balik nama.




“Sebetulnya, alasan Ariska juga karena ia tidak ingin ibu dan Yaning terlantar mengingat kami belum menemukan tempat tinggal baru yang cocok. Ia itu sangat dekat dengan ibu. Ia sudah menganggap ibu seperti mamahnya sendiri, ia juga sangat dekat dengan Yaning dibanding dengan para sepupunya yang lain. Makanya ia langsung datang ke sini ketika mendengar bahwa pembeli rumah ini akan datang dan akan mulai menempatinya.” jelas Bu Ningnung lagi.


“Aku mengerti, Bu. Sudah yah.. ibu tidak perlu takut atau merasa tidak enak hati, nanti kita bicarakan baik-baik dengan Ariska. Toh saya aku juga tidak akan menelantarkan ibu dan Yaning. Ibu akan aku anggap sebagai keluarga sendiri, dan saya malah sudah berpikir untuk menghidupkan kembali usaha batik yang sudah puluhan tahun terhenti. Kita rintis lagi dari awal.” ujarku sambil menatapnya, dan kulihat senyumnya mengembang, sangat memesona bagi jiwa kelelakianku.


“Makasih banyak, ya Nak. Ibu tidak tahu harus bilang apa lagi, Nak Kata sangat baik…” namun ucapannya terputus ketika Ariska dan Yaning muncul dari arah dapur.


“Serius amat?” ujar Yaning sambil duduk di sampingku. Sedangkan Ariska hanya diam dan duduk di samping Bu Ningnung.


“Heheh.. nggak kok, Ning.” ujarku sambil sengaja memindahkan tanganku agak ke samping agar sekali-kali bisa bersentuhan dengan kulit lengan gadis itu.


“Bude, besok aku pindah tidur di hotel yah.” ujar Ariska tiba-tiba.


“Looh kok gitu? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Sudahlah tidur aja di rumah, kan Bude juga masih kangen. Kasihan tuh Yaning..” heran Bu Ningnung.


“Males aku tinggal serumah ama orang mesum!” ia menyampaikan alasannya dengan ketus.




Teteeep. Ia masih menganggapku mesum dan seperti jijik padaku, belum tahu saja dia enaknya dimesumin. Bu Ningnung langsung menasihati keponakannya, sedangkan aku hanya tersenyum sambil bergantian mengamati keunikan atas kecantikan tiga wanita yang ada di sekitarku. Ketiganya jelas berbeda, namun memiliki keunikan dan daya tarik seksual masing-masing.




Ariska sendiri memilik sifat yang aneh menurutku, mood dan sikapnya bisa berubah-ubah dengan cepat. Ia bisa baik, bisa nyambung, tapi bisa juga galak dan judes dengan cepat. Tapi aku malah suka melihat judesnya, membuatnya kelihatan semakin cantik. Dan rupanya cap mesum yang ia tanamkan padaku membuatnya begitu antipati, dan bahkan kesamaan hobby membaca novel pun tidak cukup untuk membuatnya mau dekat denganku.




“Pokoknya Bude ingin kamu tetap tinggal di sini. Nak Kata juga tidak keberatan kok!” tegas Bu Ningnung dan diamini oleh Yaning.




Ariska mau protes, tapi urung ketika melihat tatapan tajam Bu Ningnung. Ia hanya menghela nafas panjang sambil menatapku dengan sorot mata yang penuh kebencian.




“Iya Ris, kamu nginap aja di…”


“Diam kamu!” sahutanku terputus oleh hardikan gadis itu.




Fiuuuh..!!! Sabar-sabar… Aku mencoba tetap tenang dan tersenyum.




“Dengar yah… eh ya udah deh… sekalian kita ngumpul.. aku mau bicara serius, sekaligus biar kamu tahu tujuanku datang ke kota ini.” ia masih ngegas.


“Ris, kita bicarakan baik-baik yah.. tidak usah sambil marah-marah bicaranya.” Bu Ningnung sudah mati akal menghadapi keras kepala keponakannya yang satu ini.


“Udah Bu, biarin aja Riska bicara. Moodnya memang lagi jelek, biasa lagi dapet tamu bulanan, soalnya di kereta dia sempat pamit untuk mencari tempat duduk, padahal aslinya mau ke toilet ganti pembalut.” lama-lama aku kesal juga melihat tingkah gadis ini, sekalian saja aku kerjain biar meledak semua amarahnya dan akhirnya capek sendiri.


“Kamuuu..!!” benar saja ia melotot dan mau menunjuk wajahku tapi keburu ditahan oleh Bu Ningnung.


“Cadangannya masih ada gak, Kak? Kalau kurang aku masih punya persediaan kok di kamar.” Yaning gagal fokus dengan polosnya.




Mendengarnya, mau tidak mau aku pun tertawa dengan puas. Bu Ningnung menggelengkan kepala tanpa bisa berkata-kata, wajah Ariska merah padam karena amarah, sedangkan Yaning celingukan tidak mengerti.




“Dengar yah.. aku datang ke sini itu bukan tanpa alasan. Aku ke sini untuk membatalkan jual-beli rumah ini. Aku tidak mau rumah ini dijual, apalagi setelah tahu bahwa pembelinya adalah kamu, bisa-bisa malah dijadikan rumah mesum!”




Buset tuh mulut. Ingin rasanya aku menghardik balik, tapi aku tidak mau buang-buang energi, pikiranku masih lelah karena rindu pada orang-orangku di Bandung dan badanku masih terasa pegal karena sisa perjalanan.




“Lalu?” singkatku dengan suara tenang.


“Ya aku mau membatalkan transaksi atas rumah ini.” tegasnya.


“Ya tidak bisa begitu, rumah ini sudah aku beli, dan sertifikatnya juga sudah dibalik nama di hadapan notaris.”


“Pokoknya aku mau beli kembali!”


“Caranya? Kalau aku tidak mau menjualnya gimana?”




Sebetulnya kata-kataku cukup provokatif meski disampaikan dengan tenang dan tanpa nada marah. Ariska tahu itu.. sikapku malah membuat ia semakin terlihat penuh emosi, keanggunannya sudah sama sekali hilang.




“Sudahlah, Ris, jangan kamu mempermasalahkan rumah ini lagi. Toh keluarga kita sudah memutuskan untuk menjualnya. Untuk apa kita mengungkitnya kembali? Nanti malah makin panjang urusannya, bukan hanya dengan Nak Kata, tapi juga dengan keluarga besar kita.” Bu Ningnung menenangkan keponakannya.


“Tapi aku tidak mau menjualnya, Bude, aku tidak suka keluarga kita sendiri membuat hidup Bude dan Yaning menjadi seperti ini. Mereka seolah menganggap Bude adalah orang lain.” tegas Riska.




Di balik sikap galak dan juteknya, ia memiliki tujuan baik, yaitu membela dan melindungi Budenya ini. Mungkin kalau pemilik baru rumah ini bukan aku, sikapnya tidak akan menjadi searogan ini.




“Sudah.. tidak usah diungkit lagi. Rambut di kepala kita saja tidak lurus semua.” Bu Ningnung tidak ingin masalah keluarganya diungkit kembali di hadapanku.


“Jembut juga tidak keriting semua, Bu.” batinku.


“Iya, Bude. Tapi kalau rumah ini dijual, Bude dan Yaning mau tinggal di mana?” tangkasnya.




“Tadi sore ibu sudah bicara dengan Nak Kata, dan ibu bersama Yaning masih diperbolehkan tinggal di sini. Nak Kata malah mendesak ibu supaya tetap tinggal agar bisa menemaninya sekaligus membantu merawat rumah ini.” jelas Bu Ningnung lagi.


“Ha?!! Nggak!! Pokoknya Bude dan Yaning gak boleh tinggal ama orang mesum ini. Kalau pun ia tidak mau menjual kembali rumah ini, biar aku sendiri yang akan mencarikan rumah buat Bude.” dengan mata terbelalak.


“Tidak semudah itu, sayang. Lagian apa salahnya kalau bude tetap di sini, anggap saja agar bisa tetap merawat rumah kesayanganmu ini, rumah yang begitu bersejarah bagi keluarga kita.” Bu Ningnung masih berusaha meyakinkan.


“Iya, Kak. Lagian aku juga sangat betah tinggal di rumah ini kok. Mas Kata juga baik orangnya, nggak.. enggak…” Yaning sungkan melanjutkan ucapannya.


“Mesum!” sambungku.


“Nah, itu hihi…”


“Niiing! Kok kamu malah belain dia sih? Aku kan ke sini untuk melindungi kamu juga.” Ariska kesal.


“Begini… sekarang semuanya dengerin bude.” Bu Ningnung nampak kehilangan kesabaran. Giginya rekat dan kedua tangannya terkepal. Sikap arogan Ariska langsung berubah dan hanya terdiam, Yaning menunduk, sedangkan aku terpana, tidak menyangka bahwa wanita selembut Bu Ningnung bisa marah seperti itu.


“Bude ingin, agar tidak ada satu pun dari keluarga kita yang mengungkit kembali rumah ini. Bude sudah capek bertahun-tahun direcoki oleh saudara-saudara bude hanya karena rumah ini, dan sekarang setelah semuanya diam seiring terjualnya rumah, kamu malah mengungkitnya lagi….


“Bude sudah capek, Ris, capeek… Dan sekarang Bude ingin hidup tenang. Bude juga sudah memutuskan untuk menerima kebaikan Nak Kata dengan tetap tinggal di sini. Ia tidak akan menjadikan bude dan Yaning sebagai orang asing di sini, apalagi menganggap kami sebagai pembantu, melainkan menganggap kami sebagai anggota keluarganya… Apakah ada kakak-adik, keponakan, dan saudara-saudara bude yang lain yang begitu perhatian pada bude selain kamu sendiri, Ris? Lah ini Nak Kata yang baru kita kenal malah sudah menganggap bude sebagai anggota keluarganya? Hiiiks…”




Bu Ningnung menumpahkan semua unek-uneknya, dan namanya wanita, pelampiasan terbaik atas emosi yang menghimpit adalah dengan cara menangis. Ia terisak seolah mengabarkan rasa nyeri yang selama ini ia pendam. Ariska luluh dan ikut menangis, pun pula Yaning. Kini aku hanya bisa termenung menyaksikan peristiwa haru dan sedih tiga wanita di hadapanku. Ketiganya langsung saling berpelukan sambil berurai air mata.




Ah.. mungkin rasa sedih dan haru adalah obat mujarab bagi mesumku. Pikiran itu tidak ada lagi meskipun aku melihat cara duduk Bu Ningnung yang sembarangan sehingga pahanya kelihatan, melihat gelembungan pada pada pangkal paha Yaning yang mengenakan celana jeans pendek, juga melihat kulit mulus pinggang Ariska karena tepi kaosnya terangkat.




Dan kini… aku malah rindu sebuah tangisan. Tangis anggota keluargaku sendiri yang tak pernah kumiliki, satu-satunya anggota keluargaku yang ada saat ini hanyalah Tante Puki.




“Semuanya sudah jelas, dan tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.” singkatku. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi karena kecamuk perasaan yang tidak menentu. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka bertiga.


“Mas?” nampak Yaning mau mencegah.




Tapi aku menggeleng sambil tersenyum, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kuberi juga kode untuk tidak mengikutiku. Aku ingin memberi mereka waktu.. waktu untuk saling berbicara dari hati ke hati sebagai saudara, untuk saling mengungkapkan rasa yang mungkin selama ini saling mereka sembunyikan satu sama lain, untuk membahas urusan keluarga besar mereka yang tidak seharusnya aku ikut campur di dalamnya.




Aku pun keluar rumah dan menyusuri jalanan yang sudah lengang, sekedar untuk menenangkan diri dan melihat-lihat kehidupan malam di kota kecil ini.












BERSAMBUNG











Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar