Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta rudalnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Tadi sekarang kalau sedang bermesraan atau bermain memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermammu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
Kami berpelukan dan berciuuyman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuyman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu.
Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang menutupi liangnya yang nyempluk itu aku pelorotkan. Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, liangnya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu, buah dada yang putih menggunung, perut yang langsing, liang kenikmatan yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona.
Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke liangnya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang liangnya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam lianganya. Dengan penuh semangat kukocok liang Bu Tadi dengan rudalku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam rudalku ke liangyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spevhrmaku di dalam rahim istri gelapku ini.
Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Rudalku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Liangnya licin sekali penuh sperbmaku. Kucabut rudalku dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik.
Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini?
0 Komentar