BAB 60
Mungkin sekitar lima menit aku terkulai lemah, terhempas penuh keringat, sampai akhirnya aku membuka mata. Kemaluan kami sudah terpisah, ngilu kurasakan. Kubalikkan tubuhku, dan berbaring di antara Bu Rohmah dan Hj. Ismaja. Hanya Bu Rohmah yang sudah sadar, sedangkan Hj. Ismaja langsung tertidur pulas.
Bu Rohmah mengangkat kepalanya, dan kami saling bertatapan.
Cuuuuppp!!!
Ciuman ini sudah tidak terelakan. Saling kulum, saling jilat, saling lumat, saling belit lidah.
Cekleeeek!!!
“Eyaaaang…!!! Mamahhh…!!!”
Pintu kamar terbuka disusul jeritan seorang wanita. Aku dan Bu Rohmah langsung melepaskan ciuman, dan Hj. Ismaja terbangun.
Di ambang pintu, Bu Mae sedang berdiri sambil menutup mulut. Matanya terbelalak.
Aku hanya bisa menghempaskan tubuhku kembali di atas kasur sambil menatap sosoknya, penisku yang sudah mau tegang langsung terkulai layu karena kaget dan panik. Berbeda dengan Bu Rohmah dan Hj. Ismaja yang terdengar tertawa kecil.
“Iiih… kok.. kalian?” ujar Bu Mae sambil menutup pintu lalu menghampiri kami bertiga.
Tak ada ekspresi marah di sana, selain kekagetan sesaat.
Sesaat matanya menjelajahi tubuh polosku, kutangkap ada binar gairah pada wajahnya. Tapi Hj. Ismaja langsung duduk dan mencari selimut, ditutupinya tubuhku tanpa menutupi tubuhnya sendiri.
“Mamaaah..” Bu Mae protes, antara kecewa dan malu.
"Hihi... kamu gak boleh, sayang. Cukup kami berdua saja yang merasakan keperkasaan sirna, kalian mah nanti dalam ritual.” ujar Hj. Ismaja, yang adalah mertua Bu Mae.
“Curaaang!!” rengut Bu Mae, rona malunya sudah hilang, lalu ia duduk di tepi ranjang.
"Masa kalian nanti enak-enakan dan menang banyak, sementara mamah dan teh Rohmah hanya mendengarkan ceritamu, tujuh ronde loh...” goda sang mertua.
Bu Rohmah dan Hj. Ismaja bangkit dan turun dari kasur untuk mengenakan pakaian masing-masing, tubuh polos mereka membuat penisku menggeliat kembali. Apalagi sekarang ada seseorang yang sudah berulang kami kami bermesraan layaknya orang pacaran.
Sorot mata kami beradu, tanganku terulur mengusap tepi bibirnya yang tepal dan seksi. Hijab berwarna ungu kesukaannya membuat Bu Mae terlihat cerah dan memancarkan kecantikan khas a la milf.
Tanpa membuang kesempatan, kutarik kepalanya sampai ia merunduk dan kami pun saling berciuman. Bukan kecupan, bukan kuluman, tapi langsung saling lumat dan berbagi air liur. Rasanya lebih indah, lebih syahdu, lebih manis, dan lebih membakar gairah daripada berciuman dengan Bu Rohmah dan Hj. Ismaja.
[POV Cintung: Ya iyalah… mereka kan udah hampir nenek-nenek. Untung berkat Mantili mereka bisa awet mudah, kalau nggak, keracunan tuh batangan lu.]
“Hiyaaaa…” jerit Bu Mae ketika ada orang yang menariknya sehingga ciuman kami terlepas.
“Mamaaah…!!!” protesnya setelah tahu siapa yang menariknya.
Hj. Ismaja hanya tertawa disambut kekeh Bu Rohmah, sedangkan Bu Mae merengut protes.
“Mamah hanya mengijinkanmu dalam ritual.” gumam wanita itu.
“Huuuh… biarin, kami kan sama-sama di Bandung, jadi… aaaaauuuu….” ucapan Bu Mae berubah jeritan kecil saat sang mertua menjebel kedua pipinya dengan gemas.
Sementara itu, Bu Rohmah menarik tubuhku dan menyuruhku memakai kembali pakaian. Hj. Ismaja memeluk Bu Mae seolah tidak mengijinkan menantunya melihat tubuh polosku.
Sesaat terjadi keseruan kecil di dalam kamar yang masih penuh aura dan aroma bekas persetubuhan. Sambil mengenakan pakaianku, aku menyimak percakapan ketiganya, rupanya semuanya ini sudah mereka rencanakan. Mereka sengaja menginginkan bersetubuh denganku sebelum aku melakukan ritual dengan gadis pilihan mereka bertiga.
Ketika kutanya alasannya, jawaban Hj. Ismaja simpel saja, “Agar kamu bukan hanya punya ikatan dengan para wanita ritualmu, tapi juga punya ikatan batin dengan para wanita terdahulu,” begitu katanya. Aku tidak protes mendengarnya, toh aku mendapatkan enak-enak dan bisa menang banyak.
Sekitar setengah jam kami duduk melingkar di atas kasur, tentu saja sudah dengan pakaian utuh kembali, untuk membicarakan persiapan nanti malam. Bu Rohmah kembali menegaskan bahwa tujuan ritual nanti malam adalah untuk membangkitkan Sawaka. Ritual ini masih harus disempurnakan pada purnama berikutnya dengan melakukan ritual dengan Bu Mae untuk membangkitkan Mantili dan mengawinkan kedua makhluk itu. Sisanya terserah padaku… aku bisa mempertahankan kedua makhluk itu dan mewariskan kepada generasi berikutnya dengan memilih tiga wanita baru, atau membiarkan Sawaka dan Mantili lenyap seiring kematianku dan istriku kelak.
Setelah memastikan bahwa semua persiapan beres, kami pun bubar. Waktu sudah menunjukkan jam satu siang, artinya kami sudah terlambat makan siang setengah jam. Ketiganya membereskan dandanan masing-masing, sedangkan aku bergegas ke bubulak untuk membersihkan diri dan berganti baju. Aku tidak mau Callista mencium bau tubuh wanita lain saat ia berdekatan denganku. Kupreeeet… ingat Callista, kepuasanku jadi hilang, diganti rasa bersalah.
Aku mandi dan ganti pakaian dengan serba tergesa, tak sampai lima belas menit aku sudah tiba di pendopo. Suasana cukup ramai karena selain kelompok Puting Bude, banyak juga tamu lain yang makan siang di pendopo. Ditambah oleh warga yang tidak pergi ke sawah atau kebun, mereka juga berdatangan karena mendengar bahwa Bu Mae datang dari Bandung.
Kehadiranku disambut tatapan bengis Callista, dan picingan mata penuh curiga teman-temanku. Sedangkan Bu Rohmah bersikap biasa, Hj. Ismaja dan Bu Mae langsung menyalamiku seolah kami baru bertemu. “Untuk urusan nikmat memang selalu punya cara untuk mengelabui orang lain.” bisikku ketika bersalaman dengan Bu Mae.
Wanita itu hanya meremas tanganku, tanpa bisa protes, karena banyaknya orang.
“Hallo, bu.” sapaku pada Callista.
Dalam konteks tertentu aku memang sellu memanggilnya "ibu" di depan orang lain, biar bagaimanapun urusan pekerjaan dan urusan pribadi harus dipisahkan. Itu pun atas kehendak Callista.
Gadisku tidak menjawab, ia mencibir sambil melanjutkan makannya.
“Dari mana kamu, Wa?” malah Maya yang menyapaku ramah.
“Kan abis nyensus.” jawabku.
“Kampret lu, udah nipu, kunyuk pula.” maki Karma sambil mengerling. Ia seakan sengaja mau menganiayaku di depan Callista.
“Loh.. emang bener, kan?” sergahku sambil mengambil piring kosong.
Adalah Nur yang lebih peka, ia mengambil piring dari tanganku dan mengisinya dengan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Maya tersenyum, sedangkan Callista tetap melanjutkan makan sambil cemberut.
“Aku dan Kubus aja yang kebagian empat rumah udah selesai jam setengah dua belas, lah kamu yang hanya dua rumah baru balik jam segini.” Karma masih ngeyel.
“Kau bohong pula, kawan. Kau tipu-tipu sudah, padahal orangtua Senja sedang di Bandung. Dan Pak RT bilang itu sudah.. Nenek Kenyot sudah pikun.” Kubus menambahi.
“Mampus, lu.” bisik Ray yang duduk di sebelahku.
Aku merongos ke arah sahabatku yang satu ini, Ray hanya nyengir, tapi Syamida malah menatapku dengan jutek. Ia seolah tidak suka aku bersikap tak bersahabat pada kekasihnya.
Aku hanya bisa nyengir sambil menerima piring dari Nur.
“Makasih, Nur.” gumamku, dan aku pun makan dengan lahap.
Suasana menjadi cair saat Bu Mae dan Hj. Ismaja bergabung bersama kami, mereka selalu ditempel oleh anak-anak Pak Ega dan Pak Jaka. Callista yang pada dasarnya cukup dekat dan sudah saling mengenal dengan Bu Mae dan mertuanya pun berubah ramah dan saling berbagi cerita dengan riang. Meski begitu, ia tidak mau menanggapiku, melirik pun tidak.
Seusai makan, Callista langsung mengumpulkan kami untuk bekerja di salah satu sudut pendopo. Tak sedikit pun waktu yang ia untuk berisitirahat, walau sekedar untuk merokok. Kami, khususnya para cowok, hanya bisa pasrah.
Nur dan Syamida menambahkan input data dariku, tentu saja hanya tentang keluarga Bu Rohmah. Kembali.. aku menjadi bahan ledekan dan olokan teman-temanku. Callista semakin nampak kesal, meski tak satu komentar pun yang ia lontarkan.
Lalu dari data-data yang sudah tersusun kami membuat analisa di bawah pimpinan Callista. Nanti setelah makan malam, hasilnya akan kami presentasikan di depan Pak Ega dan semua warga dan dilanjutkan dengan dialog.
Kelompok Bidang Ekonomi mempresentasikan beberapa hasil pengamatan mereka tentang faktor-faktor pendukung yang membuat Sawer menjadi kampung yang sejahtera dan mapan.
Pertama, Sumber Daya Alam. Sawer merupakan kampung yang kaya akan hasil bumi. Selain kopi yang menjadi produk andalan mereka, Sawer juga penghasil kapulaga, beras merah, dan hasil palawija lainnya.
Selain itu, meski dibungkus oleh penampilan sederhana, pendapatan per kapita warga Sawer jauh di atas rata-rata. Semua kepala keluarga memiliki tabungan di KUD Sawaka yang berpusat di desa, dan hampir setengahnya memiliki rekening di bank. Dengan itu, selain mendapat penghasilan dari kebun dan sawah, mereka juga mendapat penghasilah dari pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi.
Kedua, Sumber Daya Manusia. Sejak generasi Senja, kaum muda Sawer sudah bisa mengenyam pendidikan tinggi sampai bangku kuliah. Dan setelah lulus, tak sedikit pula yang kembali ke Sawer dan bekerja memajukan kampung, sebagian ada yang menjadi penjabat desa dan kecamatan, juga bekerja di koperasi.
Di samping itu, peran Pak Ega, Pak Jaka, dan Bu Sore, juga Pak Ilham dan Pak Ardan di Bandung, sangat berpengaruh pada sistem manajemen pengelolaan hasil bumi dan pemasarannya. Intinya, Para Sahabat Generasi Pertama memegang peranan vital dalam melanjutkan mimpi “sang legenda.”
Semua mengangguk setuju, dan Callista pun memberi pujian.
“Itu saja tidak cukup.” aku memotong.
Semua mata memandang ke arahku, dan tatapan si jutek kekasihku pun tajam kurasakan.
“Apa, Wa?” tanya Maya yang dari tadi ikut bergabung. Juga Rad, Ray dan Lia ikut bersama kami.
“Ada faktor eksternal, yaitu peranan keluarga besar Senja sendiri. Aku sudah menulisnya di laporan hasil wawancaraku dengan Bu Rohmah. Intinya…”
Aku berhenti sebentar untuk mengerling pada Callista, tapi gadis itu melengos sambil pura-pura fokus pada laptopnya.
“Banyak pembangunan yang dibiayai oleh dana sosial dari FaF dan RSP, dan itu berarti dari Bu Tiurma, Bu Hera, dan Bu Mae sendiri; mereka adalah kakak-kakaknya Senja. Maka ibaratnya, warga hanya menyediakan tenaga, sedangkan banyak dana ditanggung oleh keluarga Senja.”
Tik tok tik tok!
"Nice" kata-katanya singkat, tapi membuatku sedikit lega. Callista seolah setuju dengan pendapatku, meski senyumnya masih disembunyikan.
Ucapan singkat Callista diamini oleh yang lain, meski sebagian hanya berupa anggukan.
“Sekarang masalah budaya.” Callista melanjutkan.
Kesimpulan yang berkaitan dengan budaya ada dua. Pertama, ada kepercayaan pada legenda yang menjadi pelindung Sawer, meskipun itu sulit dibuktikan kebenarannya. Hanya aku, Maya, dan Nur yang saling tatap, karena kami sama-sama tahu dan percaya pada keberadaan Sawaka.
Kepercayaan ini, membuat warga diikat oleh sebuah tradisi kepercayaan yang membuat mereka takut untuk menyimpang dari apa yang sudah diwariskan. Negatifnya, ada semacam ketakutan akan celaka atau kualat jika tidak setia pada budaya mereka sendiri.
Kedua, unsur-unsur kepercayaan diwujudkan dalam bentuk budaya dan seni. Di bidang budaya, pembangunan Sawer selalu diselaraskan dengan alam, rumah-rumah mempertahankan adat Sunda, demikian juga cara berpakaian mereka. Bahkan tradisi-tradisi perkawinan, sunatan, upacara-upacara kematian, pemotongan hewan, dan lain sebagainya sudah memiliki pakem yang tidak bisa diubah tanpa seijin pejabat dan sesepuh kampung. Di bidang seni, Pak Jaka menjadi tokoh sentral yang menerjemahkan tradisi dan kepercayaan ke dalam bentuk-bentuk seni seperti calung, angklung, degung, wayang golek, dan tari jaipong.
Done..!!!
Jam tiga seperempat kami semua selesai, dan kami masih punya banyak waktu bebas sampai makan malam. Kami semua beriringan menuju pondok untuk istirahat dan mandi, tak satu pun yang memutuskan jalan-jalan. Eh ada ding… yaitu Ray dan Syamida. Keduanya bergandengan tangan ke arah barat kampung, katanya mau mengunjungi saung tempat Senja dan Sae jadian untuk pertama kalinya. Semoga mereka tidak kukuruyuk di sana, karena hari masih sore, dan juga pasti ada pengunjung lain di sana.
Callista masih cemberut dan selalu menjauh dariku. Kerlingan dan gumaman penuh ledekan dari teman-temanku sesekali terdengar, tak terkecuali dari Maya sang adik dan Nur. Aku hanya bisa pasrah sambil mencari cara untuk meluluhkan hati gadis itu.
Setibanya di pondok, kaum cowok langsung membagikan domino, beberapa di antaranya hanya rebahan di atas lantai papan. Aku gabung dengan para cewek untuk duduk-duduk di pondok yang Callista dan Maya tempati. Pondoknya memang paling strategis untuk menikmati pemandangan sore.
Matahari masih terik di tepi barat, tapi tak mengurangi keindahannya. Kami seolah sepakat untuk menunggu indah terbenamnya. Callista masih bungkam dan duduk menjauh dariku ditemani oleh Lia, Aruna berusaha mendekatiku, tapi kalah cepat oleh Maya dan Nur. Aku diapit oleh mereka berdua, akhirnya Aruna pun memilih untuk duduk di dekat Callista.
Obrolan kami terhenti saat kami melihat indahnya pemandangan sore. Asap sudah mulai mengepul dari atap rumah, pertanda tungku-tungku sudah dinyalakan untuk memasak. Bunyi tekukur dan kokok ayam kawin saling bersahutan. Sedangkan sejauh mata memandang, bukit-bukit seakan berbaris sampai kaki langit, dihiasi liukan sungai besar di antara lembah-lembahnya. Hening, saling diam, semua asik dengan pikirannya masing-masing.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar