BAB 1
Kuaduk kopi hitam tanpa gula yang baru saja pelayan sodorkan, sorot mataku lekat menatap gelombang kecil pada permukaan cangkirnya.
Kuhirup aroma khasnya, langsung merasuk ke dalam penciuman dan masuk ke dalam benak. Pikiran kalutku sejenak terasa lebih tenang. Aroma kopi hitam seolah menjadi theraphy di saat pikiranku terasa buntu.
“Enzo?” belum juga aku mengangkat gagang cangkir, sebuah suara merdu memanggil namaku.
“Kamu Enzo, kan? Enzo Astana?”
Aku mengernyitkan dahi seraya menoleh ke arah datangnya suara. Beberapa kali mataku mengerjap. Bukan.. bukan karena aku mengenalnya, melainkan karena sosok cantiknya yang membuatku seperti ini. Jantungku seketika terkesiap.
Sesosok gadis semampai berpakaian kasual berdiri di hadapanku. Rambut sebahu yang dicat pirang nampak serasi dengan parasnya yang oval. Wajahnya yang cantik alami hanya dipulas make-up tipis, bahkan bibirnya terlihat merah alami tanpa lipstik. Mungkin ia memakai sedikit glow sehingga terlihat selalu basah.
Tanpa sadar aku menjilati bibirku sendiri, seolah sedang mencecap bibir tipis itu. Tenggerokokanku seketika terasa kering dan segera kubasahi dengan tegukan air liur.
Sejenak sorot mataku terpendar mengagumi kecantikannya. Kedua busungan di dadanya tak luput dari pengamatanku, nampak sekal dengan ukuran sedang. Tanganku langsung melingkari cangkir kopi sekedar untuk menaksir besarnya gelembungan di balik bra gadis manis ini. “Haiiish.. ukuraannya pasti lebih besar dari cangkir ini.” aku berkata dalam hati. Sekali lagi aku meneguk liur membayangkan gundukan putih dan puting mungilnya.
“Maaf, aku salah orang yah?” bibir merah muda yang nampak basah itu menyadarkanku dari keterpesonaan. Ia nampak sedikit jengah oleh sorot mataku yang sedang menikmati lekuk tubuhnya.
“Eh.. iyah... kamu siapa?” aku sedikit gugup sambil mengeratkan cengkeraman pada cangkir kopi.
“Benar kan Enzo?” ia balik bertanya untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah orang.
Tiba-tiba sudut mataku menangkap sebuah nama pada name tag yang menyembul pada tas tangannya.
“Ariska Chysara.” aku mengeja dalam hati.
Jantungku seakan berhenti berdetak dan nafasku seketika menjadi berat. Tanpa sadar aku menggeleng, seraya mencoba melawan tatapan matanya.
Ada raut kecewa yang nampak pada paras cantik itu, meski begitu ia seakan masih ingin mencari kepastian.
“Maaf kamu salah orang.” aku mendahului sebelum ia bertanya lebih lanjut.
“Maaf.” dengan sedikit pelan dan nada kecewa, namun tidak mengikis alunan merdu dalam pendengaranku.
“No problem.” singkatku sambil mencoba tersenyum.
Gadis itu mengangguk sambil membalas dengan senyum kecut lalu melangkah meninggalkanku. Kuhembuskan nafas tanpa berpaling menatap punggungnya. Rambutnya berkibar diterpa angin sore, dan pinggulnya bergoyang; menggiurkan bagi setiap insan lelaki yang melihatnya.
Ada sedikit sesak dan perih kurasakan, bahkan kelopak mataku terasa panas. Segera aku menunduk dan kembali menatap cangkir kopiku; keputusan yang tepat ketika aku berhenti mengamatinya, karena dari sudut mataku nampak ia berhenti dan menoleh ke arahku. Kuseruput kopiku, berusaha tak menghiraukannya, padahal hatiku sangat menginginkan agar ia duduk dan ikut menikmati secangkir kopi bersamaku. Aku belum menaksir apakah ia masih perawan atau tidak. Tapi ya sudahlah... dan sosok semampai itu pun akhirnya menghilang.
Kopiku terasa pahit pada tegukan pertama, namun rasa manisnya muncul ketika kukecap. Ya namanya sebangsa buah-buahan... kalau tidak manis ya kecut. Dan kopi... adalah buah termanis yang selalu kugemari karena ia menyembunyikan kemanisannya di dalam rasa semu yang orang menyebutnya pahit.
“Sorry gua telat.” sesosok pria kurus muncul dengan langkah terburu, lalu tanpa permisi duduk di hadapanku.
“Udah biasa.” ujarku datar.
“Sorry man tadi gua kena ma...”
“Macet atau macek?” potongku sambil menyeruput kembali kopiku.
“Hehehe... sorry abisnya cewek gua minta jatah.”
Tebakanku benar, ia baru saja menggauli pacarnya, entah pacar yang mana. Kutatap sinis sahabatku yang satu ini, namanya adalah Ganda, tapi aku biasa memanggilnya Gandul atau Ndul.
“Ada yang baru?” aku langsung pada inti persoalan, kehadiran gadis bernama Ariska tadi cukup merusak mood-ku.
“Fix.” ujar Ndul sambil mengeluarkan amplop coklat dari dalam tasnya dan menyodorkannya padaku.
Kukeluarkan isinya dan kuperiksa dengan detail. Tanpa diminta sahabatku menyampaikan beberapa informasi yang ia dapatkan, sedangkan mataku fokus pada lembaran dokumen di depan mataku sambil tetap mendengarkan penjelasan yang Ndul paparkan.
“Makasih bro. Gua sangat menghargai usaha dan bantuan lu.” aku memasukan kembali dokumen ke dalam amplop dan menatap sahabatku.
Ndul hanya diam, tapi anggukannya sudah cukup bagiku. Ada sorot simpati dan prihatin yang tergambar. Sikap tengilnya seketika hilang. Begitulah cara dia ketika berada dalam keadaan serius, memang... kehadirannya sebagai sahabat lebih aku butuhkan daripada sekedar kata-kata peneguhan atau nasihat penghiburan.
“Rencana lu gimana?” lirih Ndul.
“Seperti semula.”
“Yakin?”
Aku mengangguk, meski jauh di dalam lubuk hatiku ada keraguan yang besar, bercampur dengan rasa takut. Ndul yang nampak menyadari kegamanganku segera merunduk dan menepuk pundakku. “Masih ada waktu jika lu mau berubah pikiran,” ujarnya pelan.
Kutatap sahabatku sepintas lalu menggeleng. Kusulut rokokku dan menghembuskan asapnya perlahan.
“Tadi ada cewek yang nyamperin dan nanyain nama gua. Gua kira dia adalah bagian dari keluarga itu.” gumamku sambil menengadah dan menggelembungkan asap rokok.
“Namanya?”
“ Ariska. Ariska Chysara.”
“Hmmmm... ada rencana tambahan?”
Aku menggeleng mantap, “Coba cari tahu tentang dia, tapi jangan lu sentuh dia, dan jagain dia untuk gua.”
“As your wish, bro.” Ndul tersenyum datar.
Setelah bercakap-cakap ringan dengan Ndul, sejam kemudian kuputuskan untuk pulang. Aku harus bersiap-siap agar tidak ketinggalan kereta malam.
“Nanti malam gak usah anter gua.” ujarku sesaat sebelum memasuki mobilku.
Ndul hanya mengangguk dan meninju bahuku, ada pancaran sedih yang tergurat dalam wajah cekungnya. Aku pun merasakan hal yang sama, dialah sahabat terbaikku, dan entah sampai kapan kami akan berpisah; kami akan kehilangan momen-momen “edan” dalam persahabatan kami. Meskipun (mungkin) hanya untuk sementara.
“Ingat, otak mesum lu bisa jadi penghalang.” canda Ndul, aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Meskipun bercanda, tapi ucapannya banyak benarnya.
Setelah sekali lagi saling memberikan tinju perpisahan, aku menaiki mobilku dan melajukannya keluar dari area cafe.
Kulihat langit sore yang cukup mendung, dan laju mobilku sedikit tersendat oleh kepadatan para pengemudi roda dua yang saling berpacu. Mereka seakan enggan terguyur hujan yang bisa tercurah kapan saja.
Teeeet!!!
Tiba-tiba sebuah mobil mengelakson dengan keras dari arah samping, aku melirik sewot, tapi karena ia bukan mengelaksonku, melainkan tukang cilok yang menyeberang dan nyaris keserempet, aku urung ngomel. Kuabaikan saja, dan kembali fokus pada kepadatan jalanan.
Dua puluh tujuh menit kemudian aku bisa sedikit bernafas lega ketika bisa lolos dari kesemerawutan jalanan kota ini. Kubelokan kendaraanku memasuki sebuah kompleks perumahan yang cukup elite. Aku tinggal di sebuah rumah di kawasan ini.
“Dua tujuh aman?” tanyaku pada security yang sudah sangat kukenal.
“Siap. Terkondisikan.” jawabnya sambil memberi hormat a la tentara.
Aku tersenyum mendengarnya, lalu kututup kembali kaca mobil.
Seperti biasa, aku tidak langsung menuju rumahku, melainkan melaju pelan menuju sebuah rumah yang megah. Kuhentikan mobilku di seberang jalan dan kuturunkan sedikit jendela kaca; dan bersamaan dengan itu rintik gerimis pun akhirnya turun.
“Sayang, ayo masuk.” sama-samar terdengar suara seseorang dari halaman.
Nampak sesosok wanita paruh baya berwajah cantik tergopoh keluar rumah dan memanggil dua gadis bocah yang sedang bermain di halaman.
Cantik dan molek! Yah... wanita itu nampak begitu memesona dalam usianya yang sudah memasuki kepala empat. Dada dan pahanya terpamer karena ia hanya mengenakan daster mini sebatas lutut. Meski jarak kami cukup jauh, aku masih bisa melihat belahan payudaranya yang membusung.
Aku menghela nafas berat sambil lekat menatapnya dari balik kaca mobil. Lalu perhatianku kualihkan pada dua anak kecil berusia dua belas dan sembilan tahun yang berlari riang, menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Ciuman pun mendarat pada pipi mereka masing-masing, lalu dengan terburu ia menggandeng tangan kedua anaknya memasuki rumah, sebelum tubuh mereka benar-benar basah oleh gerimis.
Pintu rumah pun tertutup. Tak terasa ada aliran bening yang menetes di ujung mataku, dadaku terasa sesak dan perih. Aku mendengus antara sedih, kesal, marah, dan pasrah. Kulajukan kembali mobilku menembus hujan yang tiba-tiba menderas bagai tercurah.
Hanya berselang satu blok, aku pun tiba di rumahku, segera kumasukan kendaraan ke dalam pekarangan yang tanpa pagar. Setelah mematikan mesin, kuusap sisa air mataku, lalu turun menuju pintu.
“Enzo.”
Sosok itu menyambutku di depan pintu. Aku mencoba membalas senyumnya dan melangkah menghampiri. Meski usianya dua belas tahun di atasku, namun di mataku tubuhnya tetap indah dan menggiurkan. Dalam usianya yang sudah menginjak 37 tahun 20 hari dan 7 jam, ia malah terlihat begitu seksi dan menggoda. Apalagi ia masih mengenakan pakaian kerja berupa rok ketat di atas lutut. Bagian atas ia mengenakan kemeja putih dengan sengaja membiarkan kancing atasnya terlepas. Bergerak sedikit saja, pasti bajunya akan tersibak dan belahan payudara mengkalnya akan terekspos.
“Kebiasaan deh mesumnya.” gumamnya penuh keibuan sambil mendekatkan tubuh montoknya dan mencium kedua pipiku. Aroma parfum pun langsung menghinggapi penciumanku.
“Eh..” ia tersadar sesuatu dan mengamati wajahku lekat.
“Kenapa?” herannya sambil mengusap ujung mataku.
“Gak papa, Tan, terkena gerimis.” jawabku, dan ia hanya tersenyum, ia tahu kalau aku berbohong.
Aku sedikit gelisah, bukan karena ia mengetahui kebohonganku, melainkan karena wajahnya yang begitu dekat, nafas harumnya tercium, dan bibir merah jambunya yang terlihat basah sedikit terbuka. Seksi.. sangat seksi… Ah andai saja dia bukan orang kepercayaanku dan belum bersuami, aku akan rela melepaskan keperjakaanku untuknya. Bahkan aku juga rela jika harus menjaganya seumur hidup dengan menjadi suaminya.
Aku mengerjap sesaat berusaha sadar diri, lalu melangkah memasuki rumah. Namun rupanya Tanteku yang satu ini malah mengapit tanganku sehingga sikutku menyentuh tepian gundukan payudaranya. Terasa kenyal membuat bulu-bulu halus lenganku sedikit meremang.
Selalu saja begini kalau di rumah, ia selalu memanjakanku, atau sebaliknya ia yang bermanja padaku? Entahlah. Padahal kalau di kantor ia terkenal jutek dan galak, aku sebagai atasannya pun tidak jarang terkena semprotannya.
“Tante tidak tahu apa yang harus dipersiapkan untuk keperluanmu selama di sana, tapi tante sudah menyiapkan orang kita supaya menjagamu.” ujarnya.
“Tante..!!!” aku hendak protes tapi urung ketika ia membuka lebar kelopak matanya.
“Semuanya udah aku siapkan tadi pagi kok, Tan, jadi tinggal berangkat aja.” aku membelokan jawaban.
“Baguslah kalau begitu. Kamu hati-hati di sana, ingat mesum boleh tapi jaga keperjakaanmu untuk orang yang tepat hihi…” ia mencoba menyembunyikan kesedihannya dengan bercanda.
“Aku ingin keperjakaanku buat tante.” tapi hanya berani kubatinkan dalam hati saja, bisa kena gampar kalau aku mengucapkannya.
“Siap, Tante.” hanya kata singkat itu yang keluar di mulutku.
“Yaudah kamu istirahat dulu mumpung masih ada waktu, nanti tante akan antar ke Stasion Hall.” ujarnya sambil melepaskan gandengan tangan.
Aku pun hanya mengangguk dan melangkah menuju kamarku yang terletak di lantai dua, sedangkan ia menuju dapur.
Aku memang tinggal seorang diri, tapi ia sudah terbiasa datang ke rumahku, dan sudah hafal seluruh seluk-beluk rumah ini. Ya, dia masih familiku, neneknya dan kakek buyutku adalah kakak beradik. Namanya adalah Pupuh Kinanti, dan aku suka sekali memanggilnya Tante Puki yang merupakan singkatan dari namanya. Tapi ia akan marah kalau aku memanggilnya seperti itu, entah apa yang salah dengan sebutan itu.
Ia sudah bersuami meski belum dikaruniai momongan. Om Toyski, suaminya, adalah seorang kapten kapal pesiar. Untuk menutupi kesepiannya, tak jarang Tante Puki menginap di rumahku, sehingga kami merasa begitu dekat karena sering bersama baik di rumah maupun di kantor.
Setelah meletakan tasku atas meja, kuputuskan untuk membersihkan diri. Kutanggalkan pakaianku sambil mengamati seisi kamar. “Sebentar lagi aku akan meninggalkan semua kemewahan ini. Selamat tinggal kota idaman, selamat tinggal kamar kesayangan.” batinku.
Tak ingin larut dalam kesedihan, aku segera melangkah bugil ke kamar mandi. Ada ritual yang harus kuselesaikan, sekedar membuang kegalauan, yaitu coli sambil membayangkan Tante Puki alias Tante Pupuh.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar