Cincin dari masa lalu part 42

 

BAB 42

Kllik!!! Kutekan tombol ‘yes’ dan wajahnya langsung muncul.

“Wawa iiih…” ia langsung merengut manja saat melihat wajahku. Dan aku hanya bisa diam… hatiku berdesir… bukan hanya karena panggilan manjanya.. tapi juga karena posenya yang sepertinya sedang berada di dalam kamar.

“Hai Calls.” sapaku sambil membuang puntung rokok.

“Kamu ama Maya yaaah?”

“Nggak.”

“Bohong!!!”

“Nih buktinya.” jawabku lagi sambil memutarkan kamera hape ke sekitar parkiran.

“Terus kenapa dari tadi gak jawab telpon aku? WA juga gak dibalas?? Pasti kamu abis ama adikku. Eh.. kamu lagi di mana itu???” ia memberondongku dengan nada-nada penuh cemburu.

“Iyah.. iyah.. tadi aku ama Maya, tapi ia sudah pulang duluan.”

“Tuh kaaaan.” ia cemberut.

“Pokoknya kamu harus ketemu aku malam ini juga.”

“Heeehhh??”

“Kita makan malam. Mau kan?? Eh.. harus mau!!!”

Aku mendesah sebentar sambil menimbang apakah harus mengabulkan permintaannya atau tidak. Kupikir tidak ada salahnya juga kalau kami bertemu, hitung-hitung melepaskan beban atas semua perasaan sesak karena berakhirnya hubungan aku dan Maya.

“Yah yah yaaah..” Callista tidak sabar menunggu jawaban.

Aku pun mengangguk.

“Yihaaaa…!!! Kita bertemu di Mantili Resto setengah jam lagi.” serunya

Tiba-tiba callista bangkit meninggalkan smartphone. Ia terlihat begitu bersemangat. Aku masih bisa melihat seisi kamar dan juga gerakan Callista karena ia rupanya memosisikan smartphone -nya dalam keadaan berdiri dan menyandarkannya entah pada apa.

“Caaallss!!!” panggilku, tapi sepertinya ia tidak mendengar.

Aku terbelalak ketika melihat apa yang Callista lakukan.

Ia melepas bajunya dan hanya menyisakan bra berwarna krem selaras dengan warna kulitnya. Punggungnya terlihat begitu mulus dan halus, pinggangnya ramping di atas pinggul yang cukup lebar dan sekal.

Aku hanya bisa nanar memandangnya, dag dig dug der daiyaa kurasakan. Bahkan tanganku terasa bergetar.

Callista membuka lemarinya dalam keadaan setengah telanjang dan cukup lama memilih-milih baju. Setelah menemukan dan memutuskan baju yang akan ia kenakan, Callista membalikan badan.

Duaaaarrrr!

Kilat mataku menyambar. Menerpa dadanya yang terbuka. Setengah payudaranya terpampang… besar dan sekal. Bahkan nampak lebih besar dari ukuran yang biasa kulihat dan kunilai di balik penampilannya sehari-hari. Meski posisinya cukup jauh dari kamera, tapi aku bisa melihat payudara itu putih mulus tanpa noda.

Callista nampak bimbang saat mau mengenakan bajunya. Lalu ia menyampirkan baju itu pada pundaknya, lantas melangkah menuju meja rias. Setengah membungkuk, ia memulaskan make up tipis pada wajahnya, juga mengoles bibirnya. Posisinya yang seperti itu membuat payudaranya kian menyembul dan terpamer melalui pantulan cermin. Belum lagi pinggulnya yang.. duuuh… aku sungguh-sungguh terpana.

Tiba-tiba…

Callista seakan sadar…

"Kiyaaaaa" jeritnya . Ia pun berlari mendekat, mau meraih smartphone-nya. Ia seakan baru sadar kalau belum memutus sambungan. Lucunya, dan rejeki bagiku, Callista lupa menutupi tubuh setengah polosnya, sehingga payudara dan perut rampingnya semakin dekat terpampang.




Daaan..




Peeeeet!!!!




Nafas panjang kudenguskan ketika layar video pada hapeku tertutup. Aku tersengal, pandanganku masih tetap nanar. Sambungan sudah diputus, tapi bayangan tubuh mulus masih tergambar dalam benakku. Tanpa sadar tangan kiriku masuk ke dalam celana untuk meluruskan si jago yang rupanya dari tadi sudah mendongak dan menyundul.




“Kan.. kaaan… kaaaaan!!!! Pasti mesum lagi.” pekiknya disertai sebuah jeweran membuatku tergagap dan kembali dari bayangan itu.


“Duuh. Ampuuun atuh Calls. Kamu galak banget sih??” keluhku sambil meringis berusaha melepaskan jewerannya.


“Suruh siapa mesum!” judesnya.


“Yeee… siapa pula yang ngingetin. Kan akunya jadi kebayang lagi.”




Hmmmmfffff!!!




Kali ini bukan telingaku yang dijewer tapi perutku dicubitnya tebal. Perih dan ngilu kurasakan.




“Calllssss…!!!” teriakku.


“Bu Alyaaaa!!!” tanpa sadar aku meminta pertolongan dengan keras.


“Ibu gak dengar!!!”




Fiiiiiiiiuuuuhhhh!!!! Aku benar-benar kesakitan mendapat cubitan tanpa ampunnya. Aku hanya bisa meringis sambil mengusapi bekas cubitannya setengah terhuyung.




“Rasain!!” galaknya sambil mengerlingkan mata.




Karena kesal sekaligus gemas, aku merangsek untuk membalas perbuatannya. Sadar akan itu, Callista langsung menghindar dan bersiap lari. Tapi kalah cepat, aku berhasil meraih pingganganya dan memeluknya dari belakang. Gadis ini meronta sambil tertawa keras. Sebuah tawa yang sangat lepas, yang tak pernah kulihat dan kudengar sebelumnya.




Aku yang semakin gemas langsung memeluknya semakin erat. Rontaannya berhenti meski tawanya terus berderap. Tanpa sadar tangan kiriku memang melingkar pada perutnya, tapi satu lagi tepat di atas payudaranya.




Dan…




“Kakaaaaak!!!!”


“Sirnaaaaa!!!”




Tiba-tiba Maya muncul dan langsung berteriak. Aku dan Callista terperanjat kaget. Tapi tidak lama dengan Callista, ia langsung tersenyum genit pada adiknya, padahal jantungku masih terasa mau copot.




“Kakaaak. Huuuuu!!!” Maya langsung meletakkan bawaannya di atas meja, dua kotak besar, sepertinya kue tart




Ia langsung menghampiri kami dengan ekspresi marah.




Hmmmmfffff!!!




Sial!!! Callista malah memeluk pinggangku sambil memeletkan lidah pada adiknya. Melihat itu, Maya langsung berteriak lagi.




“Kakak uuuuh!!!”




Ia menarik tubuh kakaknya sampai tangannya benar-benar terpisah dari pinggangku, lalu…




Hmmmmfffff!!!




Kali ini Maya yang memelukku. Maka jadilah.. dua gadis manis ini saling berebutan, padahal aku masih mematung karena shock.




“Haduuuh ini ada apaan sih? Sayang, kamu kenapa datang-datang langsung teriak-teriak??”




Bu Alya muncul dari arah dapur. Aku hanya garuk-garuk kepala karena salah tingkah, sementara Callista masih memeluk tanganku, sedangkan Maya memeluk pinggangku.




“Kakak nih mah.. peluk-peluk Sirna. Huuuu…” rajuk Maya sambil memasang muka kesal.


“Iiih.. lihat tuh mah. Ya lagi meluk Sirna kan Maya.. iya kan mah.. iya kan…??” Callista tak mau kalah sambil menunjuk adiknya yang masih memelukku.




Melihat tingkah kedua anaknya, Bu Alya hanya menggeleng, lalu katanya dengan suara tegas, “Yaudah.. biar adil, kalian berdua tidak boleh meluk Sirna.”




Jleeeebbb!!!!




“Mamaaaah.” pekik Callista dan Maya bersamaan.


“Tapi mamah saja yang peluk. Sini, nak.”




Aku hanya bisa melongo mendengarnya.




“Mamaaaah.” pekik Callista dan Maya lagi.




Maya langsung memutar pelukannya untuk mencegah mamahnya memelukku, sedangkan Callista langsung memeluk Bu Alya supaya tidak mendekat.




Derai tawa pun akhirnya pecah di antara kami. Rasa takutku seketika hilang dan kini aku harus menghadapi dua gadis manja, yang -sebetulnya- aku menyayangi keduanya.




“Sudah kalian bertiga ngobrol di atas saja, daripada ribut di sini.” suruh Bu Alya.


“Eeeh…!!” kagetku, saat Maya dan Callista menarikku dari sisi berseberangan, mengapitku menaiki tangga.




Bu Alya hanya menggeleng sebentar sambil tersenyum, lalu kembali ke dapur.




Kami bertiga menaiki tangga sambil digandeng dua gadis manja, yang satu tak hentinya merajuk (?) dan yang satu lagi ceriwis (?).




Kami duduk di ruangan besar di depan deretan pintu yang sepertinya kamar tidur. Salah satu sisi dindingnya terbuat dari kaca tebal dan lebar, dengan balkon di luar, lengkap dengan tempat nongkrong dan dihiasiasi pot-pot bunga. Baik dari ruangan ini maupun dari balkon kami langsung bisa menikmati keindahan taman belakang dengan kolam renang di tengahnya.




Di sisi lain terdapat deretan buku menyerupai perpustakaan mini, terdapat juga mini bar, dan TV flat layar lebar.




Keributan kecil terjadi saat Maya memaksaCallista untuk berganti baju. Ia seakan tidak ingin mataku menjelajahi bagian atas tubuh mulus sang kakak. Tentu saja Callista menolak, tapi akhirnya mengalah ketika didorong oleh Maya sampai memasuki sebuah kamar.




Fiuuuh..!!!




Desah panjang Maya terdengar saat ia kembali duduk di sebelahku.




Mata kami beradu pandang, semua manja dan ceriwisnya di depan sang kakak langsung hilang. Sorot matanya redup dan sendu meski ulasan senyum selalu ia berikan.




“Kamu apa kabar?”




Aku mengernyit mendengarnya, lalu mencoba tersenyum sambil mengambil tangannya dan menepuk-nepuk pelan.




“Baik.” singkatku.




Aku cukup mengerti kalau Maya tidak sedang menanyakan kabar dalam arti kesehatan, tapi lebih mau menanyakan situasi batin dan perasaanku semenjak pertemuan terakhir di galleri Si Karyo.




“Kamu?” aku balik bertanya.




Maya hanya membalas dengan senyuman sambil setengah merentangkan tangan seolah mau menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.




Kuulurkan tanganku untuk merapikan poninya, sebuah kebiasaan yang sulit kuhilangkan saat mengungkapkan rasa sayang atau gemas, padahal harusnya aku tidak boleh lagi seperti ini. Maya tidak menolak perlakuanku, matanya semakin sendu menatap. Aku tahu ia merindukanku, sebagaimana aku merinduinya.




Kemesraan diam dan sentuhan rindu kami terhenti saat pintu kamar Callista terbuka. Aku langsung meliriknya, sementara Maya membenamkan diri pada sandaran sofa.




Callista sudah mengganti celana pendeknya dengan jeans panjang ketat dan bagian atas mengenakan t-shirt berwarna putih.




“Pake gini bagus gak, dek? Cantik kan kan kaaan…??” tanya gadis itu pada adiknya.


“Huuum…!!” gumam Maya.


“Iiih adeeek.” Callista merengut sambil bergegas menuruni tangga.


“Kakak mau ke mana?” tanya Maya tanpa mengubah posisi duduknya.


“Ambil minumnya Wawa.”


“Wawa?” Maya berujar pelan sambil melirik ke arahku.


“Jadi kakak udah punya nama sayang untuk kamu?” binar cemburu pun terpancar pada kedua bola matanya.




Aku hanya mengangkat bahu sambil balik menatapnya, tanpa berani menyentuh kedua pipinya yang menggelembung. Kami kembali saling menatap dengan ekpresi masing-masing.




Tak lama kemudian terdengar suara langkah Callista yang sudah kembali menaiki tangga. Tiba-tiba Maya mengulurkan tangannya pada kerah kemejaku dan menarik tali kalung coklat yang melingkar pada leher. Semuanya begitu cepat, ketika ia menggenggam bandul kalung taring harimauku dan mengecupnya.




Dengan cepat pula ia kembali pada posisi duduknya seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa.




“Dek, dipanggil mamah tuh.” ujar Callista sambil menyodorkan juice yang dari tadi belum sempat kuminum.




Aku yang sebenarnya masih grogi karena tingkah Maya barusan langsung menerimanya dan meneguk sampai habis setengah.




“Ada apaan sih, kak?”


“Nggak tau atuh iih.. mamah tuh..”




Dengan malas, Maya pun bangkit. Dicium pipi kakaknya lalu setengah berlari menuruni tangga. Tingkah kakak beradik ini memang lucu. Sebentar-sebentar “bertengkar”, sebentar-sebentar mesra dan rukun, sebentar-sebentar.. ah entah apa lagi.




“Eh ini apaan, Wa?” heran Callista sambil melihat pada kalungku yang tadi tidak sempat Maya kembali masukan. Posisiku yang sedang menaruh gelas pada meja membuat bandulnya menggelantung.


“Hehehe.. cuma kalung.” jawabku.


“Kok kayak gigi binatang, tapi kok besar?” keponya.




Callista memepetkan duduknya, dan meraih bandul kalungku.




“Ini namanya taring harimau, Calls. Suka aja makenya, lucu.” jawabku sekenanya.


“Baguuus.” serunya sambil menggenggam bandul itu. Daaan…




Tiba-tiba Callista merunduk dan menciumnya, persis seperti apa yang tadi Maya lakukan. Bedanya, kalau tadi Maya langsung kembali pada posisi duduknya, Callista malah menyenderkan kepala pada bahuku. Dadaku berdesir karenanya, jantungku juga berdetak lebih kencang karena sikapnya barusan.




“Tadi kalian ngapain aja pas aku ganti baju dan ambil minuman?” tanyanya dengan nada cemburu.


“Eh..?? Ngapain?? Maksudmu??” tanyaku.


“Nggg.. nggak.. ciuman, kan?” ia membenamkan wajahnya disertai tangan yang melingkar pada pinggangku.


“Kamu ituh.” gumamku pelan sambil mengusap rambutnya.




Sebuah gerakan kurang ajar sebetulnya, tapi semuanya spontan kulakukan, dan tak sedikit pun ada penolakan dari gadis ini.




“Kakaaaaak!!!” jerit Maya dari bawah, membuat Callista kaget dan langsung berdiri menuju ke tepi atas tangga.


“Apaan sih, dek?”


“Kakak nyebelin!!!” gerutu suara dari bawah.


“Hihih..” Callista malah terkikik.


“Apakah ia sengaja berbohong agar punya kesempatan memelukku? 




Fiuuuh…!!!”




“Kamu turun sayang!” kali ini yang kudengar suara Bu Alya.




Callista nampak mau protes, tapi urung. Ia menengok ke arahku sebentar lalu menuruni anak tangga sambil berkata, “Aku ke bawah dulu, ya Wa.”




Aku mengangguk bingung. Kalau mereka pada turun, lalu ngapain juga aku berada di sini?




Aku berniat mau menyusul Callista tapi urung saat kudengar suara Bu Alya sedang menaiki tangga. Kudengan Callista terkikik di bawah omelan ibunya, entah apa lagi yang dilakukannya.




“Bu.” ujarku saat melihat sosoknya, dan Bu Alya hanya tersenyum. Ia duduk di sampingku sambil tak hentinya menatapku dengan binar keibuan penuh perhatian.


“Makasih, ya nak.” ujarnya sambil meraih satu tanganku dan menggenggamku erat. Kulit tangannya tak kalah halus dari kedua anaknya.


“Eh.. maaf bu… untuk apa, ya?” aku kebingungan sambil memberanikan diri untuk membalas tatapannya.




Bukannya menjawab, ia malah menarik kepalaku dan meletakan pada bahunya. Aku sebetulnya mau menolak atas sikapnya yang tiba-tiba seperti ini, tapi tarikannya cukup kuat. Dielusnya rambuku, sementara satu tangan masih menggenggamku. Posisiku yang menunduk tentu saja membuat mataku nanar dan jantungku seketika berdegub kencang. Betapa tidak, hanya beberapa senti di bawah mataku, terpampang belahan payudara Bu Alya yang sangat putih. Kulit Bu Alya memang lebih putih daripada kedua anaknya, mungkin Callista dan Maya sudah terkontaminasi oleh Pak Pras, ayah mereka.




Beberapa detik lamanya aku hanya terbelalak, kemudian memalingkan mata ke arah depan.




“Kamu sudah tahu kan gimana kedua anak ibu.” lirih Bu Alya. Lanjutnya, “Kamu juga sudah tahu sifat asli kakaknya Maya. Dan ibu tadi sebetulnya kaget…”




Detak jantung karena pemandangan payudaranya berubah menjadi detak takut kalau bu alya akan memarahiku. “Tidak mungkin ia marah, buktinya ia memperlakukanku seperti ini,” aku mencoba mencari pembenaran.




“Sudah bertahun-tahun, ibu tidak pernah melihat Callista sebahagia tadi, dan mendengar tertawanya begitu lepas.” kata-kata itu mengalir dari mulut sang ibu.


“…”


“Dan setahu ibu.. ia itu sangat tidak mau bersentuhan dengan orang asing, maksud ibu lelaki asing, tapi tadi Callista malah memelukmu. Bagi ibu, itu sangat surprise.Makasih banyak, ya nak. Hikss…”


“Eh…??” aku langsung mengangkat kepala dan menegakkan dudukku.


“Ibu mengapa menangis?” tanyaku heran.




Bukannya menjawab, Bu Alya malah mengusapi air matanya yang meleleh, dan.. semakin diusap, semakin deras saja air mata itu.




Aku hanya mematung tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Meraih tissue pada meja pun tidak. Sikap Bu Alya yang tiba-tiba berubah seperti ini membuatku abai pada keramaian di lantai bawah. Sepertinya Pak Pur sudah datang disambut oleh kemanjaan kedua anaknya.




Adalah Bu Alya sendiri yang bergerak mengambil tissue lalu membersihkan pipi dan ujung matanya. Juga ujung hidungnya yang ikutan meleleh.




“Ibu kenapa?” aku bertanya lagi dalam sikap bingungku.


“Kapan-kapan aja ibu ceritanya, ayahnya anak-anak sudah datang.” lirihnya sambil mencoba memasang senyum.


“Tapi.. sekali lagi terima kasih, ya nak. Ibu senang sekali melihat anak-anak ibu bisa kembali bahagia seperti itu sejak mengenalmu.” Belum juga aku menjawab tiba-tiba…




Cuuuup!!!




Bu Alya mencium tepi bibirku. Sebetulnya ia mau mencium pipiku, namun sikap kagetku membuat aku bergerak dan bibir Bu Alya mendarat salah sasaran. Nafasnya terasa hangat menerpa pipi dan daguku karena tak pula ia menjauhkan wajahnya. Aroma wangi pun terhirup oleh hidungku. Bu Alya menatapku sebentar dengan bibir yang sedikit terbuka, wajahnya semakin mendekat, lalu…






BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar