BAB 2
Bersamaan dengan selesainya pembicaraanku dengan Ndul melalui sambungan seluler, Tante Pupuh pun memarkirkan mobil tak jauh dari pintu utama stasion. Aku segera membuka pintu hendak turun, tapi urung ketika Tante Pupuh tak kunjung mematikan mesin.
Aku menengok ke arahnya, dan aku baru sadar kalau wajahnya sudah basah oleh lelehan air mata. Kututup kembali pintu mobil dan membalikan badan setengah berhadapan.
“Tante jangan sedih. Kayak aku mau pergi jauh aja.. Kita kan masih bisa sering kontak atau janjian ketemu.” ujarku sambil mengepalkan tangan. Sengaja kulakukan agar aku tidak menyentuh pipinya yang basah oleh air mata.
Inginku adalah mengusap dan mengeringkannya, tapi aku takut kalau tanganku kepeleset turun ke dada montoknya. Ehh!!! Hadoooh… ni otak.
“Bukan itu, Nzo. Tante.. tante…
Katanya terputus oleh isak tangis, dan tiba-tiba saja ia merangkulku erat. Apa yang kuhindari namun kuinginkan pun terjadi, ganjalan kenyal di dada membuat jantungku berdetak kencang.
Perasaanku berkecamuk, antara sedih, haru, dan mesum. Semuanya kutumpahkan.. dengan membalas dekapan eratnya. Dan.. perlahan mesum ini memudar seiring isak tangisnya, terganti rasa sakit dan sedih yang selama bertahun-tahun telah kukubur
Mau tak mau air mataku berlinang, tanpa sepatah kata pun yang mampu kuucapkan. Sesaat kami larut dalam kecamuk perasaan masing-masing. Larut dalam lara bernama perpisahan.
Kalau tadi aku menahan tanganku yang ingin nakal, kini aku membiarkannya mengusap rambutnya dengan rasa sayang. Biar bagaimana pun, Tante Pupuhlah yang telah membimbingku sampai aku bisa sukses seperti sekarang ini; dialah yang menggantikan peran orangtua dalam membimbing dan membesarkanku. Dosaku padanya.. aku sering memesuminya meski sebatas di dalam angan. Sejujurnya, mesum itu adalah pelampiasan karena rasa frustasiku atas rasa sayang yang tak mampu terwujudkan.
“Kita tidak berpisah jauh, Tante, bahkan sangat mudah bagi kita untuk bertemu setiap saat.” gumamku pada akhirnya sambil mengusap punggungnya lembut.
“Hikkss.. tapi tante tidak ingin kita sering bertemu, itu bisa mengganggu pencarianmu. Kalau menuruti keinginan, tante ingin ikut bersamamu, tante tidak mau jauh darimu, tante takut kangen… karena… karena… hiiiks… tante sayang kamu.” isaknya makin keras.
Aku tercekat sesaat, ia menyampaikan perasaan sayangnya. Aku mengerjap tidak mau gede rasa, sudah selayaknya ia menyayangiku karena kami masih satu garis keluarga, sebagaimana aku juga menyayanginya meskipun dalam wujud yang berbeda.
“Aku juga sayang Tante. Makasih.. karena kasih sayang Tante, aku bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini.” lugasku sambil mencoba tegar.
“Hiks.. hiks… tante sayang banget ama kamu, Zo.” ujar Tante Pupuh di sela isak tangisnya.
Aku tercekat sesaat. Nada ungkapan itu berbeda, bukan seperti tante pada keponakannya. Kudorong bahunya dengan lembut, dan mataku lekat memandang wajahnya yang basah. Ada sorot mata yang berbeda dari biasanya, terlihat begitu sendu. Jantungku berdebar kencang, bibirku bergetar tanpa mampu berucap sepatah kata pun.
Kuusap linangan air mataku sendiri, dan kuamati wajah cantik di hadapanku. Tiba-tiba Tante Pupuh kembali memelukku, kali ini ia tidak membenamkan wajahnya pada bahu, namun mencari pipiku. Diciuminya wajahku dengan nafas tersengal, wajahku basah oleh air matanya.
“Zo, tante.. tante…”
Cuuuuup!!!
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, terganti oleh bibir lembutnya yang tiba-tiba mendarat pada bibirku, dan langsung melumat. Aku tercekat sesaat tanpa mampu membalas. Nafasku ikut tersengal. Ciuman ini bagai mimpi jahanam yang sudah lama kuinginkan.
Lembut.. teramat lembut sentuhan bibir itu, meskipun gerakkannya sedikit kasar dan nafasnya tersengal. Kupejamkan mataku, dan mulai membalas lumatannya. Segala yang kupendam, hasrat yang sembunyi tersimpan, kini kutumpahkan. Bibir kami semakin bertautan, dan tanpa komando lidah kami sudah saling membelit. Kami melupa pada suasana sekitar, tak peduli seandainya ada orang yang melihat, ciuman ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
Entah berapa lama kami seperti ini, aku teramat menikmatinya. Ia ingin mengakhiri, aku yang enggan; aku yang mengurangi tensi, ia yang memperdalam lumatan. Sudah tak ada lagi isak tangis, terganti oleh bunyi syahdu cumbuan. Bahkan tanganku sudah tidak menumpang lagi pada pinggangnya, melainkan mulai menjalar meremas paha putihnya. Ia terkejat, dan membalas dengan meremas rambutku.
“Mmmmmh…” lenguh kami bersamaan. Ciuman kami terlepas, dan ia berusaha menahan tanganku yang sudah semakin merambat menuju pangkal selangkangannya. Jangan ditanya, penisku sudah menegang, dan terasa sakit terhimpit celana dalam dan jeans yang kukenakan.
Sorot mata kami beradu sendu, bibir seksinya terbuka, dengus nafasnya yang terengah menerpa wajahku. Lalu satu tangannya terjulur untuk membersihkan sisa air liur pada ujung bibirku.
“Maafkan tante, Zo.” suaranya pelan, antara sesal dan ingin melanjutkan.
“Jangan minta maaf, aku sayang Tante, sangat sayang, aku sudah merindukan ini sejak lama.” aku akhirnya bisa jujur atas apa kurasakan sambil berusaha menggeser paha sekedar memberi ruang pada penisku yang terasa sakit karena tegang.
Senyum itu mengembang. Sebuah senyum bahagia, namun juga sekaligus getir karena -mungkin- rasa bersalah karena ia sudah bersuami.
“Aku sayang, Tante. Bukan sayang sebagai satu saudara, melainkan sayang seorang lelaki pada perempuan.” aku kembali jujur.
Air matanya kembali menjentik, dan ia pun berujar, “Tante juga sayang kamu, Zo, sudah lama tante menahan dan menyembunyikan ini semua, tapi….”
Kuhentikan ucapannya dengan menempelkan telunjuk pada bibirnya. Ada senyum yang terpancar ketika ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Lalu ia sedikit membalikan badan dan membuang pandangan keluar kaca mobil. Tidak denganku, aku lebih senang memandang tubuh sintalnya.
Kuusap rambut sebahunya yang dicat sedikit pirang. Lalu pandanganku turun pada busungan dada montoknya yang menggiurkan. Jantungku terkesiap ketika menyadari pakaiannya yang sedikit acak-acakan karena ciuman panas tadi. Pandanganku sedikit nanar ketika tertuju ke bawah, roknya terangkat memamerkan tiga perempat pahanya yang putih dan mulus. Nampak menggoda dan menggiurkan. Tangan kiriku terulur dan sedikit bergetar untuk menyentuhnya. Halus kurasakan.
Tante Pupuh memandangku antara takut dan pasrah. Sorot mata kami beradu, sedangkan tanganku mulai mengelus tanpa penolakan. Nafasnya kembali terdengar pendek, diselingi sedikit desahan halus.
Tanpa kata, kini mata kami yang bicara. Rasa cinta ini saling ada, melampaui status dan norma.
Wajah kami kembali saling mendekat, nafas kami beradu, sedangkan elusan pada pahanya sudah berubah menjadi remasan. Keningnya mengernyit menahan rangsangan dan bibirnya terbuka. Tak kusia-siakan.. langsung kukecup dan kami kembali larut dalam cumbuan. Kali ini tidak saling tergesa, kami sama-sama saling menikmati dan menghayati.
Kecupan-kecupan lembut saling kami berikan sampai akhirnya saling mengulum. Kukulum bibir bawahnya, dan ia mengulum bibir atasku. Begitu sebaliknya, bergantian tanpa bosan. Sampai akhirnya… sambil sama-sama memiringkan wajah berlawanan, lidah kami saling mencucuk. Tak lama.. saling lilit dan belit pun kami lakukan. Kembali kami melupa pada suasana dan tempat kami berada… saling hanyut dan larut dalam cumbuan. Bukan hanya itu, tanganku sudah mencapai sela-sela paha atasnya, menyentuh tepian celana dalamnya. Lembab kurasakan.
Tubuh Tante Pupuh bergetar hebat, cumbuannya semakin dalam dan tak terkendali. Bersamaan dengan remasanku pada gundukan kewanitaannya, ia mengerang di tengah cumbuan, dan seketika ia meraih selangkanganku. Ciumanku terhenti sesaat, merasakan kenikmatan getaran pada padang penisku yang ia remas, meski dari luar celana yang kukenakan.
Aku membungkuk dan cumbuanku pindah pada lehernya, turun pada belahan payudaranya. Bersamaan dengan itu, kocokan pada penisku terasa semakin cepat. Tak puas dengan itu, ia menurunkan risletingku dan mengocok dari luar celana dalam.
Aku terkesiap dan langsung memangsa payudaranya dengan cumbuan dan remasan. Gaun yang ia kenakan tidak menjadi penghalang. Entahlah.. kami sama-sama larut dan hanyut. Rasa yang disimpan dan ditekan kini membuncah, tercurah tanpa kendali. Kami pun akhirnya saling memuaskan melalui cumbuan dan sentuhan tangan yang saling menggerayangi.
“Uuuugggh…” lenguh kepuasan terdengar.
“Aaaahhh sssh…” aku mendesis seiring semburan penisku di balik celana dalam.
Sesaat duniaku hilang, terkulai lemas, wajahku ambruk pada payudaranya yang turun-naik karena sengal nafasnya. Selangkangan Tante Pupuh pun terasa basah oleh semburan orgasmenya.
Tik tok tik tok.
“Tante.”
“Enzo.”
Ucap kami bersamaan.
Kami pun saling memandang dan saling melempar senyum. Kini sudah tidak perlu saling menutupi, rasa itu sama-sama ada.
Ia mengecup bibirku lembut, dan kubalas tak kalah lembut. Bisikan-bisikan mesra pun kami hembuskan, dan kata sayang saling terlontar, seiring janji untuk saling menyayangi sambil memikirkan bagaimana rencana kami ke depan.
“Ya ampun, sayang!!! Enzooo cepetan!!!” tiba-tiba Tante Pupuh memekik.
“Heh?” aku tidak mengerti.
Kutahan dorongan tangannya, aku masih ingin memeluk dan mencumbu wanita ini.
“Stop, sayang. Ini jam berapa?”
“Kupret.” makiku dalam hati sambil melihat jam tangan.
Keretaku tinggal 15 menit lagi berangkat. Aku langsung berpikir untuk membatalkan perjalanan; namun Tante Pupuh seperti membaca isi pikiranku. Ia langsung membenahi pakaiannya dan mendorongku supaya keluar. Sikap lembut dan manjanya hilang, berubah menjadi galak, dan bahkan ia tak sungkan membentakku supaya segera keluar mobil.
Aku hanya bisa pasrah menuruti kemauannya. Aku turun dari mobil dan kuraih tas ranselku yang disimpan di jok tengah.
“Cepetan Enzo.” teriak Tante Pupuh.
“Euh.. iyah… ini…”
“Cepetan!!!”
Kucium kedua pipinya, dan langsung berlari tanpa bisa berpikir lagi. Tante Pupuh membuntutiku dari belakang, seperti mau memastikan bahwa aku bisa masuk tanpa ketinggalan kereta.
Aku nekad menerabas antrian. Banyak orang protes, dan petugas sudah mau menegurku, namun begitu melihat tiketku ia berbaik hati memperbolehkanku langsung masuk. Satu menit tersisa, dan aku pun berlalu kencang menuju lajur yang petugas tunjukan. Aku berhenti sesaat dan menengok ke belakang, berharap masih bisa melihat sosoknya di luar gerbang, namun tak kulihat ada di sana. Kuputuskan untuk kembali berlari.
“Pak!!!” teriakku pada petugas yang hendak mengangkat tanda pada masinis bahwa kereta sudah bisa diberangkatkan.
“Semarang, dek?” tanyanya.
“Iya, pak. Maaf.. hash.. hash…”
“Ayo buruan naik!”
Aku pun meloncat memasuki gerbong yang pintunya sudah bergerak menutup otomatis. Terlambat satu detik saja, aku pasti terhimpit, atau setidaknya tas ranselku yang terhimpit. Namun keberuntungan masih berpihak padaku.
Tak lama kemudian, kereta pun bergerak meninggalkan kota yang telah banyak mengajariku tentang pahit dan manisnya kehidupan. Sejenak aku hanya berdiri sambil bersandar pada pintu gerbong, nafasku tersengal. Setelah mengatur nafas, aku pun melangkah gontai. Sesungguhnya, sejak beberapa menit yang lalu, aku tidak ingin pergi dari kota ini.
Kuperhatikan tiketku, dan aku masih harus menyeberangi dua gerbong di depan. Aku berjalan tanpa semangat. Barisan tempat duduk di gerbong pertama kulewati, hanya sedikit yang peduli pada keberadaanku, namun ada juga yang memperhatikan, ada tawa yang mereka sembunyikan. Apa peduliku, kami tidak saling kenal.
Di gerbong berikutnya, semakin banyak yang melihatku secara aneh. Apa peduliku, kami tidak saling kenal.
Akhirnya aku sampai di gerbongku, kucari tempat dudukku. Nomor 27A. Tidak perlu jauh berjalan karena posisinya agak di belakang. Kursiku memang kosong, dan di sebelahnya telah terisi oleh seseorang berambut pirang. Kuletakan ranselku di atas tempat duduk, agak belakang dari jokku.
“Permisi, Mbak.” ujarku pada penumpang sebelahku, mengingat tempat dudukku berada di dekat jendela.
“Iya… Eh?!!! Kamu?!”
Menyadari keterkejutan gadis itu, aku pun membalas menatap wajahnya.
“Eh.. Mbak?” aku tak kalah kagetnya.
Tiba-tiba sorot matanya berubah, dan wajah ramahnya berubah ketus dan jijik. Aku tak berusaha peduli, setelah permisi sekali lagi aku pun melewatinya dengan posisi menghadap ke arahnya. Ia melengos jijik.
“Kupret!!!” aku baru sadar kalau risletingku belum ditutup dan celanaku nampak basah oleh sperma.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar