BAB 61
Maya menyandarkan kepalanya pada bahuku, sedangkan Nur sekali-kali menepuk-nepuk lututku yang sedang bersila; Aruna sering melihat ke arah kami dengan pandangan cemburu. Sekali-kali terdengar obrolan ringan antara Lia dan Callista. Apapun itu… mata kami selalu memandang jauh, menikmati kemegahan dan indahnya alam. Apa yang kami pikirkan dan kami rasakan, hanya semesta yang tahu, karena tak banyak pembicaraan di antara kami.
Kekasihku masih tak acuh. Ia hampir tidak pernah membalas lirikanku, meskipun kutahu ia menyadari pandangan mataku. Tak lama kemudian Callista beranjak dan menuju ke dalam pondok tanpa sepatah kata pun.
“Susul.” gumam sang adik sambil menegakkan kembali duduknya
“…”
“Sanah, Wa. Kamu sih.. ngilang gak bilang-bilang.” ujar Nur.
Belum juga aku menjawab, Callista sudah keluar kembali, tapi tidak kembali ke tempat duduknya, melainkan menuruni bale-bale dengan wajah cemberut.
Maya menyubit kecil lenganku, dan Nur setengah mendorongku untuk berdiri. Keduanya bagai sehati untuk menyuruhku menyusul Callista. Maka aku pun beranjak membuntuti kekasihku.
Sadar kuikuti, ia malah semakin memperpanjang langkahnya. Maka kuimbangi dengan tetap menjaga jarak di belakangnya. Callista berhenti, aku berhenti; ia berjalan aku melangkah. Ia menengok, aku tersenyum. Ia mendengus dan melanjutkan langkah, aku tetap tersenyum sambil mengikutinya.
Aku terus membuntutinya menyusuri jalan setapak ke sisi lain bubulak, meninggalkan area pondok.
“Sayang.” aku pun tak sabar melihat tingkah lakunya.
Aku pun setengah berlari menjejerinya dan meraih tangannya. Matanya melotot sambil menepis tanganku.
“Maaf.” aku memelas.
Callista tak menjawab, ia terus berjalan tanpa mau kusentuh.
“Calls, awas ada ular!!” teriakku sambil melompat ke tepi jalan.
“Hiyaaaaa…!!!” jeritnya.
Ia langsung melompat ke dalam pelukanku, kedua kakinya membelit pinggangku. Nafasnya tersengal sambil celingukan melihat ke sekitar kami.
Kudekap tubuhnya erat, teramat erat, senyumku masih mengembang melihat ulah gadisku.
“Mana?” tanya Callista tanpa menurunkan tubuhnya.
“Hehee…”
“Sirnaaa!!!! Kamu bohong yah?” jeritnya.
Callista meronta minta kuturunkan, kakinya menjejak tanah, tapi tubuhnya tak kulepaskan. Aku masih mendekapnya.
“Udah donk ngambeknya. Aku kan udah minta maaf.” ujarku sambil menahan rontaannya.
“Kamu itu!!! Nyebelin tahu!!!” gerutunya, kini ia sudah tidak meronta lagi.
“Maaf.” kukecup kepalanya, ia sudah membalas pelukanku.
“Lain kali kalau pergi bawa hape, malah ditaro di tasku.” ia masih kesal.
“Maaf.”
“Kamu kemana aja sih? Gak pengertian banget!!! Aku kan jadinya khawatir!!! Lagian… lagian aku gak mau jauh-jauh dari kamu!!”
“Maaf.”
“Dari tadi maaf-maaf mulu. Jawab!!!”
“Kamu galak banget sih, say.”
“Wawaaaaa!!!”
Ia sudah memanggilku dengan panggilan sayangnya kembali, meskipun dengan nada tinggi, dan ekspresi kesal masih ia tampakan.
Kupegang kedua pipinya dan kutekan lembut membuat bibirnya bulat memanyun. Tak sedikit pun aku berniat menjawab pertanyaannya, karena kutahu ia marah akibat menanggung rasa rindunya, ia selalu tidak mau berlama-lama jauh dariku.
Perlahan aku merunduk untuk mengecup bibirnya, gadisku membuka mulut untuk menyambut. Nafas kami hangat beradu. Tapi.. belum juga bibir kami bersentuhan, dengan cepat Callista menggelinjang mendorong tubuhku, ia lari sambil cekikikan. Aku hanya bisa mendengus gemas, kukejar kekasihku yang berlari di antara ilalang.
Huuuuffff!!!
Aku berhasil menangkap pinggangnya, membuat ia menjerit sambil tetap tertawa riang, kedua kakinya terangkat meronta. Tangannya berusaha melepaskan pelukan tanganku, tapi semakin kueratkan membuat kekasihku frustasi.
Ia mengalah, tubuhnya luruh dengan nafas tersengal di sela derai tawanya. Kucium pipinya dari belakang. Kekasihku memutarkan wajahnya dengan tubuh tetap membelakangiku.
Cuuuuppp!!!
Ciuman hangat langsung saling kami jalarkan, kami langsung saling mengecup. Bahkan ia sudah terlatih untuk mengulum dan menjulurkan lidah. Sesaat kami melupa, dan hanyut dalam cumbuan yang menggetarkan. Tanpa melepaskan cumbuan, ia memutar tubuhnya seiring melonggarnya pelukanku dari belakang. Tangannya melingkar pada leherku, dan memberikan ciuman yang semakin dalam.
“Mmmmh…” lenguh kami saat bibir kami akhirnya terpisah.
Sorot matanya sayu meresapi getaran-getaran yang masih tersisa, sekali lagi kukecup tipis, dan kekasihku menjatuhkan diri dalam pelukanku.
“Jahat… jahaaat… jahaaaat…” gumamnya sambil mengeratkan lingkaran tangannya pada pinggangku.
“Tadi galak, sekarang manja.” godaku.
“Bodo.. kamu jahat!!” rajuknya.
Kuangkat tubuh kekasihku dan kubopong menuju pinggir tebing. Ia menggelayut manja sambil tak hentinya menatap wajahku. Aku pun duduk di atas batu ceper dan mendudukkan Callista di atas pangkuanku dengan posisi miring.
“Wawa…”
“Iya, sayang?”
“Sayang..” dikecupnya daguku.
“Sayang..” sambil mencium pipiku.
“Sayang..” sambil menempelkan bibirnya pada pucuk hidungku.
“Sayang.. sayang.. sayang…” ia menciumi wajahku gemas.
“Kamu udah bilang ke papah dan mamahmu?” tanyaku ketika ciuman-ciumannya berhenti.
Kubelai pelipisnya sambil menyelipkan helaian rambut yang tergerai diterpa angin pada sela kupingnya, cantik.. teramat cantik gadis ini, dan aku semakin menyayanginya.
“Udah.. aku udah nelpon mamah, ada Maya juga. Kamu tuuuh.. harusnya kamu yang bilang ke mamah, sekalian ngelamar aku. Hihi..”
“Yeee.. aku udah nelpon mamahmu sejak di Ewer kali, sayang?”
“Haaah? Kok aku gak tahu? Mamah juga gak bilang? Kamu bohong yah??”
“Kamu gemesin kalau cerewet!”
“Wawa iiih…”
“Beneran, aku udah nelpon. Awalnya mamahmu kaget sih, dan mengkhawatirkan Maya, tapi akhirnya ia mengerti dan ikut senang.”
“Muuuuachhh.” Callista mencium pipiku sambil bersuara.
“Kan udah dapat restu, jadi kapan kamu ngelamar aku?”
“Iya kaliii… aku menyelesaikan kuliah dulu lah, baru aku ngelamar kamu.”
“Masih lamaaaa.” cemberutnya.
“Jadi gak mau nunggu aku lulus kuliah dan sukses dulu?”
“Maaauuuu. Aku akan selalu nunggu kamu kok.”
Kali ini aku yang mengecupi wajahnya, membuat kekasihku memejamkan mata. Kukabarkan seluruh rasa sayangku, meskipun tersembunyi rasa bersalah, karena di belakangnya aku telah membohonginya tentang ritual-ritualku.
“Yang..” gumamnya, matanya terbuka.
“Hmmm..?”
Pipi Callista berubah merona, ia tidak melanjutkan mengungkapkan isi hatinya.
“Mau bilang apa hayooo?” godaku.
“Nggak iiih..”
“Kamu itu kalau bohong ketauan banget tahu, yank.”
“Iiiih…”
“I love you.” Callista mengalihkan pembicaraan sambil mengecup bibirku.
“Love you too.” jawabku.
Kukejar bibirnya dan kami kembali hanyut dalam ciuman dan kuluman, dalam pagutan dan lumatan. Kususupkan tanganku ke dalam tepi bawah kaosnya dan mengusapi kulit perutnya yang halus.
“Mmmmh…” Callista menggelinjang pelan.
Ciuman kami semakin hangat dan bergairah, membuat tanganku merambat naik sampai menyentuh tepi bawah behanya.
“Mmmhhhh…” ia kembali melenguh.
Kususuri alur tepi bawah behanya dengan jemariku. Callista semakin panas melumat bibirku tergiring oleh gairah. Duduknya mulai gelisah.
“Haaaashhh… Hasssh…” ia melepaskan ciuman dengan nafas tersengal tepat sebelum jariku menyelusup menyentuh kulit payudaranya.
Matanya menatapku sayu, dengan bibir basah terbuka.
“Boleh?”
“Mhhh…” ia nampak berpikir, keningnya mengkerut karena tanganku yang masih mengusapi kulit di dalam kaosnya.
“Semuanya punya kamu, sayang.”
Aku yakin bahwa jawaban Callista bukan karena terbawa oleh gairah akibat ciuman dan ulah tanganku, melainkan tulus keluar dari dalam hatinya.
Aku tersenyum sambil mengecup keningnya cukup lama, kuurungkan tanganku yang mulai nakal, dan kembali turun pada perutnya.
“Sayang?” Callista seakan tak rela tanganku menjauh.
“Belum saatnya, sayang. Nanti kalau waktunya sudah tepat.”
“Uuuh.. mauuu.. oops…” Callista merengut dan keceplosan.
“Mau apa?” godaku.
Kekasihku merah padam, lalu menyembunyikan wajahnya ke dalam dadaku. Kudekap erat sambil mengecupi kepalanya, tanganku sudah kembali keluar dari dalam kaosnya.
“Sayang.”
“Iyah…?”
“Aku.. aku…” wajah polosnya mendongak dengan kedua pipi merona.
Aku mengerutkan dahi sambil menatapnya.
“Aku basah.”
Dan… rona pipinya berubah merah padam. Kembali ia menyembunyikan wajahnya pada dadaku, tangannya mengcengkeram leher dan bahuku erat.
“Kamu kok cepet banget basahnya?”
“Wawa iiih… akunya malu, jangan dibahas lagi.”
“Kan kamu yang memulai, sayang, lagian ngapain pula harus malu?”
“Wawa aaaah…”
Kuuyel-uyel rambutnya dengan gemas, sungguh polos kekasihku ini, membuatku semakin bertekad untuk menjadi pelindung dan pendamping hidupnya.
“Pulang yuks.” ajakku.
“Nggak mauuuu. Masih betah..”
“Udah sore, waktunya mandi, kan katanya basah hehee…”
“Nggak mau iiih.”
“Iyah.. iyah… kita pulang nanti.”
“Hmmmm…”
Maka kami pun hanya saling mendekap sambil menyaksikan matahari yang memerah di ufuk barat.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar