Wanita dimana-mana Sama
Kampung Pasir Lenyap telah berselimut malam, tak usahlah diceritakan bagaimana kabut disana telah sedemikian pekat membawa udara dingin yang menusuk ke tulang. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan ditambah suara binatang malam di kejauhan. Pasti itu berasal dari hutan tutupan yang berada di Gunung Halimun.
Euis berusaha menyalakan suluh yang sudah terpotong-potong seukuran lengannya didalam hawu. Ibu muda beranak satu usia 2 tahun itu tak memiliki kompor gas sehingga untuk memasak dia harus bersusah payah dulu menyalakan hawu. Di sampingnya sudah ada nasi sisa tadi siang untuk dibuat nasi goreng. Sembari menunggu kayu terbakar menjadi bara api panas, Euis mengiris bawang merah yang tadi sore diambilnya dari pekarangan.
Rambut Euis yang hitam sepunggung dibentuk menjadi ikatan ekor kuda agar tak menghalanginya bekerja di dapur.
Dingin sekali malam ini, legging hitam tipis yang dikenakannya tak mampu lagi memberinya kehangatan. Mungkin sudah harus mengenakan kain 'samping' untuk sedikit mengusirhawa dingin. Tapi Kang Oman seringkali memprotesnya kalau mengenakan kain. Katanya kaya nenek-nenek, padahal kain samping atau jarik kalau di jawa tengah memang termasuk pakaian yang lumrah dikenakan wanita disini. Entah itu nenek-nenek, ibu-ibu, bahkan remaja sekalipun.
Euis masih memasak nasi goreng saat suara motor Oman terdengar datang dan parkir di samping rumah. Tanpa disadari, Euis membuka ikatan rambut ekor kudanya agar rambutnya yang hitam tebal tergerai indah. Oman tak langsung masuk ke rumah melainkan membersihkan diri ke kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah mereka, terpisah tak terlalu jauh dari rumah panggung. Bersamaan dengan matangnya nasi goreng, Oman membuka pintu dan masuk kedalam rumah panggung berlantai papan itu.
"Buat apa ini teh kang ?" Tanya Euis yang tentu saja membuat Oman heran.
"Ya buat dapur atuh, emang buat apa lagi."
"Buat beli token listrik sama minyak kayu putih mana ? Dari tadi siang listrik udah bunyi minta dikasih makan juga kang." Euis berbicara sambil merapikan uang yang diberikan Oman lalu dimasukkan di bawah kutangnya.
"Iya tapi akang dapetnya cuman segitu, Euis. Mau gimana lagi ?" Jawabnya.
"Apa akang harus ke kota, Euis ? Kan akang ditawarin ikut kerja di proyek." Oman mencoba-coba bertanya. Dulu Euis bilang jangan ke kota soalnya Adang masih bayi dan Euis tidak berani kalau ditinggal.
"Kalau memang hasilnya lebih baik, kenapa nggak Kang." Kebutuhan akan uang akhirnya membuat Euis merelakan kalau sampai Oman harus berjauhan dengannya.
"Ya udah, kalau gitu mah besok akang nelepon sodara akang. Mudah-mudahan lowongan kerjanya masih ada."
Oman mengeluarkan sebatang rokok yang disimpan rapi di dompetnya, lalu menyalakannya. Asapnya mengepul ke udara, sebagian lagi ke arah Euis.
"Tapi kalau akang pergi, Euis mau nyurus si Asep nemenin disini ya kang." Pinta Euis penuh harap. Asep adalah adiknya yang belum lulus SMA. Sekarang Asep masih tinggal dengan Abah dan Emak di kampung lain.
"Memangnya si Asep bakalan diijinin tinggal disini sama Abah ? kan tugas si Asep ngebantu abah di sawah." Sebetulnya Oman agak keberatan kalau Asep tinggal di rumahnya karena artinya beban keuangannya akan lebih berat.
"Pasti boleh, lagian si Asep mah anaknya rajin kang." Sanggah Euis yang teringat oleh Asep yang ringan tangan. Anaknya sangat baik dan sopan, bahkan nilai-nilai di sekolahnya juga sangat bagus.
"Si Asep teh terlalu rajin di sekolah kata si abah juga. Pulangnya sore tiap hari." Oman masih terus berusaha agar Asep tidak perlu sampai tinggal bersama Euis.
"Iya kan dia teh rajin ikut Pramuka. Si Asep teh tergila-gila sama kegiatan alam." Euis malah memuji Asep.
"Ya atuh terserah Euis aja kalau gitu mah." Akhirnya Oman mengalah dan membuat Euis senang.
"Kang pinjem hape." Ujar Euis tiba-tiba. Tak biasanya Euis pinjem hape, biasanya kalau ada perlu juga Euis pake hape cinitnit jadul miliknya.
"Buat apa Euis ?" Oman penasaran.
"Mau nonton drakor.... kata ibu-ibu tetangga rame katanya." Euis malu-malu menjelaskan.
"Ih kuota internet akang ngga akan cukup buat nonton film mah." Oman tak jadi memberikan hape android miliknya, takut kuotanya habis.
"Ah, akang mah. Tipi ngga ada, radio rusak, hape ngga ada kuota. Euis teh perlu hiburan atuh kang." Euis cemberut, tetapi cemberutnya Euis malah membuat wajahnya makin lucu dan cantik.
"Nanti kalau akang jadi kerja di kota, Euis mau dibeliin hape." Pintanya.
"Iyaaaaa...." Jawab Oman terpaksa. Kalau tidak di-iya-kan maka pasti dia tak akan dapat jatah malam ini.
Euis mengangguk, dan mereka bersamaan masuk ke kamar.
0 Komentar