Cincin dari masa lalu part 59


BAB 59








Kami pun melanjutkan obrolan tentang persiapan ritual nanti malam. Aku semakin tahu bahwa kedua wanita ritual di jaman Senja ini cukup akrab dan sudah seperti kakak-beradik. Meski umur mereka sudah tak muda lagi, tapi obrolan mereka cukup seronok ketika membicarakan pengalaman ritual mereka di masa lalu.




Mendengar obrolan mereka tentang ritual masing-masing, membuat bakat alamiah mesumku muncul kembali. Tubuhku terasa hangat dan kulitku rasanya menjadi sensitif. Sialnya… si jalu malah menggeliat di balik celanaku. “Ini karena obrolan mereka atau… atau karena minuman ini ya?” aku membatin sendiri.




Aku mulai mencurigai minuman yang disajikan Bu Rohmah, tapi kecurigaanku dimentahkan oleh kenyataan bahwa Hj. Ismaja nampak tak terpengaruh sedikit pun, padahal minuman kami sama, dan rasanya masih sama seperti yang semalam. Kami masih melanjutkan ngobrol, tapi fokusku mulai buyar oleh nafsu yang tiba-tiba menggebu. Sekali-kali kulirik Hj. Ismaja yang memiliki bibir seksi, dan paling sering adalah menatap belahan payudara Bu Rohmah yang menerawang di balik kebayanya.




“Sudah.. kamu siapkan bunga tujuh rupa dulu sana.” ujar Bu Rohmah sambil berkedip kepada Hj. Ismaja.


“Baiklah.. jangan lama-lama.” jawab Hj. Ismaja sambil mengusap rambutku.




Sentuhannya membuatku langsung terbakar gairah, tubuhku benar-benar sensitif. Aku malah tidak bisa menyimak maksud dari “jangan lama-lama” yang ia ucapkan, padahal kalimat itu akan lebih tepat jika diucapkan oleh Bu Rohmah.




Hj. Ismaja melangkah ke dapur dengan senyum yang sulit ditafsirkan, ia seakan menyembunyikan sesuatu. “Duh kenapa lagi tubuhku jadi kayak gini.” Aku menjadi semakin bergairah dan si junior menyundul-nyundul tegang. Terasa sakit di balik celana dalamku. Udah gitu kenapa juga bu Rohmah malah memandangiku dengan sorot mata yang sayu.




Sepeninggalan Hj. Ismaja, aku dan Bu Rohmah hanya saling pandang. Jantungku berdebar kencang, dan aku seakan gelap mata, aku sangat menginginkan wanita ini.




“Minuman itu bukan ramuan sembarangan hhihi…” Bu Rohmah terkekeh, ia sudah tak bisa menutupinya lagi.




Aku hanya bisa mengusap keringat yang tiba-tiba membasahi pelipisku, bahkan berpikir pun aku tidak bisa, inginku hanyalah menuntaskan birahi.




Melihat bahasa tubuhku, Bu Rohmah berdiri lalu memegang tanganku. Bagai tersengat, aku langsung begidik merasakan efek dari sentuhan ini. Aku bahkan hanya manut ketika ia menarikku, memasuki sebuah kamar.




Begitu pintu kamar tertutup, kami langsung berdiri berhadapan, kedua tangan kami sudah berpegangan.




“Kamu harus lulus dulu memuaskan kami, karena kami juga tidak mau rugi. Hihi…”


“Kami?” gumamku sambil menatap Bu Rohmah, tengkuk dan punggungku sudah basah karena keringat.




Bu Rohmah tidak menjawab, melainkan semakin mendekatkan diri sehingga tubuh kami hampir saling menyentuh. Hangat nafasnya mulai terasa, sedangkan aku sendiri sudah tersengal.




Hmmmmfff…!!!




Kupeluk tubuh Bu Rohmah dan langsung meremasi punggungnya. Kucari bibirnya, dan melumatnya dengan panas dan penuh gairah. Kedua tangan Bu Rohmah berpindah pada kedua pipiku lalu membalas lumatanku tak kalah buas.




Kecipak bunyik mulut kami semakin membakar birahiku, tak hentinya tanganku menggerayangi tubuh belakangnya, mulai dari rambut hingga gelungannya terlepas, kuusap punggungnya, dan terakhir kuremas-remas kedua bokongnya yang ketat terbalut samping (kain, jarik). Bu Rohmah mulai melenguh dalam setiap ciuman yang kami lakukan. Kini bukan hanya bibir yang bertautan, tetapi lidah kami sudah saling melilit dan membelit.




Tanpa melepaskan pagutan bibir, kubimbing tubuhnya ke tepi ranjang, lalu kubaringkan di atas kasur. Tubuhnya menggelinjang-gelinjang di bawah himpitanku.




“Eemmmhhhh…” lenguhnya, dan ciuman kami pun terlepas dengan nafas yang sama-sama berburu.


“Umur eyang berapa sih?” tanyaku sambil mengusap rambut hitamnya.


“Lima puluh sembilan, kenapa?” tanyanya sambil tersengal.




Aku tidak menjawab, ternyata wajah dan tubuhnya memang kelihatan lebih muda dari pada usianya. Tampak bu Rohmah mengulum senyum sambil sekali-kali menggigit ujung bibir bawahnya.




“Terakhir, eyang melakukannya saat ritual dengan almarhum. Dan kamu harus melakukannya sekarang, eyang masih belum kering.” ujarnya tanpa malu.




Ucapannya langsung menyengat naluri kelelakianku, kusosor kembali bibirnya, dan kami saling melumat dengan rakus. Tanganku mulai kembali menggerayangi tubuhnya. Kuremasi kedua pahanya, membuat Bu Rohmah semakin gelisah, kainnya mulai tersibak.




Karena penisku sudah terasa sangat sakit terjepit celana dalam dan dirangsang oleh gesekan-gesekan selangkangannya, aku langsung bangkit dan melolosi pakaianku, tanpa ada yang tersisa. Belalakan mata Bu Rohmah saat melihat jagoanku yang mendongak, membuatku semakin bersemangat.




Aku langsung berlutut, untuk membuka kancing kebaya wanita ini. Agak sedikit kesusahan. Bukan karena lubang kancingnya kekecilan, tapi karena Bu Rohmah sudah memegang penisku dan mengocoknya dengan gemas. Kulit tangannya yang agak kasar karena sering bekerja di ladang kopi membuatku menggelinjang.




Akhirnya aku berhasil melolosi kebaya Bu Rohmah dan menyibakkannya ke samping. Payudaranya sudah tidak sekal, tapi juga tidak kendor. Ukurannya yang jumbo membuat tetap terlihat merangsang dan menggairahkan. Kuabaikan dadanya, kulanjutkan tugasku dengan membuka ikatan kainnya, sedangkan Bu Rohmah melanjutkan melepas kebayanya, juga behanya yang berwarna hitam.




Gundukan payudaranya yang merangsang membuatku semakin tidak sabar untuk membuka kainnya, maka dengan agak kasar kubuka lipatannya dan terpampanglah celana dalamnya yang berwarna krem, mencetak sebuah lipatan bibir vaginanya. Tampak menggelembung basah dengan warna hitam bulu kemaluannya yang terbayang.




Segera kutindih tubuh Bu Rohmah membuat kocokan tangannya pada penisku terlepas. Payudaranya terasa empuk sebagai bantalan dadaku, detak jantung kami beradu. Dan kami pun kembali saling melumat dan saling memberi rangsangan dengan cucukan dan belitan lidah. Kemaluan kami sudah saling menempel, celana dalamnya terasa mulai basah.




“Mmmmh… Aaaah….” lenguh Bu Rohmah ketika tanganku mulai menangkup pucuk payudaranya, langsung kuremas dan kupelintir putingnya yang besar dan tegang. Bibir kami terlepas, dan kulanjutkan ciumanku pada leher dan dadanya.




Tubuhku merosot seiring semakin turunnya ciumanku pada tubuh Bu Rohmah. Kali ini aku bergairah meremas dan mengemuti payudaranya. Lenguhan pun semakin kerap kudengar. Tubuhnya semakin gelisah dan kelejotan, tangannya bergantian meremas seprei dan rambutku.




Lalu ciumaku turun ke atas perutnya tanpa melepaskan remasan pada kedua payudaranya. Perutnya tidak berlemak sebagaimana wanita kampung yang sering bekerja keras di sawah dan ladang, meski tidak bisa dikatakan masih semulus wanita muda. Tapi aku tidak kehilangan gairah, kukecupi perut dan lingkaran pingganya.




Tanganku berpindah meremasi lutut dan pahanya, Bu Rohmah mulai meracau, wanita ini sudah tak tahan menahan birahinya. Sekali-kali keluar kata-kata seronok dari dalam mulutnya.




Kulebarkan kakinya, dan aku mendengus sebentar sambil nanar melihat gundukan di balik celana dalamnya, nampak sudah lepek karena cairan kewanitaanya. Jemariku masuk ke sela bagian atas celanda dalamnya, dan kusewir-sewir bulu kemaluannya sampai keluar dari pembungkusnya. Lalu kuganti peran tanganku, dan kutarik-tarik bulu-bulunya yang sudah tersuwir dengan jepitan bibirku. Aroma kewanitaanya langsung tercium, membuatku kian bernafsu. Sedangkan Bu Rohmah sendiri semakin merintih dan mendesis layaknya simfoni orang yang sedang bercinta pada umumnya.




Akhirnya, kupelorotkan celana dalamnya sampai pada pergelangan kakinya, sisanya Bu Rohmah sendiri yang meloloskannya karena aku langsung mengendusi dan mencium bibir vaginanya yang tebal dan pucat, tidak semerah vagina Syamida saat kuintip pagi itu.




Tidak sampai satu menit aku menciumi lubang kewanitaan Bu Rohmah, wanita itu langsung menjambak rambutku dan menarikku ke atas.




“Buruan, Wa, eyang tos teu kiat bade bucat (sudah tidak kuat ingin muncrat).” rintihnya.




Aku pun berlutut di antara kedua kakinya, lalu merunduk dengan bertumpu pada kedua tangan, kami berciuman, sedangkan tangan Bu Rohmah mengocok penisku dan mengarahkan pada lubang peranakannya yang lembab dan basah. Kepala penisku langsung disambut kedutan-kedutan kecil, seakan ingin menghisap pusaka Sawaka, eh Wawa.




Cleeeeep…!!!




“Mmmmh…” erang kami.




Cloooop…!!!”




“Uuuh…” lenguh Bu Rohmah.




Cluuuuup…!!!”




“Aaaah..” geramku.




Penisku sudah masuk setengahnya, ngilu kurasakan karena remasan-remasan dinding-dinding vaginanya. Wanita ini sepertinya punya resep khusus untuk memuaskan batangan yang memasuki lubangnya, terbukti aku bisa merasakan kenikmatan yang tidak pernah kurasakan dari dua lubang sebelumnya.




Bleeeeesss….!!!




“Aaaaarrrggghhh…” kami kembali mengerang.




Penisku amblas, dan menyentuh selaput rahimnya.




Kami berhenti sebentar untuk saling mengatur nafas dan menikmati perjumpaan kelamin kami. Istilah Sunda: bedog manjing warangka, golok masuk sarungnya. Itulah penisku dalam vagina Bu Rohmah.




Kami saling melumat sesaat lalu aku mulai menaik-turunkan penisku, seirama dengan gerak pinggulnya yang terbenam pada kasur dan terangkat menjemput. Keringat kami kembali membasahi tubuh, membuat setiap sentuhan menimbulkan sensasi tersendiri.




“Uuuh… aah.. aah.. hmmm… ssshhh…”




Lenguhan Bu Rohmah terdengar seiring hentakan dan genjotanku. Kedua kakinya mulai ditekuk dan kutahan dengan kedua tanganku. Kupercepat genjotanku, semakin kerap, membuat ranjang pun ikut berderit mempermanis simfoni persetubuhan kami.




Terdengar pintu kamar terbuka, tapi aku terlalu bersemangat untuk menuntaskan nafsu Bu Rohmah, bahasa tubuhnya sudah menunjukan bahwa orgasmenya sudah mendekat. Genjotanku semakin kuat, Bu Rohmah bukan hanya mendesis, tapi sudah mengerang dan tangannya tak bisa diam, meremasi apapun yang ia raih.




Penisku semakin terasa geli oleh semburan-semburan halus cairan vaginanya, kedutan-kedutannya semakin gencar, dan…




“Aaaaarrgggg.. eyang bucaaaat. Sssshhhh… uuuuuhhhh….”




Bu Rohmah mengerang panjang dan meracau. Tubuhnya bergetar hebat seiring semburan orgasmenya.




Tubuhnya terhempas lunglai dengan kemaluan yang masih bertautan. Kuberi wanita ini kesempatan untuk mengatur nafas. Dengan sisa kekuatannya ia mendorong tubuhku.




Ploooop…!!!




Penisku terjerabut dari akarnya, disusul lelehan sisa cairan orgasmenya. Kuhempaskan tubuhku di samping Bu Rohmah dengan penis yang masih mendongak basah.




Dan…




Mataku nanar.. jantungku berdegup semakin kencang.. dan aku hanya bisa melongo melihat pemandangan yang sangat di luar dugaan.




Hj. Ismaja sedang bersandar pada pintu kamar sambil meremasi vaginanya dari luar gaun panjangnya, matanya merem-melek, gigi putihnya menggigiti bibir bawahnya yang tipis dan seksi. Wanita berumur 52 tahunan itu nampak menggairahkan, dan dalam benakku langsung berkelebat pemaparan pendahuluku, Senja, dalam Ketika Senja; betapa gandrungnya pemuda itu pada wanita ini sebelum akhirnya memantapkan hati untuk mengakhiri perselingkuhan mereka yang masih berlanjut pasca ritual.




“Sekarang saja masih seksi dan menggairahkan, apalagi dua belas tahun yang lalu.” itu yang spontan kuucapkan dalam hati.




Bu Rohmah sendiri seakan tidak peduli, ia langsung tak bertenaga, meringkuk di sebelahku sambil berpegangan pada payudaranya sendiri.




Aku sendiri tetap terpaku pada Hj. Ismaja yang mendekat. Sorot mata kami beradu, meski sekali-kali ia melirik penisku. Dadanya turun naik seiring nafasnya yang pendek.




Aku langsung bangkit, tapi ia menunjukku supaya tetap diam. Aku menurut dengan hanya duduk di tepi ranjang, kedua kakiku menjuntai, menapak lantai.




Hj. Ismaja nampak semakin gelisah karena gairahnya, perlahan ia membuka penutup kepalanya yang lebar, dan menyampirkannya pada senderan kursi kayu. Dibukanya gelungan rambutnya, dan langsung tergerai panjang, nampak halus dan hitam. Sambil mengocok penisku sendiri, mataku lekat pada pesona wanita itu. Wajahnya memang cantik, bibirnya merah tipis dan seksi, lehernya yang selama ini selalu tertutup nampak jenjang dengan tiga lipatan indah khas wanita dewasa.




Hj. Ismaja tentu saja wanita alim dan solehah, tidak ada sisi binal di dalam dirinya, hanya karena tautan ritual yang membuatnya ia “nakal” di belakang suaminya; itu pun kuyakin hanya dengan Senja, dan sekarang di hadapanku.




Gerakannya biasa, tidak ada gerak erotis, tidak ada bahasa binal, tapi tetap saja detak jantungku semakin keras saat secara perlahan ia melepaskan kancing-kancing jubah panjangnya.




Jubah itu luruh.. aku tecekat, nafasku seakan terhenti. Waktu seakan begitu lambat ketika pembungkus tubuhnya merosot. Payudaranya menggelembung di balik bungkusan beha hitam, belahannya sangat putih dan halus. Lalu turun lagi memamerkan perutnya yang masih langsing. Berbeda dengan Bu Rohmah, sama sekali tak ada lipatan di sana. Sesaat jubah itu tersangkut pada pinggangnya, terhalang oleh pinggulnya yang besar dan lebar.




Penisku terasa kering, sisa cairan Bu Rohmah menguap oleh kocokanku sendiri. Tapi kedutan dan rasa nikmat oleh gairan semakin membuncah.




Hj. Ismaja menurunkan jubahnya dengan mata yang tetap lekat menjelajahi tubuh polosku, nafasnya kian tersengal. Akhirnya jubah itu luruh, mengumbyuk di atas lantai, kedua kakinya yang memakai celana panjang ketat terangkat dan sedikit menendang jubahnya sehingga menjauh.




Ia kemudian meraih tepian karet celananya, dan menurunkannya secara perlahan. Tubuhnya membungkuk, dan payudaranya terpampang di hadapanku. Hanya putingnya saja yang masih tersembunyi. Aku benar-benar terbakar gairah ketika celana dalamnya, yang juga berwarna hitam tercetak di atas kulitnya yang putih.




Kini Hj. Ismaja hanya terbungkus oleh beha dan celana dalam. Aku yang sudah terbakar gairah, langsung berdiri dan meraih tubuhnya dengan cepat.




“Aaaaaah…” pekiknya tertahan.




Kupeluk tubuhnya yang nyaris polos seutuhnya. Kulit kami langsung bersentuhan; halus kurasakan. Aroma tubuhnya benar-benar sangat memabukkan.




Aku langsung meraih pinggul lebar dan kenyalnya, kuremasi dan kutekan agar kemaluan kami saling menempel. Kuciumi pula telinga dan lehernya membuat Hj. Ismaja mendesis-desis dan menggelinjang. Tangannya mencengkram punggungku.




Dengan cepat kubuka kaitan behanya, kulolosi dan kulempar sembarangan. Kuangkat pinggulnya. Ia seakan mengerti, tubuh langsingnya bergerak setengah meloncat, naik ke atas pangkuanku, kakinya membelit pinggangku erat.




Sambil berdiri aku merunduk untuk menciumi payudaranya yang tak besar tapi juga tidak kecil. Proporsional untuk ukuran wanita seusianya, juga dengan postur tubuhnya.




Langsung kuemut putingnya, membuat tubuhnya melenting ke belakang, tangannya melingkar pada leherku.




“Mmmmmh…” lenguhnya sambil menggelinjang.




Dengan rakus kujilat, kukecup dan kuemut payudaranya bergantian membuat Hj. Ismaja semakin gelisah dan tubuhnya bergetar-getar. Gelinjangannya membuatku kewalahan. Segera kubawa tubuh seksinya dan membaringkannya di atas kasur, di samping Bu Rohmah yang sudah tertidur kelelahan.




Langsung kutindih, dan kusambar bibir Hj. Ismaja, lidah kami saling membelit dengan liar. Kuremas kedua payudaranya, dan kugesek-gesekan penisku pada gundukann vaginanya yang masih terbungkus. Semua anggota tubuhku bekerja, membuat keringat kembali mengucur. Aroma keringat kami berbaur, semakin membangkitkan gairah di antara kami berdua.




“Ssssh… mmmh… aaahh… langsung aja sayang… sudah keburu jam makan siang.” lenguhnya sambil melepaskan ciuman.




Aku yang tidak mau menyia-nyiakan tubuh indahnya, tidak menggubris permohonannya, kujejahi seluruh tubuhnya dengan kecupan dan jilatan. Erangan demi erangan semakin kerap membuat riuh seisi kamar.




“Shhh… iyah.” lenguhnya ketika aku mengecupi vagina dari luar celana dalamnya.




Kupelorotkan satu-satunya sisa penutup tubuhnya, Hj. Ismaja mengangkat kepala untuk mengangkat rambutnya ke atas. Tubuhnya kian terpampang dengan rambut hitam mengembang di atas kepalanya. Dan mataku kian nanar saat melihat lipatan bibir vaginanya, nampak imut di bawah bulu-bulu jembutnya yang tipis. Ada bercak putih yang merembes, pertanda ia sudah benar-benar terangsang.




Cuuuup…!!!




“Ssssh… udah… ayo masukin.” mohonnya.




Tapi aku tetap tidak peduli, segera kusibak kedua bibir vaginanya dan langsung kusasar klitorisnya yang tegang dengan juluran lidahku.




“Aaaaarrrgh…” erang nikmatnya terdengar menggairahkan.




Tak perlu satu menit bagiku untuk menjelajahi lubang vaginanya, Hj. Ismaja langsung menggelepar meraih orgasme pertamanya. Tubuhnya kejang-kejang seiring rembesan cairan kenikmatannya. Langsung kusambut dan kucecap, kuseruput dan kutelan.




Tindakanku membuat Hj. Ismaja menggelinjang dan menjambak rambutku, kakinya menendang-nendang, lalu terkulai lemas.




Aku beringsut di atas tubuhnya. Kuusapi jentik keringat pada dahinya lalu kukecup lembut. Kukecup juga bibirnya yang terbuka dengan nafas tersengal. Tidak ada balasan, selain dahinya yang mengernyit.




Aku tetap bertahan mengemuti bibirnya bergantian atas dan bawah sambil menunggu wanita ini terangsang dan bertenaga kembali. Perlahan tapi pasti ia mulai membalas, membuat aku semakin memperdalam ciuman, dan kami pun saling mengulum dan mulai mencucuki ujung lidah.




Kemudian Hj. Ismaja mendorong tubuhku dan bangkit. Tenaganya sudah pulih, dan nafsunya sudah datang kembali. Ia merangkak di atas tubuhku sambil berputar. Kini ia mengangkang di atasku dengan bibir vaginanya tepat di depan wajahku. Sisa orgasmenya menes pada hidungku, dengan aroma yang khas.




Hj. Ismaja sendiri meraih penisku yang tetap mengacung tegang. Ramuan Bu Rohmah sepertinya memang mujarab, belum sedikit pun kurasakan akan memuntahkan laharnya. Ia mengocok penisku sambil mengecupi kepalanya. Terdorong oleh gairah, aku pun meraih pinggulnya dan mencucuki vaginanya oleh lidahku dengan bernafsu. Kenikmatannya sulit kugambarkan, percintaan yang sangat indah, bahkan baik dengan Ceu Ningrum maupun dengan Bu Ratih aku tidak pernah melakukannya seperti ini.




Kenikmatan ini semakin menjadi ketika penisku memasuki mulut Hj. Ismaja dan mengeluar-masukkannya. Rangsangan karena bibir dan lidahnya membuatku merem-melek sambil tetap menjilati klitoris dan bibir vaginanya yang mulai banjir kembali.




Tak lama kemudian, Hj. Ismaja mengakhiri permainan kami. Ia bangkit dan mengangkang di atas penisku. Kemaluannya terbuka, merah memesona, basah menggairahkan. Sejenak ia merapikan rambutnya, dan menggulungnya. Leher basahnya kembali terpampang.




Ia meraih penisku dan semakin merendahkan bokongnya.




Cleeeep…!!!




Kepala penisku mulai menemukan lubangnya. Kusambut dengan mengangkat pinggulku, membuat ia meringis.




Cleep…!!! Cleeeep!!! Cleeeeeppp!!!




Hj. Ismaja menaik turunkan pinggulnya untuk membiasakan ganjalan penisku pada lubang vaginanya yang hangat.




Aku yang tak sabar, segera meraih dan meremas kedua payudaranya, membuat Hj. Ismaja tersentak dan kehilangan keseimbangan.




Bleeeeessss…!!!




“Aaaaau…” ia menahan jeritan ketika penisku amblas sepenuhnya.




Plop.. plop..!!!




Ia langsung memompa dan menggenjot dengan liar.




“Sayaaang… oh ah oh aaah…” Hj. Ismaja mulai meracau.




Plak..!!!




Kutampar gemas bokongnya, membuat ia merintih. Gerakannya semakin liar, berpadu antara memompa dan bergoyang berputar. Penisku terasa ngilu oleh jepitan dan remasan lunak dinding-dinding vaginanya.




“Aaaah… uuuh… sayaaang… enaaak aaah… sssh… uuuh….”




Ia makin meracau di antara desahan dan geramanku.




Kupercepat tensi sodokanku dari bawah.. tubuh kami semakin bergoyang tak karuan. Hanya satu yang tak terpisahkan, penyatuan kelamin kami.




“Aaaah.. ampuuun… aku.. aaaah…” Hj. Ismaja semakin tak terkontrol.




Rintih dan erang, juga derit ranjang yang bergoyang, membuat Bu Rohmah terbangun dan menggeliat. Ia nampak memperhatikan kami tanpa bertenaga.




Sadar bahwa kami sudah sama-sama menuju puncak, segera kutarik tubuh Hj. Ismaja dan merebahkannya di bawahku. Kami kembali ke gaya misionaris. Sebelum memompakan penisku, kulirik Bu Rohmah yang tak hentinya mengamati dengan senyum yang terkulum.




“Colek dulu ah.” gumamku sambil mencolek puting Bu Rohmah.




Sikapku membuat Bu Rohmah menggeliat, dan Hj. Ismaja mengerang marah. Orgasmenya sudah dekat dan tak ingin ditunda. Segera aku menggenjotnya dengan gerakan cepat.




“Aaaahh… iiih… aaah… uuuuh….” Hj. Ismaja meracau, sambil sekuat tenaga mengimbangiku.




Mendengarnya aku semakin bersemangat. Penisku panas seakan mau meledak. Kuhentak-hentak semakin kuaaat.




“Oooohhhh… ha hammpir sa..sa..yaaang.” erangnya.




Dengan cepat kuangkat kedua kakinya, dan kusampirkan pada pundakku. Aku merunduk dan pinggulnya terangkat membuat kemaluan kami kian lekat. Hj. Ismaja bukan hanya menjabaki seprei tapi juga rambut Bu Rohmah yang tergolek di sampingnya.




“Aaaahhh… mmmhh… hiyaaaa… buuu… bucaaaat…!!!” jeritnya.


“Mmmmrrrrgggh…” erangku.




Seeerrrr… crot.. crot… crroooooot…!!!!




Penisku tak mampu lagi bertahan di tengah hisapan, empotan dan jepitan vaginanya. Kami sama-sama meraih puncak, dan ambruk di atas di atas kasur.




Aku ambruk di atas tubuh Hj. Ismaja, dan sejenak kesadaranku hilang, karena menerima kenikmatan tak tertara.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar