Cincin dari masa lalu part 41


BAB 41

Aku pun memarkirkan motor setelah Pak Karta, satpam keluarga Bu Alya, membukakan pintu. Tidak sulit untuk masuk dan tidak perlu diinterogasi, karena kami sudah pernah bertemu sebelumnya ketika aku mengantarkan martabak. Di samping itu, sang satpam sudah diwanti-wanti oleh sang pemilik rumah agar menyuruhku masuk dan jangan membiarkanku kabur lagi. Kulepas helmku dan kusisir rambut dengan jemari. Bukannya mencet bell, aku kembali kepada Pak Karta yang sedang berdiri di depan pos sambil memerhatikanku.

“Pak, kok mobil Maya tidak kelihatan, yah?” tanyaku kepada Pak Karta.

“Iya, nak. Non Maya tadi keluar sekitar lima belas menit yang lalu.”

“Kemana yah? Dengan Callista?”

“Sendiri, nak. Si Non Callista mahada di dalam.”

“Oooh…” gumamku.

“Boleh, pak?” tanyaku sambil mengeluarkan rokok.

“Boleh, nak. Asal jangan di dalam rumah.” jawabnya.

Aku dan Pak Karta duduk pada bangku panjang depan pos sambil merokok. Mataku sekali-kali menyapu bangunan megah di hadapanku, dengan halaman dan taman yang cukup luas. “Kenapa pula aku harus berhubungan dengan keluarga seperti ini.” gumamku.

“Apa, nak?”

“Eh… hehehe… nggak, pak.” aku malu sendiri.

“Emang benar, ya pak, ada pembantu keluarga Bu Alya yang hari ini ulang tahun?” tanyaku sambil menghembuskan asap rokok.

“Betul, nak. Hari ini Mbok Lasmi berulang tahun yang ke-59.” jawab Pak Karta.

Maka tanpa diminta, lelaki paruh baya ini menceritakan tentang kebaikan keluarga Pak Pras dan Bu Alya. Mereka selalu memperlakukan para pegawainya bukan sebagai orang asing, atau orang rendahan, melainkan sebagai bagian dari rumah ini. Kebaikan keluarga Bu Alya tentu saja membuat para pegawai yang terdiri dari tiga satpam, dua sopir pribadi, tukang kebun, dan dua PRT yang mengurusi rumah merasa betah dan sangat loyal dalam bekerja. Tidak ada satu pun pegawai yang berani macam-macam karena sungkan dan hormat. Dan Mbok Lasmi sendiri, ia adalah PRT yang sudah bekerja pada keluarga Bu Alya selama lebih dari 25 tahun.

Aku sangat kagum mendengar cerita Pak Karta. Baru kali ini aku mendengar ada keluarga kaya raya yang memperlakukan para pembantunya seperti ini. Pantesan Callista dan Maya tidak pernah menyombongkan diri atau pamer kemewahan, rupanya karena memang mendapat pendidikan yang baik dari orangtua mereka. Kalau tidak tahu dan tidak pernah berkunjung, tak seorang pun akan menyangka bahwa kedua kakak-beradik itu berasal dari keluarga langitan. Mereka memang menggunakan kendaraan, tapi mobil mereka bukan mobil sangat mewah yang berharga milyaran, melainkan mobil-mobil yang banyak ditemukan di jalan, meskipun tetap bukan kendaraan pasaran. Callista menggunakan jazz dan Maya menggunakan yaris.

“Kok yang lain belum kelihatan, Pak?” tanyaku, saat tidak melihat karyawan yang lain. Pikirku, kalau memang ada perayaan ulang tahun, semua karyawan harusnya diundang.

"Ibu dan si enon mau bikin kejutan, nak. Jadi yang lain bersikap biasa saja dan sebagian masih pada ngumpul di depan kompleks agar tidak kelihatan.”

Aku mengerti mengapa rumah nampak sepi. Dari Pak Karta juga aku tahu kalau acara makan-makan baru akan dilaksanakan sekitar jam delapan karena menunggu Pak Pras, suami Bu Alya, pulang dari kantor. Refleks aku melihat jam pada hapeku, baru jam tujuh kurang sedikit

"Kepagian.” batinku, padahal waktu sudah gelap, bukan pagi.

Belum juga aku kembali mengantongi hapeku, sebuah panggilan tertera pada layar. Bu Alya!!

“Assalamualaikum, bu.”

“Kamu di mana? Jadi datang, kan?” ia langsung memberondongku sampai lupa menjawab salam yang kuucapkan.

“Ini saya sudah sampai, kok Bu. Sedang ngobrol dengan Pak Karta.”

“Oalaaah.. cepetan masuk. Awas jangan kabur lagi.”

“Hehe.. iya, bu. Saya masuk.”


Kliiiik!!!


Aku pun pamit pada Pak Karta dan melangkah menuju rumah. Kuemut permen sekedar untuk menghilangkan bau rokok.


Belum juga aku tiba, kulihat pintu terbuka dan Bu Alya muncul dari dalam rumah. Ia mengenakan pakaian rumahan yang sederhana, walaupun pasti bukan baju murah yang dibeli di pasar baru. Kesederhanaannya justru malah menonjolkan kecantikan wajah dan tubuhnya yang masih terjaga dan terbentuk. Bagi yang tidak mengenalnya, mungkin tidak akan menyangka bahwa umurnya sudah menjelang lima puluhan.


“Selamat malam, Bu.” sapaku sambil mengelurkan tangan.


Bukannya membalas bersalaman, ia malah mencium pipiku kiri dan kanan. Wajahnya sumringah dan senyumnya mengembang tulus. Ia nampak senang bisa lagi berjumpa denganku. Sikap baiknya langsung menghilangkan kebiasaan mesum yang sudah menjadi bagian dari isi kepalaku, padahal kurasakan ada gunungan yang menempel pada dadaku. Keras dan kenyal.


Wanita ini langsung cerewet mengomeli dan menanyai aktivitasku. Menanyakan kuliahku, jualanku, dan bla bla… Seumur-umur, baru dua kali kali kami saling bertemu, tapi sikapnya seolah sudah saling mengenal lama.


Aku pun hanya cengengesan sambil mengikutinya yang menuntunku masuk ke dalam rumah.


“Maya lagi ngambil kue tart .” ucapnya seolah tahu pikiranku.

“Oooh..” singkatku karena lebih fokus pada sikap Bu Alya dan kemegahan seisi rumah.

“Kok cuma oh? Bukannya kalian pacaran?”


Duaaaarrrr!!!!


“Bbbbuu…” aku tergagap.

“Halaaah.. udah gak usah gugup gitu, Maya pernah cerita kok.”


Aku pun hanya tersenyum kecut tanpa bisa berkata-kata lagi. Lidahku terasa kelu untuk menyampaikan bahwa kami sudah bubar.


Bu Alya tidak mempersilakanku duduk di ruang tamu, melainkan langsung mengajak ke dalam ruang keluarga.


“Mbok, tolong buatkan minum untuk tamu.” serunya ke arah dapur.

“Iya, bu.”


Aku dan Bu Alya duduk di atas sofa, ujarnya, “Kamu bersikap biasa aja yah, jangan ngucapin ulang tahun dulu.”

“Siap, bu.”


Kami pun melanjutkan ngobrol, tanpa sadar tangan Bu Alya masih menggenggam telapak tanganku dan yang satunya mengusapi punggungnya. Halus kurasakan. Tak lama kemudian seseorang datang sambil membawa segelas orange juice.


“Silakan, den, diminum.”

“Eh.. Saya Sirna, Mbok, panggil Sirna saja.” kagetku.

“Iyah, nak. Saya Mbok Lasmi.” dan kami pun saling tersenyum.


Aku pun mengulurkan tangan untuk bersalaman. Kami saling berkenalan di bawah senyum gembira Bu Alya.


“Dia ini Sirna, Mbok, temennya Callista dan Maya. Nanti kalau ke sini lagi, si mbok harus memperlakukannya sebagai anggota keluarga ini. Gak boleh hanya sampai di depan rumah atau dipersilakan duduk di ruang tamu. Harus masuk.” ujar Bu Alya.


Aku sangat kaget mendengarnya, bagaimana mungkin ia bisa langsung menganggapku seperti itu, dengan Maya saja aku sudah tidak lagi pacaran. “Apa Maya tidak cerita ke mamahnya, ya?”


“Iya, Bu. Akan mbok perhatikan. Yaudah atuh Bu, Nak Sirna, mbok ke belakang lagi. Lagi masak.” ujar Mbok Lasmi.


Aku dan Bu Alya mengangguk sambil tersenyum.


“Dosenmu lagi di atas tuh. Mau ibu panggilkan?” tiba-tiba Bu Alya bertanya membuat jantungku berdebar.

“Eh.. nanti saja atuh, Bu.”

“Ibu panggil yah, tapi kamu ngumpet dulu.”

“Eh.. kenapa, Bu?”

“Udah kamu keluar dulu sana.”


Bu Alya mendorongku untuk keluar melalui pintu kaca, menuju sebuah taman kecil yang ada kolam ikannya. Ia sampai lupa untuk menyuruhku minum.


“Calls.. turun dulu, sayang.” teriak Bu Alya.


Tak terdengar jawaban. Kulihat bu alya seperti mau menaiki tangga tapi urung. Ia mengeluarkan smartphone-nya, sepertinya menelpon anak sulungnya itu.


Tak lama kemudian sosok yang ditunggu muncul. Aku hanya bisa mengerjap dengan jantung tiba-tiba berdebar. Ada desir-desir hangat yang melingkupi perasaanku saat melihatnya.


Aku dibuat terpesona oleh penampilannya yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan pakaiannya ketika di kampus atau ketika makan di luar. Ya, kami pernah makan malam bersama hanya beberapa waktu setelah aku dan Maya sepakat mengakhiri hubungan. Waktu itu Callista menghubungiku melalui vcall dan memaksaku untuk bertemu. Tentu saja ia menyelidiki tentang hubunganku dengan adiknya. Waktu itu, ia begitu sedih dan kecewa mendengarnya, meskipun seperti ada rasa lain yang ia sembunyikan. Tapi baik sedih.. maupun kecewa.. manjanya tidak pernah hilang.


Malam ini… Callista mengenakan celana pendek setengah paha berbahan jeans. Paha dan kaki lenjangnya nampak putih dan indah. Bagian atas ia mengenakan baju berbahan katun dengan dua tali kecil yang mengait pada pundaknya, sejajar dengan tali behanya. Dadanya membusung, yang kuyakin kalau berdiri sejajar, aku bisa melihat belahan atasnya. Dan meski jarak kami cukup jauh, sinar lampu sudah bisa memberi tahuku kalau ia memakai bra berwarna hitam, itu nampak dari talinya dan dari bawah ketiaknya ketika ia mengibaskan rambut.


Wajah tanpa make up, tapi tetap cerah dan cantik. Bibirnya juga merah alami dengan bibir bawah nampak lebih tebal daripada yang atas. Lembut dan halus.


“Ada apa sih, mah?” tanyanya sambil berdiri di tengah tangga.

“Sini turun dulu, sayang.” panggil Bu Alya.

“Iiih.. mamah.” ia cemberut lalu berlari menuruni tangga dan menghambur sambil merentangkan tangan untuk memeluk ibunya.


Sikapnya membuat aku semakin yakin kalau bra-nya memang berwarna hitam. Aku meneguk air liur untuk membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba terasa kering ketika melihat gundukan payudaranya dari samping, dan juga ketiaknya yang putih mulus.


Callista memeluk Bu Alya seolah mereka baru bertemu. Kepalanya digoyang-goyang membuat rambutnya yang terurai berkibar. Persis seperti anak kecil. Aku jadi ingat sikap anak bungsu Bu Mae ketika ia baru pulang sekolah.


“Hmmmhhh.. jadi ini sifat asli dosen galak dan judes itu.” batinku sambil tersenyum sendiri.

“Udah ah.. Kamu ngapain sih di kamar terus?” tanya Bu Alya sambil membalas pelukan anaknya.

“Nyiapin ngajar mamaaaah. Besok kan Calls ngajar dua kelas.”

“Iya tapi masa sepanjang sore nyiapinnya?” goda Bu Alya sambil menjembel kedua pipi anak sulungnya itu.

“Mamaaaah…” Callista merengut sambil mengusapi pipinya.


Sebetulnya bukan hanya Bu Alya yang tertawa, tapi aku pun terkekeh walau tanpa suara.


“Kamu kok tumben banget, sayang…!! Mamah heran deh.. sekarang kok kalau ngajar semangat banget dan gak ogah-ogahan lagi seperti dulu.”

“Iiih mamah mah. Besok kan Calls ngajar kelas tingkat satu.”

“Lalu?” goda Bu Alya.

“Besok ngajar Sir… eh… nggak.. besok.. mamah…” Callista salah tingkah dengan muka memerah.

“Sir…??” Bu Alya masih menggodanya.

“Itu.. iih.. udah ah mamah. Gak ada apa-apa kooook.” rengutnya.


Entah harus bangga atau senang ketika aku mendengar percakapan mereka. Besok memang aku sudah boleh lagi mengikuti kelasnya, dan aku terharu melihat ekspresi bahagia gadis itu. Ia seakan begitu antusias untuk mengajar di depanku.


Dan… aku semakin yakin akan ucapan Maya, bahwa kakaknya memang punya rasa padaku. Hal itu semakin dikuatkan dengan sikapnya selama ini yang tiada hari tanpa me-WA-ku.


“Adek belom pulang, mah?”

“Belum.. macet kali. Tadi papah juga nelpon kalo pulangnya agak telat karena jalanan macet banget.”

“Yaaah.. masih lama donk makan-makannya.”

“Makanya daripada di kamar terus, kamu bantuin mamah nyiapin meja yah.”

“Maaaah…”

“Huuushh.. anak gadis gak boleh males.”

“Tapi kan Calls lagi nyiapin ngajar mamaaaah.” Callista semakin cemberut.

"Hadeuhhh.. kamu itu sayang.. apalagi yang disiapin? Kamu kan sudah biasa dan sudah menguasai bahan. Masa hanya karena mau ngajar kelasnya Sirna aja sampai segitunya.” goda Bu Alya sambil mengucek rambut anaknya gemas.

“Iiiiiiih… mamah mah…” rengut Callista.


Ia langsung memeluk ibunya untuk menyembunyikan wajahnya yang kembali merah karena isi hatinya seakan terbongkar oleh sang ibu. Bu Alya hanya tertawa sambil mengusapi bahu anaknya. Matanya melirik ke arahku, memberi kode supaya aku masuk.


Callista tentu saja tidak melihat karena posisinya sedang membelakangiku.


“Kamu itu apa gak malu? Udah gede tapi manjanya gak ketulungan.” ujar Bu Alya sambil mengedip ke arahku.

“Nggak!!! Lagian malu ama siapa??”

“Ama mahasiswamu.”

"Kan calls manjanya cuma dirumah, di kampus mah nggak.” jawab Callista, lalu lanjutnya, “Jadi mamah gak suka ama sikap Calls? Gituuuu!!!!?” ia merajuk.

“Ehemmm.”


Aku yang sudah geli melihat tingkahnya, sudah tak bisa lagi menahan diri.


Dehemanku tentu saja membuat Callista kaget. Dengan cepat ia melepaskan pelukan pada ibunya dan menengok ke arahku.


“Kiyaaaaa…!!!!” jeritnya sambil setengah terperanjat.


Matanya terbelalak dengan mulut terbuka setengah. Lucu kulihat.. membuatku terkekeh dan mengerling jahil. Lalu ia melihat aku dan mamahnya bergantian. Mukanya merah padam karena malu.


“Mamah… iiiih…!!!” serunya sambil berputar dan memeluk mamahnya dari belakang. Ia membenamkan wajahnya pada punggung ibunya yang sedang tertawa, sementara matanya mengintip melihatku. Sangat lucu dan membuatku terbahak.. aku lupa kalau sebetulnya aku sudah bersikap kurang sopan di hadapan Bu Alya.


Sikapku malah membuat Bu Alya semakin mengeraskan tertawanya, sedangkan Callista merengut. Tiba-tiba sikap manjanya berubah galak. Persis seperti ketika ia sedang marah kepada mahasiswanya.


Ia langsung keluar dari “persembunyian” punggung ibunya, dan berdiri tegak dengan mata melotot.


“Heh mahasiswa nyebelin… ngapain kamu di sini??!!!”

“Hehee.. mau bimbingan ama dosen manja.” tiba-tiba aku merasa nyaman berada di hadapan ibu dan anak ini sehingga aku berani menggodanya.

“Kamuu!!! Arrrggggghhhh…” ia nampak geram tanpa melanjutkan kata-katanya. Kedua tangannya mengepal.

“Udah ah.. mamah mau bantuin si mbok bantuin masak.” ujar Bu Alya sambil tertawa.

“Nak…” ia melihat ke arahku. “Ibu gak ikutan ya.”


Bu Alya pun setengah berlari meninggalkan kami menuju dapur, kulihat matanya berair karena tertawa puas.


“Mamaaaah!!!!”

“Mamah gak ikutan!!!”

“Uuuuhh…!!!”


Sebetulnya Callista sedang kesal, tapi di mataku justru malah semakin menunjukkan sikap manjanya yang menggemaskan.


Daaaan….


Buk!!! Buuuuk!!! Buuuukk!!!!


Ia memukuli dadaku dengan kesal, malu, dan gemas. Mukanya masih memerah dan kedua bibir dirapatkan. Sikapnya yang seperti itu malah membuat dia abai pada penampilannya. Belahan payudaranya semakin terlihat dan timbul-tenggelam karena gerakan pukulan yang ia berikan. Putih.. menggiurkan.. nampak kenyal.


Refleks aku menarik bahunya dan membawa tubuh indah ini pada pelukanku. Ia masih memukuli dadaku, tanpa menolak pelukanku. Semakin pelan.. dan… diam…


“Nyebelin!!!” gerutunya.


Tapi lain ucap, lain sikap. Ia malah membalas pelukanku. Inilah pelukan pertama kami, yang entah mengapa, membuat hatiku berdebar karena rasa sayang. Sebuah rasa yang sama yang kurasakan ketika memeluk adiknya, bahkan lebih dari itu.


Mungkin sekitar satu menit kami seperti ini, sampai akhirnya tubuh kami terpisah pelan. Wajah kami begitu dekat dan mata kami saling memandang. Ia merengut, matanya mendelik, kedua pipinya menggelembung.


Hadeuuuh… sikap kakak dan adik sama saja kalau sedang merajuk kesal.


Entah mengapa.. tanganku meraih tali bajunya dan menariknya ke atas, sehingga belahan payudaranya terlindungi.


“Mesum!!” rengutnya. Sebuah cubitan pada lengan pun ia daratkan.

“Udah lihat semuanya juga.” lanjutnya lagi dengan muka kembali memerah.


Mendengarnya aku tertawa kecil sambil garuk-garuk kepala. Ingatanku kembali pada kejadian sore itu…







BERSAMBUNG

Posting Komentar

0 Komentar