Cincin dari masa lalu part 50

 

BAB 50








Tepat jam lima sore aku tiba di halaman sebuah rumah di kawasan elite daerah Dago Atas. Sebuah rumah dengan gaya modern tanpa pagar halaman. Kucek hapeku untuk memastikan bahwa ini adalah alamat yang Bu Mae berikan. Setelah yakin, kumatikan mesin motorku dan melangkah menuju pintu.




Belum juga aku menekan bel, pintu sudah terbuka.




“Hai, Wa.” sapanya.




Aku tertegun. Sebuah wanita montok dengan pakaian hijab menyambutku. Tidak banyak pulasan make-up tebal pada wajahnya, membuat kecantikan alami memancar. Bibirnya yang tebal hanya dipulas lipstik tipis, pun pula pipinya hanya dioles bedak cerah yang membuat kulit wajahnya nampak bersinar.




“Heiii.”


“Ehh.. maaf, bu.” gugupku sambil mengulurkan tangan.




Kutepis pikiranku yang tiba-tiba mengingat saat kami berciuman di kantornya. Ciuman terindah yang pernah kurasakan, melebih ciuman dengan kedua wanita ritualku.




Dan sentuhan tangan ini membuatku meremang, bukan hanya karena halus kulit tangannya, tapi karena semacam ada energi dan aliran listrik yang menggugah debar jantungku.




Wanita ini seakan mengerti akan apa yang kurasakan, tanpa berniat membuatku malu. Segera ia melepaskan jabatan tangannya sambil berkata, “Masuk yuks, selamat datang di rumah ibu yang sederhana ini.”




Aku mengangguk sambil tersenyum mendengarnya. Aku yakin ia hanya mencoba mencairkan suasana, bagaimana mungkin rumah mewah ini disebut sederhana.




Setelah melewati ruang tamu, Bu Mae langsung mengajakku menuju ruang keluarga disambut oleh seorang paruh baya yang kukira adalah pembantunya.




“Mbak, bikinin kopi yah.” ujarnya kepada wanita itu.


“Baik, bu.” jawabnya.




Ia urung melangkah saat aku mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. Meski terlihat sungkan pada Bu Mae, ia menyambut tanganku.




“Saya Sirna, mbak.”


“Rutin.”


“Apanya yang rutin, mbak?” tanyaku polos.


“Eh.. nama saya Rutin, mas.” sambil tersipu.


“Maaf, hehehe.” aku terkekeh diikuti oleh Bu Mae.




Mbak Rutin pun mengangguk menuju dapur, sedangkan Bu Mae mempersilakanku duduk. Posisi kami berhadapan.




“Kok sepi, bu?” aku berbasa-basi sambil memberanikan diri menatapnya.


“Iyah.. anak-anak diajak neneknya ke rumah Tiurma, sedangkan Kang Raka pergi nongkrong bareng Ardan, Ilham dan Jaka. Jaka kemaren datang bareng mamah (mertuanya).” jawab Bu Mae.




Kami pun ngobrol ringan seputar keluarganya dan juga keluarga besar Sawer. Tanpa kuminta ia menceritakan bahwa Tiurma hampir saja kerampokan beberapa minggu yang lalu. Mendengarnya, aku pura-pura kaget dan menanyakan banyak hal tentang kejadian itu.




“Hehe.. kamu ituh…” gumamnya nanggung karena Mbak Rutin datang membawa nampan berisi kopi dan kue.




Obrolan pun berhenti, diganti oleh Bu Mae dan Mbak Rutin yang mempersilakanku minum. Dengan malu-malu aku pun menyeruput kopi dan mengambil kue.




“Emangnya ibu tidak tahu.” ujar Bu Mae, sesaat setelah Mbak Rutin kembali ke dapur.


“Eh.. maksud ibu?” heranku.


“Makasih, ya Wa.” ia mengabaikan keherananku.


“Bu?”


“Halaaah kamu itu. Sudah.. sudah… jangan pura-pura.” jawabnya sambil mengibaskan tangan.




Aku tidak menduga akan hal ini. Bu Mae sepertinya sudah tahu tentang lelaki misterius itu.




“Baiklah, Wa. Kalau memang identitasmu tidak mau diketahui oleh keluargaku, ibu tidak keberatan, dan ibu tidak akan cerita kepada siapapun. Cukup kita berdua yang tahu.” Bu Mae lagi-lagi seakan bisa membaca pikiranku.


“Makasih, bu.” jawabku, kini sudah tak ada lagi yang harus kurahasiakan dari wanita ini.




Tik tok tik tok.




Suasana menjadi hening, seakan kami kehilangan bahan percakapan, padahal dalam diriku sendiri banyak hal yang ingin kusampaikan. Hanya sekali-kali terdengar Bu Mae menyuruhku minum dan memintaku agar jangan sungkan, sisanya hanya diam sambil saling berbagi lirikan.




[POV Mae: “Aku tidak ingin mengkhianati suami dan anak-anakku, tapi semuanya ini harus diselesaikan, apalagi mamah sudah memberi restu. Dek, maafkan mbak. Mbak sudah bertekad untuk melanjutkan apa yang kamu batalkan.”]




“Hmmm.. maaf, bu. Maksud ibu meminta saya menemui ibu apa, yah?” tanyaku pada akhirnya.




Bu Mae tidak menjawab, ia berdiri menghampiriku sambil melirik ke arah dapur.




“Temani ibu makan malam, tapi sebelumnya kita jalan-jalan dulu.” jawabnya.




Bu Mae meraih tanganku dan menggenggam erat. Tatapannya teduh dan begitu dekat. Aku hanya bisa melongo, tepatnya terpesona, mendapat perlakuan seperti ini. Jantungku berdebar, dan telapak tanganku yang ia genggam terasa tiba-tiba dingin.




“Ibu dandan dulu, baru kita pergi.” bisiknya sambil merunduk.




Bulu kudukku merinding. Aku benar-benar gugup mendapat perlakuan wanita cantik ini. Bukan hanya soal perkara cantik, tapi di dalam dirinya seakan tersimpan sebuah aura yang aku sendiri sukar menggambarkannya. Wanita ini begitu berwibawa penuh keibuan, punya kharisma mistis yang menggetarkan, tetapi juga lembut dan sorot matanya menyembunyikan sisi manja.




“Bbbu…”




Panggilku gugup saat ia hendak menjauhiku, kutahan tangannya. Bahasa tubuh dan kecamuk perasaan sangat berbeda. Rasaku lega karena ia menjauh, tapi tangan ini seakan tidak menginginkannya.




Bu Mae menatapku dengan dahi sedikit mengkerut seakan mau menanyakan apa yang hendak kusampaikan.




“Maaf.” jawabku tersipu, kuurungkan untuk memintanya sesuatu.


“Katakanlah..” Bu Mae masih penasaran, dan tangan ini masih bertautan.


“Ssa.. saya..”


“Pake “aku” juga gakpapa, kok.” senyumnya begitu manis.


“Kamu mau bilang apa tadi?” lanjutnya lagi mendesak supaya aku jujur.


“Ssaya.. itu.. aku.. maaf..”


“…”


“Aaku.. ingin agar.. agar.. ibu jangan dandan lagi. Udah cantik seperti ini.”




Meski tergagap, kata-kata kurang ajar dan tak sopan ini tercetus juga. Aku sudah siap mendapat omelannya, tapi yang kusaksikan malah senyum dan belalak matanya. Bibirnya sedikit terbuka.




“Kamu yakin, sayang?”




Jedeeeeeerrrrr!!! Dug! Dug!!!


Fiuuuuh…!!!




“Bbbu..?”




Bu Mae menatapku tajam, tapi sorot matanya teduh. Nafasnya sedikit tesengal dan menelan air liur. Sesaat ia melirik ke arah dapur.. merunduk… dan…




Cuuuuup!!!!




Bibir basah itu mendarat pada pipiku. Tubuhku seketika kaku dengan jantung berdebar. Kecupannya singkat dan bibirnya sudah tak lagi menempel. Tapi ia tidak menjauh, nafasnya menerpa pipiku.




Cuuuuup!!!!




Ia kembali mencium pipiku, kali ini agak lama, membuatku kian meremang. Tanpa sadar, tangan ini meremas jemarinya.




“Yaudah kalau maumu seperti itu. Kita langsung jalan aja sekarang ya.” bisiknya dengan nafas masih menerpa wajahku. Aroma harum tetap tercium.




Bu Mae berjingkat menuju kamarnya, meninggalkanku yang sedang mematung. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya kencang. Kuusap bekas kecupannya dengan tangan sedikit gemetar. Kata-kata “sayang”nya masih terngiang.




Tak lama kemudian, Bu Mae kembali muncul sambil membawa tas tangan dan menenteng kunci mobil.




“Biii…!!” ia memanggil Mbak Rutin.


“Iya, bu?” wanita itu muncul tergopoh sambil mengelap tangan. Bajunya sedikit basah membuat behanya tercetak. Mungkin ia sedang nyuci di dapur.


“Aku pergi dulu bareng Sirna. Bibi jaga rumah ya. Anak-anak kayaknya akan nginap, aku dan bapak nanti pulang agak malaman.” ujar Bu Mae.


“Baik, bu.”


“Mbak, saya permisi dulu.” aku ikut pamitan sambil mengulurkan tangan. Mataku terpaku pada dadanya yang meremangkan belahan payudaranya.


“Iya, mas.” jawabnya sambil tersipu karena menyadari objek mataku.




Aku membuntuti Bu Mae meninggalkan rumah di bawah pandangan Mbak Rutin yang tetap mematung. “Semoga Cintung tidak datang ke sini dan ngelonin Mbak Rutin.” batinku.




Aku pun menaiki mobil dan duduk di samping Bu Mae yang sedang menyalakan mesin. Sejenak ia melirik ke arahku sambil tersenyum. Kubalas senyumnya sambil tersipu. Beberapa saat kami saling menatap. Tangannya mengambil tanganku, dan membawanya ke wajahnya. Kecupan lembut ia berikan pada punggung tanganku.




Aku mulai terbiasa dengan sikapnya, debar jantungku sudah tidak sekencang tadi. Dan.. mobil pun melaju meninggalkan pekarangan, tak sedikit pun aku ingin mencari tahu kemana ia akan membawaku. Berdua seperti ini sudahlah cukup, aku seketika merasa nyaman berada di dekatnya.




Sepanjang perjalanan kami hanya melakukan percakapan ringan. Tentang jalanan.. tentang motorku.. tentang Maya dan Callista.. juga jualan martabakku. Ia juga sedikit menanyakan tentang rencana usaha kopi luwak yang sedang kurintis. Ia terbahak saat aku keceplosan menyebut Puting Bude yang Callista pimpin.




Aku semakin nyaman dan betah berada di dekatnya, bahkan ia sudah tak malu menunjukan sisi lain pribadinya yang kadang merajuk manja. Karena asiknya.. aku malah tidak tahu ke mana kami sedang menuju.




Bu Mae membelokkan mobil melewati jalan bertanah dan berhenti di tengah sebuah perkebunan palawija. Hamparan kota bandung senja hari membentang indah di bawah sana. Bu Mae mematikan lampu mobil tanpa mematikan mesin.




Sesaat kami saling terdiam sambil menikmati pemandangan kota, entah siapa yang mulai, tangan ini sudah saling menggenggam. Saling meremas lembut pun kami lakukan. Jantungku kembali berdesir, bersentuhan dengannya selalu membuatku seperti ini.




“Maaf kalau aku membawamu ke tempat seperti ini. Aku takut kalau mengajak jalan-jalan ke mall atau ke tempat umum, takut bertemu dengan para kenalan.” ucapnya sambil menengok ke arahku.


“…”


“Kok diam?”


“Bingung, bun.”


“Bun? Bunda?”


“Hehehe… iyah. Maaf…”


“Aku suka kok dipanggil bunda. Kenapa?”


“Nggak tahu.. hehehe.. enak aja manggilnya.”


“Dasaaar. Tadi ngelarang aku dandan, sekarang manggil bunda.”




Dan terjadilah… tiada lagi panggilan formal di antara kami. Ia menyebut dirinya “aku” dan aku memanggilnya bunda.




Klikkk!!!




Ia melepas kaitan safety belt-nya, lalu memiringkan tubuh, dan menumpangkan kepala pada bahuku. Menyadari bahwa aku hanya mematung kaku, ia mengambil tanganku dan menumpangkan pada bahunya. Ia menggerakkan tanganku membuat gerakan mengusap. Aku mengerti, kuusapi puhu lenganngannya. Setelah tanganku bergerak sendiri, ia melepaskan tangannya dan berpindah memeluk pinggangku. Tentu saja tidak kesulitan, karena aku sudah terlebih dahulu melepaskan safety belt.




Bagai sepasang kekasih, kami saling merangkul mesra sambil menikmati indahnya pemandangan senja. Sebuah kemesraan dalam diam, tapi mengabarkan banyak rasa. Awalnya tidak mudah bagiku, mengingat aku sangat menghormatinya, apalagi bayangan Callista, Maya dan Nur kadang-kadang berkelebat; tapi lama-lama wajah mereka tergantikan oleh wanita ini. Kini adaku hanya aku dan Bu Mae yang semakin membenamkan kepalanya ke dalam pelukanku.




Tanpa ia katakan, aku bisa merasakan bahwa ia telah melewati masa sulit untuk bisa sampai seperti ini. Tidak mudah pula baginya, untuk memanjakan diri dan bermesraan dengan pemuda yang baru ia kenal sepertiku. Jelas, ia adalah wanita terhormat dan setia. Namun batin kami seakan saling memberi tahu, bahwa ini semua harus dilakukan demi sebuah misi.




Kepekaanku berlipat saat bersamanya seperti ini. Aku seakan sedang “sekolah” pada wanita ini tentang bagaimana mengolah perasaan dan menajamkan kepekaan. Jadilah.. aku tak lagi sungkan atau ragu, kubalas pelukannya dalam diamku.




“Aku sudah menceritakan semuanya pada mamah, Wa. Eh.. say…” gumamnya sambil mendongak.




Sorot mata kami beradu mesra, saling mencumbu dalam binar yang penuh perasaan. Dengan wajah berdekatan dan nafas saling menghembusi wajah pasangan, ia melanjutkan, “Awalnya aku takut dan tidak mau menyakiti suami, anak-anak juga keluargaku.. tapi malah mamah yang mendorongku untuk meneruskan apa yang Senja batalkan. Aku harap kamu mau menjaga rahasia ini, dan kamu juga tidak ragu untuk melanjutkan ritual. Jangan sia-siakan pengorbananku, juga pengorbananmu pada gadis yang kamu sayangi.”




Aku mengangguk sambil mendekatkan bibir. Sorot matanya mulai redup dan bibir sedikit terbuka.




“Sebelum kamu membangkitkan Sawaka, dan kita menjalankan ritual untuk mempersatukan Sawaka dan Mantili, aku ingin kita menjalin kedekatan. Aku perlu membiasakan diri dekat denganmu, karena tanpa seperti ini aku tidak akan bisa tidur denganmu saat ritual nanti.” ujarnya setengah berbisik karena bibir kami sudah kian dekat.




[POV Mae: “Sudah takdirku untuk melakukan ritual denganmu, Wawa sayang, karena pelanggan martabak memilihku untuk tidur denganmu, bukan Bu Alya.”]




Kuurungkan niat untuk mengecup bibirnya saat mendengar suara hatinya. Kuubah posisi dudukku sambil memindahkan kepalanya pada dadaku. Ia beringsut setengah berbaring dengan wajah tengadah. Kusangga punggung dan kepala belakangnya. Cukup kesulitan karena terganjal perseneling, tapi selalu ada cara untuk berbuat yang enak-enak.




Matanya redup, bibirnya terbuka, dan nafasnya tersengal, sama seperti nafasku. Aku merunduk, dan kuabaikan maunya, kukecup keningnya bukan bibir-merah-merekah-basahnya. Ia mengernyit sambil mendesah halus.




Kutempelkan ujung hidung kami tanpa pula mengecup bibirnya.




“Cintung belum menunjukkan siapa gadis itu. Padahal satu purnama -sejak pergumulan dengan wanita keduaku- sudah berlalu.” bisikku.


“Kita nantikan saja.” jawabnya sambil menggeliat dan mendekatkan bibir, tapi segera kuberi jarak.




Aku sudah sangat yakin, wanita ini akan menjadi milikku saat ritual nanti. Masyarakat *************************************************************** yang menginginkannya. Tanggal empat sudah mendekat dan hasil votes sepertinya tidak akan berubah. Kini aku tinggal menunggu gadis ritual ketigaku untuk membangkitkan Sawaka, dan setelahnya aku akan beritual dengan Bu Mae untuk menjodohkan makhluk itu dengan Mantili pasangannya.




Membayangkan tubuh montok dan sintal Bu Mae, membuat sekujur tubuhku meremang. Bahkan si jago pun ikut-ikutan menggeliat.




“Bun..” panggilku pelan.


“Sayang..” lirihnya.




Srrrrrr…!!!




Hatiku berdesir-desir. Ujung hidung kami semakin menekan, lalu terlepas saat kami sama-sama memiringkan wajah. Matanya sudah sepenuhnya tertutup. Bibirnya terbuka dengan nafas tersengal, dadanya naik turun membuat kedua payudaranya yang besar menggunung tampak menggiurkan.




Sangat lambat aku mendengat… dan bibir ini saling menempel… ya hanya menyentuh tipis. Tapi sudah cukup membuat kami sama-sama bergetar. Beberapa detik lamanya kami seperti ini, sampai akhirnya…




Kecupan kuberikan, dan ia menyambut. Seketika ia meremas rambutku dan melumat bibirku. Indah.. terasa indah… manis… tercecap manis… kami saling mengecup dan mengecap.. kami saling mengulum dan melumat. Tubuhnya gelisah, demikian juga aku. Lupa pada segala.. kami kusyuk dan masyuk dalam cumbuan yang semakin dalam dan dalam.




“Mmmmh…” lenguhnya saat ujung lidah kami bertemu. Nafasnya terengah dan remasan-remasannya semakin kuat.




Kami saling menggelitik dan menjelajahi rongga mulut. Kurasakan bukan hanya mulut dan bibirnya yang basah, tapi wajahnya mulai lembab karena keringat. Apa yang kami pendam, apa yang kami redam dan tahan, kini membuncah. Saling lumat penuh gairahpun saling kami berikan.




“Sayang…” rintihnya saat mulut kami terpisah untuk mengambil nafas.


“Bunda sayang…” aku mendesah sambil kembali merunduk.




Panggilan sayang yang kuucapkan untuk pertama kalinya, membuat matanya terbuka dan berbinar. Gemas ia mengejar kembali bibirku dan kusambut dengan lumatan. Tanganku mulai berani menusapi punggungnya, berpindah pada perutnya.




“Mmmmh…” lenguhnya saat tanganku tiba pada payudaranya.




Tangannya menahan pergelanganku.




“Hasssh… hashhh.. ssssshhh…” ia menjauhkan wajah. Bibirnya basah karena bekas pertukaran air liur.


“Aku takutnya gak tahan menunggu ritual.” ucapnya manja.


“Boleh kita melakukannya sebelum itu?” tanyaku sambil menahan birahi yang tiba-tiba menguasai diri.


“Hmmm… boleh sayang, tapi jangan sekarang. Kita lakukan setelah tahun baru.”




Aku mendengus kecewa, tapi memang seharusnya begitu, pergumulan pertama akan sangat indah kalau dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat, bukan di dalam mobil seperti ini.




Kukecup kembali bibirnya dan saling melumat, kini ia sudah tak menolak ketika aku meremas kedua payudara dari balik gaunnya. Erangan panjang ia kabarkan dengan tubuh bergetar. Ia orgasme tanpa persetubuhan.. ia banjir membasah hanya melalui ciuman dan remasan. Sementara penisku bergetar meminta penuntasan.. tapi aku harus bersabar menerima kentang ini… akan kutagih janji Bu Mae, setelah tahun baru nanti.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar