BAB 51
Sudah seminggu aku berada di Ewer, Pun pula Rad; sedangkan Ray tidak bisa pulang karena ia belum bisa mengambil jatah liburan dari tempatnya bekerja. Ia baru beberapa bulan bekerja sebagai OB di kantor FaF.
Ternyata merintis usaha kopi luwak tidak semudah yang dibayangkan, dan rencana yang matang tak begitu saja bisa dijalankan. Kopi Luwak belum bisa masuk ke dalam pikiran warga, bagi mereka kotoran tetaplah kotoran.
“Bagaimana mungkin kotoran luwak bisa dikonsumsi?” begitu kata mereka.
Sayangnya pula, kami tidak bisa mengiming-imingi mereka dengan harga tinggi karena kami tidak punya cukup uang sebagai modal. Yang bisa aku dan Rad lakukan dalam seminggu ini adalah dengan mengumpulkan kotoran luwak dari hutan dan kebun kopi, baik dari kebun milik warga maupun kebun kami sendiri. Tiga hari pertama hanya menghasilkan sedikit, tapi berikutnya kami mulai tahu di mana para luwak reuni dan pada membuang hajat.
Ada lima pemuda kampung yang mau membantu dan bekerja sama. Tapi mereka bukan membantu mengumpulkan kopi, melainkan menjerat luwak untuk dikembang biakan. Sudah ada tiga pasang yang berhasil mereka tangkap, dan kami membuat kandang besar dengan menggunakan ram kawat. Pada tahap ini, aku harus mengorbankan kopi dari kebunku sendiri untuk memberi mereka makan. Sedangkan biaya pembuatan kandangnya menggunakan uang patungan antara Aku, Rad, dan Ray.
Begitulah aktivitas kami selama beberapa hari ini. Kini, aku dan Rad sudah punya setengah karung biji kopi yang sudah kami cuci, dan sedang kami keringkan di bawah sinar matahari.
Dan sekarang...
Aku berjongkok di samping makam almarhumah kekasihku, tanganku tak henti mengusap nama pada batu nisan yang tertera. Inilah kunjungan keduaku sejak aku pulang kampung. Hari ini aku ingin mengabarkan bahwa Callista, Nur, dan teman-teman Puting Bude akan datang dari Bandung. Hari yang ditentukan untuk survey sudah tiba. Sedikit meleset dari jadwal, mereka baru berangkat setelah makan siang karena Callista ada rapat dulu bersama para dosen lainnya. Akhirnya, kuputuskan supaya nanti malam mereka menginap di Ewer dan baru naik ke Sawer besok pagi.
Kukenang saat-saat kebersamaan aku dan (alm) Maya di masa lalu. Momen-momen indah ketika kami sedang bersama. Merajut mimpi tentang hari di masa depan nanti, tentang kopi, tentang sawah, dan tentang anak-anak yang akan kami besarkan. Sebuah mimpi yang pernah ada di usia kami yang boleh dibilang masih belia; tetapi bagi kami, menikah di usia delapan belas atau sembilan tahun bukanlah aib. Namun rupanya semesta tidak merestui. Maya pulang lebih awal, sedangkan aku masih meneruskan perjalanan hingga usiaku yang sekarang, yang sudah melewati dua puluh.
“Aku sayang kamu.” kata-kata itu terngiang, seolah nyata kembali. Tanpa sadar bibirku bergumam, mengungkapkan kalimat yang sama.
Lalu kuceritakan tentang petualanganku selama ini sebagai orang terpilih untuk membangkitkan Sawaka. Tentang Cintung, tentang Ceu Ningrum yang bulan depan akan melahirkan, tentang Bu Ratih yang sudah mengerti untuk tidak kutiduri lagi... tentang Bu Alya dan kedua putrinya, tentang Bunda Mae yang belum kutiduri tapi sudah sering bertemu dan bermesraan layaknya dua orang kekasih, dan juga tentang Nur
Sesuai janji di masa lalu untuk tidak saling menyembunyikan rahasia, di depan pusara Maya kuceritakan semuanya. Kusampaikan lebih khusus tentang gadis yang memiliki nama panggilan yang sama dengannya, dan pernah menjadi pacarku meskipun akhirnya sepakat putus tanpa kehilangan rasa cinta. Kuceritakan tentang kedekatanku dengan Callista kakaknya, dan Nur yang selalu membawakanku sarapan bubur.
“Boleh aku memilih salah satu di antaranya sebagai penggantimu?” tanyaku. Tentu saja tak ada jawaban selain bunyi uwir-uwir yang nemplok di atas pohon..
Kusampaikan kepada siapa hatiku tertambat, seraya berharap bahwa ia tidak akan menjadi gadis ritual dalam membangkitkan Sawaka. Aku juga berharap agar gadis ritual itu bukanlah Callista, Maya, ataupun Nur. Mereka terlalu berharga untuk kunodai dalam pergumulan tanpa ikatan. Tapi entahlah... Cintung yang punya pilihan dan dia sendiri yang akan menentukan.
“Aku gak mau kehilanganmu, jangan pernah menbahayakan diri sendiri.” kata almarhum suatu ketika.
Senyumku mengembang, kukecup namanya pada batu nisan. Aku tidak bisa menjalankan pesannya yang satu ini karena aku sering berada dalam situasi seperti itu. Pasca menggagalkan perampokan di rumah Bu Tiurma, aku juga sudah menyelamatkan kedua anaknya dari rencana penculikan, menggagalkan perampokan Bu Hera, adik sepupunya saat di jalan, juga usaha penodaan terhadap Rinjani. Beberapa di antaranya sempat menjadi berita, tanpa ada yang tahu bahwa aku ada di balik penyelamatan itu. Ya.. hanya Bunda Mae dan Nur yang tahu tentang itu semua.
Matahari sudah semakin turun, tapi aku masih betah berada di “sisinya”. Aku masih terus mengungkapkan apa yang selama ini terjadi, yang malah mungkin tak akan pernah kuceritakan seandainya ia masih hidup. Aku terus bercerita entah melalui gumaman atau hanya diucapkan dalam hati.
Pada satu titik air mataku menetes ketika mengenang saat terakhir perpisahan kami, ketika ia menghembuskan nafas terakhir di dalam pelukanku; ketika aku melihat tubuhnya untuk terakhir kali sebelum diurug tanah. Kucengkeram nisannya erat, sedangkan tangan yang lain meremasi gundukan tanah.
“Setelah menjadi orang berhasil, aku dan kakakmu akan membangunkan rumah untukmu.” aku bergumam sambil terisak. Yang kumaksud adalah akan mengganti gundukan tanah ini dengan keramik. Sebetulnya sekarang pun aku sudah bisa melakukannya dengan uang dari hasil jualan martabak, tapi uang ini masih ingin kupakai untuk usaha kopi. Aku sudah cukup mengenal almarhum.. ia akan lebih lebih senang jika aku menggunakan uang itu untuk membuka usaha daripada membangun makamnya.
Kukeluarkan kalung cincin dari kantong celanaku dan mengaitkan pada batu nisannya. Kukecup lembut seraya membayangkan bahwa cincin ini sedang menggantung pada lehernya. Air mataku kian meleleh seiring rasa sayang dan rindu yang menyesakkan.
Rasa sunyi kian menyelimuti. Aku sungguh merinduinya.. rasa sayangku tidak akan pernah terganti. Seandainya ia masih hidup, bahkan Maya, Callista ataupun Nur sekalipun tak akan pernah bisa membuatku berpaling.
Tapi ia telah tiada, dan aku harus menjalani takdirku dengan gadis lain. Kukabarkan pada pembaringan sunyinya, bahwa siapapun jodohku kelak, itu tidak akan menghilangkan rasa cinta yang pernah -dan masih- ada. Aku hanya akan berusaha untuk mencintai jodohku kelak tanpa bayangan-bayangan masa lalu. Aku mencintai almarhum sebagai almarhum, dan akan mencintai jodohku sebagai dia apa adanya. Mungkin kadar cinta itu akan berbeda, tapi kemurniannya akan tetap kujaga.
Hapeku bergetar, membuyarkan lamunan syahduku. Kuusap air mata dan kuraih hape dari dalam kantong celana. Rad!!
Aku meminta sahabatku untuk menjemput rombongan sampai ke desa, dan kini ia menelponku.
“Iya, Rad.” aku menjawab panggilan telpon.
Rupanya ia mengabarkan bahwa mereka sudah tiba di Ewer dan menyuruhku cepat pulang. Kusanggupi, tanpa mengabarkan di mana aku sedang berada.
Kliik!
Kututup telpon. Aku mencoba tersenyum sambil mengusap bekas air mata. Kukecup batu nisan, kuambil dan kukalungkan cincin, lalu berdiri. Aku masih mematung beberapa saat lamanya; setelah menegarkan diri, aku pun melangkah meninggalkan pembaringan terakhir kekasihku. Tak lupa kutenteng keranjang berisi kotoran luwak hasil pencarianku hari ini.
Kuputuskan untuk langsung mandi di sungai karena tadi aku meninggalkan alat mandi di sana. Sedangkan warga pada umumnya mandi di tampian yang tebuat dari bilik bambu. Umumnya setiap kolam ikan memiliki pemandian.
Tak ada satu keluarga pun yang memiliki kamar mandi di rumah masing-masing, bukan tidak mampu atau sulit mengalirkan air, tapi demi memelihara tradisi.
Sore ini... aku memilih mandi di sungai, daripada di tampian, untuk mengenang masa yang telah berlalu. Ketika masih kanak-kanak, aku, Ray, Rad, dan teman-temanku biasanya membendung aliran sungai dengan batu dan rerumputan, membentuk kubangan dan berenang bersama.
Selesai mandi aku pun pulang sambil menenteng kopi dan alat mandi. Handuk kecil menyelendang.
Kujadikan diriku sebagai seorang Sirna yang biasa, kupendam kesedihan dan kenangan-kenangan akan almarhum.
“Woi, Rad.” sapaku pada sahabatku yang datang dari arah berlawanan.
“Wa, kamu dari mana aja?” jawabnya kesal.
“Hehehe.. abis nyari kopilah. Nih..!” kutunjukan keranjang berisi kopi.
“Cepetan balik, mereka udah pada nungguin.”
“Udah lama datangnya?”
“Sekitar setengah jam.” jawabnya.
Kami pun membahas rencana untuk malam ini. Semua rombongan akan makan di rumahku, dan besok setelah sarapan kami akan berangkat ke Sawer. Aku dan Rad juga memutuskan agar para cowok menginap di rumahnya, sedangkan para cewek di rumahku.
[POV Cintung: “Tetep gak mau rugi. Awas aja!”]
Dari Rad, aku tahu bahwa rombongan datang dengan dua mobil, yaitu mobil kampus yang disopiri Pak Ujang, dan mobil keluarga Bu Alya yang disopiri oleh Pak Pur. Yang menggembirakan sekaligus membuatku sedikit bingung adalah kehadiran Callista, Maya, dan Nur. Aku hanya bisa berharap agar ketiga gadis itu bisa rukun selama trip ini. Aku juga harus siap mendapat omelan mereka, karena pesan mereka belum kujawab.
“Yaudah aku ke rumah dulu untuk nyusul bapak.” ujar Rad.
“Sip.” singkatku, dan kami pun berpisah.
Aku pun melanjutkan langkah menyusuri jalan beraspal. Kulihat mobil kampus terparkir di pinggir jalan, depan rumahku, juga Pajero milik keluarga Bu Alya.
Teman-temanku nampak sedang ngopi dan merokok di depan rumah. Saling menyelonjor di atas bale-bale. Pak Pur dan Kang Ujang juga ada di sana. Sesuai kabar dari Bu Alya, Callista dan Maya tidak menyopir sendiri, ia diantar oleh Pak Pur yang sudah tahu jalan.
“PUTING BUDEEEE!!!!” seruku menyapa mereka semua.
“Hidup PUTING BUDE!!!” jawab mereka sambil tergelak.
Kuucapkan selamat datang kepada Pak Pur dan Kang Ujang sambil menyalami mereka.
“Kang.” aku menyalami Adven dan Dirga.
“Hai Mr. Payudara!” kutinju bahu Karma.
“Woi Mr. Areola.” pada Kubus.
“Met datang adek pucuk puting.” kujeplak kepala Nurdin.
Tentu saja teman-temanku tergelak mendengar sapaan-sapaanku, tak terkecuali Pak Pur dan Kang Ujang.
“Akhirnya kalian nyampe juga di kampungku.” kataku pada mereka semua.
“Hehehe… jauh juga ternyata, Wa. Untung kami lewat Cipali.” jawab Karma.
“Kalian ngomong apa tadi?” suara galak dari dalam rumah langsung membungkam kami. Callista muncul sambil berkacak pinggang.
“Hehee..” aku terkekeh.
“Maaf, bu. Eh.. selamat datang di Ewer. Gimana perjalanannya?” lanjutku lagi sambil mengajaknya bersalaman.
Sang dosen menerima jabatan tanganku dengan wajah judesnya, tapi sorot matanya tentu saja berbeda. Ada kangen yang ia sembunyikan.
“Baik.” jawabnya pendek.
“Awas ya kamu.. jangan pake istilah Put… eh.. jangan pernah pake istilah itu lagi.” ketusnya.
“Semoga gak khilaf, bu.”
“Kamu!!!”
Teman-temanku langsung menyembunyikan tawa saat melihatku diomelin oleh sang dosen. Bahkan tubuh si Kubus berguncang sambil menggigit kerah baju.
Mendengar keributan di antara kami, para gadis pun bermunculan. Kusalami Syamida sambil melirik gundukan di balik kaosnya, kusalami Aruna sambil melihat tali beha hitamnya karena ia mengenakan baju berkerah lebar. Kujabat tangan Nur sambil mengucek-ucek rambutnya. Dan…
Tanganku diabaikan gadis yang satu ini. Ia langsung memelukku tanpa malu. Wajah Callista memerah, Nur langsung tercekat tidak senang, sementara yang lain berdehem tidak jelas. Wajahku juga terasa panas karena malu dan salah tingkah. Apalagi ketika kulihat ibu muncul. Ia langsung tercekat sambil menutup mulut.
“May..” hanya itu yang bisa kukatakan sambil melihat malu ke arah ibu.
“Kangeen.” gumam Maya.
Aku yakin kalau tidak ada Callista, teman-temanku pasti sudah meledekku habis-habisan.
“Ehemm…!” Callista berdehem. Ucapnya, “Adek!! Gak boleh gitu, ini di kampung, jangan bikin malu kakak!!”
“Biarin!” jawab Maya sambil menggelendot pada lenganku.
“Nyesel aku ngajak kamu!” ketus Callista.
“Kakaaakkk!!!”
“Kamu udah pulang, nak?” adalah ibu yang membebaskanku dari situasi awkward.
Aku hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala, sedangkan Maya langsung menjauh dengan muka merah padam. Ia tidak menyangka kalau ibuku sudah berdiri di belakangnya.
“Bbbu.” Maya tergagap tanpa bisa berkata-kata.
“Hehehe.. kalian deket ya? Ibu gak nyangka kalian bisa deket, kalau jodoh memang tidak akan kemana. Waktu kecil kalian pernah ketemu, eh malah ketemu lagi di Bandung. Kalian pacaran?”
“Buuuuu!!!” seruku. Ibuku.. hadoooh.. polos banget sih.
Maya memeluk kakaknya untuk menyembunyikan rasa malu, Callista salah tingkah, Nur diam, aku menelan air liur, yang lain malah tergelak dan mulai berceletuk.
“Maafkan adik saya, bu.” ujar Callista setelah bisa menyembunyikan perasaannya.
“Hehe.. gak apa-apa atuh, nak. Ibu seneng kok…” ibu terkekeh, ucapnya terhenti saat kupelototi.
“Bu. Aku dan Maya cuma deket aja kok, gak pacaran. Iya kan, May?” ucapku.
Maya mengangguk sambil mengangkat wajah dari pelukan kakaknya, mukanya masih bersemu merah, tapi sorot matanya tidak sungguh mengamini ucapanku.
“Assalamualaikum.”
“Alhamdulilah yaolooooh.” seruku dalam hati. Hatiku sangat girang saat mendengar salam Pak RT, ayahnya Rad. Sahabatku juga datang bersamanya.
“Wualaikumsalam.” jawab kami serempak.
Fokus teralih pada kehadirannya, dan acara salaman dan saling berkenalan pun mereka lakukan. Ibu mempersilakan Pak RT untuk masuk, dan semua orang pun pindah ke dalam rumah. Sebagai kepala rombongan, Callista tidak berkutik. Ia harus ngobrol dengan Pak RT. Ibu kembali ke dapur untuk membuatkan kopi bagi mereka berdua.
Nur mengambil handuk dan alat mandiku, lalu berjalan ke belakang bersama ibu. Gadis ini memang paling dewasa, perhatiaan dan kepekaannya sering ia tunjukan melalui sikap daripada kata-kata.
Aku kembali turun dari bale-bale, lalu meraih keranjang kopi untuk kusimpan di belakang rumah. Maya membuntutiku.
“Kamu apa kabar, May?” tanyaku sambil memendekan langkah agar Maya menjejeriku.
“Gak baik.”
“Kok?”
“Kan kamunya ninggalin aku.”
“Maaay…!”
“Hihi…!!”
Gadis ini menyolek-colek lenganku seakan gemas. Begitu melewati pohon dukuh, Maya menahan tanganku supaya berhenti.
“Yaaah.. gak berbuah.” gumamnya.
“Kan gak lagi musim, May.”
“Huuum…!!” kecewanya.
Kami sama-sama mengamati pohon itu lalu tertawa bersamaan. Isi pikiran kami sama, mengingat kejadian hampir tiga belas tahun lalu ketika Maya dan kedua orangtuanya mampir ke rumahku sebelum ke Sawer. Kala itu aku memanjat pohon untuk memetik buahnya dan Maya memunguti dari bawah sambil makan sehingga belepotan oleh getahnya.
“Dulu kamu lucu.” ujar Maya sambil mengalihkan pandangannya padaku.
“Sekarang juga.”
“Nggak yaaa. Sekarang mah mesum.” Maya memeletkan lidah.
“Yeee… biar mesum tapi tidak pernah belepotan oleh getah dukuh.”
“Hihi.. kamu tuh..”
Sambil terkekeh kami melanjutkan langkah ke belakang rumah. Kuletakkan keranjang kopi di dalam sebuah gudang kecil bekas kandang kambing.
“Iiiih… lucu banget, Wa.” tiba-tiba Maya berseru.
Ia berlari menuju kandang luwak. Kandang itu masih sederhana yang terbuat dari papan dan ram kawat. Alasnya sengaja menggunakan ram agar kotorannya bisa langsung jatuh ke atas nyiru (tampah) yang diletakkan di bawahnya.
Sebetulnya aku, Rad, dan lima temanku yang lain sedang membangun kandang yang lebih luas, tapi belum selesai karena belum semua sisinya dipasang ram kawat:
Aku hanya tersenyum melihat keasikan Maya. Ia mengeluarkan smartphone-nya dan mengambil beberapa foto.
“Lucu, Wa.” ia berbalik padaku dengan mata berbinar.
“Doakan yah.. biar usahaku lancar.” ucapku tanpa menanggapi ucapannya.
Maya mengangguk riang, lalu ia berjingkat mendekat. Sebuah kecupan ia daratkan pada pipiku.
“Kamu pasti berhasil.” ucapnya sambil mengusap bekas ciumannya pada pipiku.
“Makasih.”
Ingin rasanya aku memeluk gadis ini, tapi aku berusaha untuk tidak melakukannya. Kutahan keinginan hatiku sendiri. Aku dan Maya masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur.
Setelah melihat-lihat tiga pasang luwak dan menunjukan kandang yang sedang dibangun, aku dan Maya kembali masuk rumah melalui pintu dapur. Nampak ibu sedang memotong kangkung dan Nur membantu mengirisi bawang.
Nur melirik cemburu, sedangkan ibu tersenyum menyambut kami.
“Kamu ganti baju dulu, Wa, dan ikut temani Pak RT di depan.” ujar ibu tanpa menghentikan kegiatannya.
“Iya, bu.”
Aku pun melangkah ke dalam kamar ibu untuk ganti pakaian. Kok? Aku sudah memindahkan pakaian ganti karena kamarku akan ditempati oleh Callista dan Maya.
“Aku bantuin, ya bu.” kudengar Maya berujar.
“Eh.. jangan neng. Biar ibu saja. Ini Neng Nur juga malah maksa bantuin ibu, padahal kan kalian masih capek.” jawab ibu.
“Heheh.. gak apa-apa kok, bu.” jawab keduanya.
Mendengar percakapan mereka, aku berganti pakaian sambil tersenyum, rasanya geli sendiri memikirkan ibu dikelilingi dua gadis yang sama-sama menyukaiku.
Setelah merapikan diri, aku kembali ke dapur untuk melihat mereka bertiga.
“Kok malah ke sini lagi? Bukannya nemenin Pak RT dan teman-temanmu di depan.. pacarmu gak akan lari kemana-mana kok.” ibu langsung mengomel sekaligus menggodaku.
“Emang pacarku siapa, bu?” aku pura-pura polos.
“Eh..” ibu malah kebingungan sendiri.
Ia menatap ke arah aku dan Maya bergantian, terakhir menatap Nur. Kedua gadis itu menunduk sambil terus melanjutkan pekerjaan mereka.
“Neng Maya bukan pacarmu yah? Kok tadi peluk-pelukan?” ibu masih keheranan.
“Menurut ibu?”
“Sirna!!” rengut Maya.
“Maaf, bu.” ujar gadis itu dengan malu, lanjutnya, “Aku dan Sirna gak pacaran kok. Kalau di Bandung udah kebiasaan meluk dia karena.. karena…”
“Masih sayang.” Nur mulai berani meledek.
“Nur aaah..” Maya memerah. “Bbukan bu.. Nur mah suka gitu da… itu bu.. karena Sirna suka main ke rumah dan kami udah seperti saudara.”
Nur cekikikan melihat tingkah Maya yang gugup sendiri, aku menggigit filter rokok yang belum sempat kusulut, sedangkan ibu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Kalau kalian sudah seperti saudara, berarti si eneng anak ibu juga donk?” ujar ibu.
Maya mengangguk lucu sambil menatap ibu. Karena dasarnya memang manja, gadis itu langsung memeluk ibu. Ibuku membalas setelah sebelumnya membersihkan tangan dengan mengusapkan pada kainnya.
“Teman-teman Sirna, ya anak ibu juga.” ujar ibu membuat Maya semakin mengeratkan pelukannya.
“Eh..” Nur sedikit kaget saat aku memeluknya dari belakang.
“Yang ini anak ibu juga.” ujarku tanpa mengabaikan Nur yang sedikit meronta.
“Sini, nak.” ibu mengulurkan satu tangan.
Dan jadilah.. tiga wanita yang kusayang saling berpelukan di hadapan mataku sendiri. Sedih, haru, dan bahagia bercampur menjadi satu; tapi segera kusembunyikan sambil berujar: “Kalian beruntung banget sih, baru ketemu langsung dipeluk ibu. Aku aja hanya dipeluk pas mau berangkat ke Bandung dan terakhir minggu lalu ketika baru pulang.”
“Biarin.” ujar Nur.
“Weekkkk.” Maya memeletkan lidah.
Ibu hanya tertawa sambil mengusapi punggung Nur dan Maya.
“Eh.. tapi kalau semuanya anak ibu, lalu siapa yang menjadi menantu?” ibu mengerling ke arahku.
“Dua-duanya, bu.” jawabku sambil berlari ke depan.
“Sirnaaa!!!” dua gadis berteriak di belakang, tapi kuabaikan, lalu bergabung dengan Pak RT, Callista, Rad dan teman-temanku yang lain di ruang depan.
Banyak obrolan yang telah kulewatkan, tapi dari sisa perbincangan yang ada, aku bisa menangkap bahwa Callista sudah menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke Ewer dan Sawer. Sang dosen tak hentinya mencuri pandang, kuyakin ia sangat kangen dan ingin memelukku, tapi ia cukup bisa menyembunyikan itu semua di hadapan yang lain, meskipun tidak bisa berbohong di hadapanku.
Obrolan pun berganti canda dan tawa. Teman-temanku nampak menikmati kunjungan pertama mereka ke kampung ini, sikap sungkan mereka pada sang dosen dan Pak RT mulai cair, berganti senda gurau. Di dapur sendiri mulai terdengar ramai oleh ibu-ibu, pertanda tetangga sudah pada datang untuk membantu ibu memasak.
“Yasudah, kalau begitu bapak permisi dulu, nanti bapak datang lagi untuk makan malam.” ujar Pak RT. Lanjutnya, “Sebaiknya kalian pada mandi dulu ke tampian, sebelum keburu gelap dan semakin dingin.”
“Terima kasih banyak, Pak, atas penyambutannya, sampai bertemu lagi.” jawab Callista sopan.
Sekepergian Pak RT, Kubus merebahkan diri di lantai, Dirga menghabiskan kopi, Nurdin mengeluarkan smartphone, Karma dan Rad menyatut rokok masing-masing, tapi…
“Kalian gak dengar apa yang dibilang Pak RT? Mendingan pada mandi dulu!”
Semua aktivitas terhenti, semuanya kembali duduk dengan tegak. Aku terkekeh melihat sikap mereka, sekaligus geleng-geleng kepala ketika menyaksikan Callista yang masih menggunakan powernya sebagai dosen.
“Halaaah.. sudah.. sudah.. gak usah takut ama kepala Puting Bude, ini kan bukan dikampus.” celetukku.
Beeeeffff…!!! spontan wajah tegang teman-temanku berubah menjadi gumaman menahan tawa, tak kecuali Syamida dan Aruna.
“Wadaaaauuuu…!!!” jeritku saat telingaku mendapat jeweran.
Semua yang ada pun sudah tak bisa membendung tawa mereka. Suasana menjad riuh, sedangkan Callista mendengus kesal. Meski begitu, wajahnya sudah tidak segalak tadi. Senyumnya mengembang sambil melihatku yang sedang mengusapi kuping.
“Kalian itu.. hadoooh… sudah.. sudah.. bubar. Hayo pada mandi.” nada suaranya berubah, bukan sebagai seorang dosen, tapi sebagai seorang teman.
“Nah gitu donk, bu.” ujarku.
“Cieee.. ibu udah berubah.” seru Adven dan Dirga.
“Bodo…!!!” Callista pura-pura ngambek sambil berjalan keluar rumah untuk menemui Pak Pur dan Kang Ujang yang sedang merokok di halaman.
Tawa pun semakin pecah, membuat Maya dan Nur datang dari dapur.
“Ada apaan sih?” Maya kepo.
“Kepala Puting Bude ngambek.” ujarku disambut gelak tawa.
Nur menjewerku, Maya menyubitku, Aruna menimpukku pake rengginang, Syamida tersenyum mesum. Aku teraniaya, sedangkan teman-temanku kian terbahak.
Setelah keseruan keciln ini, akhirnya semua orang beranjak untuk mengambil tas masing-masing di dalam mobil. Rad langsung mengajak para cowok ke rumahnya, sedangkan aku menunjukan kamar bagi Aruna dan Syamida. Mereka akan tidur sekamar bersama Nur di kamar tamu; aku sudah menyiapkan kasur tambahan hasil meminjam dari tetangga. Callista dan Maya memakai kamarku, sedangkan aku mah gampang, bisa tidur di mana pun.
“Kakak ayo mandi.” Maya memanggil Callista yang masih di luar.
“Kalian duluan aja, kakak masih mau lihat-lihat.” jawabnya.
“Kakak…!!!”
“Iiiih.. apaan sih.. kakak nanti, bentar lagi.”
“Huuuh…!!!”
Maya, Nur, Syamida dan Aruna beriringan menuju tampian sesuai arah yang kutunjukkan. Aku mengantar mereka sampai depan rumah.
“Jangan saling ngebandingin.” seruku membuat mereka semua menengok sambil melotot.
“Wawa iiih…” desisan pelan terdengar dan cubitan kecil mendarat pada lenganku.
Tanpa menjawab aku menuntun tangannya ke dalam rumah. Kami berdua membereskan gelas bekas kopi dan membawanya ke dapur.
“Sirna kamu gimana sih? Bukannya kamu beresin sendiri, malah nyuruh si eneng.” ibu langsung ngomel.
“Ibu gimana sih? Ini kan aku juga beresin..”
“Iya tapi..”
“Hehe.. udah gak apa-apa kok, bu. Aku udah biasa.” Callista memotong sambil meletakkan baki di atas meja, lalu menyalami tiga orang tetangga yang sedang membantu.
“Makasih, nak.” ujar ibu, tapi matanya mendelik ke arahku.
“A-nak-ibu.” aku membuka mulut tanpa suara, membuat ibu terbelalak sambil menggelengkan kepala. Kalau tidak ada tetangga mungkin ia akan menanyakan hal yang sama: lalu siapa yang menjadi anak mantu?
Callista sudah mau membantu memasak, tapi ibu menolak dan melarangnya. Ia malah memaksa gadis itu supaya segera mandi sebelum keburu gelap. Aku dan Callista pun kembali ke depan, ia masuk kamar sambil menarikku.
“Wawa iiiih… Hiks hiks…” tiba-tiba ia memelukku sambil menangis tersedu.
“Calls, kok nangis?”
“Kangeeeen.. hiks hiks…”
Aku tidak menjawab, kubalas pelukannya sambil mengusapi punggungnya. Kini aku mengerti mengapa ia tidak mau pergi mandi bersama yang lain, rupanya ia mencari kesempatan agar bisa berdua seperti ini.
Dekapannya sangat erat, bagaikan anak kecil yang baru ketemu ayah atau ibunya. Isaknya masih terdengar.
“Udah donk, Calls, sekarang kan udah ketemu.” bisikku.
“Tapi akunya udah pengen meluk kamu dari tadi, udah kangen banget. Mana jahat lagi.. bukannya kamu yang jemput ke desa, malah nyuruh Rad.” ia mulai merajuk.
“Tadi aku nyari kopi, Rad kan bikin kandang luwak jadi lebih gampang kalau dia yang jemput.” aku menjelaskan.
“Kangeeeeen!!!!” ia mengabaikan ucapanku sambil memelukku erat, tanpa peduli pada payudaranya yang terhimpit; dan sangat empuk kurasakan.
“Baru juga gak ketemu seminggu.” ujarku sambil mengecup kepalanya.
“Aku gak mau jauh dari kamu. Seminggu itu lama tauuuu…!!!”
Callista mengangkat kepalanya dan menatapku. Air matanya masih meleleh. Kulepas pelukanku dan kuusap pipinya. Gadis ini memejamkan mata untuk menikmati sentuhanku. Ingin aku mengecupnya, tapi terdengar suara langkah yang mendekat. Pelukan pun terlepas dan Callista langsung pura-pura membuka tasnya untuk mengeluarkan handuk dan alat mandi.
“Wa, kok kamu ada di kamar si eneng. Pemali atuh.” ibuku langsung mengingatkanku.
“Itu bu.. anu.. Calls.. Callista..”
“Kangen. Ooops…” gadis itu tanpa sadar meneruskan ucapanku.
Ia langsung berdiri tegak kaku, ibu terbelalak. Ia menatapku penuh tanya. Baru beberapa jam kedatangan tamu, ia sudah dibingungkan oleh sikap tiga orang gadis yang tak lagi sungkan menunjukkan kedekatannya denganku.
Aku maju dua langkah untuk memeluk ibu yang berdiri di depan pintu, bisikku, “Doakan aku, ya bu.”
“Apa?” ia kembali berbisik.
“Agar yang ini bisa jadi mantumu.”
Ibu menjawab dengan cubitan kecil lalu mendorongku pelan.
“Calls sinih.” aku memanggil Callista yang masih mematung malu.
“Sini, nak.” kali ini ibu yang memanggilnya.
Setelah dekat, ibu langsung memeluk Callista dan mencium kedua pipinya. Berpelukaaann…!!! Itulah yang mereka lakukan setelahnya.
“Yaudah kamu siap-siap dulu untuk mandi, nak. Wa, kamu anter si eneng, dan awas jangan mesumin anak orang.” ujar ibu ketika pelukan mereka terlepas.
“Sirna suka mesum, bu.” Callista sudah tak malu menunjukan sifat aslinya. Ia merajuk dan mengadu.
“Hah? Bener itu, Wa?”
“Eh.. ng.. nggak, bu.”
“Mesum!!” Callista masih belum puas.
“Dasar kamu tuh!!! Bapak dan anak sama aja!!! Siniiih…!!!” ibu pura-pura marah sambil mengulurkan tangan untuk menjewerku.
“Jangaaaaan, bu. Kasiaaan…” Callista menghentikan ibu dengan wajah memelas.
Tapi ibu tidak mau mengalah, membuat kedua wanita itu saling mendorong sambil cekikikan. Aku hanya terpaku melihat sikap mereka, rasa bahagia langsung menyeruak.
“Ntunks, boleh? Pleaaase!!!” aku membatin memanggil sebuah nama.
“Hadoooh, Wa. Jangan, Wa.” hatiku seakan berkata sendiri mewakili kehadirannya
“Pleaaase.!!!”
“Skenarionya tidak seperti itu, Wa.”
“Kali ini aku mohon. Kamu sudah memilihku untuk membangkitkanmu, dan aku tidak meminta apa-apa selain yang satu ini.”
“Hadeeeuuh.. baiklah, Wa. Kuberi tahu kamu.. lihat tuh bulan… purnama tinggal tiga hari lagi. Kukabulkan untuk tidak menjadikan Callista sebagai gadis ritual. Tapi apakah kalian berjodoh atau tidak itu bukan urusanku.”
“Makasih, Ntung.”
“Wawa kok bengong…?” suara Callista menyadarkanku, ia sedang menggelendot dalam pelukan ibuku.
“Hehe…” kekehku.
“Iiih.. Wawa.. kenapaaa?”
Aku menatap ibu dan Callista bergantian. Jantungku berdegup, dan kedua telapak tanganku tiba-tiba basah.
“Wa?” ibu keheranan melihat perubahan sikapku.
“Eheeem…” aku berdehem sambil mengepalkan kedua tangan.
Kedua pasang mata menatapku heran.
“Bu..”
“Calls..”
Degup jantungku makin kencang. Tanpa melepaskan pelukan, Callista menatapku sambil mengernyit. Pun pula ibu.
Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya kencang, kugigit bibirku sendiri. Aku benar-benar tegang, restu Cintung malah membuatku gundah sendiri.
“Bu.. aku mohon restu…”
Dug dug dug…!!!
“Calls, maukah kamu menjadi menantu ibu?”
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar