Cincin dari masa lalu part 58


BAB 58






Kuseruput kopiku dengan nikmat. Teman-temanku belum pada bangun karena kegiatan kemarin cukup padat dan semalam main kartu sampai jam empat pagi. Hari kedua keberadaan kami di Sawer memang cukup melelahkan. Sesi pagi diisi oleh diskusi dan pembagian tugas di pendopo yang dipimpin oleh Callista, siangnya kami langsung bergerak ke lapangan untuk mengumpulkan data-data tentang pertumbuhan ekonomi di Sawer dalam sepuluh tahun terakhir, dan sorenya dilanjutkan dengan input data sampai malam.




Ada yang mewawancarai Pak Ega dan Pak Jaka sambil mengumpulkan data-data dari arsip yang mereka simpan, ada yang mensensus warga untuk membuat indeks pendapatan per kapita, ada yang studi di perpustakaan yang oleh warga disebut “Pondok SSS”, dan sorenya kami langsung input data hingga malam. Hari ini kami masih akan melanjutkan sensus sekaligus menganalisa unsur-unsur pendukung, khususnya yang berkaitan dengan sumber daya alam Sawer dan budaya lokal yang mereka lestarikan.




Dan inilah hari ketiga Puting Bude berada di Sawer….




Callista muncul dari pondok sebelah, tubuhnya sudah segar sehabis mandi.




“Pagi, sayang.” aku menyapanya duluan.




Gadisku tersenyum tanpa menjawab, ia langsung mendatangiku untuk saling memberikan kecupan di awal hari.




“Gimana bobonya?” tanyaku setelah mengecup dahinya.


“Nyenyak, capek banget.” lirihnya sambil meraih gelasku dan menyeruputnya.




Aku mengernyit sebentar sambil mengamatinya, tumben pagi ini kekasihku lebih kalem, biasanya langsung banyak maunya dan merajuk-rajuk manja. Padahal tadi malam saja begitu manja dan minta ditemani sampai tertidur. Aku menemaninya tidur, dan baru aku tinggalkan setelah ia terlelap.




“Maya udah bangun?”


“Hmmm.. lagi mandi. Yang lain kok belum pada bangun sih?” gumamnya sambil menengok ke dalam pondokku.


“Hehehe.. semalam begadang sampai subuh.”


“Kalian itu.. huuuh…” ia sedikit cemberut.




Aku urung membangunkan mereka ketika Callista menarik tanganku agar tetap duduk. “Nanti saja, jam sembilan baru kita turun.” ujarnya sambil melihat jam tangannya yang masih menunjukkan jam 7.39 Wib.




“Sarapannya?”


“Aku udah WA Bu Euis kalau kita akan sarapan terlambat.” jawabnya.




Bu Euis adalah ibu dari (alm) Sae yang menjadi kepala urusan dapur bagi para tamu yang memesan makan. Kami belum bertemu dengan kedua orangtua Senja karena sudah tiga minggu ini mereka tinggal di Bandung, untuk mengasuh cucu mereka yang baru lahir, anak kedua dari Hera, kakak kandung Senja.




“Siap, bu dosen.”


“Huuuh!!!!”


“Hehehe…”




Kurangkul kekasihku dan mengecup kepalanya. Wangi shampoo langsung menerpa hidungku.




“Kita mau sarapan sekarang atau nanti aja bareng-bareng?”


“Nanti ajah, nunggu Maya.”




Callista memeluk pinggangku sambil mendongak. Kukecup lembut bibirnya dan saling mengulum sejenak, lalu melanjutkan obrolan ringan. Ia seakan begitu nyaman menerima pelukan dan belaian-belaianku.




Tak lama kemudian, Maya muncul untuk menjemur handuk, begitu melihat kami ia langsung berdehem menggoda. Callista hanya melihat ke arah adiknya sambil semakin mengeratkan pelukan. Gadis itu mendatangi kami berdua dan mencium pipi kakaknya.




“Pagi kakak..”


“Hmmm…” gumam Callista enggan beranjak dari pelukanku.


“Pagi, Kak Wawa.” Maya mengerling kepadaku.


“Pagi, May.” kuusap rambutnya.


“Mau aku bikinin kalian kopi?” tanyaku.


“Ini aja deh.” ujar Maya sambil menyeruput gelasku.




Jadilah… kami mengawali hari dengan meminum kopi dari gelas yang sama. Callista memindahkan pelukan pada adiknya, sedangkan aku sedikit menjauh untuk merokok.




Kupandang keduanya dengan desiran-desiran halus menyertai hati dan perasaanku. Biar bagaimana pun keduanya pernah menjadi milikku, yang satu kini berstatus sebagai kekasih dan satu lagi adalah mantan, dan aku masih belum bisa melupakan kenangan-kenangan indah bersama Maya. Memang hatiku sudah mantap memilih Callista, tapi Maya tetap memiliki pesona. Ia bagai perpaduan antara manjanya sang kakak dan perhatian serta judesnya Nur. Aku bisa menemukan sifat Callista dan Nur di dalam dirinya. Sungguh gadis sempurna yang sudah “kusia-siakan”, tapi sekali lagi, yang namanya rasa tidak pernah bisa dipaksakan.




“Taraaaaaa….!!!!”




Keasikan pagi kami dibuyarkan oleh sebuah teriakan seorang gadis. Serempak kami menengok, bahkan Maya langsung meloncat dari pelukan kakaknya.




“Liaaaaa…!!!” sambut girangnya.




Gadis itu sedang berdiri sambil menggandeng tangan Rad, Ray juga ada di sana sambil cengengesan. Tubuh ketiganya nampak berkeringat pertanda memang baru tiba.




“Kejutaaan.” seru Lia.




Maya langsung berlari dan memeluk Lia, aku dan Callista turun menyusul. Rad dan Ray menyalami Callista dengan sopan, sedangkan denganku bukannya menjabat tangan, mereka malah menjitak kepala dan menonjok perutku. Ray malah hampir ngebaduk kantong semarku dengan lututnya, beruntung aku berhasil menghindar, kalau tidak, nanti malam aku bisa gagal ritual. Kupreet nih bocah!!




Keduanya hanya cengengesan melihatku yang terhuyung kesakitan, sedangkan Lia sudah berpelukan dengan Callista.




“Kupreeet!!!” gerutuku sambil mengusapi perut.


“Hahahhaa…” keduanya terbahak.


“Kalian ngapain ke sini, bukannya beresin kandang luwak, malah ditinggalin?” ujarku.


“Yeee.. enak aja. Kami yang kerja, kamu yang enak-enakan di sini.” umpat Rad.


“Di sini juga aku kerja.” gerutuku.




Kami pun menyambut hari dengan gelak dan canda. Meski aku teraniaya oleh jotosan dan jitakan mereka, kebahagiaanku terasa makin sempurna karena para sahabatku memberi kejutan dengan datang ke Sawer.




Ray menuturkan bahwa ia tiba dari Bandung kemarin siang, bersama Lia. Di luar dugaan, ijin kerjanya langsung keluar, tanpa banyak pertingsing dari sang atasan sehingga Ray bisa langsung pulang. Dari Lia, kami tahu bahwa tadi pagi mereka berangkat dari Ewer jam setengah tujuh.




Mendengar keributan yang ada, para ladies langsung bermunculan, ada yang sudah segar, tapi ada juga yang masih kusut karena belum mandi, salah satunya adalah Syamida. Gadis itu mematung sebentar sambil mengatupkan kedua tangannya erat, matanya berbinar menatap Ray.




Ia memang baru bangun, dan kini seperti sungguh-sungguh baru terjaga dari mimpinya, ia seakan tidak percaya bahwa pagi ini kekasihnya sudah muncul di Sawer.




“Sayang?” lirihnya sambil mengucek matanya, sedangkan Ray hanya tersenyum melihat kekasihnya yang masih mengenakan pakaian tidur. Kancing atas piyamanya terbuka membuat mataku mendapat sarapan gratis belahan putih payudaranya.


“Sayaaaang!!!”




Syamida seakan baru sadar kalau ia tidak sedang bermimpi, tanpa malu pada sang dosen dan kami semua, ia langsung berteriak dan berlari menuruni tangga bale-bale dan menghambur memeluk tubuh Ray.




“Jahat.. jahat jaaat.. hiks.. nyebelin..!!! Dari kemarin gak ada kabar, tahu-tahu udah di sini.” Syamida memukuli halus dada Ray, sedangkan pemuda itu hanya terkekeh sambil mendekap tubuh gadisnya. Ciuman lembut ia berikan pada dahi gadis itu.




Sejenak kami mendapat tontotan gratis dari dua sejoli yang saling mengungkapkan rasa rindu, hanya dehemen-deheman dan siualan kecil dari kami yang melihatnya, tanpa mereka pedulikan. Dirga yang rupanya sudah bangun malah langsung mengabadikan momen itu melalui kamera video smartphone-nya. Modus cerdas, karena sebetulnya ia hanya nge-zoom buah dada syamida.


 


Aku turut ketiban rejeki, melihat kemesraan mereka, Callista langsung memelukku tanpa sungkan, bahkan ia mencolek pipiku pertanda ia ingin dicium, dan kulakukan sesuai keinginanannya.




Keriuhan pagi ini telah berhasil membangunkan teman-teman kami yang lain, satu per satu mereka bermunculan dengan wajah kusut dan ngantuk, lalu menyambut dan menyalami Rad, Ray, juga Lia; setelahnya, mereka pada duduk di emper pondok.




Sikap mereka tentu saja membangunkan harimau tidur. Callista yang semula menyenderkan punggungnya pada dadaku, langsung menegakkan tubuhnya dan menghardik mereka, dan sukses membuat mereka ngibrit meraih handuk masing-masing yang digantung pada jemuran.




“Galak.” aku mencolek hidungnya.


“Kamu lagi!!!”




Hadooh.. kena kan, aku yang bangun paling pagi malah kena damprat juga.




Kami menaiki pondok yang ditempati Callista dan Maya, dan duduk di atas lantai papan, sedangkan Syamida langsung mandi agar bisa tampil cantik di depan kekasihnya. Di antara para ladies, memang dialah yang dandanannya selalu menor. Obrolan-obrolan ringan pun kami lakukan sambil menunggu yang sedang pada mandi.




Setelah semuanya rapi, kami pun beriringan menuju pendopo untuk sarapan. Kehadiran kami disambut beberapa ibu yang sedang menyiapkan nasi goreng dan kopi hitam. Efek pada bangun siang, Callista langsung bagi-bagi tugas sambil sarapan. Meski begitu, tak satu pun dari kami yang berani protes. Ia sudah berperan sebagai dosen dan pimpinan rombongan. Hanya Rad, Lia, dan Maya yang menikmati sarapan mereka sambil ngobrol, karena mereka bukan anggota Puting Bude. Mereka malah merencanakan untuk jalan-jalan ke curug. Bikin iri!! Kami saja belum main ke sana. Tapi Ray lebih memilih membantu Syamida kekasihnya, keduanya nampak tidak mau berjauhan, dan sudah tak sungkan menunjukkan kemesraan.




Seusai sarapan semua bergerak untuk menjalan tugas masing-masing. Callista, Nur, Adven dan Dirga bertugas input data sisa semalam dan melakukan analisa; sedangkan sisanya, termasuk aku, langsung bergerak untuk menyelesaikan sensus dengan semangat. Callista mengiming-imingi, kalau semua bisa selesai hari ini, maka besok, hari terakhir, akan menjadi waktu bebas dan boleh jalan-jalan sepuasnya.




Aslinya aku dipasangkan dengan Karma dan Kubus, sedangkan Nurdin bersama Syamida dan ditemani Ray. Tapi dengan alasan mempercepat pekerjaan, aku meminta Kubus dan Karma untuk mensensus empat rumah, dan sisanya tiga rumah oleh aku sendiri. Kedua temanku setuju. Sengaja aku memilih yang gampang, yaitu Eyang Kenyot yang hidup seorang diri serta sudah tua dan pikun, rumah orangtua Senja (yang sedang di Badung, berarti tidak bisa melalukan sensus), dan rumah Bu Rohmah.




Setelah beres menemui Eyang Kenyot, dengan catatan yang acak adul karena obrolan kami jarang nyambung, aku pun melangkah menuju rumah Bu Rohmah. Wanita itu sedang di duduk di atas bale-bale depan rumahnya sambil memotongi daun singkong, sepertinya ia akan masak urab.




"Sampurasun, eyang.”


'Rampes. Eh kamu, Wa, ayo masuk.”


“Iya eyang. Kita ngobrol di sini aja yah.”




Aku pun duduk bersila di depannya, lalu berbasa-basi tentang maksud tujuanku. Sambil tetap dengan pekerjaannya, ia pun bercerita tentang keluarganya, tentang dua anaknya dan lima cucunya. Anak pertamanya tinggal serumah, namun kini ia sedang ke sawah bersama menantunya. Ketiga cucu dari anak pertamanya sedang main di rumah Pak Jaka dan Bu Sore.




Dari ceritanya, aku mendengar bahwa awalnya kehidupan mereka sangat sederhana, namun cukup berkembang sejak Senja, dkk., merintis usaha kopi. Seluruh warga Sawer sejahtera karenanya. Belum lagi sekarang, Sawer semakin makmur dan sejahtera sejak menjadi destinasi wisata-budaya. Satu lagi faktor pendukung dan sangat signifikan adalah peran orangtua Senja yang anak-anaknya (Tiurma, Mae, Era) adalah para pengusaha sukses di Bandung. Jadi ada faktor eksternal yang sangat mendukung kemajuan Sawer, selain sumber daya alam dan kekayaan tradisinya itu sendiri. Ini yang oleh PMBE harus diperhitungkan berkaitan dengan kemajuan kampung ini.




"Sampurasun téh, eh... ada... ini Sirnawa, ya?”




Tiba-tiba seorang wanita paruh baya memasuki pekarangan. Sangat cantik kulihat, walau usianya sudah tak muda lagi.




“Rampes.” jawab kami berbarengan.


“Iii.. ya, bu. Bu Hajah apa kabar?” aku langsung berdiri untuk menyalaminya.


“Kamu sudah datang toh, Mae mana?” ujar Bu Rohmah.




Hj. Ismaja tidak langsung menjawab, ia menyambut tanganku dan berjabatan agak lama. Sorot mata kami beradu, saling menyalurkan getaran-getaran asing. Sama seperti Bu Rohmah, Hj. Ismaja seolah memiliki getaran mistis melalui sorot matanya.




“Heiii...”


"Hehehe.. iya, teh. Menantuku lagi saling melepas kangen di rumah Sore.” Hj. Ismaja terkekeh sambil cipika-cipiki dengan Bu Rohmah.


“Huh.. jadi lebih mentingin yang lain daripada eyang.” gerutu Bu Rohmah.




Kami pun masuk ke dalam rumah. Bu rohmah langsung membawa boboko berisi daun singkong ke dapur diikuti oleh Hj. Ismaja, sedangkan aku duduk di ruang tamu.




Cukup lama aku menunggu, lebih dari lima belas menit. Terdengar suara keduanya sedang berbicara cukup serius, walaupun aku tidak mendengar jelas karena mereka ngobrol setengah berbisik.




“Kamu itu!!! Terserah kamulah, eyang juga kan pengen, hihi...” ujar Bu Rohmah.




Aku yang tidak mengerti konteks pembicaraan mereka hanya diam ketika keduanya datang. Bu Rohmah membawa dua minuman hangat untuk aku dan Hj. Ismaja; warna dan aromanya sama seperti yang ia suguhkan tadi malam.




“Minum, Wa.” tawarnya.


“Makasih, eyang.”




Hj. Ismaja duduk di sampingku, sedangkan Bu Rohmah duduk di depan kami.




“Kamu sudah berapa lama di kampung, Wa?” tanya Hj. Ismaja, lalu menyeruput minumannya.


“Sudah hampir dua minggu, bu. Tapi kalau di Sawer baru dua malam.” jawabku sambil ikut meraih minumanku.


“Kamu itu!! Kenapa gak nemuin ibu di desa? Waktu ibu ke Bandung juga kamu malah sibuk jualan martabak, gak mau nemuin ibu!!!” Hj. Ismaja memandangku sambil mendengus kesal.


“Hehee.. maaf, bu. Aku.. aku… masih takut dan… malu.”


“Takut dan malu kenapa? Emangnya ibu ini Sawaka? Hihi…”


“Eh itu.. ya karena…”




Aku urung memberikan pembelaan diri. Sejujurnya aku memang sungkan dan malu untuk bertemu wanita ini, secara aku sudah dipastikan harus melakukan ritual dengan Bu Mae, menantunya.




“Sudah, gak usah sungkan. Ibu merelakan menantu ibu kok, tapi hanya dalam ritual ya, awas kalau keterusan!” Hj. Ismaja bisa membaca isi hatiku, membuatku tersipu.


“Sudah-sudah, kita sudah sama-sama tahu, kini kita harus menyatukan niat agar nanti malam Sirna dapat menjalankan ritualnya dengan lancar.” ujar Bu Rohmah.


“Pasti lancarlah, apalagi dikasih enak-enak darah perawan.” ketus Hj. Ismaja.


“Huuush… kamu itu!!” ia memeloloti Hj. Ismaja, meskipun senyumnya tergurat.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar