BAB 56
Semua bertepuk tangan, dan aku mengusapi punggung kekasihku yang sedang memeluk adiknya.
“Tidak boleh..!!!”
Tiba-tiba suara seorang wanita yang baru masuk langsung menyentak kegembiraan kami, dan membuat kami semua langsung terdiam. Bahkan Callista langsung mengangkat wajahnya dengan kaget. Kini semua mata menuju ke arah datangnya suara. Jantungku berdetak kencang. Kutatap sosok wanita paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, umurnya mungkin sudah lebih dari setengah abad.
“Bu Rohmah..” bibirku bergetar menyebut namanya.
Selama beberapa detik lamanya, kami saling terdiam, dan semua mata memandang ke arahnya.
“Eyaaang.” suasana terbuyarkan oleh si kecil Rega yang bangkit dari pangkuan ibunya, dan tertatih berlari pada wanita itu. Bocah itu diikuti oleh Andini, keduanya menghambur ke dalam pelukan Bu Rohmah.
“Duuuh cucu eyang lagi makan ya?” sambut sang nenek.
“Belum, nek, tuh meleka malah pada ngoblol. Huuuh…!!!” Rega mengadu, membuat sang nenek tertawa.
Sebetulnya tingkah kedua bocah itu sangat lucu, tapi tak ada satu pun di antara kami yang tertawa. Semuanya masih bungkam karena shock atas seruan Bu Rohmah yang tiba-tiba berkata “tidak boleh.” Kekasihku malah menunduk sambil meremasi tangannya sendiri, matanya mulai berkaca-kaca. Kusentuh lengannya membuat ia mendongak, dan hatiku rasanya teriris melihat duka yang ia pancarkan.
[POV Cintung: “Sial…!!! Bu Rohmah malah membentakku, padahal gua kan mau supaya Sirna melakukan Ritual dengan Callista. Soalnya kalau mereka berjodoh, pasti anak itu akan pelit menceritakan SS malam pertamanya. Nasib.. nasib…]
Aku mengangguk sambil memberinya sebuah senyuman, melalui sorot mata ini kusampaikan bahwa ia akan baik-baik saja selagi aku selalu ada di sampingnya. Gadisku mencoba membalas senyumku sambil mengusap air matanya yang menjentik.
“Ibu udah makan?” ujar Pak Jaka pada mertuanya itu.
“Udah.. tadi adikmu masak urab di rumah.” jawab Bu Rohmah.
“Ayo makan lagi aja atuh, bu. Ni bareng tamu sekalian.” Mayang mengundang ibunya.
Oh iya… Mayang adalah anak pertama Bu Rohmah, yang berarti mertua Pak Jaka. Rinjani dan Andini tentu saja adalah cucu kandungnya, tapi selain itu, semua anak para sahabat Sawer tentu saja sudah dianggap sebagai cucunya sendiri.
“Kalian saja, ibu ke sini mau nyari anaknya si (alm) Naksir dan si Ngeunah.” jawab Bu Rohmah sambil tetap memangku Rega, sedangkan Andini berdiri memeluk pahanya.
Mendengar nama kedua orangtuaku disebut, aku langsung berdiri untuk menyalaminya. Untuk pertama kalinya sorot mata kami beradu, membuatnya tersenyum, sedangkan dadaku tiba-tiba berdebar tidak karuan. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa kumau dan tanpa sebab.
“Saya, bu. Nama saya….”
“Sirna.” ia ikut melanjutkan ucapanku.
“I..iya, bu.”
“Panggil eyang (nenek) saja.”
“Iya, eyang.”
Aku menuruti kemaunnya untuk memanggil "eyang", meskipun wajah dan bentuk tubuhnya nampak lebih muda dari usianya. Bahkan kulihat belahan payudaranya sama sekali tidak keriput. Aku bisa melihatnya karena tangan Rega berpegang pada kebaya atasnya sehingga tertarik ke bawah.
Tangan kami bertautan membuat jantungku tiba-tiba berdebar. Ada getaran mistis yang kurasakan. Bu Rohmah memang dikenal sebagai seorang perempuan yang sangat disegani di kampung ini, dan banyak orang datang untuk mendengarkan petuah-petuahnya. Oleh warga Sawer sendiri ia sudah didaulat sebagai salah satu sesepuh kampung yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan semua warga di sini.
“Oh ini toh? Sepertinya kita sudah pernah bertemu?” ujar Bu Rohmah.
“Hehee.. iya, eyang. Eyang kan hadir ke pemakaman ayah saya dan juga datang melayat ke (alm) Maya.” aku menjawab sambil terkekeh untuk menyembunyikan ketakutanku.
“Hehe.. iya ya.. maklum eyang sudah mulai pikun.”
“Saya juga sudah beberapa kali main ke Sawer, jadi mungkin eyang melihatku.” jelasku.
“Oh ya sudah.. kamu makan saja, eyang hanya ingin bertemu denganmu, katanya kamu sedang merintis usaha kopi careuh (luwak) di Ewer, kapan-kapan saja kita ngobrol lagi agar usahamu lancar.” kuyakin ia berbohong karena sorot matanya seakan sedang menyelidiku.
“Iya eyang, hatur nuhun."
“Yang mana kekasihmu yang sedang kamu perkenalkan tadi?” tanyanya.
“Callista, nek.”
Aku menoleh ke arah kekasihku yang sedang murung. Callista berdiri dan menyalami Bu Rohmah dengan sopan, ia memaksakan sebuah senyuman pada wanita itu. Aneh memang… seharusnya Callista tidak terpengaruh oleh kata-kata Bu Rohmah, karena mereka belum pernah bertemu sebelumnya, dan tentu saja akan sangat ganjil kalau ada orang asing yang tiba-tiba melarang hubungan kami. Itu kalau aku berpikir dari sudut pandang Callista. Sedangkan dari pihakku, ucapannya tentu saja sangat menakutkan karena kami para warga percaya bahwa setiap ucapannya bagaikan “kata-kata sakti” yang bisa menjadi kenyataan.
Apalagi ia datang untuk mencariku, dan sudah tahu namaku, ini sangat mengejutkan dan membuat pikiranku tidak tenang.
Callista mencium tangan wanita itu. Bu Rohmah menatap Callista dengan lekat membuat kekasihku terlihat salah tingkah. Kemudian mata wanita itu terpaku pada dada kekasihku seakan sedang memperhatikan sesuatu, sejenak keningnya berkerut, membuat Callista semakin gelisah. Aku mengikuti arah pandangan mata Bu Rohmah, tidak ada yang aneh di sana, selain kaos putih yang ia kenakan dengan tulisan PMBE. Pada lehernya memang melingkar sebuah rantai kalung yang kutahu bandulnya adalah sebuah cincin, tapi cincin itu sendiri tersembunyi di balik kaosnya.
“Kamu siapa, nak?” tanya Bu Rohmah.
“Nama saya Callista, bu, eh.. eyang.”
“Hmmm.. iya eyang tahu.. tapi… ah yasudahlah. Kamu mengingatkan eyang pada seseorang.”
“Siapa, eyang?” tanya Callista.
Bu Rohmah tidak menjawab, ia malah melirik ke arah Ega, juga kepada Mayang dan Jaka. Wanita itu tiba-tiba menarik nafas panjang dengan mata berkaca-kaca. Meski demikian, ia masih mencoba mengembangkan senyumnya sambil mengusapi rambut Callista. Kekasihku melirik padaku dan aku mengangguk untuk menyampaikan kepadanya bahwa semua baik-baik saja, padahal aku sendiri ketakutan seandainya yang terjadi malah sebaliknya.
Akhirnya semua teman-temanku berdiri dan satu per satu menyalami Bu Rohmah.
“Saya Maya, eyang, adik Kak Callista.” ujar Maya.
Bu Rohmah menerima uluran tangan Maya sambil tersenyum. Air matanya seketika hilang entah kemana, karena tidak mengalir, dan tidak mungkin bola mata bisa menghisap air matanya sendiri. Sebuah pemandangan ganjil yang baru kali ini kulihat seumur hidupku, entah teman-temanku melihatnya atau tidak. Bu Rohmah malah menarik tubuh Maya dan mengecup keningnya. Kali ini Maya yang nampak kebingungan, meskipun senyumnya terulas.
“Saya Nurmala, eyang.” kini giliran Nur yang menyalami Bu Rohmah. Wanita itu menyambutnya juga sambil tersenyum. Hal yang sama ia lakukan pada Nur, ia mengecup keningnya.
“Saya Syamida, eyang.” ujar Syamida.
Satu per satu teman-temanku menyalami Bu Rohmah sambil memperkenalkan diri. Terakhir adalah Aruna, dan Bu Rohmah juga mencium Aruna, tapi bukan pada kening melain pada pipi kiri dan kanannya.
“Sudah.. sudah.. kalian lanjutkan makannya. Tapi eyang mau ngobrol dulu dengan Neng Callista. Ayo, nak.” ujar Bu Rohmah setelah semuanya bersalaman.
Bukan hanya Callista yang kaget, tapi juga kami semua.
“Eyang..” aku mencoba menahannya.
“Iya, nak?” Bu Rohmah menatapku.
“Itu.. tadi.. tadi maksud eyang apa yah? Maaf kalau saya sudah lancang.” tanyaku sambil spontan menggenggan tangan Callista.
“Maksud Nak Sirna?” ia bertingkah lupa.
“Itu.. maksud eyang 'tidak boleh’ tadi apa ya?” aku menjelaskan.
“Emang eyang tadi ngomong gitu?”
“Iya.. tadi eyang datang-datang langsung bilang ‘tidak boleh.’” Rega yang masih dalam gendongan Bu Rohmah menjadi penyelamatku.
“Hihi…” Bu Rohmah malah terkekeh.
“Cucu eyang makan dulu bareng bunda gih. Eyang mau bicara sebentar dengan tante Callista.” ujar Bu Rohmah sambil menurunkan Rega.
Ia langsung menarik tangan Callista, gadis itu melihat ke arahku bimbang. Setelah melihat anggukan kepalaku, ia pun mengikuti wanita itu menuju ke dalam saung.
“Mari kita lanjutkan makannya.” Pak Ega mencairkan suasana.
Kami semua mengangguk lalu mengisi piring masing-masing. Mereka semua makan dengan tenang, tidak ada lagi canda tawa yang kami lontarkan. Semuanya seakan masih memikirkan hal yang sama, tentang nasib cintaku dengan Callista, sekaligus juga bertanya-tanya mengapa Bu Rohmah mengajak Callista berbicara secara pribadi, padahal mereka baru saling mengenal.
Postitifnya, aku tidak lagi menjadi objek olok-olokan teman-temanku karena sudah memacari dosen sendiri, tapi negatifnya, aku sangat ketakutan seandainya Callista memang bukan jodohku. Semuanya makan dengan lahap, kecuali Nur dan Maya. Kedua gadis itu juga nampak kehilangan selera makan seolah ikut merasakan apa yang sedang kutakutkan.
“Nak Sirna kok tidak makan?” Bu Sore menoleh ke arahku yang sedang ngelamun.
“Eh iyah, bu. Saya nanti saja, menunggu Callista.” jawabku.
Semua mata teman-temanku melihat ke arahku, meski tidak ada kata-kata yang terlontar.
“Makan saja duluan, nanti kan bisa makan lagi bareng kekasihmu.” Pak Jaka menyuruhku.
“Hehehe.. nanti aja, pak.”
“Sudah jangan dipikirin, Wa, semuanya pasti akan baik-baik saja.” Bu Mayang seakan mengerti kegelisahanku.
“Nng.. nggak kok, bu.” aku berbohong.
“Percaya sama ibu, semuanya akan baik-baik saja. Nak, suruh kakaknya makan tuh.” Bu Mayang meyakinkanku lagi, lalu menoleh kepada Andini.
“Kakak ayo makan, gak suka yah ama makanannya?” sahut gadis cilik itu.
“Hehee.. suka kok, dek. Nih kakak makan…”
Kuambil irisan mentimun, kucoelkan pada sambel, dan memakannya. Andini menertawakanku, juga Rega.
“Masa kakak cuma makan timun?”
“Hehe..” aku hanya terkekeh.
Nur dan Maya menatapku tanpa sepatah katapun. Jadilah.. aku menyaksikan orang makan sambil memakan mentimun tanpa selera. Berkali-kali aku melirik ke arah pintu, menunggu Callista, tapi gadis itu tak kunjung kembali. Mereka malah nampak sedang berbicara serius di dalam saung.
Memang suasana makan tidak sepenuhnya hening, obrolan-obrolan ringan tetap dilontarkan, terutama di antara Pak Ega, Pak Jaka, dan ibu-ibu yang membicarakan bahwa Hj. Ismaja dan Bu Mae akan datang. Mendengar nama terakhir, hatiku berdesir halus, karena wanita itu sangat dekat denganku. Andai saja mereka tahu bahwa aku telah menjadi “pasangan selingkuhnya,” mungkin mereka akan mengutukku dan mengusirku saat ini juga.
Akhirnya acara makan pun selesai. Ibu-ibu membereskan piring dan gelas kotor dan membawanya ke dapur, sedangkan nasi dan lauk pauknya ditinggalkan karena aku dan Callista belum makan. Bersamaan dengan itu, Bu Rohmah dan Callista datang. Aku menatap keduanya, kini hanya ada senyum cerah yang kulihat. Callista tidak murung lagi, ia malah tersenyum ke arahku sambil memeluk pangkal lengan Bu Rohmah.
Melihat piringku masih utuh, karena aku baru memakan mentimunnya saja, Bu Rohmah tersenyum dan berkata, “Yasudah Nak Callista makan dulu, tuh pacarmu juga belum makan karena nungguin kamu.”
Callista mengangguk malu, satu dua temanku mulai berdeham. Melihat perubahan Bu Rohmah dan Callista yang seolah tidak terjadi apa-apa, membuat para temanku bernafas lega, sikap tengil mereka mulai muncul.
“Sudah kalian pindah ke saung, jangan ganggu mereka.” Bu Rohmah langsung cerewet dan menyuruh teman-temanku untuk bubar.
Entah bagaimana… dan entah kenapa… Suasana menjadi ramai kembali. Bu Rohmah memperlakukan kami seperti anak-anaknya sendiri, dan ia malah langsung bisa guyon dengan teman-temanku ketika mereka tak kunjung meninggalkan ruangan. Akhirnya semua orang meninggalkan ruangan, dan tinggal ada aku, Bu Rohmah dan Callista.
“Bu..” lirihku sambil mendekatinya.
“Hehehe…” wanita itu terkekeh memperlihatkan barisan giginya yang putih dan masih utuh. Ia seakan mengerti kegelisahanku.
Ia menatap Callista yang sudah duduk, lalu mendekatkan bibirnya pada telingaku.
“Kamu harus menemui eyang malam ini juga. Sendirian!!!”
Duaaaaar!!!!
Setelah berbicara secara pribadi dengan Callista, ia memintaku untuk menemuinya. Misteri demi misteri semakin bertumpuk membuatku kalut.
“Maaf, tadi eyang berkata begitu bukan kepada kalian, tetapi kepada temanmu, eyang keceplosan karena sangat kesal mendengar keinginannya.”
“Mmaksud eyang? Temanku yang mana?”
“Sudah nanti eyang jelaskan di rumah.”
"Sekarang kamu temani "saemu" makan.” kali ini ia tidak berbisik lagi, dan yang mengejutkan ia menyembut Callista dengan panggilan Sae.
Tanpa menunggu jawaban, Bu Rohmah langsung meninggalkan kami berdua.
“Sayang.” lirihku sambil duduk di sampingnya.
Callista menyambutku dengan pelukan, setelah sebelumnya melirik ke arah dapur.
“Tadi kenapa kamu dipanggil Bu Rohmah?” aku langsung menyayainya tanpa mampu menyembunyikan kekhawatiran.
“Kamu takut yah? Hihi…”
“Sayang..!!! Tadi ngapain??”
“Hihi.. iiiih ada yang takut kalau kamu kehilangan aku.” ia malah menggoda sambil mencolek-colek daguku.
“Sayaaang?!!!” geramku dengan suara tertahan.
“Gak ada apa-apa iiih. Nanti aja aku ceritanya. Lapeeer.”
Sebelum aku mencecarnya lagi, Callista malah mengecup bibirku dan mengulumnya singkat. Ciuman ini begitu tulus dan jujur tanpa ketakutan, ia seakan mengabarkan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku tidak membalasnya, karena aku masih menunggu penjelasan dari gadis ini. Setelah ciumannya lepas, aku hanya mendesah, dan selera makanku masih hilang.
“Sayang, laper.”
Aku menyodorkan piringku yang tadi ia isi, tanpa sepatah katapun yang kuucapkan.
“Iiiih jahat. Gak suka liat kamu ngambek.” rajuknya.
“…”
Callista cemberut sambil menyilangkan tangannya di atas dada.
“Jahaaat!!”
Aku menatapnya, dan gadis itu makin cemberut.
“Yaudah makan.” aku mengalah sambil mengambil piring kosong dan bersiap mengisinya dengan nasi.
“Gak jadi makan!!!” gumam Callista sambil merebut piring dari tanganku dan meletakannya jauh-jauh.
“Sayang, makan dulu yah.”
“Nggak!! Kamunya jahat!!!”
“Sayaang!!! Kok jadi aku yang jahat? Aku kan cuma nanya. Aku takut tahu, Calls.”
“Ya tapi kamunya jangan ngambek seperti itu.”
“Abisnya kamu gak mau cerita!”
“Jadi aku yang salah? Aku kan udah bilang kalau ceritanya nanti aja setelah makan. Hiks…”
“Iya sayang, maaf, aku gak marah kok. Kita makan yah.”
“Nggak. Hiks hiks…”
Kuulurkan tangan untuk mengusap air matanya, tapi callista menepis. Fiiiuhhhh...aku merasa yang kesal, tapi aku juga yang harus mengalah dan membujuk sang penyebab kekesalanku.
“Maaf sayang, aku udah gak marah kok, beneran. Lihat nih!!” aku mengajaknya tersenyum.
“…” sambil mengusap air matanya sendiri.
“Makan dulu yah.”
“Nggak mau. Gak jadi laper.”
“Aku lapar loh. Yaudah aku juga gak makan kalau kamu gak mau makan.”
“Kamu harus makan!!” ucapnya.
“Kamu?”
“Nggak!!”
“Yaudah aku juga…”
“Iya.. iya.. aku makan, tapi pengen disuapin.” Callista akhirnya mau makan.
Callista memandangku sambil menghapus sisa air matanya. Aku melirik ke arah dapur dan ke arah saung. Setelah dipastikan tidak ada orang yang memperhatikan kami, kuputuskan untuk mengikuti kemauannya. Aku belum punya cara menaklukan hati gadis ini ketika sedang merajuk, selain mengikuti kemauannya, dan aku lebih memilih untuk menyuapinya daripada malah akhirnya dia yang ngambek dan gak mau makan.
“Nih.. aaa…” ujarku sambil menyodorkan sendok berisi nasi.
Callista tidak langsung membuka mulutnya tapi menatapku beberapa saat lamanya, setelah melihatku tersenyum akhirnya ia menerima suapanku. Setelah itu, aku menyendok nasiku sendiri. Jadilah.. kami makan sepiring berdua. Bahkan akhirnya Callista mengambil piring dari tanganku dan gantian ia yang menyuapiku.
Setelah isi piring kosong, Callista menambahkan nasi dan sayuran, aku tidak keberatan karena kupikir ia masih lapar, dan akan dihabiskan berdua. Celakanya.. ternyata ia mengambil hanya untukku, dan aku harus menghabiskan sendiri.
Suasana cukup romantis walaupun di dalam hatiku masih menyimpan rasa penasaran. Bukan hanya makan, kami pun minum segelas berdua. Kekasihku nampak cukup menikmati, dan melayaniku sedemikian rupa. Bahkan ia mengelap bibirku dengan tissue yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Kecupan lembut pun kudapatkan di akhir makan kami.
“Tadi Eyang Rohmah hanya menanyakan ini?” Callista rupanya masih menangkap ganjalan di hatiku.
Ia mengeluarkan bandul kalungnya dan memperlihatkan kepadaku.
“Kok eyang bisa tahu?”
“Kalung ini milik Sae.”
“Haaah???”
Meskipun aku sempat menduga akan pemilik asli cincin ini, tetap saja aku tersentak kaget. Spontan kukeluarkan bandul kalungku sendiri dan menyandingkannya. Keduanya memang mirip, hanya ukurannya saja yang berbeda.
“Jadi kita menyimpan pasangan cincin dari legenda Sawer?” gumamku.
“Iyah. Eyang juga tahu kok kalau kamu memakai cincin punya Senja.”
“Kamu cerita?”
“Nggak.”
“Kok?”
“Iiih sayang. Nanya-nanya mulu.” Callista cemberut, lanjutnya, “Eyang juga kan bisa tahu aku memakai cincin ini tanpa melihatnya, berarti ia juga bisa tahu bahwa pasangannya ada padamu.”
Aku hanya bisa bengong menatap Callista. Jauh di dalam lubuk hatiku aku berharap bahwa ini juga menjadi pertanda bahwa aku dan Callista memang berjodoh. Tapi ada sekian banyak misteri yang membuat kedua cincin ini jatuh pada kami.
“Aku masih belum siap cerita tentang pemberi cincin ini, Wawa.” Callista merengut seolah bisa membaca pikiranku.
“Iyah.. gak apa-apa, kok. Aku akan selalu menunggu sampai kamu siap. Cuma aneh aja kenapa kedua cincin ini bisa jatuh pada kita.” jawabku.
“Itu tandanya kita jodoh.”
Cemberut Callista berubah menjadi senyuman manis.
“Emang Bu Rohmah bilang gitu?”
“Nggak.”
“Kok?”
“Wawa iiih.. kamu mah… kamu gak mau yah kita berjodoh?”
“Hehehe… iyah iya… siapa sih yang gak mau ama gadis se…”
Kuurungkan untuk menggombalinya, diganti dengan memeluk dan mencium keningnya.
Sesaat lamanya kami saling larut dalam pelukan dan hanyut dalam rasa sayang yang sama-sama kami miliki.
“Sayang, masa ngomongin cincin sampai selama itu?”
Aku bertanya tanpa melepaskan pelukannya.
“Kan ngomongin yang lain juga. Intinya, eyang menasihatiku untuk mencintaimu apa adanya. Terus.. terus sebelum pulang, eyang menyuruhku ke rumahnya untuk mengambil oleh-oleh.”
“Wooow.. apa oleh-olehnya?”
“Ada deeeh.. urusan perempuan.”
Aku semakin yakin, bahwa ucapan Bu Rohmah di awal perjumpaan tadi bukanlah ditujukan kepada kami, tapi kepada orang lain yang ia sebut sebagai “temanku.”
Tahi luwak....!!! Aku nyaris mengeluarkan kata-kata itu saat mengingat sesuatu, untung aku keburu sadar dan tidak keceplosan. Kupeluk Callista semakin erat, untuk menyembunyikan kekagetanku. Satu kesimpulanku, “teman” yang dimaksud Bu Rohmah bisa jadi adalah Cintung; dan kalau Bu Rohmah bisa kenal Cintung, berarti ia adalah orang yang harus kutemui sebagaimana dimaksudkan oleh Bu Mae.
“Sayang.” lirihnya.
Callista melepaskan pelukan lalu menatapku.
“Makasih.” lirihnya lagi.
“Kok?”
“Yang tadi hihi.. kamu lucu pas bilang sebelum makan bahwa aku adalah kekasihmu.”
Aku tersenyum mendengarnya, “Abisnya aku masih gak enak ama Nur dan Maya.”
“Aku juga, walaupun sepertinya mereka sudah sama sekali tidak kecewa.”
“Dan…”
“Dan apah?”
“Aku takut kamu malu?”
“Malu kenapa iih, aku seneng koook?”
“Malu ama para mahasiswamu yang lain hehehe.”
“Iiih.. kamu tuh…” ia mendorong pipiku.
“Makasih sayang, love you.” kukecup keningnya.
“Kamu masih kecil, cocoknya juga jadi adikku.” ia menggoda.
“Tapi cintaku lebih besar.”
“Aku sudah tua.”
“Tapi kamu membutuhkan kasih sayang dari aku yang lebih muda.”
“Wawa iiiih…. Gak boleeeh. Cinta kita sama.”
Callista mendorong-dorong pipiku gemas dengan telapak tangannya yang halus. Andai saja kami tidak sedang di rumah Pak Jaka aku pasti sudah melumat bibirnya. Kekasihku pun nampaknya sadar akan keberadaan kami, ia langsung bangkit untuk membereskan makanan. Kubawa piring dan gelas kotor bekas kami, sedangkan Callista membawa ceceting (tempat nasi dari anyaman bambu) dan piring berisi lalapan untuk kami kembalikan ke dapur.
Kehadiran kami langsung disambut ibu-ibu yang sedang ngobrol di sekitar tungku. Mereka melarang kami melakukannya, lalu Bu Mayang dan seorang ibu lainnya langsung beranjak untuk membereskan sisanya.
Mereka pun memaksa kami untuk tidak membantu mereka, malah menggoda kami supaya pergi jalan-jalan berdua supaya tambah mesra. Sambil tersipu, Callista memeluk lenganku, dan suasana cukup akrab, kami seakan sudah lama saling mengenal dan bercanda satu sama lain.
Kami pun meninggalkan dapur untuk menemui teman-temanku di dalam saung sambil bergandengan tangan. Deheman langsung menyambut kami.
“Makannya lama banget yaaah.” Karma menyambut kehadiran kami dengan olokan.
“Eheeem… cieee…” gumam yang lainnya.
Pak Ega dan Pak Jaka hanya tertawa melihat tingkah teman-temanku. Callista sudah tidak malu ketika tangan kami tetap saling bertautan dan harus mendapat olok-olokan dari para mahasiswanya, sekaligus anak buahnya di Puting Bude, eh PMBE.
“Para cewek ke mana?” tanyaku saat menyadari bahwa Maya dan para ladies tidak ada di saung.
“Tadi diajak neneknya Andini ke rumahnya.” jawab Pak Jaka.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar