Sang pewaris part 81

 

Bab 81








Pertarunganku dengan Sawaka berlangsung selama dua hari tujuh jam. Sempat terganggu karena Mantili datang membantu. Kini istri Sawaka itu sudah tergeletak tanpa nyawa. Tentu saja Sawaka murka, pertarungan yang semula pura-pura berubah menjadi pertaruhan hidup dan mati.




Akhirnya aku bisa melumpuhkan Sawaka dengan jurus pamungkas warisan pendahulu, yaitu aji Ayat Cinta Penghancur Sukma. Aku mempelajari ilmu itu di lembah ketika aku terjatuh. Di sanalah Senja dan Sae berada. Mereka hidup bahagia dan memintaku untuk tetap merahasiakan keberadaan mereka.




Jerit tangis dan ratap pilu memenuhi kerajaan siluman Anta ketika aku berdiri di hadapan maharaja sambil memegang kepala Sawaka yang sudah kupenggal. Darah segar masih menetes, tubuhku juga basah merah bercampur keringat. Pakaianku sudah compang-camping dan luka bekas cakaran merusak wujud asliku.




“Sekarang apa maumu?” ujarku dengan seringai kemenangan.


“Lantaaaang!!!” raja Anta murka.




Raja meloncat dari atas singgasananya sambil mengayunkan Pacek Lintang. Serangan bertubi-tubi ia lancarkan. Aku memang waspada, tetapi tenagaku sudah terkuras. Terkena sabetan angin Pacek Lintang saja aku terpental dan jempalitan di udara.




Raja merasa berada di atas angin. Tawanya membahana. Percaya dirinya berlipat karena yakin umurnya sudah abadi.




“Kolor aing eusi iteuk pesing, kanjut aing eusi mani munding.” aku melafal mantra. Tak ada senjata yang boleh merenggang nyawa tuannya.




Kupasang kuda-kuda dengan kokoh. Kali ini aku tidak menghindari serangangan raja Anta, tetapi menyambutnya.




Taaaaap….




Kutangkap ujung Pancek Lintang dan kugenggam erat. Aku terseret oleh energi mahakuat, sedangkan raja oleng karena terbawa oleh tenaganya sendiri. Aku dan raja berputar di udara bagai gasing, saling menghentak untuk memperebutkan Pacek Lintang.




Kesempatan ini, tanpa raja tahu, kupakai untuk menakar kekuatannya. Aku menyeringai. Kekuatan kami berimbang. Semua telah berjalan sesuai rencana.




Kulonggarkan genggaman ketika raja mengerahkan tenaga untuk mendorongku melalui energi yang ia salurkan melalui tongkat. Tongkat pun menggelosor melewati pinggangku dan wajah raja tepat berada di hadapan.




Wuuuut… ayunan tinju mati geni kulancarkan. Sasaranku adalah rahang.


Wuuuushhh.. tinjuku memakan angin. Gerakan menghindar raja sangatlah gesit.




Kulapalkan kembali mantra yang sama sambil menggenggam tongkat erat.




Huuuuuppp… aku salto di udara sambil mengerahkan tenaga. Tap.. tap… srrrrttt… Pacek Lintang pun pindah tangan. Sepenuhnya berada dalam penguasaanku.




Raja Anta tahu ia telah kalah banyak. Mahapatih dan para perwiranya telah gugur. Maka Raja tidak lagi tarik-ulur. Ia langsung merubah wujud pada sosok aslinya, seekor singa besar dan seram. Jurus terakhir dan ilmu pamungkas ia kerahkan.




Sadar akan bahaya yang mengancam nyawa. Aku langsung memasang posisi lotus. Tangan melipat di depan dada.




Gumpalan awan-hitam-panas turun sehingga suasana sekitar berubah gelap. Hanya sinar tajam mata Raja Anta yang terlihat.




Waktuku semakin terbatas. Kukerahkan energi dan kulafal mantra. Pacek Lintang yang kutancapkan bergerak. Tercerabut… Lantas berputar bagai gasing di atas kepalaku. Ini cukup membantu karena awan sedikit terpendar dan jarak pandang penglihatanku menjadi lebih jelas.




Sesaat aku dan raja Anta saling menakar kekuatan. Saling menjatuhkan mental melalui energi yang kami kirimkan. Perlahan aku memejamkan mata. Kulafalkan pula ilmu pamungkas yang telah membuat Sawaka merenggang nyawa.




Melalui mata batinku, terlihat Raja Anta mulai melakukan serangan. Awan hitam semakin bergelombang, hawanya semakin panas. Hanya karena Pacek Lintang yang membuatku tidak terbakar.




Aku mengadopsi ilmu tarian hitam yang kupelajari ketika melawan Mahapatih Mayapada, dan mengkombinasikannya dengan ilmu Ayat Cinta Penghancur Sukma. Tujuanku adalah untuk membuat raja melawan tujuh bayangan dengan perasaan sedih yang tidak karuan.




Tepat ketika raja mengaum keras dan bersiap melakukan serangan, aku telah berhasil mencuri gumpalan awan yang menjadi sumber kekuatan raja. Tujuh bayangan sosok penari sudah melingkariku. Putaran gerakan mereka selaras dengan putaran Pacek Lintang di atas kepalaku.




Pyaaaarrrr.. garis-garis cahaya putih terpencar menghubungkan setiap penari dan menjadikan diriku sebagai titik sentral putaran.




Siluman harimau Anta meloncat ke belakang sambil menutup mata. Ia terkena serangan cahaya yang super menyilaukan. Sejurus kemudian, awan-gemawan yang dikuasai oleh raja bergerak bergelombang; menyerupai sosok harimau. Bukan hanya ratusan, tetapi bahkan ribuan. Suasana alam mencekam; geraman, raungan, dan bunyi cakaran kuku memekakan telinga.




Pertarungan sengit pun tak bisa lagi dielakan. Secara kasat mata yang terlihat adalah pertempuran antara bayangan harimau dan bayangan para penari, tetapi sesungguhnya aku dan Raja Anta sedang beradu energi. Tubuhku langsung basah kuyup oleh keringat.




Kadang aku yang terdesak dengan semakin mengecilnya lingkaran para penari, kadang Raja Anta yang terpukul mundur ketika bayangan-bayangan penyerang terpental.




Raja Anta menjadi panglima utama tempur dengan memimpin barisan bayangan harimau yang ia ciptakan sendiri. Sementara aku masih bertahan tanpa melakukan serangan balasan.




Kutambah energi. Para penari hitam semakin meliuk bagai angin, dan lingkaran cahaya pun berputar kencang. Bagai roda yang dihubungkan delapan jari-jari dimana setiap jari-jari itu bagai mata pedang yang siap menebas bayangan lawan.




Raja Anta merangsek sambil meloncat-loncat untuk menghindar. Semakin besar energiku, semakin besar pula putaran para penari. Garis cahaya pun menyatu menyerupai piringan.




Raja semakin beringas untuk membuyarkan setiap bayangan penari dan menembus pertahanan cahaya yang mematikan. Ini yang sebetulnya kuinginkan.




Tanpa raja sadari, ia sebetulnya sedang melawan energinya sendiri. Pasukan harimau dan para penari berasal dari sumber yang sama, yaitu gumpalan awan yang merupakan ilmu dan kesaktiannya.




Setelah bisa mengimbangi serangan-serangan raja Anta, aku mulai berani memejamkan mata. Kusatukan panca indra, kubuka semua titik cakra. Kulafalkan ajian Ayat Cinta Penghancur Sukma sebanyak dua puluh tujuh kali.




Chaos… kacau… Itulah yang terjadi…




Raja Anta meraung-raung tanpa menghentikan serangan. Auman amarahnya kini bercampur dengan teriakan ratap tangis. Serangan pasukan bayangan hitam menjadi tidak terkendali, tanpa arah, dan semakin menjauh dari posisiku yang menjadi tujuan sasaran.




Kubuka katupan tangan dan kuputar di depan dada. Kumparan bola api tercipta. Dalam beberapa hentakan kulontarkan menuju para penari. Tarian bayangan hitam pun berubah menjadi tarian cahaya.




Inilah saatnya. Para penari bukan hanya bertahan, melainkan melakukan serangan balasan. Terang dan gelap berperang. Setiap serangan adalah beradunya energi tetapi dentumannya meriuhkan alam.




Raja sendiri nampak mulai kewalahan. Kini yang sedang ia lawan bukanlah aku, melainkan perasaan sedihnya yang tidak terkendali. Ajian Ayat Cinta Penghancur Sukma telah menghantam sanubarinya.




Alam yang gelap berubah menjadi terang seiring hancurnya pasukan harimau bayangan.




Taaaap… kutangkap tongkat Pacek Lintang yang tak henti berputar. Aku berdiri dan meliuk ikut menari.




Pada puncak kemurnian energi, aku berhenti, lantas mengokohkan kuda-kuda. Kutatap Raja Anta yang sedang sempoyongan. Mulut dan taringnya merah karena luka dalam. Darah mengalir keluar.




Hiaaaaaaat….




Aku meloncat memburu sosok besarnya.




Wuuuut… wuuuuut…. buuuuuuk….




Pacek Lintang menghantam kepala Raja Anta dengan pelak. Raungan panjang menggelegar bagai guntur. Sosok itu pun ambruk, sedetik kemudian sosoknya berubah kembali menjadi wujud manusia.




Kuusap keringat yang membasahi wajah. Mataku tertuju pada sosok raja yang sedang meraung-raung memegangi kepala. Batok kepalanya pecah, dan cairan putih bercampur darah meleleh keluar. Kalau manusia normal pasti ia sudah merenggang nyawa.




“Aaahh… aaaarrrh… ambilah nyawaku anak muda. Hehehe… tapi ingat, aku akan hidup lagi… aku sudah tidak bisa mati, nyawaku abadi.” raja mengancam di balik rintihan sakitnya.


“Aku tidak takut.” kunyalakan sebatang rokok. “Ramuan mawar hitam yang kauminum sudah dicampur oleh darah haid perempuan. Kesaktiannya tidak mujarab lagi.”




Raja terbelalak kaget, sedangkan aku tertawa penuh kemenangan. Raja terlihat mulai terpengaruh oleh ucapanku. Ia memejamkan mata untuk memulihkan diri.




Sia-sia… aku telah membuktikan ucapanku. Ramuan yang ia minum telah dicampur darah haid sesuai rencana.




“Laknaaaat… kurang ajar….” raja marah.




Nafsu dan amarahnya masih besar, tetapi tenaga dan kesaktiannya telah punah.




Raja menatapku sambil menahan rasa sakit. Nafas dalam ia tarik… lantas ia menjerit… melengking… nyaring…..




Kupikir raja sedang merenggang nyawa. Tetapi aku salah. Raja meminta mala bantuan.




Semenit kemudian dari arah utara terdengar suara begemuruh. Pekik dan cicit nyaring menyakitkan genderang telinga.




“Siluman luwak?!” aku bergumam. Panik langsung menghinggapi. Nyaliku ciut… Aku berlari sekencang mungkin.


“Reiiiiii….???!!!” kudengar teriakan memanggil.




Aku berhenti dan menengok ke belakang. Sial.. aku lupa. Keluargaku ada di sini. Aku berlari ke arah mereka. Kutebas lingkaran cahaya yang membelenggu mereka. Isak tangis para wanita menyambutku. Pun pula ayah.




Aku tidak bisa fokus. Mataku selalu tertuju pada pasukan siluman luwak yang semakin mendekat. Aku menjerit.. aku teriak setengah menangis… aku melolong minta pertolongan…




Kupeluk punggung mamah. Kubenamkan kepalaku. Takutku sudah di ambang batas. Bukan hanya aku.. jerit tangis para wanita berubah panik. Cakaran dan seringai gigi-gigi tajam sudah di depan mata. Aku menjerit takut…




Kurasakan tubuhku ada yang menghentak, berpindah pelukan. Tubuhku bergetar hebat, air mataku meleleh. Takut ini tak lagi terkata.




Teriakan-teriakan dan lengking luwak terdengar. Aku tidak berani membuka mata. Yang ada dalam benakku adalah menanti detik-detik cakaran dan gigitan. Aku akan segera mati.




“Hiks.. hiks… Rei.. sudah… kamu jangan takut.” sosok yang memelukku menggoncang-goncang bahu.


“Kaaa.. aku takut…” sambil setengah menangis. Kini aku tahu jika yang memelukku adalah Inka. Tetapi aku masih tidak berani membuka mata. Kini celanaku malah terasa basah.


“Kita aman. Lihat itu…” Inka masih terus menggoncang tubuhku.




Mendengar ucapannya aku memiringkan wajah. Kubuka mataku pelan. Tubuhku masih bergetar. Dan…




Aku langsung terbelalak. Ayah dan mamah beserta para wanita ritualnya sedang bertarung melawan pasukan siluman luwak. Pacek Lintang sudah berada di tangan ayah.




Aku tidak menyangka. Wanita-wanita yang selama ini terlihat sederhana ternyata memiliki kesaktian luar biasa. Mereka bersatu… mereka padu… bahu-membahu mengenyahkan lawan.




Aku merasa sedikit lega. Setidaknya luwak-luwak itu sudah menjauh. Aku terus mengamati sambil tetap memeluk Inka. Mataku waspada untuk berjaga-jaga seandainya ada luwak nyasar yang mendekat.




Pertarungan sengit terjadi. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Ilmu Suwir Jagad milik ayah berhasil menghalau musuh. Entah bagaimana.. luwak yang tersisa malah berbalik menyerang Raja Anta. Pesta darah terlihat di depan mata. Raungan terakhir raja terdengar. Ia merenggang nyawa, kisah hidupnya telah tamat.




Aku melongo melihatnya. Tanpa sadar kalau ayah dan para wanitanya sudah kembali. Mamah memelukku sambil menangis. Tante Nur, Tante Maya, dan yang lainnya melakukan hal yang sama.




Plaaaaaaak…




Sebuah tamparan keras mendarat pada pipiku. Sikap ayah berbanding terbalik dengan sikap mamah. Ia nampak begitu marah.




Aku meringis. Ketakutanku pada luwak berganti heran karena sikap ayah.




“Ayaaaah?!” bukan aku yang protes, melainkan mamah yang menjerit. Mamah mengusapi pipiku yang terasa panas.


“Lebih baik kita mati bersama karena perjuangan, daripada pulang karena kebodohan tanpa berusaha menolong.” murka ayah.




Kini aku sadar bahwa yang dimaksud oleh ayah adalah Rere. Ia marah karena aku sama sekali tidak berusaha menolong gadis itu.




Ayah terus menyemburkan amarah dan kekecewaannya, mamah berusaha menenangkan, Tante Nur menangis histeris karena teringat kembali putri semata wayangnya.




“Mending kalau mati bersama, kalau hanya ayah gimana? Gak kasihan ke mamah?” aku yang sudah bisa menguasai situasi diri menjawab.




Jawabanku tentu saja membuat ayah semakin marah, dan para wanita terhenyak kaget mendengar celetukan kurang ajarku. Ayah sudah mengayunkan Pacek Lintang untuk menghajarku, tetapi mamah langsung memeluk ayah dan mendorongnya.




Aku tidak kecewa pada sikap ayah. Aku tidak balik marah. Apa yang ayah katakan dan ucapkan menjadi bukti cintanya padaku dan juga pada Rere. Sebaliknya, aku merasa bahagia. Untuk pertama kalinya seumur hidupku, baru kali ini aku melihat ayah murka; baru pertama kali juga ia menamparku. Tapi ini menyukakanku. Ada cinta luar biasa dalam dirinya.




“Rere selamat dan dia baik-baik saja.” suaraku dalam untuk meredakan suasana.




Semuanya terdiam, aku menyeringai senang. Entah mengapa aku suka melihat ayah marah. Mungkin karena pertama kalinya, maka itu menyukakanku. Lagipula aku menjadi seperti ini, juga karena warisan ritualnya di masa lalu. Sedikit menjailinya bukanlah dosa.




Kuangkat tangan untuk membuka tabir yang selama ini mengelabui mata. Dan… terlihatlah mayat-mayat bergelimpangan. Tidak ada yang berubah. Bedanya… mayat Rere berubah menjadi batang pisang, dan kepala Sawaka yang kupenggal hanyalah sebongkah batu. Mayat Mantili menjadi onggokan kayu.




“Jadi.. mengapa aku tidak menolong Rere, karena itu semua sudah kurencanakan dengan Sawaka. Setelah meminum ramuan mawar hitam yang tidak lagi murni, raja menjadi mudah dikelabui. Yang raja setubuhi dan bunuh bukan Rere tapi batang pisang itu.” jelasku.




Semuanya terbelalak mendengar penjelasanku. Desah nafas lega mereka hembuskan.




“Walaupun aku tidak tahu, mengapa raja tidak bisa menyentuh Rere sebelum ia meminum ramuan itu.” aku menambahkan.


“Lalu Sawaka?” tanya ayah.


“Sebentar lagi juga datang.” jawabku.


“Gimana, Yah? Aku hebat, kan?” aku berbangga diri.




Ayah yang tadi marah berubah jengkel, tangis para wanita berubah menjadi tawa gemas.




“Hebat kok ngompol.” celetuk Inka.




Untuk pertama kalinya aku mendengar mereka semua tertawa, dan aku bungkam menanggung malu. Mukaku rasanya merah padam. Tante Maya yang paling terpingkal-pingkal; ia seakan puas melihat aib keponakannya.




“Lalu Rerenya mana? Cepat kamu jemput!” Tante Nur sudah tidak sabar. Ia bertanya sambil mengusapi air mata. Bukan lagi air mata lara karena ditinggal mati anak tercinta, melainkan air mata lega-bahagia sekaligus geli melihat celanaku yang basah karena ngompol.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar