BAB 64
CINTA DAN FILOSOFI KOPI ALA SIRNA
“Rindu itu bukan tentang jarak dan waktu, tapi tentang rasa yang belum menyatu.”
-Walista-
Kami mengakhiri kunjungan ke Sawer dengan makan siang bersama. Keluarga Sahabat Sawer dan tiga wanita ritual dari masa Senja berkumpul semua. Bahkan kali ini, Bu Euis, ibunya Sae, ikut makan bersama, tidak seperti sebelum-sebelumnya yang hanya sibuk di dapur. Ayah almarhumah juga ikut bergabung. Kami duduk melingkar di atas tikar dengan suasana gembira, meski aku tahu bahwa sebagian teman-temanku masih merasa betah dan tidak ingin pulang.
Kehadiran Bu Euis membuat tema obrolan kami tidak jauh dari (alm) Sae, dan juga Rahma yang kini sudah seusia dengan sang kakak di masa terakhir hidupnya. Tidak ada kesedihan yang Bu Euis, suaminya, dan Keuarga Sawer pancarkan, semua kenangan diguar (dikisahkan, ceritakan) dengan penuh kebanggaan. Bahkan para orangtua banyak menasihati kami agar belajar untuk saling setia pada pasangan masing-masing, tidak mengenal lelah dalam bekerja dan meraih cita, serta tidak alergi pada sebuah keutamaan yang bernama pengorbanan. Kalau selama tiga hari ini kami belajar tentang Sawer dan segala kearifannya dari sudut pandang intelektual, siang ini hati kami disirami oleh nasihat-nasihat yang bukan menggurui; namun terasa teduh mengayomi. Kami mengangguk mengamini dan mensyukuri kesempatan bisa berkunjung dan tinggal di Sawer ini.
Seusai makan, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari kedua belah pihak. Sambutan dari pihak Puting Bude disampaikan oleh Callista sendiri yang diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan dan amplop yang berisi uang untuk mengganti biaya akomodasi dan donasi; sedangkan dari pihak tuan rumah diwakili oleh Pak RT Ega.
Saatnya bagi kami untuk meninggalkan Sawer dan melanjutkan kegiatan di Ewer pun tiba. Tepat jam setengah tiga kami pun bersalam-salaman di bawah raungan tangis Andini dan Rega. Andini dan Rega menangis bukan hanya karena sedih berpisah dengan kami, tapi juga karena Hj. Ismaja dan Bu Mae pun ikut pulang. Besok Bu Mae akan kembali ke Bandung dijemput oleh sopirnya.
Suasana haru pun langsung melingkupi kami saat satu per satu menghibur dan mencium kedua bocah itu. Dan… kami beriringan meninggalkan pendopo diantar oleh isak tangis Andini dan Rega yang berada dalam gendongan ibu mereka masing-masing. Aku sendiri merasa sedih mendengar tangisan dua calon penerus Sawer tersebut, pikiranku langsung terbayang pada calon keponakanku sendiri yang akan segera lahir, yaitu anak Kang Narto dan Ceu Ningrum. Sebuah janji kuucapkan dalam hati, untuk menyayanginya dan turut membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
Kami berjalan sambil saling diam karena masih diliputi keharuan, Callista pun sesekali mengusap air matanya dengan berjalan agak di belakang. Suasana baru mencair kembali ketika kami sudah berjalan sekitar seperempat jam, ketika Syamida terpeleset dan hampir terjatuh, tapi Ray sigap meraih tubuh gadis itu dan memeluknya. Riuh kaget berubah menjadi olok-olokan; dan suasana menjadi cair dan ramai kembali.
Bukannya malu, Ray malah melanjutkan perjalanan sambil menggandeng Syamida. Dan entah bagaimana… Rad sudah bergandengan dengan Lia, dan Callista sudah tak sungkan menggandengan tanganku. Ada yang beda, Nur sudah tak menolak ketika Karma selalu menjejerinya, hanya Aruna yang lebih banyak diam sambil pura-pura mengabadikan momen-momen terakhir perjalanan melalu smartphone-nya.
Di perbatasan Sawer-Ewer kami berpapasan dengan rombongan yang naik ke Sawer. Ada satu yang sangat menonjol, yaitu seorang gadis cantik yang sempat menjadi pusat perhatian kami. Gadis itu selalu bergandengan tangan dengan seorang pemuda, yang sepertinya adalah kekasihnya. Bahkan ketika berpapasan dan saling sapa dengan kami, tangan mereka selalu pertautan, sama seperti halnya aku dan Callista, Rad-Lia, juga Ray-Syamida.
“Gadis cantik itu selalu… sudah ada yang punya.” gumam Dirga setelah jarak mereka cukup jauh; ia seolah menyesali bahwa gadis itu sudah punya gandengan.
“Berarti aku cantik donk, Ga?” ujar Callista sambil menghentikan langkah dan memeluk pinggangku.
Kami pun tertawa bersama, kini kami bukan hanya tim yang membawa nama baik kampus, tapi juga sudah menjadi kelompok sahabat, yang tak lagi dipisahkan oleh status pimpinan dan anak buah. Ledek-ledekan malah semakin mengakrabkan kami; Hj. Ismaja dan Bu Mae pun tak hentinya tertawa karena canda-tawa yang saling kami lontarkan.
Keseruan dan senda gurau membuat perjalanan tidak terasa lagi melelahkan, kami pun tiba di Tanah Merah empat puluh lima menit kemudian. Nampak sebuah mobil bak terbuka milik keluarga Hj. Ismaja sudah terparkir, sopirnya menyambut kami dengan ramah. Bu Mae dan mertuanya duduk di depan sedangkan kami duduk di atas bak.
Callista membersihkan keringat pada wajahku dengan tissue, ia begitu perhatian, membuat rasa kesal yang sempat menggumpal dan selalu kusembunyikan pun mencair. Deheman-deheman sudah tidak mempan, malah kupeluk pinggang kekasihku dari belakang. Bahkan di saat teman-temanku meleng karena melihat ke depan, kekasihku beberapa kali mengecup pipiku dengan cepat. Ia selalu saja punya cara untuk membuatku luluh di hadapannya, tingkahnya selalu menggemaskan.
Setibanya di Ewer, keharuan kembali terulang saat kami saling berpamitan dengan Hj. Ismaja dan Bu Mae. Satu per satu kami menyalami wanita itu dan mendapat ciuman pada pipi masing-masing.
"Calls, ajak para mahasiswamu nongkrong di cafe, gratis buat kalian mah.” ujar Bu Mae sambil mencium kedua pipi gadisku.
“Hehehe… iya, tante. Tapi tante gak takut RSP bangkrut gara-gara kami, kan?” canda Callista.
“Ya nggaklah, kan gratis masuknya aja, pulangnya bayar.” Bu Mae balas bercanda, membuat kami tertawa.
Giliranku yang terakhir menyalami mereka tanpa banyak bicara, tapi sorot mata kami saling bertaut penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Kini kami sudah disatukan oleh sang legenda bernama Sawaka. Kulihat makhluk itu sedang mondar-mandir di depan mobil karena kusuruh mengawal sampai ke desa.
“Kalau ibu ke Bandung, kita ketemu. Awas kamu!!” bisik Hj. Ismaja saat kami cipika-cipiki.
Aku hanya tersenyum kecut, sepertinya ada tawaran enak, dan aku harus siap berbagi keringat“Kenapa gak minta ketemu sebelum aku kembali ke Bandung, bu?” batinku sambil mengingat kembali suwiran bulu kemaluannya.
Aku pun beralih kepada Bu Mae. Kusambut uluran tangannya, dan kami pun cipika-cipiki. “Aku tunggu kamu di Bandung, sayang.” bisik Bu Mae, dan aku pun hanya mengangguk dengan kedua pipi yang rasanya sedikit memerah. Bisikan kedua yang menggiurkan.
Hj. Ismaja dan Bu Mae kembali naik ke dalam mobil, dan Sawaka sudah duduk tenang di bak belakang. Kami tetap berdiri, menghantar kepergian mereka dengan pandangan, sampai mobilnya menghilang di belokkan. Lalu kami beriringan menuju rumahku. Ibu langsung menyambut kami, dan nampak beberapa orang tetangga sedang menyiapkan kopi dan cemilan kampung.
“Ibu…” Callista, Maya, dan Nur berhambur untuk memeluk ibu yang sedang menuruni tangga bale-bale rumah.
https://t.me/cerita_dewasaa
Pak RT, ayahnya Rad, sudah mengatur bahwa selama dua malam ke depan kami tidak ditempatkan seperti awal kedatangan kami yang hanya singgah. Ia sudah membagi anggota Puting Bude untuk tidur di rumah warga, satu orang pada satu keluarga. Maka sekitar jam lima sore, satu per satu teman-temanku dijemput oleh “keluarga” mereka masing-masing. Callista dan Maya tinggal di rumahku, dengan status bahwa Callista sebagai peserta live in dan Maya adalah tamuku, karena ia sendiri bukan bagian dari tim, sebagaimana juga Lia dan Syamida. Kedua gadis itu tidur di rumah kekasih mereka masing-masing. Aku yakin Rad cukup berperan dalam pembagian ini sehingga Callista ditempatkan di rumahku, dan aku senang, karena aku tidak perlu kerepotan menidurkannya. Ia pasti akan selalu minta ditemani, setidaknya sampai ia terlelap.
Setelah semua temanku pergi, Callista dan Maya membantu membereskan gelas bekas kami, sedangkan aku menyusul Rad dan Ray menuju kandang luwak yang katanya sudah selesai. Benar aja, seluruh bagian dinding dan atapnya sudah dipasang ram kawat, melingkari beberapa pohon kopi yang memang sudah bertahun-tahun tumbuh di sana. Kulihat para sahabatku ada di dalam. Rad dan Lia duduk berdampingan sambil saling melingkarkan tangan pada pinggang, di hadapan mereka berdiri Ray sambil memeluk Syamida dari belakang.
“Anak-anak sudah berhasil nangkap luwak baru?” tanyaku sambil menyulut sebatang rokok.
“Belum, Wa, tapi malam ini mereka sudah memasang beberapa jaring.” jawab Rad.
“Semoga mereka bisa mendapatkan buruan.” gumamku sambil mencolek pipi Syamida membuat ia mendelik, sedangkan kekasihnya hanya terkekeh melihat ulahku.
“Rencana berikutnya apa, Wa?” tanya Ray.
“Besok kita pindahkan luwak yang sudah ada ke kandang barunya, sekalian kita membangun bak air tempat mencuci kopi.”
Sesaat kami menghitung-hitung uang yang ada. Beruntung bahwa Rad masih punya bata bekas membangun rumahnya sehingga kami hanya perlu membeli semen. Sedangkan pasir, bisa menggali sendiri di bukit seberang sungai.
Kami pun sepakat untuk kerja bakti esok hari dengan meminta bantuan lima orang teman kami di kampung ini. Sedangkan untuk air, kami hanya perlu membeli beberapa meter selang tambahan, karena kami hanya tinggal menyambungkannya dengan bak air di belakang dapur.
“Kalian pulang ke Bandung bareng Puting Bude atau nanti bareng Rad dan Ray?” tanyaku kepada Lia dan Syamida.
“Yank?” Syamida mendongak menatap kekasihnya.
“Kamu pulang bareng aku aja yah.” jawab Ray disambut senyum senang gadisnya.
“Aku juga.” ujar Lia sambil menatap Rad. Senyuman sahabatku sudah cukup menjadi jawaban bagi Lia, sehingga ia tak sungkan mengecup pipi kekasihnya.
“Baguslah kalau begitu, jadi kita masih punya cukup waktu untuk mempersiapkan tim di sini.” ujarku sambil menggelembungkan asap rokok.
Pembicaraan pun berlanjut pada rencana usaha kopi, juga peran dan tanggungjawab masing-masing. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya aku pun menerima untuk menjadi ‘pimpinan’ kopi luwak asli Ewer.
“Wa, gimana kalau kita kerjasama dengan Kang Narto?” tiba-tiba Lia punya ide baru.
“Maksudmu kerjasama gimana, Li?”
“Kamu kan pernah bilang kalau Kang Narto mau nyewa ruko buat jualan martabak. Nah, kenapa gak sekalian dijadikan kedai kopi? Jadi biaya sewanya bisa ditanggung oleh kita dan Kang Narto.
Tik tok tik tok.
“Berat di modal.” gumamku setelah berpikir lama.
“Lagian pasaran kopi luwak kan untuk kalangan menengah ke atas, harganya juga gak akan terjangkau oleh pelanggan biasa.” lirih Ray.
“Lagian… masa kopi luwak mau kita jual dua ribu atau lima ribu per cangkir.” bimbang Syamida.
Lia pun menjelaskan idenya:
Pertama, kami tetap menjadi pemasok tunggal kopi luwak ke RSP yang memayungi kopi Sawaka. Lia mengusulkan agar kami tidak perlu membuat kemasan baru, akan lebih mudah dan murah kalau kami mendompleng pada merk dagang mereka dengan menggunakan label Kopi Sawaka, dengan diberi tambahan “Kopi Luwak Asli Ewer”.
“Bungkus!” ujar Rad dan Ray bersamaan.
“Urusan itu nanti aku yang bicara dengan Bu Mae sekalian membicarakan presentasi keuntungannya.” gumamku.
“Sepakat!” jawab mereka serempak.
Kedua, lia menawarkan pinjaman modal untuk menyewa tempat jualan. Martabak N&N bisa dijadikan satu lapak dengan kedai kopi milik kami. Tentu saja, yang kami jual bukan kopi luwak, tetapi kopi hitam biasa. Kami bisa kembali bekerja sama dengan RSP sebagai konsumen produk mereka. Bukan hanya jual kopi seduh, tapi kami juga bisa menjadi agen Kopi Sawaka di Cimahi.
Penjelasan Lia kami sambut dengan gembira, dan kami langsung menyetujuinya. Bahkan Rad semakin memeluk erat kekasihnya dengan penuh rasa bangga dan cinta.
“Untuk Tim Ewer gimana?” tanya Ray.
“Kalau gitu, kita sepakati saja bahwa usaha ini murni milik kita. Selain membudidayakan luwak dan memproduksi kopi sendiri, kita bisa membeli kopi luwak yang warga produksi, itu pun seandainya ada warga yang mau mengikuti jejak kita. Sedangkan untuk kopi biasa, mereka tetap bisa menjualnya ke KUD.” jelasku antusias.
Aku melanjutkan, “Masalah tim aku sudah meminta Rasmini untuk membantu. Gimana menurut kalian?”
“Kalau soal Rasmini sih aku setuju saja.” sahut Ray. Lanjutnya, “Gini aja.. biar gampang koordinirnya, biar orangtua kita saja yang ngurus di kampung, sedangkan kita bekerja di Bandung. Lagian kan ibumu tidak terlalu sibuk di sawah dan bisa lebih fokus mengawasi usaha kita.”
“Gimana?” tanyaku sambil menatap tiga sahabatku yang lain.
“Setuju.”
“Oke.”
“Deal.”
Kami pun meraih kesepakatan, dan obrolan dilanjutkan dengan hal-hal tambahan yang bersifat teknis.
“Yank, udah ada biji kopi yang kering, kan? Besok sekalian aja disangrai lalu disajikan pada anak-anak PMBE.” ujar Lia.
“Nah bener tuh.” Syamida antusias.
“Wa? Ray?” Rad meminta persetujuan kami berdua.
“Ide bagus. Besok biar Lia dan Syamida bantu ibu untuk mengolahnya, karena kami para cowok kan mau bikin bak air.” jawabku.
“Loh kamu gak ikut kegiatan Puting Bude?” tanya Ray.
“PMBE, sayaaaang!!! Kok kamu malah ikut-ikutan mesum kayak Sirna, sih?” protes Syamida.
“Bisa diatur.” jawabku, sedangkan Ray hanya cengengesan karena mendapat protes dari kekasihnya.
Tak terasa waktu pun sudah menjelang maghrib, sehingga kami saling menggeliat untuk membubarkan diri.
Kamu beriringan masuk rumahku melalui pintu dapur. Nampak ibu sedang duduk diatas jojodog depan tungku sambil menunggu nasi matang, diapiit oleh Callista dan Maya. Keduanya bermanja sambil menumpangkan kepala pada bahu ibu dari sisi yang berlawanan.
“Loh kalian belum pada mandi?” heranku.
“Tahu tuh.. anak-anak ibu susah banget disuruh mandinya. Maunya nungguin kamu.” ujar ibu sambil mengusapi kepala Callista dan Maya.
“Yaudah bareng yuks.” ujar Lia.
“Nanti, Li, bantuin ibu masak dulu.” jawab Callista sambil mengangkat kepalanya enggan.
“Udah.. kalian mandi saja, nak. Lagian tinggal nunggu nasi aja. Kalian juga nanti makan di sini, kan?” jawab ibu sambil menatap para sahabatku.
Mereka semua mengangguk membuat ibu senang. Setelah itu, keempat sahabatku pergi untuk mengambil alat mandi masing-masing di rumah mereka; pun pula aku, Callista dan Maya beranjak menuju kamar masing-masing untuk mengambil alat mandi dan baju ganti. Kami bertiga berjalan menuju tampian yang sudah disepakati dengan Ray dan Rad.
Ada tiga tampian yang berdekatan sebagai tempat kami mandi. Tentu saja mandi bergiliran, agar tidak saling saling membandingkan. Karena hari mulai gelap dan untuk mempercepat waktu, aku mengajak Callista untuk mandi di tampian lain dengan menyeberangi sungai. Kubawakan pakaian kotor yang hendak ia cuci, sedangkan tangan satu lagi menuntunnya.
“Sayang boleh yah? Bajuku mau sekalian dicuci.” ujar Callista setibanya di pemandian. Ia meminta ijin untuk meloloskan pakaiannya dan hanya berlilitkan handuk.
Kali ini aku mengangguk setuju, karena sudah tidak mungkin lagi ada orang datang dan melihat keindahan tubuhnya.
Callista masuk ke dalam tampian untuk membuka pakaiannya, sementara aku memunggunginya.
“Liat juga gak apa-apa, kok yank.” goda Callista.
Aku hanya diam tak menjawab. Tak lama kemudian kudengar langkah Callista mendekat lalu mencolek punggungku. Sekali lagi.. aku terpesona oleh keindahan tubuh kekasihku. Meski dalam keremangan, aku bisa melihat keindahan tubuhnya yang hanya dibungkus selembar handuk.
“Udah kamu mandi duluan, biar bajumu aku cuci sekalian.” ujarnya sambil memepetkan tubuhnya.
“Sayang…” lirihku.
Callista malah semakin menempel dan melingkarkan tangannya pada leherku, tak perlu waktu lama, bibir kami pun langsung berpagutan hangat. Puas berciuman, aku masuk ke dalam tampian dan mengisi ember yang berisi pakaian kotornya, kubuka juga bajuku dan memasukkannya ke sana. Tapi ia mencegah ketika aku mau membantunya mencuci. Meskipun anak kota dan berasal dari kalangan keluarga berada, rupanya Callista cukup fasih mencuci pakaian secara manual. Kubantu meneranginya dengan menyalakan senter pada hapeku, dan kuselipkan pada dinding bilik pemandian.
Tubuhnya terpampang menggairahkan, bahkan pahanya terbuka sampai ke atas. Seandainya ia memakai celana dalam, pasti aku bisa melihat tepiannya, tapi kini ia sudah benar-benar tanpa penutup, selain oleh handuk. Beruntung posisinya menyamping sehingga aku tidak bisa melihat tengah-tengah pangkal pahanya.
Bukannya Callista tidak tahu akan aksi jelalatan mataku, tapi ia sepertinya sudah tidak risih lagi, ia melanjutkan pekerjaannya sambil sekali-kali memeletkan lidah.
Daripada aku khilaf, dan ia pasti tidak akan menolak, kuputuskan untuk mandi. Kubuka celana panjangku, dan berjongkok di bawah pancuran hanya ditutupi celana dalam, itu pun mengembung karena si jalu setengah tegang. Meskipun ada pembatas bilik di antara kami, tapi karena tingginya hanya sebatas lutut tentu saja kami masih bisa saling melirik. Tapi kufokus untuk mandi dan membersihkan tubuhku.
“Buka celana dalamnya.” ujarnya ketika aku mengeringkan tubuhku dengan handuk.
Aku pun melilitkan handuk pada pinggangku dan memelorotkan celana dalamku. Tanpa risih, Callista pun mencucinya dan aku memakai pakaian yang baru. Aku membantunya membilas pakaian yang sudah ia cuci, sedangkan ia melanjutkan yang tersisa.
Setelah selesai, kini giliran Callista yang mandi.
“Liat boleh tapi jangan sentuh.” bisiknya ketika semua pakaian bersih sudah masuk ke dalam ember.
Tanpa malu, Callista pun melepaskan handuknya dan berjongkok di bawah pancuran dengan paha dijepitkan untuk melindungi vaginanya. Sedikit saja aku menyentuhnya ia pasti sudah mengerang dan meminta lebih, tapi aku menguatkan diri meski kemaluanku sendiri sakit terjepit celana dalam. Sejenak aku menatap tubuh polos nan indah kekasihku yang sedang merintih manja di bawah guyuran air yang dingin.
Payudara Callista memancung ke depan dengan puting yang kecil indah. Putih tanpa noda, dan ternyata lebih besar dari ukurannya yang selama ini kuduga. Rupanya selama ini ia sengaja menyembunyikan assetnya dari ukuran yang sebenarnya. Sementara pada pangkal atas jepitan pahanya, nampak pucuk-pucuk bulu vaginanya yang halus dan basah.
Berulang kali aku menarik nafas panjang, lalu mendekat. Bukan untuk menyentuhnya, tapi untuk kumur dan sikat gigi. Jadilah.. ia mandi dan aku sikat gigi. Meski pun tubuhnya polos dan menggiurkan, tubuh terindah yang pernah kulihat, tapi hanya mata kami yang saling mencumbu. Sedikit saja sentuhan, pasti kami tidak akan tahan.
Seusai sikat gigi aku beranjak keluar dari bilik mandi, dan menunggunya di luar. Sengaja aku memunggunginya untuk meredakan gairah. Siapapun lelaki, tak akan tahan melihat seorang gadis cantik dan seksi sedang menyabuni tubuhnya, juga payudaranya.
Akhirnya kekasihku pun selesai mandi dan sikat gigi, dan kami pulang bergandengan dengan bermodalkan penerangan senter hape.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar