BAB 55
Kami memasuki halaman pendopo yang cukup luas dengan bangunan megah di tengahnya. Nampak ada beberapa tamu yang sedang duduk-duduk menikmati suasana, juga anak-anak kecil yang berlarian. Kami pun bersalaman-salaman dan saling memperkenalkan diri. Tuan rumah dan tamu seakan satu warga dan bahkan satu keluarga.
Pak RT menyambut kami dan menyalami kami dengan ramah. Aku dan Pak Ega tentu saja sudah saling mengenal karena kami tetangga kampung. Kuperkenalkan Callista sebagai dosen kami sekaligus pemimpin PMBE; aku tidak berani menyebutnya sebagai Puting Bude.
“Bunda, tamunya sudah datang.” seru Pak Ega setelah mempersilakan kami duduk di dalam pendopo.
Tak lama kemudian seorang wanita cantik keluar dari belakang pendopo diikuti beberapa ibu-ibu lainnya.
Dengan ramah ia menyalami Callista dan teman-temanku.
“Eh kamu udah gede ya sekarang?” sapanya padaku.
“Hehehe.. iya, bu.” jawabku sambil mengagumi wanita yang satu ini.
Ia nampak semakin cantik di usianya yang sudah mendekati empat puluh tahun, padahal sudah punya anak tiga. Ya dia adalah Bu Sore, istri Pak RT Ega. Setelah bersalam-salaman, ibu-ibu pun menyuguhkan air minum dan makanan khas Sawer, yang disusul sajian kopi hitam-kental yang aromanya sangat menggugah para penikmat kopi.
Tidak ada obrolan serius di antara kami, hanya obrolan ringan untuk saling memperkenalkan dan mengakrabkan diri. Dengan tenang dan penuh humor, namun mengandung wibawa, Pak Ega menjelaskan tentang agenda yang akan kami jalani selama tiga hari ke depan. Acara resmi akan dilaksanakan di pendopo pada sore dan malam hari, sedangkan dari pagi sampai siang kami diberi kebebasan. Hal ini dilakukan agar kami punya waktu di pagi hari untuk bekerja di dalam tim, sedangkan Pak RT dan warga yang lain tetap bisa beraktivitas di kebun dan sawah mereka. Callista menyetujui usulan agenda dari Pak Ega, dan disambut senang oleh kami semua karena akan banyak waktu bagi kami untuk jalan-jalan.
“Enak aja. Jalan-jalan boleh tapi sambil tetap bekerja.” gerutu Callista yang ditanggapi gelak tawa kami semua. Bu Sore yang menemani kami ngobrol pun ikut tergelak, dan aku tahu kalau teman-temanku sering melirik ke arahnya untuk mengagumi kecantikan yang ia miliki.
“Gera mana yah, bun?” tanya Pak Ega pada istrinya.
“Sebentar lagi juga palingan ke sini, tadi bunda suruh nemenin dulu si adek yang lagi bobo.” jawab Bu Sore. Suaranya sangat lembut dan merdu.
Betul saja, belum juga tenggorokan Bu Sore kering, seorang gadis remaja datang sambil menggendong seorang anak kecil yang baru berumur sekitar dua tahun.
“Bundaaaa…” si kecil langsung turun dari gendongan kakaknya dan tertatih berlari menuju Bu Sore.
“Udah bobonya, sayang? Ini kok masih ada beleknya sih!” goda Bu Sore, tapi si kecil tidak menanggapi, melainkan langsung meloncat ke dalam pelukan sang bunda.
“Kenalin ini Gera, anak sulung kami, dan yang kecil namanya Rega. Masih ada satu lagi adiknya Gera, tapi ia sedang ada acara kemping dari sekolahnya.” Pak Ega menjelaskan.
Gera pun menyalami kami satu per satu dengan sopan, dan teman-temanku sangat antusias menyambutnya. Gadis belia ini sangatlah cantik di mata kami, sayang masih terlalu pucuk untuk dijadikan target PK (Pasangan Kekasih).
“Adek salaman juga donk.” seru bundanya kepada Rega.
Sambil dipapah Gera, ia menyalami kami dengan malu-malu, wajah imutnya sangat menggemaskan. Nur, Maya, Syamida dan Aruna langsung mencium bocah itu dengan gemas. Callista malah langsung memeluknya membuat Rega meronta, tapi tidak berlangsung lama saat bundanya yang duduk di samping Callista mengusapi kepala bocah itu. Ia malah kemudian anteng dalam pangkuan Callista. Kutatap wajah kekasihku sambil tersenyum, membuat ia memalingkan wajah dengan pipi merona.
Kami pun bersenda gurau sambil menghabiskan kopi serta hidangan. Tak perlu waktu lama bagi Gera dan Rega untuk akrab dengan kami.
Sekitar jam sebelas, Pak Ega mempersilakan kami untuk menuju pondok yang sudah disiapkan, total ada empat pondok yang akan kami tempati di bubulak. Kami pun pamit, dan membawa tas masing-masing diantar oleh Gera. Rega juga ikut sambil digendong oleh Callista.
“Sayang, nanti ajak kakak-kakakmu jalan-jalan aja sekalian, lalu jam satu ke rumah Tante Mayang untuk makan siang.” pesan sang bunda kepada Gera.
“Iyah, bun.”
Kami pun beriringan menyusuri jalan kampung menuju bubulak. Sapaan-sapaan ramah warga membuat teman-temanku terlihat langsung betah. Pun pula “orang-orang asing” yang kami jumpai, semua saling bertegur sapa.
“Dek Gera kelas berapa sekarang?” tanya Nurdin kepada putri sulung Pak RT dan langsung disahuti deheman kaum cowok.
“Kelas tiga SMP, kak.” jawab si gadis dengan malu.
“Aiiih.. kakak tunggu deh.” sahut Kubus.
“Maksud kakak?”
“Sudah.. sudah… jangan dengerin mereka.” Maya langsung mengamit lengan gadis itu dan menariknya dengan langkah panjang. Kami pun tertawa melihat sikap Maya yang langsung protektif terhadap gadis itu.
Aku meminta rombongan untuk berhenti sebentar ketika melewati sebuah pohon kopi yang cukup besar dan tua. Kujelaskan bahwa inilah pohon kopi yang menjadi awal mimpi besar seorang Senja. Idenya muncul ketika ia jatuh malam hari dan berpegangan pada pohon kopi ini sehingga tubuh pemuda itu dihujani oleh buahnya. Penjelasanku diamini oleh Gera dan juga oleh Syamida dengan membacakan kisahnya dari buku yang selalu ia tenteng.
Setelah menyusuri jalan semen yang menanjak, di mana kiri kanannya berjejer perkebunan kopi, kami pun tiba di bubulak. Total ada dua belas pondok yang berjajar mengikuti kontur tanah. Gantungan handuk dan jemuran pakaian pada bagian empernya menunjukkan bahwa pondok-pondok itu sudah terisi, kecuali empat pondok yang sudah disediakan bagi kami.
Lagi-lagi kami disuguhi pemandangan alam yang sangat indah. Dari depan pondok, kami bisa menikmati keindahan alam di kejauhan. Kujelaskan sedikit tentang asal-usul didirikannya pondok-pondok di tempat ini; di sinilah Sang Legenda Sawer telah banyak menghabiskan senja-senja hidupnya bersama sang kekasih, sekaligus sering bergulat dalam “pertarungan sunyi” dalam kesendirian dan kesepiannya. Penjelasanku ditegaskan lagi oleh Syamida dengan menunjukan halaman-halaman yang kumaksud.
Setelah menikmati keindahan sekitar sambil mendengarkan penjelasanku, Callista langsung membagi kamar. Ia, Maya dan Nur akan menempati pondok 1; Syamida dan Aruna di pondok dua; aku, Adven, dan Kubus di pondok tiga; sedangkan Dirga, Karma, dan Nurdin di pondok empat. Kami kaum cowok tidak mempermasalahkannya, toh kami juga bisa bertukar tempat semaunya kami, bahkan bisa saja tidur di lantai dalam satu pondok bersamaan. Hanya Nur yang sedikit keberatan, ia memilih untuk tidur bareng Syamida dan Aruna, nampaknya ia masih sungkan pada Callista yang berstatus sebagai dosen.
Setelah sepakat, kami pun menaiki bale-bale untuk menaruh tas di dalam pondok masing-masing.
“Apakah kakak-kakak mau istirahat dulu atau mau langsung jalan-jalan?” tanya Gera sambil mengambil adiknya dari pangkuan Callista.
“Hmmm…” Callista berpikir.
“Langsung jalan-jalan.” seru teman-temanku.
“Kalian aja deh yang jalan. Aku mau istirahat ajah.” Callista mengambil keputusan.
“Aku nemenin kakak deh.” ujar Maya.
“Eh.. kita jalan aja, May, biar Bu Callista ditemani Sirna aja.” Nur menatap Maya seakan memberi kode, dan dijawab anggukan Maya.
“Eh…!!!” aku dan Callista bersamaan.
“Udah.. kamu mah kan udah hafal daerah sini, jadi mendingan temenin kakak.” ujar Maya sambil mengerlingkan mata.
Aku menghela nafas saat menyadari bahwa ada permainan antara Nur dan Maya. Tanpa menjawab, Callista langsung menaiki pondok sambil mengangkat tasnya, dan kami pun melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, semuanya pada keluar kembali untuk pergi jalan-jalan bersama Gera yang sudah menunggu. Teman-temanku sangat semangat akan ditemani gadis itu, sedangkan kaum cewek juga nampak antusias untuk melindungi si daun muda.
“Adek Rega bareng kakak aja di sini yah.” ujar Callista pada si kecil yang sedang berada dalam gendongan kakaknya.
Si kecil pun menggeleng sambil tertawa menggemaskan.
“Yah.. yah.. yaaah… kakak punya kue loh.” Callista masih merayu sambil menunjukan kue dalam tangannya, tapi si kecil tetap menggeleng lalu menyembunyikan wajahnya pada bahu sang kakak.
Akhirnya Callista turun dari atas pondok dan mendekati bocah itu, dengan gemas ia menciuminya dan memberikan kue.
Setelah pamit, semua temanku menuruni kembali bukit bersama Gera, sedangkan Callista kembali ke atas pondoknya sambil menggelung rambut dan mengikatnya. Kuamati gerak-geriknya dari depan pondokku.
Seakan sadar kalau ada aku, ia pun menoleh dan kami beradu pandang. Kuberikan sebuah senyum, sedangkan ia memonyongkan kedua bibirnya. Aku hanya terkekeh melihat sikapnya. Cukup lama kami berpandangan, sampai akhirnya ia kesal sendiri karena aku tak kunjung mendatanginya.
“Wawaaaa.” kedua pipinya menggelembung.
“Apa sayang?” godaku.
“Iiiih…”
“Apaan sih, dosenku sayaaaang.” tanyaku lagi sambil tersenyum.
“Nyebelin!! Siniiiiih…!!!”
“Hehe.. iyah.. iyah aku ke sana.”
Aku pun menuruni pondokku dan melangkah ke pondoknya. Tempat tidur kami hanya dibatasi oleh pondok yang diisi oleh Nur, Syamida, dan Aruna.
Kulihat Callista mengepalkan kedua tangan pertanda tidak sabar. Setelah ‘ciuman selamat pagi’ saat bangun tadi pagi, kami memang jarang berinteraksi atau bersentuhan, kecuali pandangan diam satu sama lain.
Aku pun menaiki pondoknya dan…
Tiba-tiba Callista meloncat memelukku membuatku terjejer ke belakang, beruntung aku masih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak terjatuh. Sikapnya membuat gelungan rambutnya lepas, dan terurai kembali.
“Kangeeeeeen.” lirihnya.
Kelakuannya persis Rega ketika Callista memelukku erat dengan kedua kaki membelit pinggangku.
“Sayang, nanti dilihat orang.” aku mengingatkannya.
“Huuumm.. makanya bawa aku masuk.” rajuknya tanpa melepaskan pelukan.
Aku pun melangkah ke dalam pondok sambil tertatih karena Callista menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sangat gemas ia memelukku, dan ia sudah lupa pada identitasnya sebagai seorang dosen yang disegani.
“Sayang, nanti jatuh aaah.” gumamku.
“Biarin!!”
Kuturunkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan, dan kami pun saling mendekap erat.
Kuusapi punggungnya sambil mengecup kepalanya. Callista mendongak dan kami pun bertatapan dekat. Wajahnya yang lembab bekas keringat membuatnya nampak seksi.
“Wawa.. iiih… nyebelin.. nyebelin…” Callista cemberut sambil mencolek-colek hidung dan pipiku.
“Kok nyebelin?”
“Abisnya.. abisnya bikin kangen terus.”
Aku menanggapi sambil tersenyum lalu mengecup pipinya.
“Kamu capek gak, sayang?”
“Ho’oh… harusnya tadi kamu gendong aku.”
“Emang kamu tega membuat aku kecapean karena gendong kamu?”
“Nggak!”
“Lalu?”
“Wawa iiih…”
Kami pun saling bertatapan mesra. Callista menggulung rambutnya kembali, menampakkan lehernya yang jenjang, sementara tanganku masih memagnet di pinggangnya. Tak perlu menyampaikan sebuah tanya dan meminta persetujuan ketika aku mendekatkan wajahku, dan penuh debar mencium bibir merahnya dengan mesra. Mata kami sama-sama terpejam untuk meresapi ungkapan tulus dari rasa cinta ini. Dan kami saling mengulum pelan.
“Mmmmmhhh.” Callista mendesis.
Masih saja ia tersengal saat aku menciumnya.
Setelah saling bermesraan lembut aku pun membantu membawa tasnya ke dalam kamar, dan ia langsung menatanya ke dalam lemari dan rak kecil. Ia bahkan tak malu ketika harus mengeluarkan perabotannya yang sangat pribadi dari dalam tas dan menaruhnya ke dalam lemari. Dalam hal-hal tertentu, Callista kadang sangat polos, aku sangat bersyukur bahwa selama ini ia aman dari rongrongan para lelaki mesum.
[POV Cintung: “Lah kamu sendiri gak mesum?”]
Kuabaikan suara Cintung yang bergema dalam hatiku.
“Kamu sekalian ganti baju deh, yank. Itu masih lengket bekas keringat, entar masuk angin lagi.” aku menyuruhnya.
“Pakein…!” ia malah menyodorkan kaos bersihnya.
“Yeee… yang ada bukannya aku makein baju, tapi bukain semuanya.” godaku.
“Huuuh.. tuh kan kamunya malah mesum.”
[POV Cintung: “Bener kan apa kata gua!!”]
Callista memutar tubuhku supaya memunggunginya, dan aku tahu maksudnya, ia akan ganti baju. Aku menuruti maunya, karena kalau aku keluar kamar untuk memberinya kesempatan ganti pakaian, ia pasti ngambek. Ia benar-benar ingin memanfaatkan kesempatan untuk selalu berdekatan.
Hmmmfff!!!
“Udah..” bisiknya sambil memelukku.
Kuraih pipinya agar semakin ke depan dan kukecup pipinya, membuat senyumnya mengembang.
“Love you, wawa.” ia menempelkan bibirnya pada telingaku.
“Love you too , Cacalls.” aku menirukan ucapannya.
Ia mendekapku semakin erat, sedangkan aku mengusapi lengannya sambil meresapi enaknya gundukan kenyal yang menempel pada punggungku.
Setelah pelukannya lepas aku menggandeng Callista meninggalkan kamar, lalu duduk di atas kursi panjang yang terletak di ruang tamu kecil. Callista membaringkan diri dengan arah berlawanan, kedua kakinya menumpang pada pahaku.
Kukenggam tangannya, dan kuusapi bulu-bulu halus pada buku tangannya, dan kukecupi lembut. Pori-porinya nampak meremang, seksi kusaksikan.
“Jalan-jalan, yuks.” ajakku, tapi Callista menggeleng.
“Capeeeek.” gumamnya.
Aku tahu ia tidak benar-benar capek karena perjalanan, ia hanya ingin berdua seperti ini. Meski begitu, kutarik kedua ujung celana jeansnya sampai di bawah lutut, lalu aku memijati betisnya yang putih indah. Callista memejamkan mata untuk menikmati sentuhanku.
“Tadi di jalan ngomongin apaan ama Nur dan Maya?” aku mulai kepo.
“Huuuh.. mereka tuh nyebelin.” gumamnya.
“Emangnya nyebelin kenapa?”
“Masa mereka mau bilang kalau kita pacaran.”
“Emang kamu gak mau kalau yang lain tahu?”
“iih… bukan begitu sayaaaang.. tapi…”
“Tapi?”
“Aku masih mau menjaga perasaan Maya dan Nur.”
Callista membuka mata, lalu menurunkan kedua kakinya yang sedang kupijiti. Ia pindah duduk di atas pangkuanku dengan posisi miring. Tangannya melingkar pada leherku sedangkan aku menyangga bahunya.
“Yank, tapi aku merasa aneh deh.” Callista menatapku tajam, lalu lanjutnya, “Maya dan Nur sepertinya berubah sejak kita memasuki Sawer.”
“Emangnya berubah kenapa?” aku bertanya lagi, padahal hatiku mengamini apa yang dikatakan oleh gadis ini.
“Kamu perhatikan tadi pagi, mereka berdua sangat murung waktu masih di rumahmu. Mereka masih sedih karena kita. Tapi…”
Callista memotong ucapannya, untuk mengatur posisi agar bisa lebih nyaman.
“Tapi sejak di perbatasan tadi, mereka seperti tidak bersedih lagi. Kecemburuan mereka sudah tidak ada.” lanjutnya.
“Aku juga melihat hal yang sama. Bahkan mereka sepertinya sengaja meninggalkan kita berdua.” jawabku.
“Kok bisa, yah yank?”
“Pengaruh Sawer.” gumamku sambil mencari sebuah alasan yang masuk akal.
“Maksudmu.”
“Ya.. pengaruh Sawer. Kan perubahan itu terjadi setelah kita memasuki perbatasan.” aku masih belum menemukan penjelasan yang tepat.
“Hmmm…” Callista nampak berpikir keras, bagi seorang akademisi dan pemikir seperti gadis ini, akan sulit untuk menerima penjelasan yang berbau mistis.
“Kamu sudah membaca buku yang ditulis oleh Senja?” aku mencoba mengalihkan topik.
“Yang tadi dibawa Syamida, kan?”
“Iyah.”
“Belom. Baru membaca cuplikan-cuplikan puisinya aja, itu pun baca di internet.”
“Ada baiknya kamu membaca semuanya, yank, mungkin jawabannya ada di sana.”
“Masa sih?”
Aku hanya mengangguk, sulit juga bagiku untuk menjelaskan efek mistis dari Sawaka bagi siapapun yang datang ke kampung ini. Mungkin dengan menyuruh Callista membaca buku itu, ia bisa menemukan jawabannya sendiri.
“Emang kamu gak merasakan apa-apa ketika masuk Sawer?” aku membalas tatapannya.
“Merasa sih.. aku merasa gimana gituuuu… tenang, damai, terus jadi lebih bisa berpikir jernih. Apa lagi ya… pokoknya gitu deh.. susah jelasinnya.” Callista kebingungan sendiri.
“Makanya kamu baca buku itu. Nanti pinjem dari perpustakaan atau dari Syamida.”
“Eh.. emang di sini ada perpustakaan?”
“Ada. Tuh bangunan yang paling besar. Pondok itu dulunya dibangun oleh para sahabat Senja dan Sae untuk didedikasikan bagi mereka berdua, tapi sekarang sudah diubah jadi perpustakaan, plus kayak museum mini gitulah. Tapi isinya hanya yang berhubungan dengan Sawer dan kisah hidup Senja dan Sae. Kita mau ke sana sekarang?”
“Besok ajaaah.” manjanya.
“Kalau sekarang emangnya kenapa?”
“Wawa iiih.. kamu gak ngerti banget sih.” ia kembali cemberut.
“Hehehe… iyah.. iyah.. dasar manja.”
“Biariin!!” ketusnya.
“Muuuuaaaccch.” dengan gemas kukecup keningnya sambil mengeluarkan suara.
Ingin rasanya aku mengungkit masa lalu Callista agar ia mau membuka kembali kisah pahitnya, dan menatanya menjadi lembaran baru yang lebih melegakan, tapi karena waktu kami tidak banyak, kuurungkan niatku.
Callista mencucuki bibirku dengan telunjuknya. Aku mulai mengerti bahasa tubuhnya, ini adalah sebuah kode dari kekasihku. Kalau ia menyentuh keningku berarti ia ingin dikecup keningnya, kalau menyentuh pipiku ia ingin dicium pipinya, dan kini ia minta dikecup bibirnya. Aku pun merunduk sambil memiringkan wajah, bibir kami sama-sama terbuka membuat nafas kami semakin beradu. Bahkan tubuhnya sudah sedikit bergetar sebelum bibir kami bersentuhan. Tatapan matanya berubah redup.
Cuuuuup!!!!
Kulit bibir kami beradu. Kami sama-sama terdiam merasakan sentuhan ini. Lalu bibir Callista tertutup menjepi bibir atasku, sedangkan aku mengapit bibir bawahnya. Perlahan kami sama-sama menggerakan bibir seolah saling mengemuti, tak perlu waktu lama kami pun sudah saling mengulum. Tubuh kekasihku mulai gelisah dan dadanya turun naik karena nafasnya yang tersengal.
Kulumanku berubah menjadi lumatan, dan secara natural ia mulai mengimbangi sambil sekali-kali melenguh. Pada lenguhan terakhirnya, kugunakan kesempatan untuk menjulurkan lidah dan menerobos sela bibirnya. Sulit kulakukan karena giginya merapat. Dengan sabar kuberikan sentuhan-sentuhan tanpa menghentikan lumatan, dan akhirnya lidahku bisa menerobos masuk ke dalam mulutnya. Untuk pertama kalinya ujung lidah kami bersentuhan dan saling menggelitik.
Callista semakin gelisah dan hendak melepaskan ciuman, tapi kutahan kepalanya sambil terus menggelitiki ujung lidahnya. Gadis ini mencengkeramkan tangannya pada leherku, dan ia mulai membalas. Lidah kami mulai saling membelit basah. Kini bukan hanya mulut dan lidah yang saling menyatu tapi juga tanganku mulai mengusapi punggungnya, turun ke pinggang, dan kuremas pinggul juga pahanya.
Tubuh Callista menggelinjang tanpa karuan, tapi terus kupertahankan bibir kami agar tidak terlepas. Wajahnya mulai lembab karena keringat, dan remasan tangannya semakin kuat. Ia sudah bisa belajar, kini ia sudah membalas tak kalah panas.
“Mmmmh… sayaang…” tubuhnya bergetar hebat dan ia sudah tak mampu lagi melanjutkan ciuman. Dalam sekali hentakan ia memaksa melepaskan bibir dan mulut kami, nafasnya tersengal dengan wajah merah padam.
Kukejar lagi untuk melanjutkan melumat tapi ia malah menghindar dengan membenamkan wajahnya pada dadaku.
Hash.. hashhh… mmmh…!!!
“Sayang, aku kok…” ia tak melanjutkan ucapannya, melainkan memelukku semakin erat, jemarinya meremas dan mencengkeram pundakku.
Aku mengerenyit, memahami bahasa tubuhnya. "Mungkinkah ia orgasme hanya melalui ciuman." batinku. Aku mengerti bahwa ciuman seperti ini adalah hal pertama yang ia dapatkan, tapi bahwa ia bisa orgasme adalah sesuatu yang asing bagiku.
Setelah ia mulai bisa mengatur nafasnya, ia mendongak dengan pipi yang bersemu merah. Kukecup keningnya selama beberapa detik, lalu kedua matanya, dan berakhir pada ujung hidungnya.
“Ayank…” desisnya.
“Aku pipis.” dengan polos ia mengucapkan kata-kata itu, lalu kembali membenamkan wajahnya ke dalam pelukanku.
Aku yang tak ingin membuat kekasihku malu karena pengalaman pertamanya ini, hanya membalas pelukannya sambil membelai rambutnya. Gadis ini sudah benar-benar membuatku jatuh cinta. Polos dan manjanya, galak dan juteknya, kecerdasan dan sikap dewasa, semua ada padanya. Kadang datang dan pergi begitu saja, berubah-ubah dengan cepat, dan ini membuatku gemas.
Aku tidak mau membahas apa yang baru saja ia rasakan dan alami, biarkan ia mengerti secara natural. Sesuatu yang tidak wajar pada gadis seusianya, tapi aku semakin tahu akan kemurnian gadis ini dalam memelihara dan menjaga dirinya. Aku benar-benar lelaki pertama yang telah menyentuhnya, walaupun ia sudah pernah punya pacar sebelumnya.
Kukecup ubun-ubunnya lalu membantunya supaya duduk dengan tegak. Kukecup lembut bibirnya, dan kali ini ia langsung membalas. Kukecup lagi.. jadilah kami saling berbagi kecupan dan berakhir dengan lumatan panjang.
Setelah merasa cukup, kami pun mengakhirinya. Kurapihkan rambutnya yang kusut, dan kuusap tepi bibirnya yang basah. Kuelus juga pelipisnya yang penuh jentik keringat. Kekasihku hanya memejamkan mata sambil memegang punggung tanganku.
“Kita jalan yuks sayang. Kita lihat-lihat dulu sebentar lalu ke rumah Pak Jaka untuk makan siang.”
Callista membuka mata lalu menatapku sendu, jemarinya berpindah mengusapi ujung bibirku. Kukecup lembut tepi bibir kekasihku lalu mengajaknya berdiri.
“Eh…” ia seakan ingat sesuatu, pipinya kembali memerah.
“Kenapa sayang?”
“Mmmh.. aku…” ia terbata, lalu: “tungguin dulu sayang…”
Ia berlari ke dalam kamar.
“Aku mau ganti celana dalam dulu.” suaranya terdengar polos malu-malu sambil menutup pintu.
Aku mendesah panjang mencoba menenangkan diri. Andai saja sudah kuhalalkan, aku pasti akan mengejarnya dan membuat celana dalam itu semakin basah.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan kekasihku keluar sambil tersipu. Aku memandangnya penuh rasa sayang dan gemas.
“Jangan gitu ngeliatinnyaaa..” gumamnya.
“Iyah.. sinih…”
Callista pun mendekat lalu kukecup keningnya. Sekali lagi kurapikan rambutnya yang sudah tidak kusut dan kami bergandengan tangan keluar dari dalam pondok. Melihat suasana seputar pondok sepi, Callista langsung melingkarkan tangannya pada pinggangku dan berjalan pelan menuruni bukit. Sekali-kali bibir kami saling mengecup, seolah tak ada puasnya. Inilah hari… di mana aku melihat sinar wajah gadis ini yang paling murni, dan senyumnya yang paling cerah.
Kuputuskan untuk mengajak Callista langsung menuju rumah Pak Jaka dan Bu Mayang karena aku ingin menunjukan tempat di mana Para Sahabat Sawer membangun mimpi. Di sanalah Kopi Sawaka dimulai, di sanalah Senja dan Sae jatuh bangun menjalin kasih sayang, dan di sana pulalah aku akan mengabarkan kepada teman-temanku bahwa Callista adalah kekasihku.
“Wawa.” Callista menghentikan langkahnya.
Keberadaan kami cukup terlindung oleh barisan leuit (gudang padi) milik warga.
“Iya sayang?”
“Aku mau cinta kita abadi seperti cinta yang dimiliki legenda Sawer.” kata-katanya mengalir tulus.
Aku hanya diam sambil meremas telapak tangannya.
“Wawa iiih… kok diam?” ia merengut, sikap seriusnya berubah manja.
“Iya sayang. Tapi aku maunya kita menjalani hidup kita sampai tua, gak seperti mereka.” jawabku.
“Iyaaaaah. Janji yaaah.” bola matanya berbinar bahagia.
“Iyah sayang. Kita jalani bersama yah. Apapun yang terjadi.”
“Apapun yang terjadi.” ia mengulangi kata-kataku.
Callista memelukku senang, ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
“Udah yuks, nanti dilihat orang.” bisikku.
“Uuuh.. kita kembali ke pondok aja biar berduaan terus.” Callista merajuk.
“Lalu kita gak makan?”
“Gakpapa, asal akunya bareng kamu terus.”
“Kan di rumah Pak Jaka juga bareng aku.”
“Tapi banyak oraaang iih. Aku gak bisa peluk-peluk kamu.” ia masih enggan melepaskan pelukan.
“Ingat sayang, kamu kan ketua rombongan, masa mau mangkir? Gak enak ama sesepuh di sini.”
“Uuuuh…” Callista kesal.
“Iiiiiih…” aku menirukan gayanya.
“Wawa iiiiih…”
Callista memukuli dadaku dengan gemas. Kalau ini aku tahu, sikapnya bukan berarti ia juga mau dipukuli dadanya, nanti bisa salah sasaran. Aku hanya terkekeh sambil menjembel pipinya lalu mengusap rambutnya.
“Udah yuks.” aku mengajaknya jalan lagi.
“Mauuuuu.” ia memonyongkan bibir.
“Tuh kaaan, jadi ketagihan.”
“Mau Wawaaaaa.”
Kukecup bibirnya dengan gemas. Callista malah menahan kepalaku agar ia bisa membalas dan langsung melumat bibirku.
“Mmmh… sayang udah, nanti dilihat orang.”
“Kamu uuuh…” ia masih belum ikhlas aku melepaskan ciuman.
Kukecup kekasihku sekali lagi, kali ini pada pipinya, lalu menarik tangannya supaya melanjutkan langkah.
Kami pun tiba di sebuah rumah yang terletak di sisi utara kampung. Terdengar suara ramai ibu-ibu dari dapur, sedangkan bagian depan nampak lengang. Kami pun melangkah memasuki halaman. Gemercik air langsung menyambut kami dari pancuran kolam ikan yang ada di depan rumah, di antara bangunan rumah dan sebuah saung tempat keluarga ini duduk bersantai.
“Yank, saung itu.” aku menunjuk ke arah saung.
Callista mengangguk sambil mengikuti arah tanganku. Ia sudah tidak manja lagi, karena sudah berada di tempat umum.
“Nanti rumah kita juga bikin kolam ikannya yah dan bikin saung seperti itu.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya, dalam diamku kupanjatkan sebuah doa agar mimpi kekasihku bisa kuwujudkan. Bagaimana tidak, kuliah saja baru mau memasuki semester dua, sedangkan Callista sudah berpikir jauh ke depan.
“Sampurasun.”aku mengucapkan salam.
“Mamaaaah… Kakak Nji pulaaang.” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari dalam rumah.
Tak lama kemudian seorang gadis kecil kira-kira berumur lima tahun muncul di ambang pintu, larinya terhenti saat melihat kami. Ekspresi kecewa langsung terpancar dari wajahnya.
“Hai… siapa namamu, sayang? Aku Kakak Callista, Kakak Njinya masih di Bandung.” Callista langsung menyapanya.
Gadis itu nampak malu lalu berbalik untuk berlari ke dalam rumah. Tapi seorang wanita muncul membuat mereka nyaris bertabrakan.
“Siapa yang datang sayang? Eh…” wanita itu langsung kaget melihat kami.
“Bukan kakak Nji. Adek kangen kakak. Hiks…” si gadis menangis sambil memeluk ibunya.
“Kakak kan liburnya hanya sebentar sayang, jadi gak pulang.”
Wanita itu menggendong anaknya lalu menghampiri kami.
“Ini Sirna, yah?”
“Hehehe.. iya, Bu Mayang masih ingat saja. Dan ini Bu Callista, dosen kami.”
Aku pun langsung menyalaminya, diikuti oleh Callista. Dengan ramah Bu Mayang mempersilakan kami masuk, tapi aku memilih untuk duduk di dalam saung sambil menunggu yang lain.
“Yasudah kalau mau di saung mah, adek udah jangan nangis, malu ih ama tamu.” ujar Bu Mayang.
“Kangen Kak Nji. Hiks hiks…”
“Sini adek ama kakak aja. Kakak juga temannya Kak Nji kok. Siapa namamu, dek?” Callista mengusap punggung si kecil.
“Siapa namamu, sayang?” Bu Mayang mengulangi pertanyaan Callista.
“Andini.” jawab si gadis sambil mengusapi air matanya.
Dengan malu-malu ia menerima uluran tangan Callista yang mengajaknya bersalaman, lalu menyalamiku.
“Adek temani Kak Callista dan Kak Sirna di saung gih, mamah mau buatin minum dulu.” ujar Bu Mayang sambil menurunkan Andini dari pangkuannya.
Entah pesona apa yang dimiliki Callista, setelah bisa langsung akrab dengan Rega, kini Andini pun langsung lengket dan mau menerima pelukan kekasihku.
“Jangan repot-repot, bu, tadi kami sudah ngopi di pendopo.” ujarku.
"Halah, tadi kan ngopi nya di pendopo. Di rumah ibu mah kalian belum ngopi. Lagian sambil nunggu bapaknya anak-anak dari kebun. Eh.. yang lain ke mana?”
“Yang lain masih jalan-jalan bareng Gera dan Rega.”
“Oh gitu..? Yaudah sebentar yah.”
Bu Mayang pun masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian beberapa ibu-ibu keluar untuk menyalami kami, Bu Sore juga rupanya sudah ada di sini. Setelah itu mereka kembali masuk, sedangkan aku dan Callista yang menggendong Andini melangkah ke dalam saung.
Fokus Callista padaku mulai teralihkan pada gadis kecil ini, keduanya langsung akrab dan saling bercanda, sedangkan aku hanya mengamati sambil sekali-kali menimpali. Kukeluarkan rokokku dan kuhisap nikmat.
Tak lama kemudian Bu Mayang kembali sambil membawa dua cangkir kopi dan toples berisi keripik pisang.
“Maaf ya, ibu belum bisa menemani, masih sibuk di dapur.” ujarnya penuh sesal.
“Eh.. gak apa-apa, bu.” jawabku.
“Aku bantuin sekalian, ya bu.” ujar Callista.
“Husssh jangan. Kalian di sini aja. Tamu kok ikutan ke dapur.”
“Hehehe.. kami mah bukan tamu atuh, bu.” Callista tersipu.
“Ya tetep aja. Udah kalian di sini aja.”
Bu Mayang menatap anaknya yang sedang berada dalam pangkuan Callista, senyumnya mengembang.
“Ini memangya siapa, dek?” godanya.
“Kakak Calls.”
“Huuuh.. tadi nangis-nangis inget Kak Nji, sekarang langsung nempel ama kakak Calls.”
“Iih mamah.”
“Hehehe…”
Bu Mayang pun meninggalkan kami sambil terkekeh.
“Adek Ndin beneran kangen Kak Nji?” tanya Callista sambil mengusapi rambut Andini dan dijawab anggukan gadis itu.
“Kita telpon kakak Nji mau?”
“Mauuuu.”
Callista pun mengelurkan smartphonenya lalu menghubungi rinjani melalu video call. Andini langsung berseru ketika melihat wajah kakaknya muncul di layar. Ketiganya seru saling berbicara, sedangkan aku hanya menjadi pengamat sambil menikmati kopi yang Bu Mayang sajikan.
Tak lama kemudian Pak Ega datang dan bergabung dengan kami, disusul tak lama kemudian oleh Pak Jaka, sang tuan rumah. Rupanya ia masuk dari pintu dapur.
Aku dan Callista menyalami Pak Jaka, lalu fokusnya sedikit teralih pada Andini yang masih berbicara dengan kakaknya. Salam dan sapa antara ayah dan anak pun mereka lakukan. Nampak akrab dan harmonis, bahkan kali ini Rinjani yang kegirangan karena berbicara dengan sang ayah.
Tak lama kemudian teman-teman kami juga datang. Ribut dan rusuh. Pak Jaka pun mengakhiri obrolannya dengan putri sulungnya, lalu menyalami teman-temanku. Rega langsung turun dari gendongan Nur dan berlari memeluk Andini. Aku lebih fokus pada tingkah dua bocah ini daripada pada teman-temanku yang saling memperkenalkan diri. Andini dan Rega pun duduk dalam pangkuan Callista.
“Gimana jalan-jalannya? Sudah kemana saja?” tanya Pak Ega saat kami sudah duduk melingkar di dalam saung, sebagian lagi berdiri di luar karena saung tidak muat untuk kami semua.
Maka teman-temanku pun bersahutan menceritakan tempat-tempat yang mereka kunjungi. Rupanya mereka sudah ke Leuweung Girang dan ke air terjun, meskipun mereka tidak main air karena terbatasnya waktu. Obrolan semakin seru ketika Bu Mayang datang kembali menyuguhkan kopi. Gelas kedua siang ini, setelah sebelumnya kami ngopi di pendopo.
Di sela-sela obrolan, aku mengamati kedekatan antara Pak Ega dan Pak Jaka, juga anak-anak mereka. Sudah tidak diragukan, mereka layaknya saudara, bukan lagi sahabat seperti yang kubaca dalam cerita. Anak-anak mereka pun sangat dekat seperti kakak-beradik.
Sekitar setengah jam kemudian, Bu Mayang memanggil kami untuk masuk ke dalam rumah dan makan bersama.
"Hayu atuh. Siang ini kita makan di sini, nanti malam kita makan di pendopo.” undang Pak Ega sambil menjelaskan.
Nanti sore kami ada sesi di pendopo berupa perkenalan tentang sejarah Sawer dan Kopi Sawaka, juga penjelasan Callista tentang PMBE. Malamnya kami akan disuguhi pagelaran calung dari pemuda dan anak-anak kampung ini. Tentu saja kami akan makan malam di sana.
Kami pun duduk melingkar di atas tikar, dengan hidangan khas kampung tersaji di tengah-tengah kami. Meja dan kursi sudah dipinggirkan sehingga memberi cukup ruang bagi kami semua.
Seperti biasa, yang dituakan mengambil duluan. Dimulai dari Pak Ega dan Pak Jaka, lalu Callista. Kekasihku mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk, plus menu wajib sambel tomat. Aku sedikit terbelalak begitu ia mengisi piring dengan penuh, pun pula Nur, Maya, juga teman-temanku yang memperhatikannya.
Dan.. semakin terbelalak lagi ketika Callista menyodorkan piring itu kepadaku. Ia rupanya bukan menuang makanan untuk dirinya sendiri, melainkan untukku. Gumaman langsung terdengar seperti suara engang (tawon). Nur dan Maya saling berbisik dengan kerlingan menggoda.
Celakanya, Callista seakan baru sadar akan apa yang ia lakukan. Ia rupanya terlalu spontan untuk menyiapkan piringku dan mengisinya dengan lauk pauk, dan kini ia merasa malu sendiri. Kedua pipinya memerah.
“Ehem…” dehem Maya.
“Uhuk.. uhuk…” Nur pura-pura batuk.
“Ada something gondrong nih.” celetuk Adven.
“Sepertinya aku mencium.. eh.. mencium aroma sambel tomat nih.” Kubus tak mau kalah tapi kemudian membelokkan ucapannya.
Dan berbagai celetukan lainnya dari teman-temanku. Sikap Callista bukan hanya mengundang reaksi teman-temanku, melainkan juga tuan rumah. Senyum penuh arti sangat jelas tersungging pada bibir mereka.
Aku pun cukup salah tingkah dibuatnya, lebih-lebih Callista. “Kesalahan fatal” pun Callista lakukan, ia malah menyembunyikan wajahnya pada punggungku dengan posisi setengah memeluk. Tentu saja sikapnya mengundang keriuhan, sesi makan pun terunda.
Merasa kasihan pada kekasihku, kubuang rasa grogiku, lalu melingkarkan tangan pada bahu Callista. Kami sudah tak bisa mengelak, dan memang tak perlu mengelak, biarlah.. kini sudah saatnya kukabarkan pada semua teman dan sahabat, di sebuah tempat yang tepat, dan di hadapan “para saksi sejarah”, dua sahabat sang legenda. Tempat ini dahulu adalah tempat dua sejoli Sawer saling beradu mesra, tanpa malu menunjukkan kasih sayang mereka di hadapan para sahabat; dan kini aku akan memulainya dari sini.
“Sayang, aku sampaikan sekarang yah.” bisikku.
Callista mengangguk malu, tanpa mengangkat wajahnya. Suara pun semakin riuh ketika melihat aku membisikinya.
Aku mengedarkan pandanganku kepada tuan rumah dan wajah-wajah tengil sahabatku. Kutatap Maya, gadis itu mengangguk; kupandang Nur, ia juga menganggukan kepala sambil tersenyum. Hanya Aruna yang nampak tegang dan tidak berkenan.
“Ehem…” aku berdehem. Suasana hening seketika.
“Maaf, Pak.” aku menatap Pak Ega dan Pak Jaka.
“Maaf, Bu.” kuedarkan pandanganku kepada Bu Mayang dan Bu Sore juga ibu-ibu yang lainnya.
“May.. Nur…” keduanya menatapku sambil teresenyum, tidak seperti dua orang yang tersakiti.
“Sobs…” kupandang teman-temanku sambil tersenyum dan berkata dalam hati:
“Gua menang banyak, sobs.”
“Sayang…” lirihku kepada Callista disambut gumaman teman-temanku dengan mata semakin terbelalak, mereka semakin kaget mendengar araku memanggil Callista.
“Sejak kemarin sore, aku dan Callista…” sebagian teman-temanku melongo saat aku memanggil Callista tanpa embel-embel
“bu” lagi.
“Sudah resmi menjadi sepasang kekasih!!!”
Kuhembuskan nafas lega, sedangkan Callista menutupi wajahnya. Ketegangan pecah, semua bertepuk tangan, meskipun wajah-wajah tidak percaya masih ada.
Maya beranjak dan memeluk kakaknya, dan orang-orang yang dekat dengan posisi dudukku menyalamiku.
“Kalau begitu kita rayakan dengan makan bersama.” Pak Jaka berseru gembira.
Semua bertepuk tangan, dan aku mengusapi punggung kekasihku yang sedang memeluk adiknya.
“Tidak boleh..!!!”
Tiba-tiba suara seorang wanita yang baru masuk langsung menyentak kegembiraan kami, dan membuat kami semua langsung terdiam. Bahkan Callista langsung mengangkat wajahnya dengan kaget. Kini semua mata menuju ke arah datangnya suara. Jantungku berdetak kencang. Kutatap sosok wanita paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, umurnya mungkin sudah lebih dari setengah abad.
“Bu Rohmah..” bibirku bergetar menyebut namanya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar