BAB 54
Waktu sudah menunjukkan jam delapam seperempat, kedua sopir sudah memanaskan mesin mobil dan duduk di belakang stir masing-masing, dan kami para cowok sudah berkumpul di halaman selepas merokok pasca sarapan. Barang-barang sudah di atas mobil semua, dan kami sudah siap berangkat, tapi para cewek memang terkenal lelet. Mereka semua masih di dalam rumah semua.
“Bersiap!!!” tiba-tiba Nurdin berteriak.
Bagai sehati kami langsung menegapkan posisi berdiri masing-masing.
“Bentuk barisan!” perintah Nurdin.
Kami pun bergetak ala paskibra, meskipun sebagian sambil cekikian. Kami membentuk dua sub barisan menghadap Nurdin yang mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin keseruan.
“Lencang kanan, grak!!” kami pun semakin merapikan barisan dan mengatur jarak.
“Tegaaaak, grak!!”
“Langkah tegap, masuuuuuk mobil!!!”
Trap! trap! traap!!!
Kami pun maju sambil menahan tawa masing-masing. Kang Ujang ikutan sinting dengan turun dari balik stir dan membukakan pintu bagi kami. Ia tertawa melihat tingkah kami.
“Puting Bude!!” Nurdin berteriak.
“Emut-emut!!” aku sigap menjawab.
“Ulangi!!” Nurdin mulai menahan tawa, “Puting Bude!!!”
“Emut-emut!!!” kali ini kami menjawab serempak, tapi akibatnya langkah dan barisan mulai kacau karena sudah tak mampu menahan tawa.
“Puting Bude!!”
“Hisap-hisap!!”
“Mmmmffff!!!!” aku, Adven dan Karma mulai tidak tahan.
“Tidak boleh tertawa!!” bentak Nurdin, padahal tubuhnya sendiri sudah berguncang.
“Puting Bude!!”
“Emut-emut!!”
“Puting Bude!!”
“Hisap-hisap!!”
“Bwakakakkakk!!!” kami pun sudah tak bisa menahan diri, tawa kami pecah.
Pun pula Pak Pur dan Kang Ujang, bahkan para tetangga yang melihat kami pun ikut tergelak.
”garelo gening barudak teh" (Ni anak-anak pada gila semua), celetuk Nyai Upeti yang sedang duduk di depan rumahnya sambil tertawa menunjukan gusinya yang sudah tak bergigi.
“Heiii!!! Kaliaaaan!!!”
Sebuah bentakan nyaring terdengar dari ambang pintu. Tak perlu menengok, kami sudah tahu sang pemiliki suara.
“Semua pasukan, masuk mobiiiil grak!!! Wakakkak…” aku mengambil alih komando.
Trap! Traaaap!!!
Hanya dua hentakan kaki yang sanggup kami lakukan, sisanya kami berlarian memasuki L300 milik kampus. Kami masih terus terbahak, sedangkan sang kepala puting sedang melotot di ambang pintu.
Tak lama kemudian para cewek pada keluar rumah sambil diantar ibu. Satu persatu mereka menyalami dan mencium tangan “kartiniku”. Ibu malah mencium kening Callista, Nur dan Maya. Empat orang memasuki Pajero, sedangkan Bu Callista bergabung dengan kami, duduk di samping Kang Ujang.
“Sirna!!” ia sedikit membentakku tanpa menengok ke belakang.
“Iya, bu?”
“Masa mau pergi gak pamitan dulu pada ibu?”
“Laah.. tadi kan kami udah pamitan duluan, bu.”
“Sirna!!!” kali ini ia menekan nada suara.
“Iya.. iya.. bu. Heduhhh.” aku ngedumal sambil membuka pintu mobil dan turun kembali.
Aku pun melangkah menghampiri ibu yang sedang berdiri di tepi pagar halaman.
“Bu, aku disuruh pamitan lagi ama Bu Callista.” sengaja aku mengeraskan suaraku.
“Hihi…” ibu tertawa.
Aku pun mengambil tangan ibu dan menciumnya.
“Hati-hati, nak, awas kalau macem-macemin anak orang.” bisiknya.
“Kalau satu macem mah boleh kali, bu.”
“Awas kamu!!”
Ibu mencubit pinggangku sambil melotot, sedangkan aku meringis kesakitan.
“Terus, bu, yang keraaas.” beberapa teman berteriak dari dalam mobil sambil tergelak.
“Buuu…!!” aku mengiba.
Ibu pun tersenyum sambil melepas cubitannya, lalu ia mencium keningku. Belum juga aku kembali ke dalam mobil, Rad datang. Ia tergopoh sambil membawa batangan kayu kecil untuk dijadikan tongkat kami masing-masing.
Ia tidak ikut ke Sawer karena ia, selain bukan bagian dari tim Puting Bude, juga harus mengurus kopi dan menyelesaikan kandang luwak. Tapi yang terutama, besok ia harus menjemput Lia ke kota kabupaten.
“Sorry telat.” engahnya.
“Halaaah ampir ditinggalin gerutuku.”
Kami berdua memasukan tongkat ke dalam bagasi mobil, lalu ia menyalami Bu Callista melalui jendela mobil. Sisanya Rad hanya mendadahi kami.
“Bu, kami permisi.” pamit Callista pada ibu.
“Hati-hati, nak.” jawab ibu sambil melambaikan tangan.
“Dadah ibu.” koor terdengar dari dalam kedua mobil.
"Bye Rad.” masih koor yang sama.
Ibu dan Rad hanya mengangguk sambil melambaikan tangan, dan mobil pun bergerak menyusuri jalan kampung yang sudah beraspal. Tidak sampai seperempat jam, kami sudah tiba di Tanah Merah, sebagai titik terakhir yang bisa diakses oleh kendaraan.
Kami pun keluar dari mobil dan menurunkan semua barang bawaan dari dalam bagasi. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, Pak Pur dan Kang Ujang menyalami kami semua. Mereka akan langsung kembali ke Bandung, dan baru akan menjemput kami kembali pada akhir pekan.
Kami tidak langsung memulai perjalanan, tapi berkumpul terlebih dahulu. Kujelaskan dan kuingatkan kembali tata krama yang harus kami jaga selama di Sawer, juga pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan selama di sana. Misalnya, kencing tidak harus sambil buang air besar, tapi kalau buang air besar harus kencing. Boleh minum tanpa makan, tapi kalau makan harus minum, dan lain sebagainya.
Aku mengajak rombongan menuju sebuah batu besar yang hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat kami berkumpul. Batu itu dilindungi oleh pagar bambu yang dibuat melingkar. Pada satu sisinya, tepat di hadapan kami, terdapat rangkaian kalimat yang dipahat:
Ketika senja berselimut kabung
Dan mendung menjadi mata semesta
Biarkan mereka tetap ada
Karena siklus selalu sama
Fajar-pagi-siang
Sore-senja-malam
Seperti CINTA selalu KITA.
-Sae Maharani-
Sekeliling pagar dipenuhi oleh tangkai bunga beraneka warna yang ditaruh oleh para peziarah dan pengunjung wisata budaya ke Sawer. Sebagian besar masih segar, tapi tak sedikit pula yang sudah layu. Banyak yang percaya bahwa siapapun muda-mudi yang berdoa dan meletakan bunga di sekitar batu ini, maka cinta mereka akan abadi. Entah benar atau sekedar mitos, tapi begitulah kepercayaan yang ada, yang jelas aku tidak pernah melakukannya. Dan entah dapat bunga dari mana, Callista dan Maya meletakan setangkai mawar merah di depan batu itu. Karma memetik bunga alang-alang dan ikut menaruhnya, sedangkan sisanya hanya mematung diam.
“Inilah tempat kecelakaan maut yang akhirnya merenggut nyawa Sae.” jelasku.
Semua mengangguk. Semua anggota rombongan sudah tahu salah satu kisah besar yang berkaitan dengan Sawer. Syamida malah mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas kecilnya, lalu ia membaca sebuah alinea yang tertera pada halaman yang ia buka.
SAE said:
Jantungku kian berdebar kencang saat membelah pesawahan menuju Tanah Merah.
“Sayang, aku mohon… tunggu aku. Hiks…” rasa sedih kembali menghinggapi.
Pandanganku kabur, seiring ketakutan kalau semesta tidak memberi restu bagi kami untuk bertemu terlebih dahulu.
Ciiiiiit!!!!! Braaaaak!!!!
Aku kehilangan kendali.
“Senjaaaaa!!!!”
Jeritku nyaring bersamaan benturan keras moncong mobilku pada gunungan batu. Masih kulihat kelebatan seekor macan putih sebelum memejamkan mata.
“Betul, Sya, di tempat inilah peristiwa itu terjadi.” ujarku kepada Syamida. Semua mengangguk tanpa ada yang menyahut. Hanya Callista yang menatapku penuh arti, dan kami beradu kemesraan dalam pandangan diam.
Hanya saling bermesra melalui lirikan dan tatapan yang bisa kami lakukan. Hari ini, selain bentakkannya saat kami baris-berbaris tadi, Callista bersikap lebih matang dan dewasa, bukan karena ia dosen kami dan menjadi pimpinan rombongan, tapi karena menjaga perasaan adiknya dan juga Nur. Biar bagaimanapun, ia merasa bersalah karena telah turut andil melukai hati kedua gadis itu, meskipun rasa cinta tak pernah bisa dipersalahkan.
Karena peristiwa menyatunya cinta kami, aku menjadi lebih mengenalnya. Callista adalah seorang gadis yang memiliki kelembutan dan kepekaan. Ia tidak serta-merta menjadikan sifat manjanya sebagai dimensi yang melemahkan, karena di atas semuanya itu ia adalah gadis yang kokoh dan rela berkorban.
Setelag selfie bersama didepan batu melalui smartphone milik dirga yang sudah dipasang pada tongting(tongkat puting), kami pun kembali untuk mengambil tas masing-masing.
Kami saling bertukar tas ransel dan menggendongnya. Para cowok membawa ransel cewek dan sebaliknya, karena tas para cewek umumnya lebih besar dan berat, berbeda dengan para cowok yang hanya membawa beberapa helai baju, handuk kecil, alat mandi dan bawaan wajib yang bernama charger . Alat mandi boleh ketinggalan, tapi tidak dengan charge. Dan karena cowok lebih banyak daripada cewek, aku pun ketempuhan membawa dua tas dengan cara dipikul dengan menggunakan rancatan (pikulan yang terbuat dari bilah bambu). Tapi aku senang, karena aku membawakan tas kekasihku.
Tongkat pun dibagikan, dan kami memulai pendakian bukit pertama. Di sebelah kanan masih berjajar pesawahan yang baru selesai ditandur, sedangkan sebelah kiri dipenuhi perkebunan kapulaga dengan sungai mengalir di bawah lembahnya. Gemuruh air sungai dari bawah lembah dan cicit burung di atas pepohonan membuat kami mulai terhanyut dalam suasana alam. Sekali-kali kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang, dan juga dengan para peziarah yang baru pulang dari Sawer.
“Capek?” tanyaku kepada Maya yang berjalan di depanku, ia sedang menengok ke arahku dengan seulas senyum yang menawan.
Gadis itu menggeleng. Hari ini ia cukup berbeda, senyumnya sudah kembali seperti semula, yang tidak lagi menyimpan kesedihan. Tanpa sepatah kata pun ia melanjutkan langkahnya menapaki titian tanah cadas. Di atas punggungnya nyantel ransel yang ia gendong. Kaki jenjangnya melangkah dengan lincah, dan betisnya nampak putih dan indah karena ia hanya mengenakan celana pendek selutut.
Aku menengok ke belakang untuk melihat Nur dan Karma yang agak tercecer beberapa meter di belakang. Kulihat Nur hanya membawa tas kecil karena ranselnya sudah dibawa oleh temanku. Satu ia gendong di belakang, dan satu lagi ia kaitkan di depan dadanya.
Tanjakan ini merupakan tanjakan paling curam menuju ke Sawer, tapi tidak mengurangi kegembiraan dan keseruan di antara kami. Semua melangkah dengan riang, meski keringat mulai bercucuran; dan tak seorang pun yang lelah kepayahan. Para cowok yang harus membawakan tas berat kaum cewek pun tidak ada yang mengeluh.
Setibanya di puncak tanjakan kami berhenti sebentar untuk saling menunggu. Nur dan Karma nampak masih segar tapi mereka tercecer cukup jauh, pemuda itu seolah sengaja mengkondisikan Nur untuk tidak melangkah dengan cepat.
Setelah rombongan kembali bersama, kami melanjutkan langkah membelah hutan kecil yang ditumbuhi semak-semak dan pepohonan albasia. Lalu kami memasuki hutan pinus dengan suara dedaunannya bergemuruh karena diterpa angin, mirip suara hujan. Keluar dari hutan pinus kami beristirahat sejenak, duduk di bawah kiara (pohon besar) tua. Inilah perbatasan yang memisahkan Ewer dan Sawer.
Di bawah kami berbaris deretan perkebunan dan pesawahan dengan liukan sungai yang muncul-tenggelam di antara hutan-hutan kecil. Di seberang lembah terdapat barisan perbukitan yang menunjukkan indahnya perkebunan kopi dan ladang huma (ladang padi gogo). Kepulan asap nampak membumbung dari saung-saung yang dibangun di setiap lerengnya
Nur menyodorkan air minum, dan Maya memberiku tissue. Callista terlihat memberiku sebuah senyum yang tulus dan ikhlas, tak ada binar cemburu di sana. Ingin rasanya aku menyeka keringat gadis itu dan memberinya sebuah kecupan, tapi semuanya kusembunyikan dengan cara membalas senyumnya.
Hanya Karma yang mulai protektif. Ia nampak tidak suka atas perhatian-perhatian Nur padaku. Ia pun langsung mendahului duduk di sampingku agar Nur tidak bisa bersebelahan langsung denganku. Semuanya ia lakukan secara natural, sehingga tak seorang pun yang curiga, tapi aku sudah cukup mengerti perasaan temanku yang satu ini. Nur sendiri tidak bersikap aneh-aneh, ia memilih tetap berdiri menikmati indahnya pemandangan yang membentang sejauh mata memandang.
Beberapa saat lamanya kami saling diam melepas lelah, sambil menikmati semilir angin pegunungan. Kami mulai tersihir oleh indahnya pemandangan, sekaligus aura Sawer yang sulit kami jelaskan. Ada sisi mistis yang membuat kami merasa begitu damai dan tenang.
Aku melihat ada perubahan besar pada “ketiga gadisku”. Callista tidak lagi menunjukkan kecemburuan dan sikap possesifnya, manjanya hanya tersirat dari sorot mata. Maya sudah tidak memperlakukanku sebagai seorang “kekasih”, melainkan tak ada ubahnya sebagai sahabat biasa atau seorang kakak (ipar). Pun pula Nur. Baru beberapa langkah kami menginjakan kaki di tanah Sawer, dan baru beberapa menit kami berada di wilayah kampung ini, tapi sudah membawa banyak perubahan pada mereka bertiga. Bukan hanya mereka, semua anggota rombongan pun seakan terhanyut oleh getaran-getaran mistis yang membawa pada lingkaran permenungan atas hidup masing-masing.
Tak ada seorangpun yang mengeluarkan smartphone-nya ke dalam ransel. Semuanya tersihir oleh suasana yang tiba-tiba melingkupi, tersirep oleh kemegahan alam yang agung dan penuh misteri.
Hanya aku yang memainkan hapeku untuk mengecek isinya. Tidak banyak pesan di dalamnya, karena sejak kemarin tiga orang yang paling sering berkomunikasi denganku selalu bersama. Isinya hanya celotehan Ray yang kesepian karena kami tinggalkan.
Tapi kuurungkan untuk mengantongi kembali hapeku, ketika sebuah pesan dari Bunda Mae masuk.
From: Bunda Mae
Sayang, tiga hari lagi purnama, sepertinya saatnya sudah tiba. Aku dan mamah akan menyusul ke Sawer. Kamu gak sempat nemui mamah di desa yah? Tapi gak apa-apa.. nanti sebelum kami datang, kamu akan ketemu seseorang di sana. Baik-baik ya di sana :)
Kupandangi teman-temanku satu per satu, tapi mereka masih terhanyut menikmati pemandangan. Kubalas pesan Bunda Mae dengan perasaan yang berdesir. Intinya, aku menyanggupi jika memang ritual ketiga sudah hampir tiba. Kukabarkan juga bahwa aku sudah jadian dengan Callista.
Tak ada balasan lagi dari Bunda Mae, membuatku sedikit gelisah, apakah dia sedang sibuk atau karena marah mendapat kabar dariku. Semoga Bunda Mae memang sedang sibuk, bukan karena tidak merestui hubunganku dengan Callista.
“Nur siniiih.” suara Maya membuyarkan lamunan dan keasikan kami semua.
Nur langsung beranjak mendekati Maya dan Callista yang duduk cukup jauh dari yang lainnya. Lalu ia duduk bersisian mengapit Callista, dan nampak saling berbisik satu sama lain. Namun fokusku tidak bisa lagi bertumpu pada mereka bertiga ketika Adven mengedarkan rokok putihnya, dan kami pun punya keasikan sendiri yaitu bersenda gurau sambil merokok. Kesyahduan suasana terganti oleh pulihnya tengil kami.
“Cie.. cie… yang gak sabar menunggu kekasih datang.” aku menggoda Syamida yang hanya diam dan mulai asik dengan hapenya.
“Iiih apaan, sih?” ketus Syamida dengan wajah sedikit memerah.
“Emang Kak Ray udah pasti bisa pulang, Wa?” tanya Aruna.
“Belum ada kabar. Gak tahu tuh kalau udah ngabarin bebeibnya duluan.” jawabku.
Gelak tawa pun langsung pecah dan Syamida harus merah telinga karena menjadi pusat olok-olokan kami. Meski begitu, ia sudah mulai terbiasa dan cukup kebal menghadapi kami semua. Hanya Callista, Nur, dan Maya yang tidak terlibat dalam keseruan kami, ketiganya masih nampak serius bisik-bisikan, bahkan Maya sambil menyandarkan kepalanya pada bahu sang kakak. Aku sendiri, bukannya tidak tahu kalau Aruna sering menatapku, tapi aku bersikap seolah tidak menyadarinya, dan mengasikan diri dalam setiap senda gurau.
“Adeeek iiih…!!! Kakak nyesel deh ngajak kamu ke sini.” tiba-tiba Callista berteriak membuat kami semua menengok. Kulihat Maya sedang cekikikan sambil menjauhi kakaknya yang hendak mencubitinya, Nur tersenyum sambil melindungi Maya, sedangkan Callista cemberut.
“Eh.. jangan nyesel donk, bu. Kalau gak ada Maya, perjalanan jadi gersang.” celetuk Adven.
Semua tertawa meski Callista melotot ke arahnya.
“Emang ada apaan sih?” tanyaku.
“Ada deeeeh.” jawab Nur dan Maya bersamaan, sikap mereka jail mencurigakan.
“Udah ah, ayo kita lanjutkan perjalanan sebelum matahari makin naik.” Callista langsung berdiri dan diikuti oleh kami semua.
Kami meraih ransel masing-masing, sedangkan Maya dan Nur masih cekikikan.
“Awas ya kalian!!” gerutu Callista.
“Udah.. udah.. ayo kita jalan.” aku menengahi.
Aku mendahului rombongan dan berjalan paling depan karena aku ingin menjelaskan beberapa tempat yang diceritakan dalam sebuah buku hasil karya Senja, yang oleh seluruh warga desa sudah dianggap sebagai legenda Sawer. Kutunjukan dan kujelaskan tempat-tempat yang tertera dalam goresan pena Sang Legenda, sebagaimana termaktub dalam Ketika Senja.
Semuannya menjadi mudah bagiku untuk memberi keterangan, karena teman temanku sudab browsing di internet tentang kampung ini. Nur, Maya dan beberapa temanku bahkan sudah membaca novel peninggalan Sang Legenda Sawer, yang bukunya kini dibawa oleh Syamida sambil sekali-kali mencari part yang berkaitan dengan tempat yang kujelaskan.
Setelah melewati dataran yang melingkari bukit, kami sampai di sebuah saung.
“Dulu ini adalah saung milik Abah Barja, tempat awal konflik Senja dan Sae.” ujarku.
Saung itu masih tetap dipertahankan sampai sekarang, dan kini sudah direnovasi. Pekarangannya juga nampak terawat. Rupanya saung itu telah menjadi tempat singgah dan tempat beristirahat bagi para pejalan kaki yang menuju atau pulang dari Sawer.
Beberapa ratus meter kemudian, kutunjukan pula sebuah tangga jalanan yang sudah diganti oleh lempengan batu, yang oleh warga dipercaya sebagai tempat menangis pemuda itu, di suatu subuh ketika ia meninggalkan Sawer untuk merantau pertama kalinya. Kujelaskan sambil menunjukkan halaman terakhir buku pertama, ketika sang gadis menjerit mengabarkan rasa sayangnya di subuh itu, juga pada halaman-halaman awal buku keduanya yang menunjukkan bagaimana reaksi sang pemuda.
“SAE” said:
Kugigit bibirku untuk menahan semua gejolak perasaanku; sementara di bawah sana, bayangannya semakin menjauh. Kelopak mataku membengkak, ada air yang mendesak.. meleleh di pipiku.
Kekasihku makin menjauh, muncul-tenggelam di antara rimbun pepohohan dan menghilang di balik hutan. Hilaaang… Ia telah pergi memenuhi janjinya untuk tidak menemuiku sebelum pergi. Dan kini… aku menyesal telah memintanya seperti itu.
“Senjaaaaaaaaaa….!!!”
Teriakku melengking membelah sunyi pagi.
Hiks.. hiks…
Sekali lagi kuberteriak memanggil namanya: “Senjaaaaaaa… aku sayang kamu… selamanya…”
Aku yakin ia masih bisa mendengar teriakanku.. tapi aku juga yakin ia tidak akan berlari kembali… Satu yang pasti, aku tak akan salah, kekasihku pasti melanjutkan langkahnya sambil menangis…
Senja said
Angin subuh menerpa tubuhku, dinginnya terasa begitu menusuk. Dengan gontai aku berjalan meninggalkan Sawer. Hatiku sangat sedih… bukan karena Sawer, aku sedih, tapi karena kekasih hatiku. Aku pergi tanpa bisa menemuinya untuk terakhir kali.
Anehnya, aku seakan merasakan kehadirannya. Aku mencoba mencarinya di keremangan subuh, tapi keberadaannya tak mampu kutemukan.
Aku terus melangkah sambil mencium gelang yang kukenakan, berusaha menegarkan hati. Dan tiba-tiba saja…
“Senjaaaaaaaaaa….!!!”
Suaranya melengking membelah sunyi pagi.
Deg.
“Senjaaaaaaa… aku sayang kamu… selamanya…”
Aku yakin.. dan tak akan pernah salah... Sae ada di atas bukit sana.
“Aku juga sayang kamu, sayang. Selamanya…” Aku menjawab lirih sambil mengusap air mataku.
Dan.. saat itu, di atas undakan jalan ini. Aku jatuh terduduk, dengan kedua telapak tangan menutup wajah.
Teman-temanku menyimak dengan haru, gelak tawa seketika hilang karena membayangkan situasi di antara mereka kala itu. Kami melanjutkan langkah dalam diam, bahkan Aruna dan Nur nampak berkaca-kaca.
Setelah melewati perkebunan kopi yang membentang luas, akhirnya kami tiba di puncak bukit. Kuajak rombongan untuk berhenti di sebuah saung kecil, meskipun perjalanan tinggal lima menit lagi, tinggal satu pengkolan. Kujelaskan kenapa saung ini ada dan dibangun. Inilah sebuah tempat di mana Sae memandang kekasihnya dalam perih tangisnya. Warga sengaja membuat saung di sini yang didedikasikan untuk gadis itu.
Ada cetakan jejak kaki yang terbuat dari semen, yang dipercaya warga sebagai tempat berdirinya Sae kala itu. Tidak seorang pun yang tahu tepatnya di mana, orang boleh percaya tapi boleh juga tidak, namun dengan cara ini mereka hendak mengabadikan salah satu tokoh yang telah berandil besar bagi kemajuan kampung ini.
Syamida membacakan di hadapan kami halaman-halaman terakhir buku pertama Sang Legenda. Kini semua kaum hawa berkaca-kaca. Seorang Callista pun tak hentinya mengusapi air mata sambil sekali-kali menatapku sendu, entah apa yang sedang dipikirkannya. Maya nampak lebih tegar, air matanya hanya mengembang.
Rasa sendu yang melingkupi kami buyar ketika ada segerombolan anak muda yang lewat, mereka pada menggendong ransel besar pertanda mereka telah tinggal di sini selama beberapa hari. Kami pun bertegur sapa, lalu aku mengajak rombonganku melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati pemakaman umum kami langsung memasuki kampung yang sangat asri dengan bangunan-bangunan rumah tradisional. Nampak sederhana namun elegan, nampak tidak mewah namun terbuat dari kayu-kayu terbaik hutan Sawer. Kalau dirupiahkan, mungkin harga satu rumah bisa lebih mahal daripada rumah di kota, karena bahan bakunya dari kayu-kayu yang sangat kuat dan mahal.
Sambutan dan sapaan hangat warga langsung kami rasakan, mereka menyapa kami layaknya kami adalah warga kampung ini. Dengan ramah mereka menyalami kami dan menawari kami supaya mampir untuk sekedar membasahi tenggorokan dan menghilangkan rasa haus. Tapi aku memutuskan untuk langsung menuju pendopo, tempat Pak RT Ega sudah menunggu kami di sana.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar