TEH EUIS PART 1


 Kabut di Pasir Lenyap



Dari kejauhan terdengar samar-samar suara mobil bermesin diesel tengah menanjak menggunakan gigi dua. Beberapa pengojek segera menyalakan mesin motornya. Diantara mereka berlima hanya Oman yang tak ikut-ikutan menyalakan motor. Dia malas untuk berebut penumpang karena sudah pasti tidak akan bisa menang berebut penumpang dengan teman-temannya yang menggunakan motor bagus. Motornya hanya sebuah Honda GL 125 yang sudah usang. Seperti biasanya, Oman hanya bisa mendapatkan penumpang saat pengojek tinggal bersisa dirinya saja, tak memberikan pilihan lain pada calon penumpang kecuali menumpang motor tua Oman.


Mobil yang ditunggu akhirnya datang juga ke pertigaan Warung Honje, sebuah persimpangan yang menuju Kampung Pasir Lenyap di kaki Gunung Halimun. Empat tukang ojek memacu motornya tepat ke pintu keluar sebuah Elf yang sarat dengan penumpang dan barang.



"Neng hayu neng, mau dianter kemana ?" Uje yang paling depan dengan percaya diri menyambut penumpang yang sedang turun.

"Hayu Neng sama akang aja, ongkos biasa." Kang Uun tak mau kalah menawarkan jasa. Tetapi penumpang yang turun hanya celingak-celinguk mencari sesuatu. Seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut kecoklatan mengayunkan sebuah backpack yang tadi dipegangnya ke punggung.

"Kang Oman mana ?" Suaranya yang khas berlogat Sunda terdengar bertanya pada para tukang ojek yang menawarkan jasa sambil menggerung-gerung sepeda motornya.

"Euuh.... langganan si Oman." Kang Uun tak menjawab si gadis yang baru saja turun dari Elf. Dia langsung balik lagi ke pangkalan ojek berupa sebuah gubuk dengan tempat duduk berupa kayu panjang.

"Tuh ada di saung." Jawab Uje sambil kepalanya melongok ke pintu Isuzu Elf. "Cuman satu yang turun ini teh ?"

"Iyah mang, cuman satu." Supir Elf berteriak menjawab. Dengan beberapa gerungan, Elf itu kembali berjalan menyisakan asap solar yang hitam.

"Oman... yeuh ada kabogoh !" Uje memanggil Oman.



Oman tersenyum girang. Rejeki ngga kemana, fikirnya. Dia segera menyalakan motor bututnya dengan beberapa hentakan kaki pada selahan. Di motornya tak ada electric starter.



"Hayu Neng Enok." Katanya mempersilahkan gadis yang bernama Enok itu untuk naik.


Neng Enok sepintas terlihat agak bingung untuk naik mengingat ia mengenakan rok denim yang ketat menyesakkan nafas bagi siapapun yang melihatnya.



"Duduk ke samping apa ke depan yah ini teh kang ?" tanya Neng Enok pada Oman yang sudah siap di motornya. Oman tak menjawab tetapi hanya berfikir saja kalau sudah tau mau naik ojek ngapain si Neng Enok pulang dari Bandung pake rok kaya gitu segala ?

"Hah siah Oman, gua bilangin sama bini lu." Sebuah suara dari saung pangkalan ojek berteriak, diiringi riuh tertawa seluruh pengojek.



Neng Enok naik dengan cara lelaki, menghadap ke depan. Rok denim ketatnya tertarik jauh ke atas paha. Di wilayah sini sebetulnya dianggap tidak sopan kalau perempuan dibonceng menghadap ke depan.



"Emh si Oman dapet rejeki montok." Seru suara yang tadi berteriak.



Oman tidak menggubris rekan-rekannya sesama tukang ojek. Dia langsung tancap gas membawa Neng Enok, anak Tua Kampung yang hampir seminggu sekali pulang dari Bandung dimana dia kuliah di sebuah perguruan tinggi.



"Tumben baru pulang, Neng." Oman memang terbiasa ngobrol dengan penumpangnya.

"Iya Kang, minggu kemaren mah males pulang." Neng Enok mulai bercerita kalau dia capek mengerjakan tugas jadi minggu lalu malas untuk pulang.

"Kok Neng maunya dianter sama saya sih ? Kan tukang ojeg di pangkalan bukan cuma saya." Oman penasaran kenapa Neng Enok selalu memilih dirinya. Dari dulu pertanyaan itu disimpan di hati baru sekarang ditanyakan.

"Soalnya saya mah ngga suka dibawa kebut-kebutan. Motor Kang Oman kan paling jelek jadi ga mungkin ngebut." Jelas Neng Enok.

"Kirain karena saya ganteng Neng" Dimana mana sudah lumrah kalau tukang ojeg sedikit genit. Disaat yang sama Oman ngerem mendadak karena ada seekor musang yang berlari menyebrang. Tak ayal lagi dua benda lembut kenyal menohok punggung Oman.



Orang Sunda punya istilah untuk itu yaitu "sunyoto" singkatan dari susu nyodok tonggong. Artinya susu menyodok punggung.



"Eh si Kang Oman genit." Neng Enok menggeser mundur duduknya lalu memindahkan backpack dari punggungnya ke dada.



Jalan kerikil di depan mulai menanjak bukit, Oman pindah ke gigi dua agar motornya kuat melahap tanjakan. Perpindahan ke gigi yang lebih rendah membuat motor Oman memelan tiba-tiba, membuat penumpang di belakangnya terdorong ke depan.



Sesuatu menyodok punggung Oman, tapi kali ini kerasnya tas backpack yang terasa.



"Ih si akang sengaja ya ?" Neng Enok tetap protes.

"Berani sumpah Neng, ngga sengaja." Oman menepis tuduhan. Ia ngegas motornya pada gigi dua yang perlahan mulai nanjak menuju ke Kampung Pasir Lenyap melalui beberapa bukit dan hutan kecil.


Di kejauhan atap-atap rumah yang terbuat dari ijuk mulai terlihat walaupun samar-samar karena kabut cukup tebal.


"Hujan terus kang ?" Neng Enok kembali memulai obrolan saat bukit terakhir terlewati.

"Yah biasa kan di Pasir Lenyap mah tiap hari hujan tanpa mengenal musim. Makanya disebut Pasir Lenyap juga karena sering hilang lenyap ditelan kabut." Oman tetap menjelaskan asal usul nama Pasir Lenyap padahal Neng Enok sebagai gadis kelahiran asli kampungnya sudah pasti tahu sejarah kampung Pasir Lenyap.

"Salah atuh Kang, kalau dalam bahasa Sunda kan 'lenyap' itu artinya 'berdebar-debar', jadi artinya bukan 'menghilang'." Rupanya Neng Enok lebih paham. Maklum dia anak Tua Kampung yang paling dihormati.

"Akang yang berdebar-debar mah, Neng." Oman tertawa mengekeh.

"Kenapa emangnya ?"Neng Enok keheranan.

"Iya, soalnya tiap bawa Neng Enok pasti akang dicemberutin sama istri."

"Makanya, jadi tukang ojek jangan genit kang."



Motor mulai memasuki kampung yang berselaput kabut. Oman sudah hafal kemana dia harus mengantar Neng Enok. Sebuah rumah yang paling besar tepat didepan Bale Gede tempat berkumpul para tetua untuk bermusyawarah.



"Nuhun Kang." Neng Enok turun dari motornya lalu memberikan selembar uang 50rb.

"Ngga ada uang kecil Neng ?"

"Udah ambil aja semua kang, ga usah pake kembalian."

"Nuhun atuh Neng. Semoga tambah banyak rejekinya." Oman girang mendapat 50rb dari penumpang pertamanya. Dia segera memacu motornya kembali ke pertigaan Warung Honje untuk mangkal kembali disana.

Posting Komentar

0 Komentar