BAB 63
Aku dan Maya berdiri di atas batu besar dengan tubuh basah kuyup, sementara Callista dan teman-teman kami yang lain masih asik bermain di bawah air terjun bersama Rega, Gera dan Andini. Ketiganya sudah sangat akrab dengan kami semua. Sekali-kali aku tersenyum kepada Callista yang melambaikan tangan kepadaku.
“Aku bahagia.” ujar Maya tanpa memalingkan tatapannya pada teman-teman kami.
“Tapi tugas kita masih panjang.” gumamku.
“Sejauh kita tidak saling menodai, kita bisa menghadapinya bersama-sama.”
Aku hanya mengangguk sambil menyentuh tangannya, dan kami pun saling menggenggam sesaat, namun tidak berlangsung lama karena kalau Callista melihat bisa membuat keceriaannya hilang seketika. Ia memang tidak melarang Maya menyentuhku, tapi itu hanya boleh di depannya, jika ketahuan kami bergandengan tangan di belakangnya maka ia akan uring-uringan sepanjang hari. Entah apa yang terjadi seandainya ia tahu bahwa aku dan Maya sudah saling mereguk kenikmatan bersama.
“Jadi apa yang kamu bilang sebelum ritual udah hilang donk, May?” godaku.
“Enak aja. Aku juga kan manusia.” ia memasang wajah cemberut.
“Hehehe… makasih, kamu hebat.”
“Kita saling menjaga.”
“Iyah.”
Maya pun bercerita tentang pertemuannya dengan Bu Mae dan Hj. Ismaja. Rupanya mereka sudah saling membuat kesepakatan sebelum kami datang ke Sawer, yaitu ketika Hj. Ismaja datang ke Bandung tanpa kutemui. Menurut penuturan Maya, Hj. Ismaja sangat terkejut ketika mereka berjumpa pertama kali, ia seakan menemukan aura Sae di dalam diri Maya. Hj. Ismaja dan Bu Mae pun mulai mencari tahu tentang kisah hidup Maya, yang boleh dibilang wajar dan penuh bahagia. Rupanya pengalaman itu yang membuat Maya seolah memiliki “ikatan” dengan Sae, sebuah pengalaman yang Maya sendiri tidak pernah menceritakannya kepadaku.
Maya said:
Hikks.. aku sedih kehilangan Om Senja dan Tante Sae, mereka sangat baik, dan menyayangiku. Aku mengenal om dan tante di sekolah, mereka sering antar-jemput Ariya, kakak kelasku setahun juga teman bermainku. Om Senja juga suka berkunjung ke rumah karena ia berteman dengan papah. Kata papah, Om Senja itu adalah rekan bisnis papah.
Temanku Ariya, masih terus menangis di dalam pelukan Tante Iyah, mamahnya. Aku hanya mematung di antara papah dan mamah, sambil ngeliatin makam Tante Sae dan Om Senja. Tiba-tiba aku keingetan Sirna yang tadi pagi hampir kami tabrak, anaknya lucu walaupun tatapan matanya mesum hihi…
“Maya.”
Sebuah suara memanggilku, dan aku menengok ke arah pohon beringin, sang sumber suara. Papah dan mamah masih diam, sepertinya mereka tidak mendengar suara yang memanggilku, semuanya masih larut dalam suasana kabung.
“Maya.”
Suara itu kembali terdengar, perlahan aku melangkah, dan sepertinya tidak ada yang memedulikanku. Suara itu masih memanggil-manggil namaku, tapi tidak seorang pun kulihat di bawah pohon itu, padahal aku yakin suaranya berasal dari sana.
“Tante??” aku menyebut namanya.
Aku hanya melongo melihat Tante Sae sedang duduk di bawah beringin sambil tersenyum. Anehnya aku seakan lupa kalau Tante Sae sudah meninggal, aku pun berlari untuk memeluknya. Tapi kemudian tubuhnya diliputi asap putih bagai kapas, mengkilap berkilauan. Aku pun langsung berhenti hanya beberapa langkah dari asap itu. Tante Sae tiba-tiba menghilang seiring menipisnya asap. Tapi… tapi… tiba-tiba di hadapanku ada kucing besar, eh macan… eh harimau putih.
Anjing siberian husky kesayanganku pun kalah besar. Matanya biru dan taringnya panjang. Tapi aku tidak takut. Aku malah jadi ingat anjingku di rumah, semoga Kak Calls gak lupa ngasih dia makan. Eh.. kakak pasti tidak lupa karena kami menyayanginya.
Harimau itu mendekatiku dan menjilati leher dan mukaku. Hihi… geli… lucu banget. Kupeluk lehernya membuat harimau putih ini mengibas-ngibaskan buntutnya.
“Kamu mau kan jadi temanku?"
“Eh.. kamu bisa ngomong?”
Aku keheranan sendiri karena ternyata harimau ini bisa berbicara.
“Namaku Mantili. Kamu mau kan berteman denganku?”
“Iiyaaa… aku mau.”
“Makasih.”
Aku pun memeluk leher teman baruku yang rupanya bernama Mantili.
“Sayang ngapain kamu di situ?”
Tiba-tiba suara mamah memanggilku, aku pun menengok, kulihat mamah dan seorang perempuan berlari ke arahku. Aku tahu kemudian kalau nama perempuan itu adalah Ibu Rohmah.
“Ya ampun, sayaaang.” mamahku panik.
Aku yang heran segera menengok ke arah Mantili, mungkin mamah takut pada teman baruku. Tapi.. tapi… Mantili sudah tidak ada. Aku bukan sedang memeluknya, melainkan batu nisan yang bertuliskan sebuah nama.
“Sayang, ngapain kamu memeluk batu nisannya kakeknya Om Senja?” tanya Bu Rohmah.
Aku yang kaget mendengar cerita Maya, langsung mengajak Maya duduk di atas batu. Kugenggam tangannya erat, kini tidak takut terlihat Callista karena genggaman kami terlindung ilalang.
“Mmmay…? Kenapa kamu gak pernah bilang sebelumnya?”
“Aku takut kamu gak percaya, karena dulu kupikir cuma halusinasi.”
“Ya ampun, May…!!! Kakeknya Senja kan orang yang telah menyelamatkan Sawer dengan membuat perjanjian antara Sawaka dan Mantili. Dulu Sawer hampir punah karena amukan dua makhluk itu, akibat kesalahan yang dibuat oleh guru kakeknya Senja.”
“Iya aku tahu, aku udah baca ceritanya kok.”
“Ja.. jadi.. aaarrrh.. May… kenapa kamu gak bilang sih? Jadi pertemuan masa kecil kita, memang semacam perjodohan semesta untuk ritual tadi malam.”
“Sekarang aku juga berpikir begitu, walau sebelumnya aku nggak ngerti.”
“Jadi ini alasanmu kenapa kamu merestui aku dengan kakakmu.”
Maya pun mengangguk.
“Dulu aku berpikir, bahwa kita memang berjodoh, dalam arti pasangan pada umumnya, tapi rupanya kita berjodoh secara mistis. Sebagai cewek normal, sakit hati dan cemburu tetap ada, tapi setelah ritual semuanya berbeda.”
Aku pun sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menggenggam tangannya semakin erat. Aku dan Maya pun saling membagikan energi dalam diam kami.
“Wa, dulu Senja tidak membawa Sawaka ke Bandung, melainkan meninggalkannya di Sawer agar menjaga kampung ini. Kamu sendiri gimana?” Maya memecah keheningan.
“Sawaka akan ikut, sepertinya “Keluarga Sawer” di Bandung lebih membutuhkannya daripada Sawer ataupun Ewer.”
“Aku setuju denganmu, dan aku senang kamu membuat keputusan seperti itu.”
Kami pun kembali saling diam beberapa saat lamanya, dan… kami pun tertawa bersamaan. Kami menertawakan apa yang sudah kami alami dan jalani. Mulai awal perkenalan di Cimahi, sampai air mata kesedihan ketika kami bertemu di Selasar Si Karyo. Kalau kami sudah tahu sejak awal, mungkin kami tidak perlu bersedih seperti itu.
[POV TS: Kalau gak gitu, TS gak punya gawe dan gak perlu bikin cerita ini].
“Aku “sayang” kamu, May.”
“Aku juga “sayang” kamu, Kak Wawa.”
Dan kami pun terbahak bersama, tawa bahagia tanpa kepalsuan.
Tak lama kemudian, Callista datang sambil menggendong Rega. Bocah itu nampak gembira meskipun pakaiannya basah kuyup, tubuhnya memeluk kekasihku erat sambil mulut mungilnya terus ngoceh tentang keseruannya. Dibantu Maya, Callista mengganti pakaian si bocah dengan baju ganti yang sudah disiapkan.
Aku hanya memandang mereka dengan senyum berkembang. Tak jarang aku dan Callista saling beradu lirikan.
“Kalian ganti dulu gih, biar Rega bareng aku.” ujarku sambil berjongkok untuk memangku Rega.
“Wawa..!!!” Callista mencegahku.
“Hihi… om Wawa gak peka tuh, dek. Masa mau gendong Rega ya, padahal baju om Wawa kan masih basah.” Maya terkekeh sambil mengusap rambut si bocah yang tersenyum imut.
“Hihi.. om Wawa, gendong Lega.” si bocah malah menjulurkan tangan.
“Eh.. jangan dulu, sayang. Nanti Reganya basah lagi.” ujar Callista sambil mengusap pipi Rega, ia pun tidak berani memangkunya lagi karena bajunya sendiri basah.
“Sirna belum bisa jadi ayah, tuh kak. Hihi…” goda Maya pada kakaknya sambil berlari ke dalam pondok tempat ganti pakaian.
“Adeeek.” keluh Callista sambil duduk di atas batu, diikuti Rega di sampingnya.
Keduanya asik ngobrol layaknya ibu dan anak, sedangkan aku hanya menatap mereka dengan perasaan hangat. Tak lama kemudian, Maya kembali sambil menenteng plastik berisi pakaian basah.
Callista berteriak kepada teman-temanku supaya beranjak dari dalam air, tapi mereka tak acuh sambil foto-foto. Akhirnya kami pun memutuskan pulang, kali ini Maya yang menggendong Rega, sedangkan aku dan Callista memutuskan untuk mandi dan berganti pakaian di pondok.
Callista menggenggam tanganku dan beriringan bergandengan tangan menyusuri jalan setapak yang membelah pesawahan. Sesekali Maya mengajak kami berhenti untuk selfie. Setibanya di kampung, Maya langsung menuju rumah Pak Jaka bersama Rega, sedangkan aku dan Callista bergandengan menuju pondok.
“Urusan, Nur, nanti aku yang bantu.” bisik Maya sebelum kami berpisah.
Aku dan Callista meneruskan perjalanan, sedangkan Sawaka kusuruh kembali ke curug untuk mengawal teman-temanku. Aku takutnya mereka lupa diri dan tidak hati-hati karena hari ini air sungai cukup deras.
Kambuuh…!!! Ya kambuh… begitu sampai di tanjakan yang sepi, kekasihku berhenti sambil menahan tanganku.
“Yank?” heranku.
“Gendoong..!!” rajuknya.
Aku mematung menatapnya sambil menggoda dengan kerlingan.
“Sayaang, gendooong.” ia mulai camberut.
Kutepuk-tepuk pipinya gemas, lalu menyodorkan punggungku. Callista pun meloncat senang, dan nemplok pada gendonganku sampai memasuki pondok. Sekali-kali ia mencium pipiku ketika aku pura-pura kepayahan.
Kuturunkan kekasihku di depan pintu dan kusampirkan handuk basah bekas Maya di atas jemuran, sedangkan Callista membawa kantong plastik berisi pakaian basah milik adiknya ke dalam pondok.
Kubuka kaosku hingga bertelanjang dada dan kujemur di depan pondok.
“Sayang.”
Aku pun menengok… dan aku hanya bisa melongo ketika melihat kekasihku sedang berdiri di ambang pintu. Rambutnya digelung handuk putih, sedangkan bagian bawahnya hanya dililit samping (kain) batik. Dadanya membusung dengan ikatan kain di atasnya, bahu dan dadanya nampak putih tanpa noda. Kaki jenjang dan indahnya terpampang sampai setengah paha.
Aku segera berlari ke atas pondok dan membimbingnya masuk, bukan apa-apa, aku tidak ingin ada yang melihatnya dalam keadaan seperti ini.
“Kok kamu… duh… kamu dapat samping dari mana?” aku gugup berada di dekat tubuh seksinya.
“Dari Bu Rohmah, bagus gak?” Callista sangat polos menunjukkan dirinya sambil berputar, ia seakan tidak risih di hadapanku.
“Iyah bagus. Tapi kenapa kamu pakai beginian, sayang? Kan mau mandi, lagian kalau ada orang liat gimana?” omelku.
“Iiih.. aku kan mau nunjukin ke kamu.” ia cemberut tanpa dosa.
“Denger Callista s-a-y-aaa-n-g… Kamu itu udah gede, jangan polos-polos banget doong, ini kalau ada yang lihat kamu gimana? Kamu gak malu? Aku gak suka!!!”
“Wawa iiih.. kok malah marahin aku? Aku kan cuma.. hiiiiks…” ia tak melanjutkan ucapannya, wajah riangnya berubah sedih, air matanya meleleh.
“Sayang, liat aku!” geram bercampur gemas menguasai diri.
“Aku cuma gak mau kamu dilihat orang lain berpakaian seperti ini, apalagi dilihat mahasiswamu, ingat sayang kamu itu dos…”
“Hiks… hiks.. kamu jahat!!!” Callista memotongku lalu berlari ke dalam kamar.
Ia langsung duduk di tepian ranjang membuat kainnya semakin tertarik ke atas, memamerkan pahanya yang putih. Aku hanya bisa mendengus melihatnya. Aku memang mesum, tapi tidak mungkin mesumin kekasih sendiri (kecuali khilaf wkwkwk…).
Kini aku yang harus bersikap lebih dewasa, meski usiaku lebih muda empat tahun setengah.
“Sayang.. sayang…” kuraih tubuhnya yang meronta enggan kusentuh. “Iya, aku minta maaf, tapi aku ngelarangmu karena aku sayang kamu. Kan katanya kecantikanmu hanya buat aku? Aku gak mau donk tubuhmu yang seperti ini dilihat orang lain.” rayuku.
Rontaannya berkurang dan ia sudah tidak menolak pelukanku.
“Kamu cantik banget pake kain seperti ini. Aku suka…! Tapi aku aja yang boleh ngeliatnya yah.”
“Tapi kan ini juga gak ada orang lain yang liat.. hiks…”
“Iyaaah.. tapi kan tadi kamu keluar pintu, kalau teman-teman kita tiba-tiba datang gimana, atau ada orang di pondok sebelah yang ngeliat?”
“Hiks.. hiks… iya aku salah.”
“Liat aku…” kudorong tubuhnya lembut dan kuusapi pipinya yang basah oleh air mata, “Kamu gak salah apa-apa, sayang, cuma ya hati-hati aja. Udah yah.. masa sedih kayak gini, entar cantiknya luntur.” aku masih merayunya.
Callista tidak menjawab, melainkan melengos, membuang tatapan matanya. Kini aku baru sadar kalau aku pun bertelanjang dada. Konyol memang…!!!
“Curang!!”
“Heh? Kok?”
“Kamu aja telanjang dada, masa aku gak boleh? Aku juga kan gak mau tubuhmu diliatin orang lain.” ia ngedumel sambil mengusapi sisa air matanya.
“Hehehe.. ya abisnya aku panik liat kamu kayak gini. Terus masa kamu mau telanjang dada juga kayak aku? Aku makin marah donk.” godaku.
“Wawa iiih…”
“Hehehe… yaudah kamu mandi dulu yah sayang, nanti yang lain keburu datang.”
Kekasihku kembali menghadapku, sudut matanya melirik dada bidangku.
“Mandi!”
Callista menggelembungkan kedua pipinya.
“Hhhhheeeuuuhhh.. sayang, kamu gemesin banget sih? Lama-lama aku mandiin nih?” gemasku sambil menggosok-gosok rambutnya.
“Yaudah ayo.”
“Heh? Beneran mandi bareng?”
Callista mengangguk-angguk lucu.
“Emang boleh? Nanti gak tahan loh.”
“Iiiih.. ya jangan dibuka semua.”
“Kita mandi sendiri-sendiri aja yah.”
“Wawa…” ia cemberut.
Kudekap Callista dan kucium bibirnya gemas. Ia membalas dan kami saling kulum sesaat.
Huuuuffff…!!!
“Aaaaaaw….”
Callista menjerit kecil saat kuangkat tubuhnya, ikatan kainnya nyaris terlepas namun ia sigap memegangnya, tapi tidak dengan pahanya. Kainnya tertarik tanganku sehingga tepian celana dalamnya terlihat.
Kubawa Callista ke dalam kamar mandi. Gadisku hanya tersenyum sambil menoyori pipiku dengan telapak tangannya.
“Met mandi, sayang.” kuturunkan tubuhnya.
Dengan cepat kututup pintu dari luar. Bukan aku tidak mau khilaf saling memandikan, tapi aku takut teman-temanku keburu datang.
“Wawa iiih…” teriaknya dari dalam.
“Met mandi, gadis manja…!!!” jawabku sambil berjalan menuju pondokku sendiri.
https://t.me/cerita_dewasaa
Seusai mandi aku sengaja mengajak Callista ziarah ke makam Senja dan Sae, kami masih punya waktu sebelum makan siang. Sepanjang jalan, Callista mengungkapkan rasa penasarannya, karena menurutnya hari ini aku terlihat berbeda. Entahlah… Callista sendiri susah menjelaskannya, ia seakan menangkap aura yang berbeda dariku. “Aku makin sayang, deh.” kekehnya girang.
Aku hanya menanggapinya dengan santai, karena aku sendiri tidak merasakan perubahan apapun, Sirna ya Sirna, tak ada yang berubah, dan tak ada yang perlu diubah. Apalagi bakat mesum.. rasanya terlalu sayang kalau dihilangkan begitu saja.
Kami memasuki pemakaman umum sambil bergandengan tangan, suasana nampak sepi. Kuburan Senja dan Sae terletak di sisi atas dan agak terpisah dari yang lainnya. Sekitar pusara mereka yang bersisian ditutup oleh pagar kokoh yang terbuat dari kayu jati. Tanpa Callista curiga aku membuka gemboknya, seolah tidak terkancing, padahal jelas gembok ini terkunci. Bukan hal yang sulit bagiku, setelah punya sahabat baru, yaitu Sawaka, aku bisa melakukannya dengan mudah berkat energi yang kumiliki.
Kutuntun kekasihku untuk masuk dan berjongkok di bagian kaki pusara.
"Kau kehendaki rapuhku, kau genggam semua rasaku." Itulah tulisan yang tertera pada nisan di bawah cetakan tebal Senja Rahadian Prakasa.
Pada nisan di sampingnya yang bertuliskan “Melesat dari hidup hanya rindu, biar aku jatuh dalan kasih sucimu.”
Kemudian aku duduk bersila pada lantai marmer, dan callista emok (duduk dengan kaki melipat di samping) meletakkan kepalanya pada puhu lengan kiriku. Kami berdua larut dalam keheningan, hanyut dalam setiap harap dan doa-diam masing-masing.
Setelah sekian lama saling diam, Callista mengambil telapak tanganku dan menggenggam erat.
“Jangan pernah menjadikan cinta sebagai sandiwara kalau tidak siap menanggung lukanya.” suara Callista mengalun lembut.
“Karena mulut bisa berbohong, tapi hati tidak.” sahutku.
Kekasihku mendongak dan kami saling berbagi senyuman.
“Lanjutannya…?” lirihnya sambil menatap-sayang.
“Semoga perpisahan ini tanpa sesal, biar yang tinggal hanya kenangan. Kamu.. aku.. tak lagi kita.” aku menjawab lagi.
“Wawa iiih… aku gak suka quote yang itu.” kekasihku merengut.
“Karena…” lanjut Callista, dan aku langsung ikut melafalkan:
Aku punya peran dan kau punya cerita
Aku bersandiwara dan kau mengatur alurnya;
Kau imajinasi dan aku adalah narasi.
Tapi ada yang tak bisa kita beda
Cinta kita sama.
Aku
Kamu
Selamanya.
Tangan Callista melingkar pada pinggangku. Kami sama-sama menghayati quote-quote dan puisi peninggalan Senja-Sae seolah milik kami sendiri.
Kukeluarkan kalung cincin dari saku celanaku, “Sayang, boleh aku melihat punyamu?”
Callista sedikit mengangkat kepalanya untuk melepas kalung cincinnya sendiri. Kuletakan cincinku di atas pusara Senja, dan cincin milik Callista pada pusara Sae.
“Cincin ini milik mereka.” gumamku.
Menyadari bahwa Callista tidak menjawab, kulirik kekasihku. Air matanya berlinang dan bibirnya bergetar.
Kulingkarkan tanganku dan kuusapi puhu lengannya, Callista semakin menangis. “Aku belum siap,” ucap di tengah isaknya.
“Kalau kamu belum siap menceritakan masa lalumu dengan pemuda itu, berarti aku belum sepenuhnya bisa menggantikannya di dalam hatimu.” ingin aku mengucapkan kalimat ini, tapi kuurungkan, karena Callista nampaknya memang belum sungguh-sungguh siap. Aku tidak mau ia meninggalkan Sawer dengan membawa lara dari masa lalu.
“Cepat atau lambat, kita harus mengembalikan kedua cincin ini pada keluarga Senja dan Sae.” lirihku sambil menyembunyikan rasa kecewa karena Callista belum mau terbuka.
“Aku tidak mau mengembalikannya hiiiiks…”
“Aku kan bilang “cepat atau lambat”, jadi kita akan mengembalikannya setelah kamu siap.”
“Aku tidak mau. Hiiiks…!”
Aku menarik nafas panjang sambil menatap dua pusara di depanku. Aku benar-benar kecewa.
“Calls, kalau… kalau… kita sama-sama menyematkan kedua cincin ini pada jari kita gimana? Biar menjadi tanda cinta kita berdua. Aku berjanji, suatu saat aku akan menggantinya dengan cincin yang akan kubeli sendiri.”
Dari sudut mataku, kulihat Callista menggeleng sambil mengusapi air matanya. Aku sudah tahu jawabannya, ia enggan menerima usulku.
“Baiklah.” gumamku.
Kuambil cincinku dan kukantongi kembali, sedangkan cincin Callista kubiarkan, aku ingin ia yang mengambilnya sendiri dan membawanya pulang, terserah mau diapakan, aku sudah tak ingin mengungkitnya kembali. Jalan kami masih panjang!!!
Kubiarkan Callista menghabiskan tangisnya sambil satu tangan tetap memelukku, untuk pertama kalinya, aku tidak berniat sedikit pun untuk mengusap dan mengeringkan air mata gadis ini.
“Mengenang adalah cara terbaik untuk belajar dari pengalaman.”
Sebuah suara memecah diam di antara aku dan Callista. Serempak kami menengok, nampak Bu Rohmah, Hj. Ismaja, Bu Mae, dan Maya sudah berdiri di belakang kami.
Aku hanya tersenyum kecut sambil membantu Callista berdiri. Aku pun menjawab kutipan Bu Mae atas goresan pena Senja, “Harga yang harus dibayar ketika berani mengorek nganga-luka-kenangan tak sebanding dengan bahagia masa depan,” tapi batinku melanjutkan, “Kau salahgunakan diamku, dan kauabaikan jujurku.”
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar