Cincin dari masa lalu (tamat)


BAB 65








Selama dua hari berada di Ewer, kegiatan Puting Bude tidak seperti di Sawer. Kegiatan anggota Puting Bude lebih mengikuti aktivitas keluarga yang mereka tinggali. Ada yang ikut ke sawah, ada yang ikut berkebun, dan ada yang membantu menjemur dan menumbuk kopi di rumah. Baru pada sore atau malam hari saja kami berkumpul untuk sharing bersama. Isi sharing pun hanya berbagi pengalaman dan saling melempar ide tentang potensi-potensi Ewer yang bisa dikembangkan, serta mencari peluang kerjasama yang bisa dijadikan pilot projectPuting Bude di masa depan. Hanya itu.. sisanya akan kami tindak lanjuti di Bandung dan akan membuat komunikasi lanjutan dengan pihak pengurus kampung.




Kegiatan seperti ini membuat aku bisa lebih fokus mengerjakan proyek kandang luwak dan mengolah kopi. Kini sudah ada lima pasang luwak di kandang baru, dan sudah ada 25 kg biji kopi yang siap kami jual ke RSP. Bak pencucian kopi yang kami bicarakan tempo hari pun sudah selesai kami buat, tinggal menunggu semennya kering untuk diisi air. Di samping itu, kami juga selesai membuat lahan tambahan untuk menjemur kopi, juga membenahi ruang kosong di dekat dapur untuk dijadikan gudang penyimpanan.




Empat gadis cantik -Callista, Maya, Lia, Syamida- selalu menemani kami dan membantu sebisa mereka. Kebersamaan ini membuat kami semakin dekat satu sama lain, bahkan tidak sungkan saling memamerkan kemesraan dengan pasangan masing-masing, sekalipun itu di depan Maya sebagai satu-satunya jomblo.




Dan inilah senja terakhir kami berada di Ewer… besok pagi rombongan Puting Bude akan kembali ke Bandung, kecuali aku, Rad, Ray, Lia, dan Syamida yang baru akan berangkat tiga hari kemudian. Kami masih punya waktu cuti dan akan memanfaatkannya untuk menyelesaikan semua urusan kopi.




Kupretnya, ketiga sahabatku akan pulang berbarengan dengan menggunakan mobil Lia, sedangkan aku harus berangkat sendiri karena membawa si ninja.




Kini…




Aku, Ray, Callista, Maya, Nur, dan Syamida beriringan meninggalkan pemakaman umum. Kami baru saja ziarah ke makam ayahku dan makam (alm) Maya. Aku dan Ray bersikap biasa karena sudah ikhlas menerima kepergiaannya, sedangkan wajah keempat gadis ini masih sembab bekas menangis. Di depan pusara almarhumah tadi, kuceritakan kembali kisah masa laluku sambil berharap agar Callista pun mau membuka diri dan benar-benar memulai babak baru hidupnya denganku. Aku tidak mengharapkannya sekarang, tapi semoga di Bandung nanti ia bisa menguaknya kembali. Aku pernah merasakannya sendiri, mengingat masa lalu dan berdamai dengan luka itu sangat berat dan menyesakkan; walaupun setelahnya bisa melegakan.




“Sudah donk sedihnya.” lirihku sambil memindahkan tangan pada pinggang kekasihku.




Bukannya terhibur, Callista malah memelukku sambil menangis kembali. Maya dan ketiga sahabatku sempat terhenti, dan Maya ikut mengusapi punggung kakaknya. Sejenak pelukan Callista berpindah pada adiknya. Kesempatan ini kupakai untuk membisiki Ray, dan dijawab anggukannya.




Setelah itu, kuminta Maya dan sahabat-sahabatku pulang duluan, sedangkan aku kembali memeluk kekasihku sampai tangisnya reda. Kukecup kening dan kedua pipinya lalu menuntunnya menyusuri jalan setapak menuju sebuah bukit.




Setibanya di puncak, aku duduk di atas rerumputan hijau di bibir tebing, Callista duduk di antara kedua pahaku sambil menyenderkan tubuhnya pada dadaku. Tanganku melingkar pada pinggang dan menunpang di atas perutnya.




Di hadapan kami membentang pemandangan indah pesawahan yang baru ditandur, dan tepat di bawah kami meliuk sungai kecil dengan airnya yang jernih. Gemuruh air, suara pohon yang diterpa angin, cicit burung, dan sekali-kali suara kokok ayam menjadi harmoni alam pedesaan yang sangat menyenangkan.




Kami masih saling diam sejak berpisah dengan teman-teman kami, hanya sentuhan-sentuhan yang menandakan bahwa kami saling ada dan saling mencinta, saling mendampingi dan saling melindungi.




Puas menikmati pemandangan dan simfoni senja pedesaan, kekasihku mendongak, tangannya meraih pipiku dan menempelkannya dengan pipinya sendiri. Halus telapak tangannya membelai pipiku yang satunya.




“Kamu hebat, sayang.” lirihnya.


“Kok?” kuputarkan wajahku hingga kini bibirku yang menempel pada pipinya dan mengecupinya lembut.


“Kamu bisa keluar dari bayang-bayang masa lalumu.” suaranya mulai sendu.


“Butuh waktu panjang untuk bisa sampai seperti sekarang ini, sayang; butuh waktu panjang untuk bisa keluar dari bayang-bayangnya, juga dari perih luka yang selama ini merongrongku. Kalau kini aku kelihatan tegar, itu karena aku sudah mencintai hidupku, semua pengalamanku, dengan segala manis dan pahitnya. Dan itu bukan jaminan…”




Aku menghela nafas panjang, kukecup pipi Callista, dan melanjutkan, “Aku masih bisa jatuh kembali pada kelemahan yang sama, pada kesedihan yang sama, pada rasa ketir yang sama, walaupun tidak senyeri dulu lagi.”




“Kamu tetap hebat, sedangkan aku tidak akan bisa.” desahnya berat.


“Bukan tidak bisa, sayang, tapi belum.”




Kueratkan pelukanku, bahkan Callista memasukkan tanganku melalui bawah bajunya. Kini sudah menjadi kesukaannya ketika aku memeluk sambil menyentuh kulit perutnya secara langsung.




“Wawa…”


“Hmmm?”


“Kamu mau bantu aku?”


“Apah?”


"Melewati fase seperti yang telah berhasil kamu lalui.”


“Aku pasti membantumu, tapi orang pertama dan utama yang bisa membantu adalah dirimu sendiri.”


“Aku akan berusaha. Bantu aku, dan jangan tinggalin aku.”


“As your wish.”




Cuuuuup…!!!




Callista memutar wajahnya dan mengecup bibirku lembut.




Kami saling mengulum lembut, dan tubuhnya sedikit menggelinjang ketika telapak tanganku mulai mengusapi kulit perutnya.




“Boleh kupegang?” lirihku di sela ciuman.


“Kan kamu udah melihat semuanya waktu kita mandi di tampian .” bibir kami terpisah beberapa mili.


“Kan baru melihat, nyentuh belum.”


“I’m yours.”


“Gak jadi deh.” kuturunkan kembali tanganku.


“Iiiih…” protesnya, ia malah seperti mengharapkan tanganku terus naik dan menyentuh payudaranya.


“Nanti saja kalau waktu dan tempatnya udah pas.”


“Uuuuh… nyebelin.” dengusnya kesal. Tapi tidak dengan bibirnya, ia kembali memberi ciuman dan bibir kami saling memagut dan bertukar uluran lidah.




Matahari semakin turun, dan asap-asap sudah membumbung dari atap rumah pertanda para warga sudah kembali dari sawah dan ladang masing-masing.




“Wa, besok ikut pulang ke Bandung aja yah, aku pasti gak akan sanggup merindukanmu.”


“Rindu itu bukan tentang jarak dan waktu, tapi tentang rasa yang belum menyatu.” jawabku.




Kali ini aku berani mengucapkan kata-kata itu secara langsung. Wajah Callista sedikit memerah, sepertinya ia sadar akan sindiranku.




“Hmmm..” ia hanya bergumam.




Kuakhiri kemesraan dan mengajak Callista menuruni bukit melalui jalan yang berbeda, menuju sebuah saung yang terletak di tengah perkebunan kopi. Saung tempatku melepas perjaka, sekaligus saung yang menjadi akhir keindahan cinta antara aku dan (alm) Maya.




Begitu tiba di saung, nampak perapian sudah menyala dan di atasnya tergantung ceret yang dikaitkan pada tali tambang yang terbuat dari kulit pohon. Airnya sudah mendidih. Di atas bale-bale, sudah tersedia toples kecil berisi kopi, botol air mineral, dan gelas kosong.




"Timing yang tepat.” batinku.


“Eh.. ini saung siapa, sayang? Kok orangnya gak ada?” tanya Callista.


“Kita masuk yuk.” kugandeng kekasihku duduk di atas bale-bale tanpa menjawab pertanyaannya.




Callista protes ketika aku menuang dan menyeduh kopi, karena dipikirnya aku telah mencuri. Tapi aku tidak menjawab dan hanya menyakinkannya melalui bahasa tubuh. Kuseduh kopi tanpa gula dan meletakkannya di dekat tiang saung, menunggu sedikit dingin sebelum kami minum.




“Saung ini adalah tempat pertama dan terakhir kami saling menyatakan rasa cinta.” gumamku sambil tersenyum.




Callista sangat terkejut mendengarnya, matanya terbalalak sambil menatapku lekat.




“Ja.. jadi.. saung ini adalah saung yang tadi kamu ceritakan waktu di makamnya? Saung… sebelum Maya me… me… meninggal?” tanya Callista terbata.




Aku mengangguk sambil tersenyum, tidak ada lagi kesedihan saat mengingat dan mengenangnya, aku sudah ikhlas menerima kepergiannya. Aku juga sudah menemukan penggantinya, walaupun perjalanan kami masih panjang, dan tidak tahu apa yang akan terjadi di depan.




“Hiks…” Callista mulai terisak.


“Lalu.. hiks… kenapa kita ke sini?” tanya Callista sambil mengusapi air matanya.


“Aku hanya ingin mengajakmu ngopi bareng di sini.” jawabku ringan.




Callista memelukku, tanpa bicara, juga tak lagi menangis. Melihatku tegar dan tanpa kesedihan, membuat ia tidak terlalu hanyut dalam suasana. Tapi aku yakin, di dalam hatinya ia mulai gelisah. Bukan tentang aku, tapi tentang dirinya sendiri. Aku pun hanya membalas pelukannya dalam diam sambil sekali-kali mengecupi kepalanya.




“Wa, aku sayang kamu.” suaranya sendu memecah keheningan.


“Aku tidak pernah meragukan itu.” jawabku, lebih berupa gumaman. Lanjutku, “Aku juga sayang kamu.”




Callista mendongak. Keningnya mengernyit, ia tahu nada suaraku sedikit berubah. Mungkin ia menyadari bahwa ucapan dan nada suaraku tidaklah sejalan; atau ia menyadarinya sebagai sebuah sindirian. Aku memang sengaja mengucapkannya demikian. Untuk tipe gadis seperti Callista, aku tidak bisa berkata frontal. Ia masih terlalu rapuh dan gampang terluka.




“Ngopi dulu.” aku mengalihkan kegelisahan dan rasa herannya.




Kuraih gelas dan kuteguk, lalu memberikannya kepada Callista.




“Aku gak suka kopi pahit.” ia sedikit menolak.


“Cobalah!”


“Tapi… baiklah…!”




Callista mengambil gelas dari tanganku, menyeruputnya. Keningnya mengernyit dan nampak sekali kalau ia tidak menyukainya.




“Pahiiiittt…” keluhnya sambil mencecap-cecap lidahnya.


“Nih minum air putih tapi seteguk aja.” kubuka segel botol air mineral dan memberikannya kepada kekasihku.




Callista pun menurut, ia meneguk air putih dan kembali mencecap kembali lidahnya.




“Kerasa manisnya?” tanyaku.




Callista diam sebentar lalu mengangguk.




“Kopi itu sejenis buah. Di mana pun, rasa buah-buahan itu kalau tidak manis ya kecut. Kopi adalah sejenis buah yang manis, dan kamu sudah bisa merasakannya sendiri. Pahit itu bukan essensi dari rasa, tapi efek samping karena proses pengolahannya. Meski begitu, esensi manis dari kopi tidak pernah hilang.”




Callista mengangguk lalu mengulangi menyeruput kopi, kali ini dua tegukan, lalu tanpa disuruh membasahi lidahnya dengan sedikit air.




“Begitulah hidup, sayang.”


“Maksudmu?” bola matanya berputar memandangku.


“Kalau orang selalu berpikir bahwa kopi itu pahit, maka ia tidak akan pernah merasakan nikmatnya minum kopi. Kalau orang selalu meminum kopi dengan dicampur gula, maka ia tidak akan pernah merasakan rasa manis kopi yang asli.


“…”


“Semua orang sepakat bahwa gula itu manis. Tapi di balik pahitnya kopi pun terkandung rasa manis.”


“…”


“Nah kaitannya dengan hidup… Kalau kita hanya melihat sebuah pengalaman hanya dari pahitnya, ya kita tidak akan pernah bisa merasakan indah dan manisnya. Bahagia itu bukan karena hidup kita baik-baik saja, tapi karena kita bisa memaknai setiap pengalaman, seburuk apapun itu. Pada intinya hidup itu indah, pengalaman-pengalaman tertentu yang membuatnya “pahit”, tapi itu tidak berarti bahwa hidup kehilangan keindahannya, bukan?”




Callista diam beribu bahasa. Kesedihannya kembali terpancar, walaupun tidak ada air mata yang keluar. Ketika seseorang bersedih dan menangis tanpa air mata, saat itulah ia sedang berada dalam titik terendah kerapuhan dan rasa tidak berdayanya. Itu teoriku, entah benar atau salah, karena aku bukan psikolog, aku hanya mencoba belajar dari pengalamanku sendiri.




Tik tok tik tok.




“Kamu benar, Wa.” desah Callista. Lanjutnya, “Kamu tidak meragukan bahwa aku menyayangimu, tapi aku sendiri yang malah ragu apakah aku menyayangimu atau tidak.”


“Aku tidak berkata begitu.”


“Tapi hatimu mengatakannya.”




Ia mulai peka dan bisa memahami maksudku.




Kuajak Callista untuk menghabiskan sisa kopi, kali ini tanpa disertai air putih. Ia memelukku erat, dan kubalas tak kalah erat. Ia merintih menangis, tak sedikit pun niat untuk menghibur atau menghentikannya. Ia diam dalam keperihan batinnya, tetap kudiamkan. Hanya pelukan ini yang kuberikan. Ia merasa bahwa aku ada untuknya, itu sudah cukup bagiku. Aku hanya tidak ingin ia mengingat dan mengalami kembali peristiwa pahit hidupnya seorang diri karena bisa berakibat fatal jika ia berpikiran pendek. Aku akan menemaninya, dan selalu menemaninya. Inilah caraku, dan aku tidak takut salah memperlakukannya, karena ada Sawaka yang akan selalu menemani.




Hampir satu jam kami berpelukan tanpa saling berbicara. Meski begitu, aku tahu kalau emosi kekasihku sangat tidak stabil, kadang menangis tersedu, kadang diam membisu; kadang merintih seolah kesakitan, kadang menciumiku.




Sampai akhirnya… “Nama pemuda itu adalah Tegas Anggara.” (catat: Bukan Tegas Pradoto a.k.a Agas).




Sebuah nama ia sebutkan, nama yang membuatnya bahagia di masa lalu, tapi menjadi sumber luka hatinya di masa kini. Penampilan luar kekasihku selama ini nampak baik-baik saja, tapi di dalam hatinya, ia menyimpan luka yang bisa menggerogoti kebahagian masa kininya, kapan pun, di mana pun. Meski ada aku sekalipun.




“Terima kasih, May.” aku menyambat nama adiknya. Dia adalah sumber informasiku selama ini.




Aku sudah cukup lama mengenal Callista, tapi yang kulihat hanya luaran sikapnya saja, entah itu galak, judes, manja, dan lain sebagainya; tapi di balik semuanya itu, hanya kesedihan dan luka yang ia punya.




Kisah-kasihku dengan Callista memang masih dalam hitungan hari, tetapi aku sudah sering mendengar tentang ratapan kesedihannya di saat sendiri dari adiknya. Dan aku mengerti.. itulah sebabnya Callista selalu memintaku menemaninya setiap malam sampai ia tertidur. Ia takut sendirian, bukan masalah fisik, tapi takut merasa sendiri, dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa menghilangkan rasa itu. Apakah aku hanya pelariannya saja? Apakah ia belum sepenuhnya yakin mencintaiku? Entahlah….!!! Yang jelas, setiap sikap dan luapan emosinya seringkali dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya.




Sikap dan emosinya masih sering dipengaruhi oleh dorongan-dorongan spontan yang tak jarang membuatnya menyesal. Ia sangat baik dan peka, dan jika ia berbuat salah karena spontanitasnya, ia akan sangat merasa bersalah yang berlebihan.




Sikap galak, judes, manja, cerewet, gampang marah dan bahkan menangis, dan lain sebagainya, yang bisa berubah dalam hitungan menit; kata-kata menyakitkan yang kadang ia ucapkan tanpa sadar seperti yang terjadi padaku di RSP; marahnya ketika mataku jelalatan sekaligus pasrahnya seakan mau memberikan seluruh dirinya untukku seperti ketika kami pulang dari curug dan mandi di tampian itu sudah menunjukkan bahwa ada ledakan-ledakan emosi yang ia sendiri tidak menyadarinya. Callista… gadis yang nampak sempurna… masih menyimpan banyak luka di dalam hatinya. Ia sedang kehilangan identitasnya. Mulut dan tampilan luar bisa berbohong, tapi hati dan sorot mata tidak. Itu yang selalu Cintung ajarkan sejak perkenalan pertama kami di Cimahi, setiap aku menyendiri di Taman Kartini.




Mungkin orang bertanya, apa yang salah dengan sikap Callista yang judes atau kelewat manja selama ini? Tentu saja tidak salah!!! Sejauh itu menjadi sifat alami dan bawaan karena pertumbuhannya dalam keluarga. Tapi persoalan bagi Callista, itu semua ada dalam dirinya tanpa Callista sendiri sadari. Sederhananya, Callista adalah orang yang spontan bertidak, bersikap, dan berucap; baru berpikir kemudian.




Aku tidak ingin Callista berubah. Aku sering rindu pada galaknya, aku cinta dan gemas pada manjanya. Tapi aku ingin… ia menyadari bahwa sifatnya memang seperti itu. Bukan luapan bawah sadar yang diakibatkan oleh sentilan luka batinnya.




“Wa.. sayang.. aku.. aku.” Callista tergagap, membuyarkan dialog sunyiku dengan Sawaka yang sedang berbaring di tepi perapian.


“Ssssst…” kukecup tipis bibirnya.


“Berani mengingat dan menyebut nama kekasihmu adalah keberhasilanmu memaknai filosofi kopi. Sekarang kamu masih rapuh, sayang, jangan dipaksakan.” gumamku.




Aku tidak mau terburu-buru, Callista terlalu rapuh dan masih perlu banyak waktu untuk bisa melihat kembali ke dalam dirinya, mengingat pengalaman pahitnya, untuk pada akhirnya berani menceritakan kisah itu dengan penuh rasa syukur.




“Ajari aku untuk mencintai diriku sendiri apa adanya, dan mencintaimu dengan sepenuh hati.” lirihnya.


“Sering-seringlah minum kopi tanpa gula.” aku mencoba bercanda dan mencairkan suasana.


“Wawa iiih…”




Aku langsung memeluk dan menciumi kepalanya. Ini yang kumau, sebuah manja yang natural keluar dari dirinya, bukan manja karena luapan bawah sadar untuk melarikan diri dari pengalaman yang tidak nyaman. Sahabat-sahabatnya si mamang mungkin tidak bisa membedakannya, tapi aku yang mengalaminya sungguh merasakan perbedaan itu. Ucap dan cara boleh sama, tapi ketulusan tak pernah bisa menipu.




“Aku sayang kamu, Callista Asna Husein.” ucap tulusku sambil mengecup ubun-ubunnya.


“Aku sayang kamu, Purnama Sirnawa.” balasnya sambil mendekapku, meresapi apa yang ia dengar dan ia katakan.




Kami sudah jadian di hari pertama kedatangan kami di Ewer, kami sudah berulang kali mengucapkan kata-kata yang sama. Tapi inilah ungkapan paling tulus dan jujur, seolah di saung inilah untuk pertama kalinya kami saling mengikat tali kasing sayang.




“Wawa, sayang.”


“Iya, sayang?”


“Aku mau kita saling memakaikan cincin kita sekarang.”


“Kamu yakin?”


“Iyah, aku sudah yakin, aku sayang kamu.”




“Jangan, Wa, belum saatnya.”




Sawaka membisikiku.




Duaaaaarrrr!!!!!




“Cepat pulang…!!! Aruna sedang masturbasi di tampian sambil membayangkanmu dan ia sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya di sana. Selamatkan dia karena dia adalah titisan Mantili!!!”










CINCIN DARI MASA LALU 1 (END)



Report content on this page

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Di tunggu kelanjutan y.
    Atau ada fersi PDF y?

    BalasHapus
  2. Nanggung amat bro.. sangat2 ditunggu kelanjutannya..🙏🏻🙏🏻

    BalasHapus