Cincin dari masa lalu part 53


BAB 53

Setelah sama-sama reda dari rasa rindu dan nostalgia, aku menceritakan kisahku dengan Callista; juga tentang Maya yang sempat kupacari walau hanya sebentar; juga tentang kasih sayang dan perhatian-perhatian yang Nur berikan. Ibu kemudian menasihatiku supaya jangan main api atau mempermainkan perasaan mereka, seraya menyanggupi biar aku dan Callista saja yang akan menyelesaikan semuanya ini, tanpa campur tangan ibu. Ibu juga berjanji untuk menyayangi ketiga gadis itu dan menganggap mereka sebagai anaknya sendiri.

Ibu mencium kepala dan kedua pipiku, sebelum akhirnya aku mendahuluinya meninggalkan kamar, bergabung dengan Pak RT dan teman-teman di ruangan depan. Aku berpapasan dengan para ladies, minus Callista, yang menuju dapur. Mereka sudah bening-bening sehabis mandi dan berdandan. Sial.. Syamida malah memakai kaos tipis yang memamerkan cetakan behanya.

“Mau pada ke mana?” tanyaku.

“Bantu nyiapin makan malam.” jawab Nur sambil tersenyum. Seolah tidak sengaja ia menyenggol lenganku.

“Udah sanah… para cowok mahdi depan aja.” ujar Maya sambil mengecup pipiku.

Syamida lewat tanpa berbicara, tapi ia nampak risih karena mataku. Aruna yang paling terakhir menatapku sebentar, lalu lewat sambil meremas tanganku.

 “Tenang, Ntung, aku gak bakalan khilaf, kecuali kamu paksa.” batinku.

Aku segera melangkah ke depan, bukan karena ingin ikut ngobrol, tapi ingin melihat kekasihku lagi. Sengaja aku memilih duduk berseberangan dengannya agar bisa memandangnya sepuas hati. Wajahnya bersemu merah saat sering kuperhatikan, sekali-kali ia seakan memelototiku.

Namun malam ini ada yang berbeda dengan sahabatku… Rad nampak sangat gembira dan antusias; ia mendominasi pembicaraan. Ia lebih banyak berbicara daripada ayahnya sendiri.

Aku yang pada dasarnya gak bisa memendam perasaan dan rasa heran langsung nyeletuk, “Rad, kamu kenapa?”

“Heh..? Maksudmu?” heran Rad.

“Halaaah.. kenapa?” cecarku.

Sang ayah malah lebih dahulu mengerti, ia mewakili anaknya untuk menjawabku

"Halahhg.. anak bapak mah lagi seneng, Wa. Lusa Neng Lia mau nyusul ke mari, katanya bosen liburan di rumah. Padahal mah.. ah.. bapak ngerti, ya namanya juga anak muda.

Gelak tawa pun langsung pecah di antara kami, sedangkan Rad hanya tersenyum kecut.

“Langsung kawinin aja, Pak.” aku memanaskan suasana.

“Sirna!!” Callista menghardikku, ia kelihatan tidak enak hati karena menganggap aku telah bersikap tidak sopan. Padahal beginilah kami.. semua warga saling akrab dan rukun satu sama lain.

“Hehehe… nikah kali, Wa.” Dirga nyeletuk.

“Tapi kayaknya tinggal nikah aja deh, Pak.” Adven tak mau kalah.

Hardikan Callista pada kami sudah tidak mempan, kami semua tertawa. Melihat Pak RT ikut tertawa, akhirnya Callista ikut tersenyum. Hanya Rad saja yang cuma garuk-garuk kepala.

“Tenang Pak, kalau Rad mah aman, segel Lia pasti ia jaga baik-baik.”

Gelak tawa pun makin pecah, membuat Callista beranjak pindah duduk dan menjewerku. Kini semua temanku sudah tidak lagi sungkan, melihatku teraniaya gelak tawa pun malah semakin riuh.

Keseruan kami sedikit terhenti saat beberapa tetangga datang. Sudah menjadi kebiasaan, kalau ada tamu atau anggota keluarga yang datang dari perantauan, kami terbiasa saling mengunjungi dan berkumpul bersama, sekedar ngopi dan merokok bersama.

Setelah bersalam-salaman, kami pun kembali bercanda ria seperti semula. Kini Callista mulai terbiasa, ia bahkan begitu menikmati melepaskan perannya sebagai dosen yang galak dan judes. Ia sudah menjadi bagian dari kami, sebagai teman. Sikapnya tentu saja membuat kami semua juga merasa nyaman. Puting Bude datang bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga liburan bersama. Tanpa seorang pun yang tahu, tangan kami sering bersentuhan dan saling meremas.

Dan karena Pak RT menjelaskan kepada bapak-bapak yang hadir tentang siapa kami, sebagai kelompok mahasiswa yang tergabung dalam PMBE, entah siapa yang mulai, isilah Puting Bude pun mencuat kembali. Pada awalnya Bu Callista meminta maaf karena ulah kami, tapi karena para tetangga malah mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa sungkan menyebut “Puting Bude”, suasana malah semakin ramai dan membuat tetangga lain juga berdatangan.




Keseruan kami baru terhenti saat hidangan makan malam sudah disajikan. Kami pun makan bersama ala menu kampung yang sederhana namun lebih nikmat dari pada adonan kentang di martabak N&N. Kami yang dari Bandung makan dengan lahap, sambal bawang dan tomat membuat kami nambah dan nambah lagi.




“Mulut sih masih mau, tapi perut udah gak muat.” ujar Adven sambil bersandar pada dinding.




Ucapannya disambut senang ibu-ibu yang memasak. Makanan habis adalah kebanggaan, semua menu dilahap adalah penghargaan dari tamu kepada tuan rumah. Ini yang membuat kami semakin akrab dan menyatu, seolah kami bukan baru pertama kali bertemu. Ini pula yang membuat Callista tidak perlu lagi menjaga dan mengingatkan “anak buahnya” supaya jaim.




Selesai makan, ibu-ibu dan para gadis membereskan bekas makan, sedangkan kaum pria kembali ke ruang depan untuk menunggu menu penutup, yaitu kopi hitam. Sayang aku dan Rad belum punya kopi luwak yang sudah diolah sehingga belum bisa menyajikannya. Asap rokok pun mulai mengepul dan kartu domino sudah dibagikan, sebagian hanya duduk-duduk di depan rumah sambil merokok karena rumah sudah tak lagi muat.




Adalah Callista yang mulai kelihatan gelisah. Kadang duduk, kadang masuk kamar. Ia pasti sangat ingin berduaan denganku, sementara kini malah adiknya yang selalu menempel denganku. Tidak ada kecemburuan yang tersirat pada wajah kekasihku, tapi tetap saja ia pun meminta hak sebagai kekasih resmiku.




Jam sebelas malam satu per satu warga pada bubar, hanya rombongan dari Bandung yang masih bertahan. Kami terlalu asik bermain kartu sambil saling mencela satu sama lain. Namun semuanya harus berakhir saat Kepala Puting memberi ultimatum.




Para cowok pun beranjak menuju rumah Pak RT alias rumahnya Rad untuk tidur, aku menyertai mereka.




“Sayang aku ikut.” bisik Callista di depan rumah.


“Kamu di sini aja, aku gak lama kok. Kamu bicara aja ama Maya tentang kita.” aku membalas dengan suara pelan agar tidak ada yang mendengar.


“Sayang iiiih…”


“Kamu mau kita pacaran sambil sembunyi-sembunyi?”


“Huuuh.. iya deh.”




Ia merentangkan tangannya seolah ingin menghilangkan rasa pegal dan kantuk, padahal hanya mau menyentuhku. Ahhh… gadisku ini memang menggemaskan.




Kami pun tiba di rumah Pak RT. Tapi acara belum selesai, semuanya malah meng-iya-kan ketika ibunya Rad menawari kami kopi. Dan domino pun kembali dibagikan… kini kami aman dari hardikan Callista untuk segera tidur. Hanya Pak Pur dan Kang Ujang saja yang masuk kamar, sedangkan aku dan Rad duduk di depan rumah sambil merokok.




“Kalau ada si Ray pasti lebih seru dan Syamida juga akan senang.” gumamku.


“Yah.. gimana lagi.. ia kan pegawai baru.”


“Kita bikin dia pulang.”


"Gimana caranya?”




Aku menyeringai memikirkan ide yang tiba-tiba melintas.




“Nyantai aja. Sirna selalu punya akal.” gumamku, dan dijawab toyoran pada kepalaku.




Kukeluarkan hapeku dan kukirimkan sebuah pesan kepada Ariya. Pemuda itu pasti bisa membuat Ray mendapat ijin pulang tanpa akan mendapat masalah dari pimpinannya.




“Dasar.. tuh otak selain mesum.. ternyata ada gunanya juga.” celetuk Rad sambil melihat layar hapeku.


“Kupreeet!!! Kalo gak mesum malah turun pentium.”




Kami pun terkekeh, bersamaan dengan adiknya Rad yang membawakan kopi. Namanya Ras, alias Rasmini. Aku selalu meledeknya berasal dari ras mini walaupun tubuhnya montok dan sekal. Sedangkan ibu mereka menyajikan kopi untuk yang main domino di dalam rumah.




"Hatur nuhun, geulis (makasih, cantik).” ucapku.


“Sami-sami,A Sirna.”




Bukannya masuk, gadis yang baru kelas dua SMA ini malah duduk sambil memeluk lengan kakaknya.




Kulihat balasan Ariya pada hapeku sambil tersenyum, ia rupanya belum tidur. Ray bisa pulang.




“Ras, bantuin kami lah.” ujarku sambil melirik gadis itu.


“Bantuin apa, A?”


“Ya bantuin aku dan Rad ngurusin kopi, kami kan harus kembali ke Bandung.”


“Ngaco kamu.” gumam Rad.


“Iya ih.. aku kan masih sekolah.” jawab Ras.




Kusampaikan ideku. Ras bersama orangtua kami masing-masing, termasuk orangtua Ray, bisa mengurus kopi di kampung, sedangkan kami menampung di Bandung. Tugas mereka hanya memelihara luwak dan memberinya makan dengan kopi terbaik. Mungkin untuk tahap awal mereka harus mengurus sendiri, tapi setelah kepercayaan warga menguat dan modal kami cukup, kami juga bisa mempekerjakan orang.




Ras bisa berperan sebagai bendahara, karena meskipun masih muda, kepandaian dan kejujurannya sudah tak diragukan. Lagi pula, Ras akan lebih mudah dan terampil ketika harus berurusan dengan bank, dibanding orangtua kami.




Ras menatap kakaknya meminta persetujuan. Rad menatapku.




"Deal! Kamu mau kan, dek?”


“Aku mah terserah kakak dan ASirna aja deh.”


"Makasih. Geulis.” aku berseru senang sambil merentangkan tangan untuk memeluknya, tapi gadis itu menyembunyikan diri pada bahu kakaknya. Jitakan pun kuterima dari Rad sebagai hadiah mesum.




Kami pun membuat beberapa rencana di sisa liburan ini. Kehadiran Ray dan Lia tentu akan sangat membantu, semoga mereka bisa datang bersamaan. Sedangkan aku sendiri tidak bisa meninggalkan tugasku untuk mengawal rombongan ke Sawer dan harus tinggal di sana selama tiga hari.




Setelah menyusun rencana, Rasmini pamit untuk tidur duluan, meninggalkan kami berdua.




“Rad.” gumamku sambil menyalakan rokok.


“Hmmm…”


“Bantu aku.”


“Bantu apaan lagi?” gumamnya sambil menghisap rokoknya.


“Aku.. aku dan Callista udah jadian.”


“Dasar luwak…!!! Jangan main-main kamu.” gerutunya setengah tidak percaya.


“Seriusan. Tadi pas kalian mandi aku nembak Callista di depan ibu.”




Berbagai nama binatang yang ada di Ewer pun ia sebutkan, lalu ia berkata, “Lalu Maya dan Nur gimana?”




“Makanya aku minta tolong ke kamu.”




Rad mendengus frustasi, sedangkan aku hanya cengegesan sambil membayangkan wajah kekasihku.




“Kampret banget.. padahal kamu masih harus ritual.”


“Makanya aku minta tolong ke kamu.” aku menjawab dengan kalimat yang sama.


“Terus kalau sampai Bu Callista tahu kalau kamu sudah tidur dengan cewek lain gimana? Padahal kamu juga harus meniduri yang lain lagi dalam status kalian sudah pacaran?”


“Makanya aku minta tolong ke kamu.”


"Kampret... maneh nu ngeunah, dewek nu katempuha." (kamu yang enak-enakan, aku yang harus ikut menanggung akibatnya).


“Hehehe.. itu gunanya teman.”


“Kagak!! Berteman aja ama luwak sana biar kanjut maneh (penismu) dicakar.”


“Kupret!!!”


“Hahaha..” Rad terbahak sambil meninggalkanku seorang diri.




Ia tidak menyanggupi, tapi aku tahu ia akan melakukan apapun untuk sahabatnya, sebagaimana juga aku akan melakukan apapun untuk para sahabatku. Tapi memang sudah jalannya, aku yang lebih banyak untung, karena Rad dan Ray yang lebih banyak membantu daripada dibantu.




Aku melongok ke dalam untuk pamitan dan meletakkan gelas kopi, lalu menyusuri malam untuk pulang. Suasana cukup sepi, hanya samar-sama suara batuk yang terdengar dari warga yang sudah meringkuk di dalam selimut. Jangkrik dan suara binatang malam memerdukan suasana, sedangkan di atas sana, bulan sudah bersinar meski belum membulat sempurna.




“Nuuur?!!” aku dikagetkan oleh sosoknya yang sedang duduk di depan rumahku.




Gadis itu berdiri dan menyambutku.




“Lama banget kamu!” gerutunya.


“Kan ngobrol dulu.” jawabku.


“Kamu belum tidur?”


“Nunggu kamu!”


“Yang lain?”


“Udah. Tapi kalau Bu Callista ama Maya masih ngobrol di kamar mereka kayaknya.”


“Hmmm…”


“Hmmm doank?”


“Lalu?”


“Hhhheeeuuuhh…!!!”




Nur nampak kesal, lalu menarik tanganku ke belakang rumah yang cukup gelap.




Hmmmmffff!!!




Gadis ini memelukku.




“Dari tadi ama Maya terus, aku juga kan ingin dipeluk.” suaranya berubah merajuk.


“Nur.. kamu… aaah…” aku kehabisan kata-kata, tapi tangan ini membalas pelukannya.




Tik tok tik tok!!




“Nur, kita tidak boleh seperti ini.” akhirnya aku berbisik memecah kebisuan.


“Hiks hiks…”


“Nuuur.”


“Hiksss…” ia menolak melepas pelukan.


“…”


“Aku tahu.. aku sadar… aku tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu. Aku ikhlas.. tapi.. hiks hiks…”


“Nur…”


“Aku ingin memilikimu walaupun hanya sebentar. Jadikan aku gadis ritualmu. Hiks… Aky tahu, kita tidak akan bisa menyatu selamanya, tapi dengan adanya ikatan ritual itu, kita bisa selalu dekat dan bersaudara selamanya. Hiks hiks…”




Ucapan tulus dan isak tangisnya membuat hatiku bagai tersayat. Betapa besar cinta gadis ini padaku.




“Nur.. aku tahu perasaanmu, aku juga sayang kamu meskipun aku tidak bisa mencintamu. Jangan kamu memohon seperti itu lagi…”


“Tapi aku ikhlas, Wa, ikhlas.. hiks…”


“Tapi bukan aku yang memilih.”


“Aku akan memohon kepada para wanita ritual Kang Senja supaya mereka memilihku.”


“Sawaka yang memilih, Nur.”


“Sawaka tidak akan bisa menolak ketiga wanita itu.”


“…”




Tekad Nur terlalu kuat. Masalahnya, bukan aku tidak mau. Bagaimana mungkin aku meniduri gadis yang bukan hanya sudah kuanggap sebagai sahabat, tapi sudah kujadikan sebagai saudara sendiri. Aku menyayangi Nur, meskipun berbeda dengan rasaku pada Callista, dan rasanya akan berat meniduri gadis ini tanpa bisa saling memiliki.




“Maafkan aku, Nur.” hanya itu yang bisa kukatakan sambil mengusap air mata yang tiba-tiba menjentik.




Kubiarkan Nur menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan sambil mengusapi rambutnya.




“Aku sayang kamu, Wa.” akhirnya ia mendongak.




Kuberusaha memberinya sebuah senyuman sambil mengusap air matanya.




“Karma suka ama kamu loh.”


“Karma lagi.. Karma lagi… huuuh…!!!” Nur merengut.


“Tapi kamu suka, kan? Ia kan ganteng dan bapaknya juga bintang tiga.”


“Kamu tuh yang bintang tujuh, membuatku pusing.”




Kata-kata dan sikap cemberutnya membuatku menggeleng gemas. Lalu kukecup keningnya. Namun Nur meminta lebih.




Ia meraih pipiku dan mendekatkan bibir. Nafas kami hangat beradu, aroma obat kumur langsung harum menerpa, padahal mulutku sendiri pasti bau rokok.




“Nuuur…” desahku.


“Hmm..” matanya meredup.


“Udah ada yang menitipkan bibir ini untuk kujaga.”




Seketika Nur membelalak, matanya urung terpejam.




“Siapa? Maya?” aku menggeleng membuatnya mengernyit.


“Siapa?” tanyanya lagi.


“Kamu mau tahu?”


“Nggak!! Aku cemburu!!! Dan aku…”




Nur tidak melanjutkan kata-katanya, ia langsung menempelkan bibirnya dan mengulum lembut. Aku tidak membalas, pikiranku melayang mengingat kekasihku yang baru menjadi milikku tadi sore. Tapi Nur semakin memperdalam ciumannya membuat bibirku refleks membalas. Saling kulum dan lumat pun sudah tak terelakan.




Hasssh.. hashhh… fiuuuuh…!!!




Nafas kami sama-sama tersengal ketika bibir ini akhirnya terlepas.




Tubuh kami kembali menyatu dalam pelukan yang dalam. Rasa sayang ini saling kami ungkapan bukan lagi dalam kata-kata ataupun ciuman, melainkan dalam pelukan yang erat.




“Gadis itu adalah dosen kita, Nur. Aku telah memilihnya, meski dengan itu aku harus menyakitimu, dan juga Maya adiknya. Maafkan aku kare…”


“Sudah aku duga.” gumamnya memotongku.




Kini tak ada lagi tangisan, tapi nada suaranya mengabarkan kesakitan yang amat dalam. Kukecup ubun-ubunnya dengan lama, mataku terpejam. Aku seolah sedang menumpahkan seluruh rasa sayang, sesal, dan segenap tekad untuk selalu menjaganya.




“Aku ikhlas… tapi aku akan tetap menuntut hakku untuk memilikimu walau hanya sesaat.”




Nur mengangkat wajah, seulas senyum mulai nampak. Ia mengusapi bibirku seakan membersihkan bekas ciuman kami dan kulakukan hal yang sama. Namun yang terjadi….




Bibir ini kembali bertemu, bukan sekedar mengulum, tapi melumat dan menjulurkan lidah. Lenguhan demi lenguhan ia desiskan, tubuhnya kian gelisah melekat. Tangannya meremas.. dan kemaluan kami sudah saling merapat.




Aku mengimbanginya, aku melayaninya. Sejenak aku melupa.. gairah melanda… tapi…




Justru Nur yang sadar duluan, ia langsung melepaskan diri dan mundur satu langkah. Nafasnya tersengal dan lututnya terlihat samar bergetar. Beberapa kali ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras. Diusapinya wajahnya, dirapikannya rambutnya.




“Aku wanita, Wa. Biar bagaimana pun aku tidak ingin mengkhianati Bu Callista, kekasihmu, karena aku juga tidak ingin diperlakukan hal sama oleh kekasihku, siapapun itu. Eh… kalian udah jadian?”




Aku hanya bisa mengangguk sambil mengatur nafas. Tanpa malu aku membetulkan penisku di depannya. Mungkin wajah Nur memerah, tapi dalam keremangan seperti ini aku tidak bisa melihatnya.




“Tuh kaaan… dasar mesum… pokoknya aku akan menjagamu demi Bu Callista. Tidak boleh ada gadis mana pun kecuali.. kecuali…”


“Kamu maksudnya?”


“Hmmm… tapi kan dalam ritual aja.”


“Nuur.. aku kan udah bilang kalau kita tidak bisa memilih.”


“Bodo!!! Kalau aku tidak dipilih, kamu harus melakukannya setelah ritual, baru aku bisa melepaskanmu. Weeekkk…”




Nur menjulurkan lidah lalu meninggalkanku dalam keadaan kentang. Kuhela nafas sambil tengadah menatap bulan, kupanggil Cintung tapi ia tidak menyahut. Ia paling senang melihatku terkentang-kentang.




Kuputuskan menuju bak kecil yang dialiri air dari selang, yang biasa dipakai untuk mengambil air bersih dan mencuci piring. Kubasuh mukaku dan kukumur-kumur berulang-ulang.




Kukeringkan wajah dengan handuk milik Callista. Aku memejamkan mata untuk menghirup aromanya. Rasa sayang dan sesal datang bersilangan dalam dadaku.




Aku memasuki rumah secara perlahan. Masih ada suara obrolan dari dalam kamarku, pertanda Callista dan Maya belum tidur. Suara mereka langsung terhenti saat mendengar suara langkahku. Aku terlalu capek, terutama pikiranku yang lelah, maka kubaringkan tubuhku di atas tikar. Sarung dan bantal sudah tersedia, mungkin ibuku yang menyiapkannya.




Aku pun meringkuk di dalam sarung sambil berusaha memejamkan mata. Tak lama kemudian bale-bale papan berderit, ada orang yang keluar dari kamar Nur. Aku memilih pura-pura tidur, daripada kembali mengulangi berciuman, karena aku yakin gadis yang datang adalah Nur sendiri.




“Wa.” bisiknya.




Aku diam, dan ia tak memanggil lagi. Yang kurasakan hanyalah selimut yang ia tumpangkan menutupi tubuhku. Hening.. tapi ia belum juga menjauh.




Cuuup!!!




Kecupan tipis mendarat pada pipiku.




“Maafkan aku.” lirihnya, sekali lagi ia menciumku lalu kembali ke dalam kamarnya.




Aku berusaha menyimak arti dari permintaan maafnya, juga dari makna ciumannya barusan, tapi aku sudah tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa terdiam bagai mayat, meskipun kantuk tiba-tiba hilang.




Setengah jam kemudian, pintu kamarku terbuka. Kupicingkan mata untuk melihatnya. Maya mendekat dengan pakaian tidurnya yang seksi. Gadis itu berjingkat perlahan, dan anehnya pintu kamar tertutup sendiri. Berarti Callista yang melakukannya dari dalam.




Aku masih bertahan dengan tidurku yang sekedar pura-pura, sedangkan Maya masuk ke dalam selimut dan membaringkan diri memelukku, satu kakinya ia tumpangkan pada pinggangku. Mau tidak mau jantungku berdetak kencang dan mataku terbuka.




“May?” bisikku halus.




Kini kulihat wajahnya sudah sembab bekas tangisan. Maya tidak menjawab, ia semakin melekatkan tubuhnya meski mata kami saling beradu. Kembali.. hatiku terasa perih melihat kesedihan gadis ini. Tadi aku harus berhadapan dengan Nur, dan sekarang dengan Maya.




Kini aku tidak perlu menanyakan lagi. Maya pasti sudah tahu dari kakaknya. Pintu yang tertutup sendiri, sudah menjadi bukti bahwa Callista merestui Maya untuk tidur denganku.




“Maafkan aku, May. Aku telah memilih.. tapi seperti semua kisah yang kita bagikan di Selasar Si Karyo, aku tidak pernah kehilangan rasa sayangku padamu. Aku menyayangimu, tapi dengan itu, aku juga tahu, hatiku tidak bisa dipungkiri kalau cinta sejatiku adalah untuk kakakmu. Cincin ini sudah mempersatukan kami.”




Aku mengungkapkan isi hatiku sambil berbisik. Maya tak menjawab, hanya seulas senyum yang ia guratkan pada sembab wajahnya.




Wajahnya mendekat, bibir indahnya merapat. Dan.. kami pun khusyuk dalam ciuman yang lembut. “Ini yang terakhir..” gumamnya di sela ciuman dan kuluman.




Teramat lembut kami saling mengecup dan mengulum. Tanpa lumatan, tanpa belitan lidah. Bukan kenikmatan yang kami cari, tapi murninya kasih sayang… sebuah rasa yang sepertinya tak bisa kami satukan dalam ikatan suami-istri.




“Aku ikhlas, Wa. Meskupun aku sakit.. teramat sakit.. tapi aku juga mengerti.. cinta tak bisa dipaksakan.” bibir kami terlepas dan kata-kata tulusnya meluncur begitu saja.




Kutarik kepalanya dan kucium ubun-ubunnya, sama seperti yang kulakukan pada Nur kutumpahkan semua rasa dan janji untuk melindunginya. Lalu kami saling berpelukan dalam diam.




“Aku boleh meminta sesuatu, Wa?” bisiknya dari dalam pelukanku.


“Asal kamu jangan minta untuk menjadi gadis ritualku.” jawabku.


“Justru itu yang kumau.”


“May.. pleaseee…” aku menghela nafas. Dadaku terasa sesak.


“Callista sudah tahu tentang ritual itu?” aku mengalihkan pembicaraan, kurasakan Maya menggeleng.




Sekali lagi aku menghela nafas. Kelopak mataku tiba-tiba panas.




“Rasa sayang itu sudah ada sejak kita berjumpa pertama kalinya, Wa, saat kita masih kanak-kanak dulu. Dan aku.. aku.. ingin menyatukannya dalam ritual itu. Itu akan menjadi akhir sekaligus awal dari kasih sayang yang baru, rasa sayang antara kakak dan adik.”




Aku tak bisa lagi berkata-kata. Tubuhku bergetar seiring air mata yang meleleh. Sadar akan keadaanku, Maya mengangkat wajah. Melihat tangisku, ia ikut terisak dan menciumi pipiku yang basah. Kulakukan hal yang sama. Jadilah.. kami saling berbagi air mata dalam ciuman yang penuh lara.




Kemudian…




Gadis ini terlalu lelah, ia terlalu banyak memendam perasaan dan makan hati. Ia akhirnya terkulai lemah. Kuusapi rambutnya sambil sesekali mengecupi kepalanya. Kubiarkan ia tertidur, sedangkan aku sendiri masih menerawang dirundung dilema dan sesal. Sesal karena telah membuat dua orang yang kusayang terluka karena pilihanku yang bukan untuk mereka.




Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka dua. Dengan sangat perlahan aku melepaskan Maya dan membaringkannya di atas bantal. Susah payah aku melakukannya agar gadis ini tidak terbangun. Pandanganku nanar sesaat ketika melihat tubuh putih dan indahnya. Balutan baju tidurnya nampak tidak teratur, membuat pahanya nyaris terlihat seutuhnya. Pun pula gunung kembarnya yang tak terbungkus sempurna. Kutepis pikiranku lalu beranjak membuka pintu kamar, aku mengintip ke dalam. Kulihat Callista sedang gelisah dalam tidurnya, ia malah langsung terjaga saat mendengar pintu terbuka.




Mata kami beradu, dan kuberikan senyumku. Lalu aku kembali pada Maya tanpa kembali menutup pintu. Kuangkat tubuh Maya dengan sangat hati-hati lalu membopongnya ke dalam kamar. Melihatku, Callista langsung bangun dan merapikan bantal untuk adiknya.




Kubaringkan tubuh Maya dengan perlahan, lalu Callista menyelimutinya dengan cepat. Ia seolah tak ingin mataku menjelajahi tubuh adiknya.




“Kok gak bobo?” bisikku.


“Bobo kook.”


“Bohong.” kucolek dagunya.


“Gak bisa bobooo.”




Aku tak menjawab. Kuraih kepalanya dan kukecup lembut.




“Makasih sayang, kamu hebat.” aku berbisik membuat Callista mendongak.




Kali ini kukecup keningnya membuat ia memejamkan mata, tangannya mengusapi pinggangku.




Tiba-tiba Callista bangkit dan menutup pintu kamar. Wajah sendunya terpancar saat ia kembali kepadaku yang masih berdiri di tepi ranjang. Kulirik Maya yang sedang pulas. Aku mendesah.. dan aku tahu.. aku tidak bisa lagi membantah. Daripada aku membuat Callista tak bisa tidur semalaman, mending aku menuruti kemauannya.




Kubimbing tubuh kekasihku untuk membaringkan diri. Posisi Maya yang terbaring di tepi tempat tidur membuatnya kesulitan, sedangkan jika menggeser tubuh gadis itu bisa membuatnya terbangun. Maka Callista memutuskan naik ke tengah dan aku membaringkan diri, mepet ke tembok.




Kukecup bibirnya lembut, dan kubelai tepian rambutnya.




“Met bobo, sayang.”


“Met bobo Wawa, sayang.”




Saling mengecup kami lakukan, lalu saling berangkulan di bawah selimut.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar