BAB 62
Bunyi kecipak langkahku membuat si gadis menengok tanpa mengubah posisi duduknya, senyumnya terulas, sangat indah. Padahal hatiku menjerit memberontak, aku tak menginginkannya. Ia terlalu sempurna, teramat cantik, sangat kusayangi.
Sinar mata kami beradu, dan aku semakin mendekat. Bibirku bergetar memanggilnya.
“Sayang!!?”
Dan mulutnya terbuka, sebuah kata terucap, sangat merdu kudengar…
“Hai, sayang.”
Senyumnya terulas indah, ia seakan begitu bahagia telah menjadi gadis ritualku dan malam ini bisa saling menyatukan tubuh dan hati; dan kami akan selalu memiliki ikatan batin seumur hidup. Sebaliknya, aku merasa sesak karena aku sungguh-sungguh tidak ingin menodai gadis ini. Memang keperawanannya akan pulih setelah ritual, tapi tetap saja aku tidak mengharapkannya. Aku menyayanginya, jauh melampau persetubuhan. Aku mencintainya, tanpa perlu meraup nikmat dan saling memberi kepuasan.
Gadisku seakan mengerti kecamuk hatiku, ia membaca kegamangan pada sorot mataku.
“Aku bahagia, sayang, dan aku sangat bahagia. Aku sudah tahu bahwa kita akan saling memiliki malam ini sejak di Bandung, tapi aku terpaksa harus merahasiakannya darimu. Yang tadi di pondok, lupakan saja, aku tulus menyayangimu, dan menjadi gadis ritualmu itu sudah cukup bagiku. Aku bahagia karena kita akan selalu punya ikatan batin, meski kita tidak akan pernah bisa bersanding sebagai suami-istri. Namun demikian, kita akan selalu dekat karena kita bersaudara, bukan?”
Ucapnya panjang lebar. Ia mengabarkan kebahagiaannya, sangat bertolak belakang dengan kesedihannya ketika mengungkapkan rasa cintanya di belakang pondok tadi.
“Heiii… udah jangan bimbang lagi. Kamu harusnya bahagia seperti aku. Malam ini dan selanjutnya, aku adalah istri mistismu, dan kamu adalah suami ritualku.”
Aku merunduk untuk menciduk air dengan kedua telapak tanganku, dan kubasuh mukaku sekedar untuk menenangkan diri dan memantapkan hati. Gadis ini benar, demi orang-orang yang kami sayangi, kami tidak akan mau bercinta lagi setelah ini, tapi kami adalah “pasangan mistis” yang akan selalu terikat satu sama lain layaknya suami-istri.
Aku kembali menegakan tubuhku, dan mata “istriku” sudah terpaku pada penisku sambil menggigit bibir bawahnya.
“Aku sayang kamu, Purnama Sirnawa.” suaranya bergetar karena mulai terbakar gairah.
“Aku juga sayang kamu, Maya Husna Husein.”
Senyumnya indah, bola matanya berbinar, dan aku pun merunduk untuk mengusap rambutnya yang basah. Tubuhnya bergetar menerima sentuhanku, tangannya terulur untuk meraih penisku, tapi kutepis lembut membuat ia cemberut gemas.
Sejenak aku mendongak untuk menatap purnama, belum saatnya bagi kami untuk memulai ritual karena rembulan belum berada di puncak orbitnya. Masih ada sedikit waktu untuk benar-benar menyiapkan batin agar aku bisa memberikan seluruh diriku, hati dan juga tubuhku.
Aku pun naik ke atas “batu pelaminan” yang semerbak oleh bunga, lalu duduk di hadapan Maya dengan posisi sedikit menyamping karena kakinya menyelonjor. Mataku selalu lekat pada wajah dan kedua bola matanya, bukan apa-apa, tubuh Maya sangatlah menggairahkan, padahal aku belum boleh menggaulinya.
Kulepas kalungku dan kukeluarkan cincin dari talinya. Maya tak hentinya tersenyum melihat apa yang kulakukan. Ia tidak menolak ketika kuraih jemari manisnya dan memasukkan cincin itu, sorot mata kami tak hentinya beradu tanpa melihat cincin yang sedang kupasangkan.
Setelah tersemat, barulah Maya menunduk melihat jemarinya yang masih kugenggam. Kuangkat tangannya dan kukecup cincin yang sudah melingkar, sangat indah dan selaras dengan warna kulitnya yang putih, seksi berpadu dengan bulu-bulu halus pada buku jemarinya.
Kini gantian Maya yang mengecup punggung tanganku, lalu mengecup cincin pada jarinya sendiri.
“Kamu ingin tahu doaku ketika mengecup cincin ini di kamar kostmu kala itu, sayang?” suaranya merdu.
“Apah?”
“Aku meminta ijin kepada almarhum untuk menggantikannya mencintaimu, dan seandainya aku tidak bisa menjadi istrimu, aku akan tetap menyayangimu.”
Aku langsung meremas jemarinya, dan Maya membalas lembut. Mata kami kembali beradu dengan senyum indah yang kami mekarkan.
Kuelus wajahnya dengan jemariku, turun ke bahu dan lengannya. Ia hanya mendongak diam. Desah resah mulai kudengar. Dengan sangat lambat ujung-ujung jariku menyusuri gundukan payudara atasnya. Lembut dan kenyal; putih dan mengkal.
Kuusap kulit perutnya, melingkar ke pinggang dan punggungnya. Clep. Aku berhasil membuka ikatan secarik kain penutup dadanya, luruh, lalu kulempar hingga mengapung di atas air. Mataku nanar melihat payudara sempurna di hadapanku. Kini kedua gunung kembarnya menggantung tanpa penghalang, putingnya mengacung; mencuat di pusat lingkaran coklat muda. Sangat.. sangat indah dan menggairahkan. Kulit payudaranya sendiri putih dengan urat-urat kebiruan, lalu berpadu coklat muda pada areolanya, dan memuncak dengan warna coklat tua pada kedua putingnya.
Pucuk putingnya meneteskan buliran basah, bening air mengalir, merambat dari rambut basah dan lehernya. Aku bergetar menahan desah.
Kugenggam kedua tangannya dan tanpa sepakat sama-sama mendongak. Purnama sudah berada tepat di atas kami, pertanda saatnya memadu kasih sudah tiba.
Aku pun mengubah posisiku dengan berlutut. Kuraih lipatan kain yang terselip di tepi pinggangnya. Kutarik perlahan, dan Maya mengangkat tubuh bawahnya, bertumpu pada ujung kaki dan telapak tangannya. Kuputar dua kali sampai sungguh-sungguh terlepas. Pluuuuk… kulempar, tersampir di permukaan air. Kini Maya sudah tanpa pelindung, dan kami sama-sama bugil.
Binar mataku menyala. Ada geram dalam debam di dada. Bulu-bulu hitam nan halus menyeruak basah, meranggas seolah mau meraih lubang pusar di perutnya. Apa daya lembaran itu terlalu pendek untuk sampai ke sana.
Aku mendengus resah memandangnya. Nampak ia menggeliat lalu membaringkan tubuhnya setengah telungkup di atas batu, memunggungiku. Ia seakan malu memamerkan tubuhnya di hadapanku. Kaki kirinya diluruskan, sementara kaki kanan menekuk. Satu payudaranya terhimpit di antara batu dan dadanya, satu lagi membaring-menyamping. Pipi kirinya menempel di atas batu, sementara rambutnya menjuntai di tepian. Ujung-ujungnya seakan hendak hanyut di atas riak air. Tangan kiri memeluk tepian batu sementara tangan kanannya berkecipak memainkan air.
Aku mendesah, detak jantungku seakan meraung menuntut kepuasan.
Aku membungkuk dan mencium tengkuknya. Gelinjang halus tubuh polosnya membuatku kian bergairah, bulu-bulu halus dan pori-porinya meremang. Aku menciumi seluruh tubuh belakang gadisku, tanpa melakukan pergerakan lain. Hanya bibir dan lidahku yang bersentuhan dengan kulitnya. Sekali-kali ujung hidungku bersapa dengan remang porinya, mendenguskan rasa resah yang bergelora. Biar ini menjadi sengat birahi di antara kami.
Setiap inci kulitnya menjadi kesukaanku. Lidahku menjalar pada setiap lekuk tulang punggung dan setiap rusuknya. Melingkar di langsing pinggangnya, dan mendaki bongkahan pinggulnya. Tubuhnya gelisah. Geraknya resah. Nafasnya tersengal. Tangannya memukul-mukul permukaan air membuat bunga-bunga tersibak bergelombang.
Ada sedikit lembah antara pinggul dan pangkal paha belakangnya. Aku tetirah dan terbenam di sana. Lalu kukecup lipatannya. Selanjutnya lidahku berhenti beraksi, bibirku bertugas mengganti. Mengecup kedua paha belakangnya bergantian. Lidahku bekerja sebentar di bagian belakang lututnya, lalu kukecupi kembali jenjang kakinya. Tak ada yang terlewat. Sampai akhirnya aku tiba di telapak kakinya. Kujilati dan kukulum jari-jarinya dengan telaten.
Suara rintih mulai kudengar. Aroma keringat sudah mulai bisa kuhirup. Aku berdiri, ia mengerti. Dibalikan tubuhnya. Kemolekkannya kembali terpampang. Kuciumi seluruh wajahnya. Kening, kedua mata, garis hidung dan pucuknya yang mancung
kedua pipi dan dagunya. Kuabaikan bibir merah jambunya.
Aku asik. Aku bermain. Aku berkelana mengenali setiap jengkal tubuhnya. Meski nafasku kian resah, sejenak aku lupa pada reaksi tubuhku sendiri. Kukecup dan kujilat lehernya, merambat turun ke belahan payudaranya. Aku terbenam, wajahku menari bersama sengal nafas yang nampak dalam gerak naik-turun dadanya.
Lalu kujilat dan kukecupi permukaan payudaranya. Sungguh sangat kenyal, seluruhnya mengkal. Setelah ujung lidahku menyusuri tepi lingkaran kecoklatan areolanya, seketika aku melahap putingnya yang mematung keras. Pekiknya pecah.. melengking membelah sunyi malam. Ia menumpahkan gerah gairahnya yang lama tertahan.
“Uuuuuuh… Ssssshhhhh…”
Kukecup dan kuhisap. Kumainkan lidahku di pucuknya, sementara bibirku mengapit. Kulakukan bergantian di antara bongkahan keduanya. Sementara anggota tubuh yang lain masih kutahan untuk tidak bersentuhan. Lama dan lama… aku berada di pucuk payudaranya. Rintihannya semakin perih menuntut kenikmatan yang lebih.
“Aaaah sayaaaang…” Maya kian meracau.
Aku turun gunung. Merambat turun. Menyusuri sisi bawah payudaranya, merangkak menuju perut dan pusarnya. Turun lagi menuju selangkangannya yang tiba-tiba membelah karena ia merenggangkan kedua kakinya. Kucecap dan kuhisap bulu-bulu atas kemaluannya, kutarik-tarik dengan apitan bibirku. Aroma wangi khas kemaluannya langsung terhirup.
Lantas kuberalih menciumi kedua pahanya. Ada pekik marah yang kudengar ketika aku mengabaikan celah kemaluannya. Aku penguasanya. Aku patuh pada kemauanku sendiri, bukan pada kemauan gadisku. Kulanjutkan penjelajahanku.
Penuh hayat dan perasaan aku kembali menyusuri paha dan kaki bagian depannya, dan menuntaskan dengan melumat kembali jari-jari kakinya. Aku berdiri sejenak, merenggangkan badan. Rintih dan desahnya kini berubah menjadi isak tangis. Tak kuasa menahan birahi yang menuntut kepuasan. Aku menyeringai senang.
“Sayaaang.. hikks…” ia memohon.
Amarah karena ledakan gairah yang tak tertuntaskan begitu nampak. Apalagi selama ini aku hanya menyentuh tubuhnya dengan cumbuan bibirku. Tanganku masih belum menyentuh anggota tubuh vitalnya, karena sibuk menepis tangan Maya yang hendak meraih tubuhku.
Kurenggangkan dan kutekuk kedua kakinya. Inilah pertemuan pertama telapak tanganku dengan kulit tubuhnya. Hatiku memberi perintah dan menuntun semua pergerakkanku. Aku membungkuk; kusibak dan kurapikan bulu-bulu kemaluannya. Ada cairan putih yang menggumpal di sela bibir-basah-merah-jambu ini, kuhirup dan kuseruput. Keduanya pahanya mengejang seiring pekiknya yang makin kerap dan kencang.
Tanpa ragu kusisiri kedua sisi dinding vagina Maya dengan lidahku, lalu mencecap lembah merahnya. Tanganku menahan kedua lututnya yang hendak berontak menahan nikmat. Setelah sekian lama aku mencecapi kemaluannya, aku meraih kedua payudaranya. Serempak. Serentak. Cepat dan tiba-tiba. Tanganku hinggap di atas kedua payudaranya, dan lidahku mencucuk bulatan kecil klitorisnya. Remasan dan jilatan kulakukan bersamaan.
Jeritnya melengking nyaring; dari kemaluannya menderas cairan basah. Segera kutampung dengan mulutku dan kuteguk. Tubuh Maya kejang beberapa saat lamanya, sampai akhirnya terkulai lemas. Kubenamkan tubuhku di atasnya, kemaluan kami lekat menempel, lalu kukecupi wajahnya sambil tanganku mengelus payudaranya lembut. Sejenak ia terkulai tanpa daya. Namun ketika hendak kubelai rambutnya, ia membuka mata. Matanya yang sayu dan teduh berubah menjadi tajam dan marah; ada binar yang menusuk nyali.
Seketika kekuatan gadisku pulih, terasa melalui cengkeramannya pada bahuku. Tenaganya menjadi dua kali lipat kekuatanku. Ia membalikan tubuhku dengan paksa; upayaku tak lagi mampu melawannya.
Gadisku menuntut balas. Ada sinar ‘dendam’ yang terpancar. Tapi aku senang.
Buas ia melumat bibirku. Mencecap, menjilat, menghisap. Lidahnya menerobos paksa dan menari di mulutku. Aku mengimbanginya sehingga kami saling membelit, air liur pun tak lagi terbendung menetes perlahan.
Dihempaskannya kedua tanganku yang hendak meraih tubuhnya; aku mengalah untuk mengikuti permainan balasannya. Lantas ia menjilati mukaku; terlampau liar dan buas. Aku menyeringai puas. Kedua kupingku dihisap bergantian, dan dadaku diremas. Bahuku digigit gemas. Kecupan dan dengus nafasnya membuatku sungguh menikmati permainan gadisku.
Seluruh dada dan perutku menjadi area berselancar lidah dan bibirnya; aku mendengus dan menggeram. Lama dan lama. Penisku sakit dan ngilu karena tegang maksikmal, namun ia tak kunjung meraihnya.
Plak…!!!
Lenganku yang hendak menggenggam penisku sendiri ditampar dan disingkirkan. Baiklah. Aku mengalah.
Ia menjilati pahaku sementara ujung jarinya menarik-narik bulu kemaluanku. Eranganku pecah. Aku meracau penuh birahi; membuatnya semakin liar. Bulu-bulu betisku meremang ketika ia jilati, dan sakit di penisku yang meminta sentuhan kian kurasakan. Aku menggelinjang ketika ia menjilati telapak kakiku dan melumat jari-jarinya satu per satu. Aku meledak berteriak; matanya sekelebat memandangku binal.
Hmmmfff…!!!
Aku sejenak menahan nafas ketika akhirnya telapak tangannya menggegam penisku yang mendongak-dongak.
Cuuup…!!!
Ia mengecup ujungnya, dan memainkan lidahnya di sana. Darahku mendidih dan jantungku berdetak kencang, nafasku tersengal. Kakiku tersentak ketika lidahnya menjalari batang penisku, dan menyusuri urat-uratnya yang mengejang.
Aku hanya bisa menggeram kencang, lebih seperti lolongan, ketika ia mencaplok biji penisku. Dimasukkan ke dalam mulutnya dan mengulum buah pelirku bergantian. Sementara tangannya mulai mengocok batangnya. Sekuat tenaga aku mencengkeram batu mempertahankan kenikmatan dan harga diri seorang pejantan sejati; tak boleh kalah apalagi mengalah oleh permainan lidahnya.
Kualihkan pikiran dan pandanganku. Sementara gadisku mulai mengoral penisku. Di tepi kolam ada sosok yang mengawasi kami. Matanya berbinar, mulutnya menyeringai. Kami bertemu pandang. Aku melupa sejenak dari rasa nikmatku dan kusyuk pada kehadirannya.
Aku kembali sadar ketika pipiku ditampar halus dan diarahkan oleh gadisku. Wajahnya sudah begitu dekat. Tatapannya lekat. Kami kembali berciuman. Tangannya mengarahkan penisku ke vaginanya, mencucuk bibir basah dan lembabnya… geli ketika menyusuri tepi-tepinya. Sampai pada akhirnya menemukan pintu jalannya.
Clep.. clep…!!!
Penisku perlahan memasuki lubang kenyal dan sempit itu. Namun tertahan karena ada selaput yang menghalang.
Maya melepas ciumannya, tubuhnya ditegakkan dengan bertumpu pada dadaku. Kuraih kedua payudaranya dan kuremas pelan. Tampak ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia tersengal.
Cleeep…!!! Jleb…!!!
Ia menekan pinggulnya.
Preeeeet…!!!
Penisku merobek selaput daranya dan amblas. Terbenam seutuhnya. Ada nikmat dan sedikit nyeri kurasakan. Kami berteriak bersamaan, menjerit membelah sunyi. Menyampaikan suara nikmat dan perih pada peraduan kelamin.
Maya ambruk di atas tubuhku sambil terisak. Air matanya mengalir deras, rupanya ia sangat kesakitan, mendapat tusukan penisku yang kini sudah terbenam. Beberapa detik dunia kami terhenti. Tubuh kami terpaku kaku. Sampai akhirnya ia mulai mengangkat kembali pinggulnya pelan. Aku mendongak dan memandang kelamin kami, ada lelehan darah segar pada batang penisku dan sebagian mengalir di sela vaginanya, hanyut terbawa percik air menyusuri tepian batu dan tertelan genangan bunga dan air di sekitar kami.
Air matanya sudah berhenti, terganti ringis nikmat. Maya mulai menarik turunkan pinggulnya, penisku muncul-tenggelam. Kusangga gerak liarnya dengan memegang pinggangnya. Kami merintih, kami mendesah. Kami berteriak menjemput nikmat. Kami menjadikan sunyi malam menjadi gaduh. Pompaan dan goyangan membuat penisku ngilu. Vaginanya yang teramat sempit senantiasa mengcengkram dan meremas ketika ia amblas; dan ada hisapan yang menarik ke dalam ketika ia terpisah. Akhirnya kami segera meraih puncak. Tubuh kami semakin liar.. semesta perlahan menghilang dari kesadaran. Kami berpacu bersama deras keringat. Dan… aku melepaskan desakan penisku. Menyemprot dan menyebur lubang sempit gadisku. Cairan kami berjumpa rindu di pintu rahimnya.
“Hiyaaaaaa…. aaaaaahhhh…..”
Maya menjerit nyaring. Tubuhnya ambruk di atas tubuhku dengan kelamin yang masih terbenam. Di sela nikmatku ada sedikit heran karena penisku tetap tegang dan mengacung di dalam. Segera hatiku memberi jawab. Dan aku menikmati saat-saat puncak ini.
Tubuhnya menggelinjang ketika kugerakkan kembali penisku. Kubalikkan tubuhnya yang terkulai lemas. Dan aku berpacu bersama racaunya yang meminta ampun. Aku pejantan, dan birahi harus dipuaskan. Jeritan ampunmu adalah undangan untuk membuatmu terkulai puas lagi dan lagi. Aku bergerak buas, tenagaku tak ada habis, selalu pulih dan pulih lagi. Kurasakan getar nikmat mulai merasuki kembali dirinya, kedua kakinya membelit pinggangku. Kupacu pinggulku makin cepat dan keras.
Lalu kuangkat kedua kaki Maya dan kusampirkan di pundakku. Lututnya menekuk mencumbu payudaranya sendiri. Aku pacu, pacu dan pacu. Nafasku menderu. Ia menjerit, aku mengerang; ia perpekik aku teriak. Bagai dua harimau kami melolong bersamaan dalam deras nikmat kami. Dua kali aku menyemprotkan spermaku.
Kali ketiga, kami kembali membuat gaduh hutan ini. Aku lepaskan tubuhnya dan kujadikan ia menjadi betinaku. Tubuhnya nungging di dalam air bertumpu pada tepian batu. Lalu aku memasukkan kembali penisku bersama erang kami, aku berpacu dan memompa. Suara kelamin kami berirama dengan tamparan ringan di bokongnya; dengan desahan dan lenguhan; dengan jeritan dan geraman.
Kujambak rambut Maya hingga ia mendongak, wajahnya menengok penuh birahi. Aku merunduk dan sejenak saling mengecup, menjilat dan melumat. Aku makin kalap, kulanjutkan memompa dengan kuat. Kulepaskan kembali spemaku untuk yang ketiga kalinya bersamaan desakan cairan nikmatnya. Kami ambruk, terjerembab ke dalam air.
Aku dan Maya telah berkali-kali meraih puncak, tapi birahi kami tak pernah punah. Rasa hausku akan tubuhnya selalu menuntut kenikmatan lebih dan lebih lagi. Semua luka hati karena putusnya hubungan kami, kini kutumpahkan dengan meraih kenikmatan. Juga kuberikan orgasme-orgasme panjang pada gadisku sebagai tebusan atas penderitaannya karena mencintaiku.
Aku menggendong tubuh Maya, kakinya membelit pinggangku dengan kelamin yang kembali menyatu. Aku mencengkeram erat pinggulnya, sementara satu tangannya memeluk leherku dan tangan satu lagi memegang akar pohon yang berayun. Kami bergoyang tanpa tumbang; kami oleng tapi kelamin tak pernah melenceng. Kami mengayuh birahi sambil berdiri. Kami berpacu dan berpacu sampai akhirnya tubuhku luluh dan kami terjungkal ke dalam air seraya menyemprotkan cairan nikmat kami, spermaku menghambur untuk keempat kalinya, menyemprot tubuhnya dan mengalir bersama air. Di hilir sana, ia akan menjadi dewa keseuburan bagi tanah Sawer.
Malam masih panjang, aku tak punya waktu untuk lelah. Kuangkat tubuhnya, dan kupacu kembali di atas batu, posisinya kembali di atasku, namun kini membelakangiku. Tanganku liar menggenggam dan meremas kedua payudaranya dari belakang, dan memelintir kedua putingnya. Mencengkram pinggangnya, mengelus punggungnya, menepuk pinggulnya. Dan…kami memekik kembali, lantas terbuai nikmat sesaat. Pada semprotan kelima ini spermaku sudah mulai berkurang.
Kali keenam kami berburu birahi dengan berbaring kembali di atas batu, kali ini aku menggenjotnya dari belakang. Pinggulku memompa agar kelamin kami terus beradu rindu, sementara tanganku tak henti meremas payudaranya dan bibirku mengisap lehernya hingga memerah. Kuberikan gigitan kecil di pundaknya, ketika penisku menyemprotkan lahar panas yang tak pernah mengering. Kami kembali ambruk.
Tak perlu menunggu, segera kuangkat tubuh polosnya yang terkulai lemas. Tangan dan rambutnya menjuntai. Gagah tubuhku pongah membopongnya ke arah kolam mata air utama; aku masuk ke dalam kubangan jernih-berbunga dan setengah tubuh kami tenggelam. Semerbak bunga menghiasi tubuh telanjang kami. Tubuhnya kembali menggelinjang saat kuturunkan.
Kami bercinta sambil berdiri di dalam air. Sebelum kumasukkan kembali penisku, aku menengok sosok semampai yang sejak tadi tenang mengamati persetubuhan kami. Kutepuk kepalanya sejenak. Lalu aku kembali pada persetubuhan ini. Meraih puncak dengan erangan terakhir. Kali ini kami saling kelejotan dan mengejang. Mengerang, meraung, melolong. Sampai dunia kami hilang. Tubuh kami terkulai di tepi kolam dengan setengah badan tetap terendam. Inilah puncak ketujuh kami. Ia pingsan, dan aku terkulai tanpa daya.
Tenagaku kini benar-benar habis, sendi-sendiku ngilu. Dan tulang-tulangku terasa remuk. Aku tertidur sejenak di tengah alam semesta.
Aku menggeliat ketika kurasakan ada yang menjilat wajahku. Eggan kubuka mataku, dan dengan sedikit lenguhan kuraih leher besarnya. Setelah tenagaku sedikit pulih, aku beranjak ke tepi sungai. Kuangkat tubuh gadisku dan kubaringkan kembali di atas “batu pelaminan” kami. Lalu kembali kepada makhluk semampai nan garang, sahabat baru bagi jiwaku.
Aku disambut geramannya. Sorot matanya tajam dan berbinar. Menyeringai menunjukkan gigi dan siung tajam. Kurentangkan tanganku; dan kembali kupeluk lehernya. Kurengkuh tubuh gagah ini dalam kebahagiaan perjumpaan. Aku hanya berharap agar sosoknya tidak berubah menjadi wujud manusia, dalam rupa Cintung. Jijik aku memeluknya seperti ini kalau itu benar terjadi.
Inilah pertemuan pertama kami setelah Cintung kembali pada wujud aslinya. Bagai sahabat lama yang sudah lama tak jumpa, aku memeluknya erat. Ia menggeram dan mendengus, menyeringai sambil menjilati seluruh wajahku. Kumainkan bulu semampai di bawah lehernya. Kuelus dahi dan punggungnya. Ia tampak berkilau karena sinar rembulan yang sudah beranjak di tepi barat.
Setelah saling “berkenalan” dengan makhluk yang hanya bisa kulihat, aku kembali kepada Maya yang masih terkulai dalam lelap tidurnya.
“Sayang.” gumamku sambil mengelus rambutnya yang berantakan.
Maya membuka mata tanpa menggerakan tubuhnya. Sorot mata kami beradu, dan seulas senyum puas dan bahagia terpancar. Ia meraih leherku dan memintaku supaya memeluknya. Kudekap lembut tubuh polosnya, dan kuusapi punggungnya.
Setelah tenaganya pulih, kami pun sama-sama berdiri, lalu kupangku sambil berciuman, menuju mata air utama. Lembut dan mesra, tulus dan penuh sayang, kami saling memandikan dan menggosok tubuh pasangan dengan bunga-bunga yang mengapung.
Meski tubuh kami sama-sama telanjang, kini rasa sayang ini telah berbeda, luhur dan agung, tulus dan suci. Melampaui cinta antar kekasih yang kadang dibalut nafsu, melampau cinta antara dua manusia berbeda jenis yang sering tercemari birahi. Kami saling mencintai, kami saling memiliki hati, bukan tubuh ini. Kami saling menyayangi tanpa penyatuan, seperti senja dan pagi yang selalu ada tetapi tidak saling menggantikan atau menyatukan diri.
Setelah selesai saling memandikan, kami beranjak ke tepian kolam, kukecup keningnya sebelum mengambil pakaian masing-masing. Kulihat Maya melihat dan meraba vaginanya sendiri, tapi kuabaikan karena pakaianku ada di sisi lain hutan.
Setelah mengenakan pakaian, aku kembali kepada Maya yang sudah meliliti kembali tubuhnya dengan kain.
“Wa, berhasil?” tanya Maya.
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya, tentu saja Maya tidak bisa melihat Sawaka yang sedang duduk di atas batu bekas pergumulan kami, hanya aku saja yang bisa melihatnya.
Maya tersenyum sumringah melihat anggukanku, ia cukup senang bahwa Sawaka sudah hidup kembali.
“Kamu sendiri gimana?” tanyaku sambil melirik ke arah selangkangannya.
Kali ini Maya yang mengangguk sebagai jawaban, senyumnya tetap mengembang penuh bahagia. Keperawanannya telah kembali ketika kami saling memandikan.
“Lakukan tugasmu,” batinku kepada Sawaka. Makhluk itu pun berdiri, dan seketika asap putih turun memenuhi seisi hutan. Bersamaan dengan kokok ayam pertama, seluruh hutan kembali seperti semula. Bunga-bunga sudah hilang, pun pula bokor kemenyan.
Maya hanya melongo melihat keajaiban yang dilihatnya, sedangkan aku hanya tersenyum, Sawaka telah melakukan tugasnya.
“Pejamkan matamu.” bisikku, Maya pun menurut.
Segera kuraih tubuhnya, dan aku pun berlari sambil memangku tubuh Maya, kembali ke pondok kami. Aku melesat tanpa menapak, hanya menjejak pucuk-pucuk rerumputan dan dedaunan kopi. Sawaka mengawalku, dan akan begitu selamanya. Ia akan menjadi pelindungku, dan orang-orang yang kusayangi. Lebih-lebih, ia akan menjadi pelindung bagi Sawer dan Ewer.
Kembali Maya terperangah ketika kuminta membuka mata. Kami sudah berada di depan pondoknya. Tidak perlu kujelaskan, Maya mengerti bahwa aku tidak berbohong, Sawaka yang menjadikan semua keajaiban ini ada. Ia masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dan melanjutkan tidur, sedangkan aku masuk kembali ke kamar kekasihku.
Kukecup kening Callista, lalu masuk ke dalam selimut. Aku pun tidur sambil merangkul tubuhnya yang tetap terlelap.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar