Cincin dari masa lalu part 52

 

BAB 52

Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya kencang, kugigit bibirku sendiri. Aku benar-benar tegang, restu Cintung malah membuatku gundah sendiri.

“Bu.. aku mohon restu…”

Dug dug dug…!!!

“Calls, maukah kamu menjadi menantu ibu?”

Ibu terbelalak; Callista nyaris meloncat, pelukannya terlepas. Sedangkan aku mengusap jentik keringat pada pelipisku. Kini niat dan tekadku runtuh. Rasa yang telah sekian lama kupendam tak bisa lagi kutahan. Kumentahkan niatku yang sudah kurencanakan sejak semula. Awalnya, pada purnama ketujuhlah aku baru akan menyatakan perasaanku pada Callista, setelah aku menyelesaikan semua urusan ritual; tapi aku sudah lelah menyembunyikan rasaku. Memang terbayang ritual yang akan kulakukan, terbersit pula wajah Bunda Mae yang selalu mengisi kesepianku; tapi sore ini aku khilaf, khilaf karena rasa sayang.

Kalau aku bernegosiasi dengan Cintung, kalau sekarang aku menyatakan kehendak dan rasa cintaku kepada Callista di hadapan ibu, itu karena aku tidak ingin Cintung menjadikan gadis ini sebagai gadis ritualku. Sudah lama aku menyayangi Callista, bahkan aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama, yaitu ketika aku melihatnya di parkiran RSP, saat aku mengantar Nur membeli kopi.

Aku juga menangkap sorot mata ibu yang menyukai Nur karena sikap dewasa gadis itu. Maka lebih baik sekarang aku menyampaikannya, daripada ibu kadung mengharapkan Nur sebagai menantu; daripada Callista tak juga beranjak dari bayang-bayang masa lalunya. Kuubah keputusanku, aku tidak lagi berniat menyatakan cintaku setelah Callista berani menceritakan masa lalunya itu, atau pula setelah aku menyelesaikan ritualku… tapi sekarang.. sambil ke depan… aku akan berusaha mendampingi Callista untuk menyembuhkan luka batinnya dengan status sudah sebagai kekasih.

Lalu bagaimana dengan Maya dan Nur sendiri? Jelas aku menyayangi keduanya, tapi aku akhirnya tahu kalau rasaku pada mereka dan pada Callista sangatlah berbeda. Kalau aku melayani sikap manja Nur maupun Maya, mau memeluk atau mencium kening mereka, itu karena aku ingin meyakinkan diri kepada siapa hatiku harus berlabuh. Salah…?? Ya salah!! Karena dengan itu mereka semakin memiliki perasaan yang semakin dalam padaku, meskipun aku sendiri akhirnya bisa menemukan jawaban dari semuanya. Entah Callista mau menerima cintaku atau tidak, tugas besar ada di pundakku untuk meyakinkan Nur maupun Maya bahwa cinta sejatiku bukan untuk mereka.

Tentang Callista sendiri… Seminggu aku berada di Ewer sudah cukup bagiku untuk meyakinkan diri. Aku kangen pada Nur dan Maya tapi aku bisa tahan ketika mereka tidak berkirim kabar. Sedangkan dengan Callista, aku selalu menunggu dan menunggu kabar darinya. Setiap saat aku membuka hape hanya untuk melihat apakah ada pesan darinya atau tidak; hanya untuk mengecek status WA maupun IG-nya. Aku tak bisa melupakan gadis ini.

POVCintung

“Emang Callista mau menerima cintamu, Wa?” 

“Kupret!! Diam lu!!!” 

“Eh.. gue bisa menentukan hidupmu loh, bisa gagal menang banyak nanti.” “Dan aku bisa membatalkan ritual.” “Yakin? Dampaknya bisa kematian loh.” “Asal demi cintaku pada Callista, aku rela mati.” 

“Kalau Callista yang mati?” 

“Maka akan kuuber kamu kemanapun, sekalipun itu ke dunia orang mati.” “Hehehe.. iya.. iya.. kamu boleh nembak Callista, aku gak mau kayak di cerita sebelah. Pahiit!!” 

“Nah.. gitu donk!” “…”

"Kamu jangan aneh-aneh. Nak. Eling... kamu harus eling.. Kamu harus sadar, kita ini siapa.” ibuku langsung mengingatkan.


“Hiks.. hiks…” Callista menangis.




Aku mematung menunggu sebuah jawaban.




“Hiks..” ibu malah ikut terisak. 


Katanya, “Hiks… maafkan Sirna, nak. Maafkan anak ibu karena sudah kurang ajar seperti itu. Tak selayaknya seorang mahasiswa kurang ajar pada dosennya. Hiks…”




Mendengar itu Callista semakin mengeraskan tangisnya sambil memeluk ibu. Ibu-ibu yang sedang memasak di dapur pun berdatangan karena mendengar tangisan mereka berdua, tapi mereka segera kembali setelah kuberi kode.




“Hiks.. maafkan anak ibu, ya nak.” ujar ibu pada Callista, lalu ia menatapku sambil berderai air mata, “Sirna.. kamu.. hiks.. bikin malu ibu aja.. kita harus tahu diri kalau Neng Callista itu dosenmu, kita harus ingat kalau kita ini hanya orang kampung yang tak punya apapun untuk membahagiakan gadis seperti si eneng. Kita tidak pan…”


“Hiiiiks… aku sayang Sirna, bu.”




Fiuuuuh. Hasssh… hashhh…




Aku tersengal, bukan lagi karena tegang atau lelah, tapi karena lega.




Ibu terbelalak sambil mengangkat wajah Callista, ia mengusapi pipi gadis itu yang berderai air mata, tanpa peduli pada tangisnya sendiri.




“Nak?? Kamu sadar kan, nak?


“Aku sayang Sirna, bu, hiks.. dia adalah satu-satunya pemuda yang bisa membuatku keluar dari bayang-bayang masa lalu. Hiks…”




Kulihat ibu menarik nafas panjang beberapa kali, dibersihkannya air mata Callista. Lalu keduanya melirik ke arahku, senyum indah terpancar dari wajah Callista, sedangkan ibu hanya geleng-geleng seakan belum mempercayai semuanya ini.




“Buu..” Callista berubah merajuk.




Sikap asli manjanya keluar, seolah ia sedang berada di depan mamahnya sendiri.




"Ahhhh.. ibu mah teu ngerti ama anak muda jaman sekarang. Ibu mah hanya bisa merestui. Terserah kalian saja. Sebagai seorang ibu, ibu hanya bisa berdoa bagi kalian.”


“Jadi?” tanya kami bersamaan.




Bukannya menjawab, ibu malah memeluk aku dan Callista. Isaknya kembali terdengar, tapi kali ini isak bahagia. Aku bisa merasakan kelegaan pada wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku ini. Sejak kematian (alm) Maya, ibu memang selalu ketakutan kalau aku akan jadi jomblo abadi.




“Wa, kamu boleh memilih, tapi jangan ada yang disakiti di belakang kalian berdua.” ujar ibu. Kepekaan seorang ibu tetap tidak hilang, ia bisa membaca situasi, ada Nur dan Maya di belakang kisah yang akan aku dan Callista jalani.


“Ibu merestui kalian, nak.” kali ini ibu bicara pada Callista, lanjutnya, “Ibu nitip Sirna, jangan sampai ia bandel dan jelalatan. Kamu harus bisa merubah anak ibu biar nggak.. nggak.. mesum lagi.”


“Ibuuuu!!” aku melepaskan pelukan.




Ibu tertawa sambil mengusap air matanya, sedangkan Callista masih memeluknya sambil memandangku. Baru kali ini aku melihat senyumnya yang begitu indah, lebih dari biasanya.




“Yasudah.. kamu mandi dulu gih, bentar lagi gelap.” ujar ibu sambil mengusap rambut Callista.




Gadis itu pun menengakkan posisi berdirinya lalu mengambil dan mencium tangan ibu. Melihat sikap Callista, aku pun melakukan hal yang sama. Ibu tersenyum lalu mengecup kening kami bergantian.




“Kalian itu.. hadeuuh.. ibu masih gak nyangka.” gumam ibu sambil mengusap pipi Callista dengan gemas, yang satunya lagi mengusapi pipiku.


“Ibu nyangkanya aku pacaran ama Maya atau Nur, ya bu?” celetukku.


“Wawa iiiih… gak sukaaaa…” rajuk gadisku.


“Nah kaaan.. ibu gak ikutan. Dah sana kamu anter istrimu.. eh pacarmu mandi.”


“Ibuuu…” ujar Callista.




Tapi ibu tak menjawab lagi ia langsung meninggalkan kami berdua. Senyumnya nampak indah, senyum terindah yang ibu miliki semenjak kepergian ayah dan juga kematian (alm) Maya.




“Hai..” godaku pada Callista yang sedang menatapku.




Kucolek pipinya yang ia gelembungkan.




“Kamu aaah.. aku gak nyangka…” Callista memukuli dadaku, dan kutarik tubuhnya pada pelukanku. Pelukan pertama setelah resmi menjadi sepasang kekasih.




Indah kurasakan, meskipun banyak rintangan yang terbayang di depan. Gadis ini belum tahu bahwa ada ritual yang sudah dan masih harus kulakukan. Adalah kesalahan untuk menyatakan cintaku sekarang, tapi aku sudah tak mampu membendung rasa ini lagi.




“Mandi.” lirihku ketika Callista enggan melepaskan pelukan.




Callista mendongak, senyumnya indah, sorot matanya berbinar.




“Pengen dipeluk aja.” manjanya.


“Kita mandi dulu, ya sayang. Nanti yang lain keburu pulang.”


“Apa, Wa?”


“Sayang.”


“Iiiih.. Wawa…” Callista melepaskan pelukan.




Aku mengerling menatapnya.




“Iya sayang, kita mandi.” gumamnya dengan pipi bersemu merah.




Ingin rasanya mengecup bibirnya, tapi aku takut yang lain keburu pulang. Kuselendangkan handuk putih pada lehernya, lalu kutuntun Callista meninggalkan rumah sambil membawakan perlengkapan mandinya.




Kami bergandengan tangan menyusuri jalan yang lain, yang agak jauh agar bisa bersamaan dengan Callista.




Kampung sudah mulai terasa sepi, hanya sesekali kami bertemu dengan warga yang baru pulang dari pemandian, atau dari ladang.




Setibanya di tampian, seperti dugaanku, sudah tidak ada orang di sana.




Kukaitkan alat mandi pada bilik, dan kusampirkan handuknya. Air jernih menggelontor dari pancuran yang terbuat dari bambu, yang disalurkan dari mata air di tepi sungai.




“Aku tungguin di sana yah.” aku menunjuk batu di samping tampian.


“Tungguin, Wawaaa. Nanti ada orang yang datang.” rajuk Callista.


“Iyah aku tungguin. Lagian kalau melihat ada handuk dan pakaian yang tersampir gak akan ada warga yang berani mendekat kok.” jelasku.


“Uuuh… jangan jauh-jauh.. di sini aja.”


“Kalau di sini aku ngeliatin kamu donk. Kamu mau aku liatin? Atau mau mandi bareng?” godaku.


“Tuh kaaaan.. kamu emang mecuuum.” Callista menjembel kedua pipiku gemas.




Aku terkekeh sambil meraih puhu kedua tangannya. Kugenggam erat sambil menatapnya lekat.




“Makasih, sayang.” tulusku.


“Aku yang makasih, sayang.” jawabnya dengan sorot mata yang redup.




Aku merunduk sambil memindahkan tangan pada pinggangnya, sedangkan Callista melingkari leherku.




Nafas kami saling beradu, dan gadisku sudah pasrah dengan bibir sedikit terbuka. Bukan karena ingin segera dikecup namun untuk memberi ruang pada nafasnya yang tersengal. Aku tahu, baru aku yang mengecup bibirnya, itupun hanya sekali.




Aku semakin merunduk, kutatap bola matanya untuk meminta keyakinan. Callista seolah tak sanggup membalas tatapanku, redup dan kemudian terpejam. Bibirnya nampak bergetar dan tangannya meremas tengkukku.




Bibir kami tinggal beberapa senti saja ketika nafasnya kian tersengal dan keningnya mengkerut.




Cuuup!!!




Kukecup lembut. Bibirnya bergetar dan tubuhnya luruh tak bertenaga. Kusangga pinggang dan bahunya tanpa melepaskan kecupan. Kubasahi bibirnya yang tiada membalas dengan ujung lidahku, lalu mulai kukulum. Aksiku membuat tubuh Callista kian lemas, meski begitu bibirnya sedikit bergerak dan membalasku.




Bagi Callista boleh dibilang ini adalah ciuman pertamanya, sedangkan bagiku, meskipun bukan yang pertama, kecupan ini terasa begitu indah dan menghanyutkan. Kutumpahkan ketulusan rasa sayangku dengan mengulumnya lembut.




“Mmmmh..” lenguhnya.




Kudekap erat sambil perlahan melepaskan ciuman, nafasnya terasa hangat menghembusi wajahku. Callista langsung menumpukan seluruh tubuhnya ke dalam pelukanku. Degup jantungnya bisa kurasakan. Beberapa saat lamanya kubiarkan ia menenangkan diri dan meredam gairah yang baru pertama ia rasakan. Kukecupi kepalanya sambil mengelus rambutnya.




“Sayang.” gumamnya.


“Iya sayang?”


“…”




Callista mendongak. Wajahnya memerah, imut menggemaskan.




“Kamu mandi dulu yah.”


“…”




Kukecup keningnya, lalu kubimbing gadisku untuk masuk ke dalam bilik. Kubantu memasangkan shower cup untuk melindungi rambutnya agar tidak basah. Leher jenjangnya langsung terpampang, putih dan mulus, indah dan seksi.




“Jangan jauh-jauh.” rengeknya dengan bibir memanyun.


“Iyah nggak. Aku duduk di batu itu kok. Met mandi sayang.”


“Sun dulu.” ia sudah tidak malu lagi.




Cuppp!!!




Kukecup tepi bibirnya, lalu melangkah menjauhinya. Tinggi bilik yang sebahu membuat siapapun tidak bisa mengintip, kecuali kalau lewat dari bagian depan karena hanya ditutupi bilik setinggi lutut.




Kulihat satu per satu pakaiannya tersampir, kemudian beha dan celana dalamnya yang berwarna serupa. Aku tersenyum saat melihat warna kesukaan dalamannya yang berwarna pink.




Tak lama kemudian kudengar Callista menjerit-jerit dan merengek karena dinginnya air pegunungan. Persis seperti anak kecil. Andai saja ia sudah kuhalalkan, pasti aku harus merayu menyabuninya sambil sama-sama telanjang. Fiuuuuh…!!! Kutepis pikiran ngeresku, dan lebih fokus memikirkan rencana untuk bisa menjelaskan tentang hubungan kami kepada Nur dan Maya.




“Sayang udah.” panggilannya menyadarkan lamunananku.


“Aku boleh ke sana?”


“Iyah.”




Aku berdiri dan langsung mendekat.




“Sa.. sayang.. kok?”




Aku terperangah. Callista sedang berdiri sambil berjingkat-jingkat kecil karena kedinginan. Tubuhnya hanya dililit handuk dengan bagian atas diikat pada belahan payudaranyanya. Shower cup nya belum dilepas, membuat tubuh bagian atasnya terpampang basah. Kedua pahanya hanya tertutup handuk setengah, dan tidak dikeringkan sempurna sehingga ada jentik air yang mengalir.




“Sayang iiiih…” Callista salah tingkah karena sikapku yang sedang mengaguminya.


“Katanya udah.” gugupku.


“Ini udah.”


“Pakaiannya dipakai lagi donk, sayaaang. Nanti baru ganti lagi di rumah. Masa mau pulang kayak gitu.” ujarku gemas.


“Emangnya kenapa? Bukannya kalau di kampung udah biasa yah seperti ini?”


“Iya sih sayang. Tapi kamu mau dilihat mahasiswamu kayak begini? Mereka mungkin udah kembali ke rumahku.”


“Oh iyah. Hihi…”




Aku tidak kembali menjauhinya, melainkan hanya membalikan badan memunggunginya. Saking gemasnya, tanganku sampai terkepal, dan gigiku merapat. Anda saja.. ya andai saja.. ah yasudahlah… Semoga semesta memberi restu untuk menyatukan kami selamanya sehingga aku bisa memilikinya seutuhnya.




Hmmmmffff.




Gadisku memeluk di belakang.




“Dingiiin…!” rajuknya.


“Yaudah yuks pulang biar cepet ganti baju.” jawabku sambil melonggarkan tangannya dan berbalik badan.


“Gendong…”


“Eh.. kok..?”


“Gendoong!!”


“Nanti ada yang lihat loh!!!”


“Gendong Wawaaaa!!!! Udah mulai gelap ini kok, gak bakalan ada yang liatin.”


“Iya.. iya…”




Kuselendangkan handuknya pada leherku, dan kusodorkan kantong berisi perelengkapan mandinya. Gadis ini meloncat pada punggungku, membuatku terjejer satu langkah.




“Ayoo… kok diam aja?” herannya.


“…”


“Ayank…?”


“Motornya perlu diisi bensin.”


“Iiih…”




Cuuuup!!!




Callista mengecup pipiku, dan aku pun tertawa lalu membawanya pulang. Sambil menggendongnya, kami saling mengabarkan rasa sayang dan menyampaikan syukur bahwa rasa yang sudah lama saling kami pendam akhirnya bisa disatukan. Kami juga sama-sama sepakat untuk mengabarkan ini semua setelah sama-sama berhasil membuat Maya dan Nur mengerti. Malam ini ia akan langsung berbicara dengan Maya, sedangkan aku akan mendekati dan menjelaskannya kepada Nur.




Satu yang belum Callista siap, yaitu menceritakan masa lalunya berkaitan dengan cincin itu, sedangkan dalam hatiku, aku juga belum siap menceritakan tentang rangkaian ritual yang harus kujalani. Cukup adiknya saja dulu yang tahu.




Sesampainya di belakang rumah, di samping kandang luwak yang sedang kami bangun, Callista meminta turun.




“Aku percaya ini…” ia menunjuk-nunjuk dada kiriku, lalu lagi, “Aku gak akan cemburu pada Maya, Nur atau yang lainnya.”


“Jaga kepercayaanku. Ini..” ia mengusap bibirku.


“Dan ini…” ia hampir meremas selangkanganku tapi keburu sadar dan urung. Wajahnya memerah.




Aku terkekeh, padahal hatiku tiba-tiba merasa sakit karena keduanya pasti tidak bisa kujaga sebelum rangkaian ritual selesai. Sirna harus tetap menang banyak, egoku berkata. Tapi hati kecil merasa perih karena harus mengkhianati kekasihku.






[POV Cintung: “Salah sendiri telah memaksaku.”]




Tak satu kata pun kuucapkan untuk membalas ucapan Callista, aku hanya mencoba tersenyum sambil meraih kedua pipinya. Kegelapan sudah cukup menyembunyikan binar mataku yang gelisah. Kini Callista sudah lebih berani mengambil inisiatif dengan melingkarkan tangannya pada leherku, lalu berjinjit dan mengecup bibirku.




Aku membalas kecupannya dan langsung mengulumnya lembut. Callista sudah mulai terbiasa, reaksinya sudah tidak sebergetar dan selemas tadi. Ia malah mengikutiku dengan memiringkan wajah ke arah berlawanan agar lumatan kami semakin dalam. Cukup lama kami saling membagikan kasih sayang, namun sebelum aku membuka mulut untuk menjulurkan lidah, ia sudah mengakhirinya.




Dipeluknya tubuhku dengan nafas sedikit tersengal. Kudekap erat untuk membuatnya nyaman. Tiba-tiba…




“Ayo masuk!! Dasar mahasiswa mesum!! Huuh!!!” ia memasang tampang judes sambil melepaskan diri.


“Callsss…!!!”


“Aku akan bilang ibumu kalau kamu udah berani membuat hati dosennya jatuh hati!!” isi ucapan dan nada suara berbeda.




Segera kutangkap pinggangnya, tapi ia berhasil mengelak sambil cekikikan, lalu berlari mendahuluiku menuju pintu depan. Aku mendesah gemas sambil menatapnya dari keremangan. Kusampirkan handuk kekasihku pada tali plastik yang membentang, lalu masuk melalui pintu dapur.




Kusapa ibu-ibu yang sedang memasak, sedangkan di depan sudah ramai oleh teman-temanku. Mereka sudah berkumpul untuk makan malam, padahal kulihat di dapur nasi saja belum matang. Karena tidak melihat ibu, aku pun langsung naik ke atas bale-bale dan masuk ke dalam kamarnya.




Ibu rupanya ada di kamar sedang menyisir dan menggelung rambutnya, ia baru saja mandi.




“Kok lebih cepet ibu mandinya, padahal kalian berangkat duluan.” ibu menyelidiku sambil menyembunyikan senyum.


“Ibu..” aku mendengus kesal.


“Iih ngambek kan.. ngambek… berarti.. berarti…” ibu semakin menggodaku.




Aku langsung mendekati ibu dan menggelitik pinggangnya membuat ibu meronta sambil menutup mulut agar suaranya tidak terdengar keluar.




“Udah, nak. Ampun, sayang.” ia masih meronta.


“Abisnya ibu..”




Yaah.. begitulah kami, sejak ayah tidak ada, kami malah sering seperti ini. Ibu juga semakin manja setelah satu semester kutinggalkan. Tiga hari pertama kepulanganku, ibu malah memintaku untuk tidur di kamarnya. Eiit.. jangan ngeres, no incest di ceritaku, aku meyayangi ibu dengan caraku, dan demikian juga ia menyayangiku dengan caranya sendiri. Di balik sikap ibu yang terkesan pendiam dan anggun, tersembunyi sisi manja dan jail, yang hanya ia tunjukan di hadapanku.




[POV Cintung: “Sekarang aku mengerti mengapa kamu memaksa meminta Callista supaya tidak dijadikan gadis ritual.]




Kuabaikan suara Cintung yang menggema dalam hatiku, kupeluk ibu dengan erat dan ia membalasnya.




“Makasih, ya bu, udah restuin Sirna dan Callista.” tulusku.


“Kamu itu.. ibu kira kamu pacaran ama Maya atau…”


“Jadi ibu lebih mengharapkan Maya atau Nur?” potongku.


“Ya bukan gitu juga, secara sejak awal ketemu kamu, hanya mereka yang begitu perhatian. Nur memperhatikan kamu dengan sikap dan perhatian diam-diamnya, sampai membawakan alat mandimu; sedangkan Maya tidak malu-malu menunjukkannya.” jelas ibu.




Mendengar perkataan ibu, aku langsung menarik nafas panjang dan menghembuskannya, aku berkata, “Callista kan dosen kami, bu, jadi pasti ia lebih menjaga diri, tapi…”




“Tapi..?”


“Ia juga perhatian dan sayang kok. Ia malah lebih manja daripada Maya atau Nur.”


“Hmmm.. jadi kamu mencari pacar yang manja? Sukanya yang lebih tua lagi.” goda ibuku sambil meraih kedua pipiku supaya melihatnya.


“Ya bukan gitu juga atuh bu, tapi.. eh…”


“Tapi ibu bener.”


“Ibu..!!!”




Kami pun tertawa bersama.




“Bu?”


“Hmmm..”


“Kalau.. kalau.. aku menikahi ketiganya gimana?”


“Apaaa???!!!!” ibu terbelalak.


“Hehehe…”


“Awas ya kamu, nak. Ibu gak mau.. kamu mau ngasih mereka makan pake apa? Lagi pula.. eh…”


“Cie.. cie.. ibu takut kehilangan kasih sayang Sirna ya?”


“Tuh tahu. Huuuh!!!”




Aku pun kembali memeluk ibu, dan dibalasnya erat.




“Aku sayang ibu, makasih udah nyayangin Sirna sampai sejauh ini.” tulusku dari dalam pelukannya.


“Hiks.. hiks…”


“Ibu kok nangis?”


“Ibu kangen ayah. Hiks…”




Aku tak bisa berkata apapun, aku juga merindukannya. Kami pun berpelukan sambil berlinang air mata.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar