BAB 57
Karena waktu sudah jam tiga sore, kami pun pamit untuk istirahat dan mandi, sebelum pertemuan di pendopo jam lima nanti. Kami beriringan menuju bubulak. Sekali-kali Callista menghardik teman-temanku yang masih tengil menggoda kami, tapi hardikannya malah membuat mereka semakin menjadi-jadi. Aku sendiri tak acuh atas sikap mereka sambil tetap menggandeng tangan kekasihku.
Setibanya di bubulak, nampak pondok masih sepi pertanda para cewek belum pulang. Teman-temanku masuk ke dalam pondoknya masing-masing untuk mandi. Karena hanya ada satu kamar mandi dalam setiap pondoknya, maka sebagian pada main kartu sambil menunggu giliran.
Aku lebih memilih menyusul Callista ke dalam pondoknya, karena pada asik bermain kartu tidak seorang pun menyadari kalau aku memasuki pondok kekasihku.
Kulihat callista sedang rebahan di bangku panjang sambil membuka smartphone-nya. Ia langsung menghentikan aktivitasnya ketika melihatku datang. Bahkan ia langsung berdiri dan menghambur memelukku seakan sudah lama tidak saling bertemu.
Kecupan-kecupan kecil pada bibir pun kami lakukan. Sadar bahwa sejak tadi Callista membiarkan kalung cincinnya tetap menggantung, kuraih cincin itu dan kumasukkan melalui kerah t-shirt nya.
“Kok talinya pendek sih, yank? Punyaku lebih panjang.” tanyaku.
“Iiih kamu tuh..” jawabnya.
“Looh emang bener, kan?” sambil meraih cincinku tanpa mengeluarkannya dari balik kaosku.
“Kalau panjang nanti nyelip atuh .. eh…” Callista urung melanjutkan ucapannya sambil memeletkan lidah.
“Nyelip pada apa?”
“Tuh kan.. kumat deh mesumnya.” ia memencet kecil hidungku.
“Kenapa cincin ini menjadi milikmu ya, bukan Maya.” aku menggodanya.
“Apa? Jadi kamu nyesel? Kamu lebih sayang adikku? Yaudah.. pacaran aja sanah ama Maya? Gak usah deket-deket aku lagi!!”
Callista tiba-tiba marah. Ditepisnya tanganku yang hendak memeluknya, tapi kupaksa. Ia berpaling saat mau kukecup pipinya.
“Bercanda, sayang. Aku tidak menyesal menyayangimu. Aku malah akan menyesal kalau tidak menjadikanmu sebagai kekasihku.” aku merayunya sambil membenamkan kepalanya pada dadaku, lalu mengusapi rambutnya.
“Bodo!!!
Cuuup!!! Kukecup kepalanya.
“Iiih.. gak usah cium-cium.”
“Beneran gak mau aku sun?”
“Iya!!! Ngapain kamu nyium-nyium aku segala.”
Cuuup!!!
“Iiih udah dibilangin juga.”
“Jadi gak mau lagi?”
“Nggak!!”
“Seriusss?”
“Iiiihhhh..”
Kedua pipinya menggelembung.
“Gak mau nih?”
“Dasar gak peka!!”
Cuuuup!! Kucium lagi pipinya dengan gemas.
“Bukan di situuuu!”
“Terus?”
Callista menunjuk dahinya sendiri. Kukecup dengan gemas. Ia memejamkan mata, dan kukecup lagi dengan lembut dan lama. Kukabarkan dan kucurahkan rasa sayangku.
“Ini nggak?” tanyaku sambil mengusap lembut garis bibirnya.
“Hmmmm…”
“Sun nggak?”
“Aaaah... jahat.. nyebelin.. gak pek..!!!”
Cuuuuuup!!!
Kuhentikan rajukannya dengan melumat bibirnya. Tubuhnya sedikit menggelinjang lalu membalas kulumanku.
https://t.me/cerita_dewasaa
Malam semakin larut dan teman-temanku langsung pulas karena kelelahan setelah menempuh perjalanan dan rangkaian acara sejak sore hingga sekitar jam sepuluh malam. Setelah memastikan bahwa semua temanku tertidur, aku pun mengendap meninggalkan pondok untuk menemui Bu Rohmah.
Dengan bantuan sinar rembulan dan bermodalkan senter hape, aku menyusuri malam. Kususuri perkebunan kopi menuju kampung, dan berbelok menuju sebuah rumah. Sekali-kali terdengar lolongan anjing di kejauhan, membuat bulu kudukku sedikit meremang. Aku berbisik memanggil Cintung supaya ia menemaniku, tapi tak sedikit pun ia menyahut.
[POV Cintung: Bodo!!! Gua masih kesel, lu tetep menang banyak.]
Setelah melewati beberapa rumah, aku pun tiba di sebuah halaman yang lampu ruang tengah rumahnya masih menyala. Aku diam sejenak untuk mengatur nafas, lalu menaiki tangga bale-bale. Belum juga aku mengetuk, pintu sudah terbuka, dan sosok Bu Rohmah menyambutku. Ia masih memakai kebaya, bedanya rambutnya sudah tidak digelung. Terurai panjang tanpa uban.
Tanpa suara ia mempersilakanku masuk dan menutup pintu. Aku duduk di atas kursi bambu, hidangan minuman hangat sudah disediakan di atas meja. Ia seakan sudah tahu kapan aku akan datang. Sejenak pikiranku melayang, mengingat cuplikan buku yang ditulis oleh Senja.
“Tenang, minuman ini tidak ada apa-apanya kok.” Bu Rohmah seolah bisa membaca pikiranku sambil tersenyum. Aku hanya bisa tersipu sambil menepuk-nepuk pahaku sendiri.
Kami pun duduk berhadapan, ada desir-desir halus saat menyadari bahwa kami hanya berdua di dalam ruangan ini, tengah malam pula.
“Jangan mesum, eyang sudah tua.”
Gleeeek!!!!
Aku menelan air liur sendiri, ia benar-benar bisa membaca pikiranku. Aku semakin yakin Bu Rohmahlah orang yang dimaksud oleh Bu Mae.
“Tapi kan tubuh eyang… eh…” mulut sialan, gak tahu diri, kupret, ngomong sembarangan.
"Sudah... sudah kamu minum dulu, otakmu harus bener-bener di cuci, pantesan si cintung sering ngeluh." wanita ini adalah titisan Mantili, ia kenal Cintung dan apapun yang kupikirkan bisa ia tahu. Senyum manisnya memancar dari wajahnya yang mengguratkan kharisma dan wibawa; sekaligus sisa-sisa kecantikan di masa lalu. Eh… sekarang juga masih cantik ding.
Dengan sedikit gugup aku meraih minuman yang sudah ia hidangkan, rasanya hangat-hangat enyoii, rasa dinginku langsung hilang, bukan hanya tubuh tapi juga hati dan perasaanku ikut hangat.
“Bu…” gumamku sambil memberanikan diri menatapnya.
“Eyaaang!!!”
“Eh iyah, eyang…”
“Kenapa?”
“Eyang adalah wanita yang dimaksudkan oleh Bu Mae untuk kutemui?” aku masih mencari kepastian.
“Sudah tahu masih nanya.”
“Eh.. maaf.. berarti bener ya.”
“Kamu udah apain Mae, anak ibu?”
“Eh.. itu… ngg…”
“Awas kamu!! Hihi…”
Bu Rohmah terkekeh melihat tingkahku yang serba salah. Suasana mulai mencair seiring obrolan-obrolan ringan yang ia lontarkan. Ini bukanlah pertemuan pertama di antara kami, tapi tetap kami gunakan sebagai ajang perkenalan. Aku menceritakan perjalanan hidupku sejak kehilangan (alm) Maya sampai saat ini, tentu saja dengan perjalanan cintaku, juga rangkaian-rangkaian ritual yang sudah kujalani.
Sedangkan Bu Rohmah, dengan aura mistisnya, menceritakan kembali riwayat Sawer dan asal-usul Sawaka dan Mantili. Makhluk itu hilang karena Senja tidak mau melanjutkan ritual. Banyak hal yang ia ceritakan, sehingga aku mendapat pengetahuan baru, yang tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan Senja.
"Eyang, aku masih penasaran, benarkah cintung itu sawaka? Dan mengapa cincin kang senja dan teh Sae harus jatuh kepadaku dan Callista?” aku mengungkapkan rasa penasaran yang selama ini mengganggu pikiranku.
“Mae sudah menemui Cintung, sahabatnya Senja, tapi sudah dipastikan bahwa ia tidak mengambil cincin itu. Menurut keterangan dari semua anggota keluarga, Senja dan Sae tidak pernah melepaskan cincin mereka. Bahkan sesaat sebelum mereka menghembuskan nafas terakhir, cincin mereka masih ada. Tapi ketika jenazah mereka dimandikan, cincin itu hilang dengan sendirinya, keluarga sempat panik mencari tapi tetap tidak ditemukan.”
“Cintung dan teman-temannya dari Bandung juga datang ketika jenazah sedang dalam perjalanan ke makam, jadi kesimpulannya bukan Cintung sahabatnya yang Senja yang mengambil, melainkan Cintung temanmu. Hehee…”
Bu Rohmah menjelaskan panjang lebar, sambil terkekeh di akhir penjelasannya.
“Cintung itu aneh, eyang, datang dan pergi tanpa diminta.”
“Ya itulah temanmu.”
“Eyang kenapa bisa kenal dia?”
"Setelah mendengar penjelasan Mae dan semedi di leuweung girang, eyang tahu bahwa sawaka malih rupa dengan menampilkan diri menjadi seorang Cintung. Jadi, Cintung itu adalah Sawaka, dan Sawaka adalah Cintung. Cintung alias Sawaka pulalah yang mengambil cincin Senja dan Sae karena sepertinya ia masih ingin hidup dan melindungi Sawer; bukan hanya Sawer, tapi juga Ewer dan seluruh kampung yang ada di desa kita.”
“Oh gitu, ya eyang.” aku mengangguk mengerti.
“Iya, jadi memang kalian ditakdirkan untuk berteman. Bukankah kalian selalu bersaing untuk menang banyak? Kamu sukanya gadis perawan tapi dapatnya malah binor melulu, sedangkan si Cintung sukanya binor tapi dapatnya gadis perawan. Hehee… Dasar otak-otak mesum.” Bu Rohmah terkekeh.
“Hehehe.. eyang tahu binor juga. Yaa.. dia kan makhluk astral jadi bisa lebih menang banyak.” gumamku dengan muka memerah karena dibilang mesum.
"Maaf tadi di rumah Jaka dan Mayang, eyang keceplosan bilang 'tidak boleh',, itu bukan eyang tujukan pada kalian, tapi pada Sawaka alias Cintung. Itulah efeknya kalau sama-sama ingin menang banyak, kalau tidak hati-hati bisa salah langkah. Cintung menginginkan Callista sebagai gadis ritualmu, makanya eyang hardik.”
Penjelasan Bu Rohmah membuatku benar-benar merasa lega, andai saja Bu Rohmah dan Cintung sepakat, maka aku akan kehilangan Callista selamanya, karena ia tidak akan pernah menjadi jodohku.
“Nanti setelah ritual, kamu bisa menguasai Cintung karena kamu adalah tuannya.” jawab Bu Rohmah.
“Jadi aku bisa lebih menang banyak dong, eyang.”
“Huuushhh.. kamu itu.” Bu Rohmah melotot sambil menggelung rambutnya ke belakang, lanjutnya, “Jangan menyalah gunakan kekuasaan, ingat tugasmu membangkitkan Sawaka adalah untuk mengembalikan legenda dan tradisi yang hilang. Masa depan Sawer dan Ewer ada di tanganmu.”
“Iya eyang.” aku menunduk mendengar penjelasan Bu Rohmah, ternyata membangkitkan Sawaka tidak serta-merta membuat hidupku enak, tugas dan tanggungjawab besar sudah menanti di depan.
“Lagian apa kamu tidak kasian pada Callista?”
“Eh.. iyah.. iya, eyang. Aku sayang banget ama Callista.”
Kulihat Bu Rohmah menarik nafas panjang sambil menatapku penuh keibuan, sekaligus juga tajam.
“Senja gagal ritual karena cintanya yang teramat besar pada kekasihnya, dan eyang tahu kalau kamu pun menyayangi Callista, apalagi ada cincin yang mengikat kalian. Tapi eyang tidak mau kamu melakukan kesalahan yang sama.” nada suaranya dalam dan tegas, penuh permohonan sekaligus perintah.
Aku hanya mengangguk walaupun hatiku sendiri diliputi rasa bersalah pada kekasihku.
“Ingat, Wa, bukan hanya kamu yang harus berkorban, tapi juga keluarga kami.”
“Mm.. maksud eyang?”
“Setelah kamu membangkitkan Sawaka melalui ritual ketiga, kamu juga harus menyelesaikan ritual yang tertunda dengan Mae untuk membangkitkan Mantili dan mengawinkan mereka. Itu bukan hal yang mudah bagi kami, khususnya bagi Mae, karena ia pun harus “mengkhianati” suami, anak-anak, dan keluarganya. Beruntung wanita ritual kedua Senja adalah mertuanya, sehingga Ismaja bisa mengerti. Jaga dia, dan juga jaga rahasia demi nama baiknya. Hal ini hanya boleh diketahui oleh kami bertiga dan kamu sendiri.”
“Iya eyang, aku janji.”
Tik tok tik tok.
Kami saling diam dalam isi pikiran masing-masing. Ternyata gairah muda untuk menang banyak tidak serta membuat hati bahagia, banyak yang harus dikorbankan, banyak perasaan yang harus dilawan.
“Kalau wanita ritual ketigaku siapa eyang?” aku memecah kesunyian.
“Tanpa kamu tahu, Mae sudah menemui Ningrum dan Ratih untuk meminta pendapat mereka. Kami bertiga juga sudah berbicara, dan kami sudah memilih, tapi eyang tidak mau memberitahumu sekarang, nanti kamu akan tahu sendiri saat ritual. Eyang takut kamu berubah pikiran dan membatalkannya, seperti Senja dulu.” tegas Bu Rohmah.
Aku terpengarah mendengarnya, sekarang aku mengerti mengapa tadi bu Rohmah mengajak pergi para ladies, rupanya ia sedang menyelidiki dan memastikan sang gadis pilihan. Sangat jelas bahwa gadis ritual itu berasal dari lingkungan terdekatku, berbeda dengan ceu Ningrum dan Bu Ratih yang ritual dulu baru dekat. Yang tak kalah mengejutkan… ternyata selama ini aku salah. Bukan Sawaka yang memilih, tapi tiga wanita ritual terdahulu.
“Gadis itu sudah tahu, eyang?” tanyaku.
Bu Rohmah menjawab pertanyaanku dengan mengangguk, dan aku kembali diam sambil memikirkan Maya, Nur, Aruna, dan Syamida. Kini aku tidak bahagia membayangkan tubuh-tubuh cantik nan seksi yang mereka miliki, tapi sebaliknya, aku merasa sakit karena harus menodai salah satu di antaranya.
“Kamu jangan takut, Wa, selaput dara mereka akan kembali pulih setelah ritual.” Bu Rohmah bisa membaca kegelisahanku.
“Iya eyang.” singkatku. Meski mulut mengiyakan, tetap saja aku gelisah, karena biar bagaimana akan sulit meniduri seseorang tanpa melibatkan perasaan.
Kuraih minuman yang sudah dingin dan kuteguk sampai habis.
“Sekarang kamu pulang dulu. Callista terbangun dan mencarimu.”
“Eh.. iya eyang.”
Aku tergagap. Aku sudah tidak perlu bertanya kenapa wanita ini bisa tahu, aku sudah yakin bahwa Bu Rohmah memang bukan orang sembarangan. Pantesan orang-orang sini mempercayainya sebagai wanita sakti.
“Terima kasih banyak, eyang. Aku permisi.”
“Iyah. Kamu jaga Callista baik-baik. Jalan kalian masih berliku"
“Iya eyang.”
Aku pun menyalami dan mencium tangannya, lalu meninggalkan rumah Bu Rohmah membelah sunyinya malam.
Aku menyelinap memasuki area pondok melalui jalan lain, agar tidak kelihatan habis bepergian. Aku masuk melalui pintu belakang, dan mengendap mengambil hapeku. Banyak misscall dari kekasihku.
Aku langsung keluar melalui pintu depan. Benar saja, di pondok sebelah Callista sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Dalam keremangan lampu kami saling beradu pandang, dan aku pun menuruni bale-bale menghampirinya.
“Kok bangun, sayang?”
“Gak bisa bobo.”
Aku mendekatinya, dan langsung duduk di sampingnya. Kuraih kepalanya dan kubenamkan ke dalam dadaku untuk memberi kehangatan.
“Maya sudah tidur?”
“Nyenyak dia mah."
“Yaudah bobo yuks. Mau aku temani?”
“Iyah.”
Kukecup kepalanya lalu sama-sama berdiri memasuki pondok. Sebenarnya Callista tidur sekamar dengan Maya, tapi kekasihku membawaku ke kamar yang satunya dan kami sama-sama membaringkan diri. Callista langsung memelukku sambil menumpangkan kepalanya di atas bahuku, satu kakinya menumpang di atas perutku. Kupasang selimut untuk kami berdua dan kukecup keningnya lembut.
“Met bobo, sayang.”
“Iyah.. met bobo, Wawa sayang.”
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar