Asep
Seorang remaja berbaju pramuka membuka pintu sebuah rumah panggung. Sebuah suara yang serak dan berat menyambutnya dengan "Wa'alaikum salam." padahal ia belum mengucap salam, ini berarti sebuah sindiran halus untuknya. Asep berdebar, dikiranya abah sudah pergi ke mesjid tetapi ternyata masih ada di rumah. Yang membuat dirinya deg-degan adalah bahwa abah tidak suka kalau dirinya pulang sekolah menjelang waktu magrib seperti ini.
"Dari mana aja kamu ? Kalau masuk rumah itu biasakan mengucap salam." Abah langsung berceramah.
"Kan ini hari jum'at bah, Asep pramuka dulu." Asep menjelaskan pada abah sambil menutup pintu rumah.
"Pramuka itu cuman sampai jam tiga kata kamu, tapi sekarang jam berapa ? udah hampir magrib." Pertanyaan abah terasa seperti sebuah interogasi.
"Asep bantuin dulu guru memeriksa kertas ulangan temen-temen bah." Dan memang iya, tadi sebelum pulang dari pramuka wali kelasnya meminta Asep ikut memeriksa hasil ulangan teman-temannya. Nilai-nilai Asep yang selalu bagus membuatnya sering dipercaya oleh wali kelasnya untuk membantu.
"Kamu itu sekolah bayar, buat apa bantuin guru yang sudah dibayar sama abah ?" Ini ada benarnya juga, tapi Asep tetap menjawab.
"Kan abah pernah pesan 'guru ratu wong tua karo wajib sinembah'." Begitu jawaban Asep. Abah memang sering sekali berpesan seperti itu yang artinya kita harus nurut pada guru, pemerintah, dan orang tua.
Jawaban Asep tak disanggah oleh abah.
"Jangan lupa sholat, Sep." Hanya itu kata-kata terakhirnya yang dijawab Asep dengan sebuah anggukan mengiyakan. Dia tak pernah lupa pesan terakhir ini dan selalu dilaksanakannya.
"Besok pagi kamu ke rumah Teh Euis, kamu tinggal disana nemenin Teh Euis untuk seterusnya."
Asep menatap wajah abahnya yang lebih tinggi dari dirinya. Perintah abah membuat Asep keheranan, ada cerita apa sampai abah memintanya tinggal di Teh Euis ? Bukannya Abah tidak pernah mau kalau dirinya ke rumah Teh Euis berlama-lama ? Katanya takut merepotkan dan mengganggu Kang Oman.
"Itu Kang Oman katanya mulai besok pergi merantau ke Jakarta nyari kerjaan, Sep." Kata Emak yang tiba-tiba muncul dari dapur.
"Oooh gitu mak, terus sekolah Asep gimana ? kan jauh." Itu yang Asep fikirkan, jarak dari Kampung Pasir Lenyap tempat tinggal Teh Euis ke sekolahnya cukup jauh.
"Kata Teh Euis, kamu boleh pakai motor Kang Oman buat pergi ke sekolah." Emak masuk lagi ke dapur.
Oh ? Gitu ?
Asep nyengir kegirangan. Dia sudah lama mendambakan punya motor seperti teman-temannya yang lain. Dia capek selama ini selalu nebeng ke si Atoy yang tiap hari membawa motor Satria merahnya. Biarlah motor itu punya Kang Oman, asal dia boleh pakai saja sudah cukup buatnya tanpa harus memiliki. Aduh kebayang nanti ke sekolah pakai motor sendiri.
Fikiran Asep seterusnya melayang membayangkan dirinya bisa momotoran dan bergaya di depan anak-anak perempuan.
"Sholat Sep, udah magrib." Suara emak yang lantang dari dapur membuyarkan lamunannya.
**********
Dengan berbekal satu buah ransel yang biasa dia pakai ke sekolah dan dua kantong kresek Asep pergi untuk pindahan ke rumah Teh Euis dengan diantar si Atoy menggunakan motornya. Teh Euis menyambutnya di golodog alias teras rumah panggungnya sambil menggendong Adang.
"Assalamu'alaikum, Teh Euis kumaha damang ?" Atoy ikut salim.
"Wa'alaikum salam barudak, sok masuk dulu teteh udah nyiapin singkong goreng." Jawab Teh Euis sambil melangkah mendahului masuk kedalam rumah. Asep dan Atoy melangkah di belakang Teh Euis.
Atoy tak menjawab melainkan memberikan kode jempol sambil bibirnya monyong menunjuk ke Teh Euis.
"Apaaa ?" Asep bingung.
"Teh Euis tambah cantik dan seksi pake daster pendek begitu." Bisik Atoy hati-hati takut terdengar Teh Euis.
"Ah kamu mah piktor." Asep menghardik.
"Ada apa sep ?" Teh Euis menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah mereka. Tentu saja mereka berdua kaget.
"Ngga apa-apa teh, itu si Asep bilang katanya nanti ke sekolah pakai motor." Si Atoy mendahului menjawab mengalihkan pembicaraan.
"Oooh iya... sayang soalnya kalau motor Kang Oman ngga dipakai." Teh Euis melanjutkan berjalan masuk ke rumah.
Mereka duduk ngariung bertiga di lantai papan berkarpet plastik.
"Sok atuh dimakan dulu singkong gorengnya, Atoy." Kata Teh Euis.
"Iya teh terima kasih ini enak banget singkongnya mulus-mulus ya." Atoy bicara ngelantur. Dia memang terkenal selalu berfikiran mesum gara-gara keseringan nonton perempuan joget-joget di sebuah aplikasi hape.
"Tanah di sini soalnya gembur Toy, jadi singkongnya mulus-mulus." Jawab Teh Euis tak mengerti arah pembicaraan Atoy.
Teh Euis bangkit dari duduk dengan menaikkan satu lututnya lebih dahulu. Atoy menghentikan kunyahan singkongnya karena di hadapannya tersuguh paha Teh Euis yang selama sedetik terpampang karena ujung dasternya terbuka oleh sebelah lututnya yang terangkat. Ingin sekali Atoy melihat jauh lebih kedalam, tetapi sayang di ujung sana hanya terlihat gelap. Tetapi pemandangan satu detik itu begitu menggetarkan hingga Atoy lupa mengunyah singkongnya lagi bahkan setelah Teh Euis masuk ke dapur.
Asep menimpuk wajahnya dengan sepotong singkong.
"Ah disini aja ngga apa-apa Teh." Jawab Asep sambil manaruh tas berisi bajunya di sudut ruangan.
"Eeeh dikasih tau teh ngelawan. Jangan disimpen disitu nanti kusut diacak-acak sama si Adang. Dia lagi seneng ngoprek segala macem barang dibongkar sekarang teh." Teh Euis memaksa.
Yah.... telat, pikir Asep.
0 Komentar