BAB 49
Satu purnama sudah berlalu semenjak ritual keduaku dengan Bu Ratih, tapi tanda-tanda ritual ketiga belum ada. Cintung malah menghilang, mengirim pesan pun tidak.
Sementara itu, Nur sudah tidak lagi menyembunyikan rasa sayang dan perhatiannya, Callista masih manja seperti biasa, Maya sekali-kali masih memintaku menemaninya tidur meskipun itu hanya melalui telpon. Begitulah.. aku hidup di antara lingkaran tiga bidadari yang penuh kasih sayang dan perhatian. Tapi hanya sebatas itu, aku tidak mau lebih, meskipun hatiku sudah memilih satu di antaranya. Sedangkan untuk urusan kantong semar, selalu ada Bu Ratih yang mau menguras dan mengosongkannya.
Atas jasa Nur, Callista menyetujui proposal yang kami ajukan. Puting Bude setuju untuk melakukan studi banding ke Sawer dan survey ke Ewer selama lima hari, tiga hari di Sawer dan dua hari di Ewer. Itu akan kami lakukan saat liburan semester nanti. Rencananya aku akan mengajak Maya juga, sekalian bernostalgia karena ia pernah ke sana.
Aku sudah menghubungi Pak Ega, ketua RT sekaligus sesepuh Sawer, dan ia menyanggupi untuk menerima kami dan menyediakan tempat tinggal. Sedangkan selama di Ewer rombongan akan menginap di rumahku dan rumah Pak RT, yang adalah ayah Rad sendiri.
Dan kini…
Aku menyusuri lorong kampus meninggalkan kelas, setelah pamitan pada Nur dan teman-temanku. Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang turun melalui tangga untuk umum, aku memilih menyusuri sisi lain gedung, menuju tangga lain. Memang lebih jauh dan memutar, tapi kupilih melewati jalur ini karena hari ini aku belum melihat Callista.
Pintu kantornya terbuka, dan nampak ia sedang duduk di depan layar komputer. Tapi tidak ada pergerakan, tangannya diam dan tatapannya kosong. Ia nampak sedang melamun. Selalu saja begitu, melamun adalah kebiasaannya saat menyendiri.
“Selamaat siang, bu.” sapaku sambil melongok.
Ia nampak sedikit terkejut tapi berhasil menguasai diri. Perlahan ia melirik ke arahku, dan tatapan kami beradu selama beberapa saat lamanya. Sorot mata Callista yang kulihat di sana, bukan mata seorang dosen yang disegani. Sendu dan manja.
“Ada yang ada bisa saya bantu?” tanyanya. Nada suaranya terdengar formal, berbeda dengan sorot mata dan raut muka.
“Maaf, bu. Apakah ibu ada waktu?”
“Iya. Ada apa yah?”
“Maukah ibu mengajak saya makan, bu?”
“Hei.. kamu jangan kurang ajar ya!” hardiknya.
“Hehee.. maaf, bu. Saya hanya ingin menyuapi ibu, itu pun kalau ibu tidak keberatan.”
“Oohh.. tentu saja saya sangat keberatan!”
“Baiklah kalau begitu, bu. Saya permisi, maaf sudah mengganggu.”
Aku mengangguk hormat sambil memberinya seulas senyum, tanpa menunggu jawaban aku langsung melangkah meninggalkan ambang pintu.
“Wawa iiiih…” teriaknya dari dalam.
Aku mendoyongkan badan ke belakang untuk melihat ke arahnya.
Tampang cemberut pun sudah ia pasang.
“Iya, bu?”
“Nye.. be.. liiiiin.” gerutunya.
Dan kedua pipinya langsung mengembung, membuat bibir seksinya terdorong manyun.
“Jadi ibu mau mengundang saya, makan?”
“Ngaaak!!!”
“Kalau saya yang beliin makan buat ibu dan saya bawa ke sini?”
“Tetep nggak!!!”
“Calls, makan bareng yuks, mau aku beliin dan kita makan di sini?”
“Mauuuu…” serunya riang.
Wajahnya tak lagi ia cemberutkan, caraku mengubah panggilan membuat ia senang. Callista langsung keluar dari balik mejanya untuk menghampiriku. Tapi ia tidak meraih tas ataupun smartphone-nya yang tergeletak di atas meja, pertanda tak ada niat pergi bersama.
Ia melongok melewati tubuhku, melihat selasar depan kantor. Begitu tahu keadaan sepi, ia langsung menarikku dengan keras sehingga tubuhku terhuyung memasuki ruangan. Callista menutup daun pintu lalu bersandar di baliknya. Mata bulatnya berputar, sedangkan tangannya meraih ujung rambut dan menempelkan pada bibirnya.
Aku menggeleng gemas melihatnya, kuulurkan tanganku untuk mengundang pada pelukan. Gadis itu menggeleng sambil memutar-mutar rambut. Kuangkat alis meminta keyakinan bahwa ia memang sedang tidak ingin kupeluk. Ia masih terus menggeleng, kali ini sambil menyatukan kedua tangan dan jemarinya saling meremas.
Aku tersenyum, sikapnya benar-benar menggemaskan. Inilah yang tidak pernah bisa kulupakan, sekaligus kurindukan saat aku sedang tidak bersamanya. Tanpa ijin, kuraih bahunya dan kutarik ke dalam pelukanku. Kedua tangannya langsung menyilang pada dadanya membentuk huruf “X”, dan terhimpit di antara dada kami berdua.
Kukecup pelipisnya lembut dan aku langsung bisa melihat pori-porinya meremang. Tubuhnya seakan menggigil. Kudekap erat sambil kembali menciumnya, kali ini pada kepalanya.
Kurasakan tangannya bergerak, tidak lagi menyilang, tapi mengatupkannya pada dadaku. Kuyakin ia bisa merasakan debaran jantungku.
“Boleh?” bisikku.
“Ng.. ng…” jawabnya dengan pipi memerah.
“Boleh gak?” aku semakin menggodanya.
Kini wajah kami berhadapan dekat. Ia tidak menjawab, tidak juga menggeleng. Hanya saja bibirnya sedikit terbuka dengan nafasnya yang sedikit tersengal. Kupindahkan sorot mataku pada bibir bawahnya yang tebal. Sengaja kuhembuskan nafas sebelum akhirnya mendekat. Sorot matanya berubah redup dan sayu, meskipun tak sepenuhnya menutup.
Kini nafas kamu sudah saling beradu, dan jarak bibir kami tinggal hitungan mili.
Bibirnya semakin terbuka ketika aku semakin mendekat.
Cuuuuuuppp!!!!
Dengan cepat aku menggerakan wajah dan mencium tepi bibirnya. Desah nafas berat pun langsung ia hembuskan, segurat kecewa nampak terlintas karena aku urung mengecup bibirnya.
“Wawaaa…” ia merengut, matanya berkaca-kaca.
Pukulan-pukulan kecil pun mendarat pada dadaku. Dan.. ia memonyongkan bibirnya pertanda sebal dan kesal. Sebetulnya inilah yang kutunggu, aku sangat menyukainya, maka tanpa aba-aba aku langsung mengecupnya. Seperti biasa, keningnya langsung mengkerut dan tubuhnya bergetar. Bibirnya langsung berubah pucat.
Cuuup!!!
Kukecup sekali lagi, kali ini langsung menempelkannya dan membuat gerakan mengulum. Callista benar-benar seperti lemas, tangannya berpindah pada leherku. Kusangga bahu dan pinggangnya.
Kubasahi bibirnya dengan ujung lidahku, membuat ia kian bergetar. Balasan pun mulai kurasakan. Kami saling mengecup lembut dan mengulum basah.
Tok! Tok Tok..!!!
Kemesraan dan syahdunya ciuman harus berakhir saat kudengar ketukan pada pintu. Aku langsung berjingkat duduk pada kursi, sedangkan Callista menuju rak buku di sampingku.
“Masuk!!” tegas Callista, ia bisa langsung berubah menjadi seorang ibu dosen yang tegas, meskipun dari lirikanku terlihat nafasnya tersengal dan pipinya memerah.
“Kakaaaak!!! Eh…!!!”
Sebuah seruan riang terdengar seiring terbukanya pintu, tapi langsung berganti kaget saat ia melihat punggungku.
“Adek? Ngapain kamu ke sini? Kok gak bilang-bilang dulu?” ujar Callista.
“Kangen, kakaaaak.” rajuk Maya.
Meski begitu, Maya tak memeluk Callista seperti biasa, melainkan mengamati aku dan kakaknya penuh curiga.
“Hai, May.” akhirnya aku buka suara menyapanya sambil berdiri dari tempat duduk agar tidak membelakangi Maya gadis itu.
“Ngapain kalian?” Maya mengungkapkan kecurigaannya.
“Itu.. aku.. kami..” aku menjawab gugup.
“Biasa, dek. Kami membicarakan rencana studi banding ke Sawer.” Callista lebih siap daripadaku, ia langsung bisa menguasai keadaan. Dan entah kebetulan atau memang sengaja, tangannya sudah memegang map bertuliskan PMBE yang tadi ia cabut dari atas rak buku.
“Oooh.” jawab Maya singkat.
Barulah ia memeluk kakaknya, sehingga kedua gadis itu saling merangkul dan memberikan ciuman pada pipi. “Kakak beradik yang rukun,” gumamku. Mereka selalu begitu, seolah sudah lama tidak saling bertemu.
“Kamu ngomong apa, Wa?” Callista menatapku tajam.
“Eh.. ng nggak, bu. Saya senang aja melihat ibu dan Maya seperti itu.”
Hadoooh… Callista sudah kembali berperan sebagai dosen yang jutek.
Callista tidak menjawab, melainkan langsung menuju tempat duduknya di belakang meja.
“Aku kangen kamu jugaaa.” seru Maya sambil memelukku.
Aku hanya membalas seadanya karena tidak enak pada Callista. Sial dan berkah sekaligus, Maya malah mencium pipiku. Ia nampak sengaja melakukan itu di depan kakaknya.
“Adek!!” hardik Callista galak. Lanjutnya, “Gak boleh gitu, ini kantor kakak looh!!!”
Suaranya dalam dan tegas, layaknya seorang dosen, tapi kutahu ia sedang menyembunyikan rasa cemburu.
“Huuuh…!!!” Maya merengut, “Kakak nyebelin kalau di kampus!!”
“Kamu lagi…” Callista tak menggubris adiknya, melainkan malah menghardikku, “Sebagai mahasiswa harusnya kamu punya sopan santun, apalagi di depan dosen.”
“Maaf, bu.” jawabku pendek. Berabe deh urusannya kalau aku berani menggoda Callista dalam keadaan seperti ini. Kalau di luar kampus sih aku sudah pasti akan menggodanya agar mendapat pelukan bersamaan dari kedua gadis ini.
“Kakak galak. Jangan marahin Sirna.” Maya membelaku.
Callista menatap adiknya tajam, lalu menggeleng sambil menghela nafas.
Maya duduk di kursi sebelahku, dan aku pun ikut duduk juga. Kami bagaikan dua mahasiswa yang sedang menghadap dosennya. Lucu sih, tapi biarlah.. kuikuti permainan ini.
“Jadi begini, Wa…” otak Callista memang encer, bukan hanya dalam mengajar, tapi juga dalam mencari alibi. Ia tiba-tiba berbicara serius tentang proyek Puting Bude, seakan mau menunjukkan pada adiknya bahwa ia tidak berbohong.
Aku dan Maya menyimak sambil menatapnya, tapi tak sedikit pun ucapan gadis itu yang kuserap. Aku malah dag dig dug karena tiba-tiba Maya menggenggam tanganku yang menumpang di atas paha. Tentu saja Callista tidak bisa melihat.
Bagai sengaja, Maya meremas telapak tangan dan jemariku, gilanya aku malah membalas. Jentik keringat terasa menyembul pada punggungku.
Duuuk!!!
Kurasa kakiku ditendang pelan oleh Callista, padahal ia sedang serius membicarakan proyek. Lalu ia mengaitkan kakinya pada betisku membuatku agak menyelonjor. Callista rupanya sudah melepaskan sepatunya, lalu jemari kakinya menyusup melalui lubang celanaku dan mengusapi kulit kakiku yang hanya mengenakan kaos kaki pendek.
Refleks aku menyondongkan diri ke depan agar aksi di bawah meja tidak terlihat oleh Maya, sedangkan Maya sendiri tidak curiga karena ia mungkin berpikir aku sedang menutupi remasan tangan kami dari kakaknya.
Keduanya tidak tahu, betapa jantungku berdetak kencang dan benar-benar salah tingkah.
Tok tok took!!!
“Selamat siang, bu, maaf saya mengganggu sebentar.”
“Alhamdullilah yaoloooh.” batinku.
“Silakan, mbak, ada yang bisa saya bantu?” jawab Callista pada orang yang baru saja mengetuk pintu, yang adalah Mbak Administrasi. Ya.. namanya memang itu dan kami para mahasiswa biasa memanggilnya dengan Mbak Asi.
Kehadiran Mbak Asi hanya sebentar karena ia cuma meminta tanda tangan Bu Callista, tapi itu sudah cukup membebaskanku dari perasaan dag dig dug.
“Kamu naik apa ke sini, dek?” tanya Callista setelah Mbak Asi meninggalkan ruangan.
“Dianter Pak Pur, kan pulangnya biar bisa bareng kakak.” jawabnya, lalu lagi, “Jadi kan kita ngopi di RSP?”
Mereka rupanya sudah janjian jalan bareng. Tanpa mereka sadari aku bernafas lega. Sore ini aku janjian bertemu dengan Bu Mae, untung ia tidak memintaku datang ke RSP atau ke restonya, melainkan memintaku datang ke sebuah alamat yang ia berikan. Alamat rumahnya.
“Yaudah kita makan dulu ya, abis itu kita ke RSP.” jawab Callista. Lanjutnya sambil menatapku, “Kamu ikut kami!!”
Ucapannya tegas, lebih berupa perintah. Aku hanya bisa mengangkat bahu sambil melirik ke arah Maya. Sebuah ciuman di pipi pun kudapatkan dari gadis ini.
“Udah ah… yuks…!!!” Callista nampak tidak suka.
Dengan cepat ia mematikan komputernya, membereskan mejanya dan melangkah menuju pintu. Aku dan Maya langsung berdiri dan mendahuluinya, gawat kalau kami dikunci dari luar oleh sang dosen, aku bisa khilaf kikuk-kikuk bareng Maya. Hehe…
Kami berjalan menyusuri selasar menuju parkiran. Untunglah kali ini Maya menggandeng kakaknya dan menggelendot pada tanganku, sehingga aku terbebas dari olok-olokan para mahasiswa yang berpapasan.
Begitu keluar gedung, aku sengaja menjaga jarak agak ke belakang karena takut terlihat oleh Nur. Aku pasti aman di depan dua gadis ini, tapi sepulangnya ke kostan sudah pasti aku akan mendapat cecaran kecemburuannya, dan kalau sudah begitu aku harus menuruti banyak kemauannya.
Bu Callista menekan remot untuk membuka kunci mobil.
“Kamu yang nyopir, dek.” ucapnya sambil menyodorkan kunci.
“Emoh.. kakak aja.” jawabnya sambil cemberut.
“Kamu..!!!”
“Kakak..!!!”
“Kamu, deeek..!!!”
“Kakak..!!!”
Keduanya saling menyuruh dan mengelak sambil mendorong kunci hingga terjatuh.
“Ehhh…!!!”
Serunya bersamaan saat melihatku sudah mendahului mereka masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Maya kalah gesit, Callista langsung berlari dan masuk melalui pintu yang belum sempat kututup. Tubuhku didorong sehingga tergeser ke tengah.
“Kakaaaak!!!” pekik Maya sambil berlari memutari mobil dan membuka pintu yang satunya lagi. Jadilah aku diapit oleh kedua gadis ini di jok belakang.
Pelukan pun kudapatkan dari dua sisi yang berbeda, Callista sudah kehilangan perannya sebagai dosen.
“Kalau semua di belakang, lalu siapa yang nyopir?” tanyaku sambil menguyel-uyel rambut keduanya.
“Bodo!!” jawab bersamaan keduanya.
Maya mencium pipiku, dan Callista meletakan kepalanya pada bahuku. “Ntung, andai saja mereka bukan kakak beradik, pasti akan kunikahi keduanya.” batinku.
[Third POV: Cintung tetap anteng membayangkan Mantili sambil menghisap GG Merahnya, tanpa memberi reaksi pada gumaman Sirna yang bisa ia dengar.]
“Aku sayang kamu.” aku tercekat saat mendengar bisikan Maya pada pipi kiriku. Ia masih saja mengungkapkan kata-kata sakti itu meskipun kami sudah putus.
“Cemburuuu…!!” bisik gadis di sebelah kananku.
Aku yakin mereka tidak saling mendengar, tapi keduanya saling mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan. Aku hanya bisa mengeraskan rahangku untuk menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba melanda.
“Hei.. mau sampai kapan begini terus?” aku mencoba mengingatkan mereka.
“…”
Tak ada jawaban, selain pelukan yang sama-sama mereka eratkan.
Aku menarik nafas panjang membuat keduanya mendongak menatapku. Ujarku, “Gini aja biar adil, kalian bawa mobil, dan aku naik motor aja. Daripada nanti aku harus balik lagi ngambil motor.”
“Nggak mauuu!!” jawab keduanya dengan manja.
“Aku udah lapar banget looh.” gumamku.
“Ya udah ayo.” lagi mereka menjawab bersamaan.
Ucapanku sukses membuat mereka mengalah, keduanya selalu saja tidak mau melihatku kelaparan, padahal itu hanyalah sebuah alasanku semata.
Bonus kecupan pada pipiku kurasakan.
“Aku sayang kalian berdua.” ucapku sambil mengecup kening mereka bergantian, senyum Maya dan Callista pun mengembang. Keduanya turun, Callista pindah ke belakang stir dan Maya pindah ke sampingnya. Sedangkan aku turun menuju motorku di sisi lain parkiran.
Aku mengangguk saat Callista menyebutkan sebuah nama restoran yang kami tuju.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar