Bab 80
Aku menghempaskan tubuhku ke samping dengan nafas terengah-engah, lututku gemetar dan badan terasa lemas. Percintaan kami cukup panjang, memang sangat nikmat, tetapi juga menguras energi.
Inka sendiri setengah tertidur sambil merasakan sisa rangkaian puncak orgasme yang ia dapatkan. Tubuhnya licin oleh peluh.
Kurapikan rambutnya diakhiri sebuah kecupan pada keningnya. Inka membuka mata. Sorotnya sendu. Senyum terulas, sebuah ungkapan puas sekaligus ketir ia pancarkan. Apa yang baru saja kami lakukan dibangun atas rasa sayang dan ikhlas, namun di balik itu semua ada seorang Rere yang perasaannya kami korbankan.
“Waktunya sudah tidak banyak, Ka.” ujarku sambil memandang keluar jendela kastil.
“Kenapa, Rei?” ia tidak menanggapi perkataanku. Ia masih saja mempertanyakan kenapa aku lebih memilih dia daripada Rere.
“Suatu saat kamu akan tahu kenapa aku memilihmu.” jawabanku masih itu-itu saja.
Inka menggelengkan kepala tanpa bisa menyembunyikan rasa kecewa. Kukecup tipis bibirnya, lantas meminta Inka untuk bangun dan berpakaian.
Ia pun menggeliat lemas. Payudaranya bergelantungan menggugah kembali selera. Tapi aku harus mengakhiri, cukup untuk malam ini.
Ketika kami keluar kamar para pengawal yang berjaga langsung menyambut. Sri Kencana juga ada di sana.
“Kakang segera kembali ke lapangan istana, biar Inka menyusul bersamaku.” tegas Sri Kencana.
Aku hanya bisa mengangguk setuju. Waktu yang kumiliki sudah tidak banyak.
Aku pun meninggalkan kastil di bawah kawalan puluhan serdadu, sedangkan Sri Kencana dan Inka menyusul di belakang.
Pemandangan mengejutkan kutemukan. Setibanya di medan tempur, kulihat Rere sudah setengah telanjang di atas batu besar. Para bidadari menari mengelilinginya.
Suara tabuhan bertalu-talu bercampur dengan sorak-sorai rakyat Anta yang berpesta. Raja Anta berdiri sambil mengangkat tangan. Senyumnya menyeringai penuh kemenangan.
“Hahaha.. selamat datang kembali, Rei. Kau telah melakukan ritual, sekarang giliranku.” bahaknya membahana mengalahkan segala keriuhan yang ada.
Aku tidak terlalu menghiraukannya. Pandanganku tertuju pada Rere. Ia membalas. Aku tahu ia sedang menanggung rasa lara yang hampir melewati batas kemampuannya sebagai wanita. Tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Ia tersenyum seolah ingin mengabarkan bahwa ia sungguh ikhlas dan rela mengorbankan kehormatannya kepada raja Anta; juga rela merenggang nyawa demi keselamatanku dan keluarga besarnya.
Aku tak membalas senyumnya. Aku melihatnya datar tanpa ekspresi. Aku masih kecewa. Bagiku, pasangan sejati adalah gadis yang mau hidup denganku, bukan yang rela mati untukku.
Mamah dan Tante Nur menangis histeris ketika melihat kedatanganku. Mereka senang aku kembali, dan memohon-mohon agar aku menyelamatkan Rere. Ayah malah memaki kasar karena aku seperti tidak peduli pada gadis itu.
Aku berjalan menaiki anak tangga menghadap raja. Bukan hanya Rere yang kuabaikan, tetapi juga keluargaku. Mereka memang tidak lagi dibelenggu, tetapi ditempatkan di tengah lingkaran besar cahaya gaib sehingga tak seorang pun bisa lolos dan keluar dari lingkaran itu.
“Aku sudah menjalankan kewajibanku, sekarang giliran baginda yang menjalankan tugas baginda, dan setelah itu ijinkan kami pulang ke alam kami.” ujarku dengan suara dalam.
“Hahaa.. itu sudah pasti, anak muda! Seorang Anta tidak akan ingkar janji.” jawab raja pongah.
Raja pun mempersilakanku duduk agar bisa menonton aksi ritualnya. Kini aku berada di barisan para petinggi negeri. Bodohnya raja, aku ditempatkan di samping Sawaka sehingga lebih mudah bagi kami untuk saling berkomunikasi.
Melihat bahwa aku berada di pihak Raja Anta, ayah, mamah, Tante Nur, dan para wanita ritualnya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. Mamah malah memohon-mohon agar aku sadar. Tangisnya terdengar pilu dan menyayat hati.
Aku tak menghiraukan mereka. Kutegakkan dudukku dengan gagah.
Tepat ketika purnama berada pada titik vertikalnya dengan bumi. Raja Anta meloncat. Tubuhnya melayang menuju batu besar tempat Rere berada. Pakaian kebesarannya berkibar, mengibas angin birahi sekaligus aroma kematian. Mau tidak mau aku sedikit merinding.
Dua orang bidadari naik ke atas batu dan berdiri di belakang raja. Mereka menerima jubah emas raja yang ia tanggalkan. Hingga tinggal bertelanjang dada.
Bagai tersirep, Rere yang awalnya duduk emok langsung berdiri. Berhadapan dengan raja. Kulit tubuhnya berkilat karena memang hanya mengenakan beha putih dan celana dalam berwarna sama. Beberapa detik lamanya waktu seakan berhenti. Sunyi mencekam.
Tak berselang lama raja merentangkan tangan. Satu pukulan gending melenting pertanda ritual segera dimulai, disusul tetabuhan lainnya. Para rakyat mulai bergoyang disertai lafalan mantra yang membuat kuduk merinding.
Raja mulai menari, para bidadari dan rakyak mengikuti gerakannya. Bagai terhipnotis, Rere pun menirukan gerakan raja. Terlihat luwes dan tanpa canggung, namun sorot matanya berubah kosong. Tentu saja gadis itu tidak sedang kehilangan kesadaran. Ia sepenuhnya sadar, namun kesedihannya sudah berada di tapal batas. Gerak hati dan akal sehat tidak lagi mampu mengendalikan tubuhnya; yang ia bisa hanyalah pasrah. Rere sedang mengorbankan seluruh jiwa dan raganya, juga segenap rasa dan cintanya. Bukan cinta untuk raja Anta, melainkan rasa terdalam untuk aku dan kami semua dari keluarga manusia.
Tarian yang semula pelan semakin lama semakin erotis. Dua tubuh berbeda jenis dan berbeda alam saling meliuk menggairahkan. Melihat kemolekan Rere dan gerakan erotisnya membuat kang pepen tidak tahu diri. Ia menggeliat, padahal hatiku tidak sedang pengen.
Tubuhku ikut berkeringat. Tegang kurasakan. Tetapi aku berusaha tetap tenang tanpa gerakan mencurigakan. Sekali-kali aku berbicara dengan Sawaka melalui telepati.
Tubuh raja Anta dan Rere semakin merapat, meski belum bersentuhan. Semakin dekat dan dekat.. kuyakin energi birahi mereka sudah bertautan meski kulit masih anggang.
Dalam sekali gerakan raja Anta melepas sisa pakaiannya. Telanjang. Aku berpaling menatap Rere karena enggan melihat barang batang. Rere menahan nafas, sejenak matanya terpejam. Mungkin ada jentik air mata di sana. Entahlah…
Suasana semakin mencekam.. teriakan suara manusia berubah menjadi geraman-geraman harimau yang memenuhi seantero jagat.
Raja Anta sigap mengulurkan tangan untuk menyentuh Rere. Namun ia malah sedikit terpental. Aku sedikit menghela nafas lega. Tiba-tiba ada selaput energi ajaib yang melindungi setiap inchi dari tubuh Rere yang melindungi sehingga raja Anta tidak bisa menyentuhnya.
Semakin raja Anta berusaha, semakin kuat energi itu. Aku tahu, raja heran dan panik, tetapi ia tidak mau malu di depan rakyatnya. Maka gerakan tariannya beringas.
Kulihat Rere juga heran, ia melirik ke arahku, tetapi aku tetap duduk tanpa ekspresi. Energi itu bukan berasal dariku, aku juga tidak menyangka bahwa Rere akan terlindungi seperti itu, tetapi aku bisa menduga siapa yang melakukannya.
Rere aman untuk sementara. Lantas aku berbicara dengan Sawaka. Sekarang sudah waktunya menjalankan rencana. Pilihannya hanya dua: berhasil atau kami semua mati!
Tiba-tiba sosok raja Anta berubah ke wujud aslinya. Sosok harimau besar yang menyeramkan. Aumannya mengalahkan segala suara yang ada. Sepertinya ia sudah kehilangan akal untuk bisa menyentuh Rere. Kuku-kuku tajamnya mencakar hendak mencabik tubuh gadis itu. Lagi-lagi gagal.
Tabuhan gending menjadi tidak beraturan, tarian ambyar, dan gumaman heran berkumandang dari segala arah. Chaos.. kacau.. kepanikan terdengar di mana-mana.
“Hentikan!!!” aku berdiri sambil mengangkat tangan.
“Kurang ajar!! Apa yang kaulakukan?!” raja murka. Mata merahnya tertuju kepadaku.
“Maafkan aku, baginda, semakin baginda berusaha menyentuh Rere maka kekuatan baginda akan semakin berkurang. Segera minum ramuan mawar hitam agar baginda raja bisa melakukan ritual dengan lancar.” ujarku.
Aku tahu raja tidak akan percaya padaku begitu saja, dan memang itu yang kuinginkan. Raja nampak begitu geram, ia kembali menghadap Rere dan siap mencakar. Lagi-lagi gagal. Puluhan perwira yang duduk di samping kiri dan kananku saling melompat untuk membantu raja. Mereka mengelilingi Rere. Dalam satu auman mereka semua mengeroyok untuk mencabik tubuh Rere. Cahaya-cahaya ilmu gaib saling berkelebat sehingga tubuh Rere seperti terbakar api.
Hasilnya? Hehehe.. gagal donk! Kasian yah…
“Hentikan!!” setelah sekian lama raja menyerah dan para perwiranya menuruti perintah.
Suasana hening sesaat sebelum akhirnya raja merubah kembali wujudnya menjadi sosok manusia. Ia mengulurkan tangan ke arahku, dan aku tidak mampu melawan ilmunya. Tubuhku terhentak, ditarik raja, melayang ke arah batu dan berdiri di hadapannya. Fix.. andai saja kami duel kanuragan, ilmuku belum tentu mampu untuk melawan dan melumpuhkannya.
“Aku sudah mengatakannya.” jawabku tanpa rasa takut, padahal jantungku empot-empotan.
“Kamu jangan mencoba memperdayaku!!” bentak raja.
“Apa ruginya kalau pendapatku salah?!” jawabku. “Kalau baginda tetap tidak bisa menyetubuhi Rere setelah meminum ramuan mawar hitam, toh baginda tetap akan berumur panjang.”
Raja nampak berpengaruh. Setelah berpikir ia pun memerintahkan Mantili dan Sri Kencana untuk membawa ramuan itu dari dalam istana.
Aku dan raja berdiri berhadapan. Para perwira meloncat turun dari batu dan mengelilingi kami. Rere sendiri kembali terduduk. Aku tidak ingin meliriknya karena takut ingin memegang payudaranya yang sekal. Apalagi tadi sempat melihat samar bayangan hitam di balik celana dalamnya; aku tidak ingin tergoda menyuwirnya pake jari.
Tak berselang lama Mantili dan Sri Kencana keluar dari dalam istana diiringi para bidadari. Mereka mengarak piala emas yang berisi ramuan mawar hitam.
Suasana mulai terkendali. Singa Anak Celenk mengangkat tangan ke arah panggung nayaga untuk memberi perintah. Denting gamelan pun kembali berkumandang.
Dengan pongahnya raja menerima piala yang Mantili sodorkan. Ia mengangkat piala itu tinggi-tinggi. Teriaknya, “Mulai malam ini dan seterusnya, akulah penguasa abadi negeri ini.”
“Hidup raja!! Hidup raja!!” sahut rakyat.
Raja pun meminum ramuan. Tubuhnya bergetar, dan aura kuning langsung memancar. Raja tertawa terbahak diikuti sorak-sorai, pikirnya ia telah menjadi makhluk yang tak bisa mati.
“Cobalah lagi!!” ujarku pelan.
Kami pun kembali ke tempat duduk masing-masing, meninggalkan raja dan Rere di atas batu. Ritual dimulai kembali.
Tabuhan gamelan dan gerak tari saling seirama. Bangsa Anta berpesta pora, sedangkan kami manusia menyaksikan dengan tegang.
Aku menjadi pemenang… nyawaku dan keluargaku aman. Perkataanku benar. Sekarang raja Anta bisa menyentuh Rere. Keduanya menari bersentuhan, saling meliuk penuh birahi. Saling mencumbu, saling meremas, sekali-kali mengerang pertanda gairah mulai tinggi.
Aku menelan liur ketika tubuh Rere sudah telanjang. Gadis itu memang menawan. Cantiknya edan. Menggiurkan!
Dan ritual pun sampai pada puncaknya. Raja menggahi Rere di bawah tontonan seluruh bangsa Anta. Di bawah tangis pilu keluargaku. Bahkan.. untuk pertama
kalinya aku melihat ayah menangis. Aku sendiri jelas menangis menahan lara meski tanpa ada air mata.
Sensored : puasa para sohib. Perbanyak ibadah! wkwkwkk..]
Raja Anta bagai tak ada puasnya menggagahi Rere. Ia baru berhenti menjelang pagi. Entah berapa kali ia orgasme.
Para bidadari membasuh tubuh raja dengan air bunga, sedangkan Rere terkulai pingsan. Setelah mengenakan kembali pakaian kebesarannya, raja meninggalkan batu dan kembali ke atas singgasananya.
Aku duduk mematung tanpa berani lagi melihat ke arah keluargaku. Mereka pasti membenciku karena tidak melakukan apa-apa. Sementara mereka sendiri tidak bisa menolong Rere karena lingkaran cahaya yang melingkupi mereka terlalu kuat.
Ketika ayam berkokok dan langit di arah timur mulai memerah, Sawaka meminta ijin kepada raja agar para perwira kerajaan boleh menyetubuhi Rere dan kemudiannya menyantapnya sebagai menu sarapan.
“Hahahaha.. itu kebiasaan lama.” bahak raja dengan pongah.
Tentu saja kami terkejut mendengar jawabannya. Ujar raja lagi, “Sekarang akulah penguasa abadi kerajaan ini, tak sesiluman pun yang bisa membunuhku, tidak juga bangsa manusia. Pesta kita lanjutkan, tetapi bukan dengan memangsa gadis itu, melainkan membuat pertunjukan.”
“Ampuni hamba, baginda, hamba tidak paham.” ujar Sawaka.
“Anak muda…” raja tidak mengabaikan Sawaka. Sorot matanya tajam ke arahku. “Kamu dan keluargamu boleh pulang ke alam kalian dengan satu syarat. Kamu harus bisa mengalahkan para panglimaku dan Mahapatih Sawaka terlebih dahulu!!”
Jedeeerrr!!!
Aku melongo mendengarnya. Pelipisku langsung berekeringat. Kini raja sudah benar-benar semena-mena, merasa diri tidak bisa lagi mati. Perjanjian ia batalkan hanya dalam sekali tegukan liur.
“Tetapi tidak seperti itu perjanjiannya.” jawabku.
“Hahahaha.. perjanjian kaubilang? Kau terlalu bodoh anak muda!! Kalau bangsa kami melindungi bangsamu, itu sama saja kami mengabdi dan tunduk kepada kalian hahaha. Tidak bisa!!! Sebaliknya, kalianlah yang harus tunduk kepada kami dan menyerahkan wadal gadis perawan setiap purnama tiba.”
Jegeeeeeerrrr!!!
Mau tidak mau rasa takutku berubah jadi amarah. Dan sebelum aku menyetujui kehendak raja, ia sudah terlebih dahulu memberi perintah untuk mengosongkan lapangan.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung (aku tidak tahu artinya). Pilihanku hanya satu, yaitu tidak punya pilihan. Bertarung menjadi satu-satunya jalan.
Aku melirik ke arah Sawaka, lantas meloncat duluan ke medan pertempuran. Kakiku menjejak di atas batu tempat Rere masih tergeletak tak sadarkan diri. Kubuka baju putihku lalu kupakai untuk menutupi auratnya. Tanpa ada yang tahu, jariku mencuri sentuh pada payudaranya. Terasa sedikit benyek dan tidak terlalu kenyal, mungkin karena sudah diacak-acak oleh raja.
Sri Kencana datang untuk mengambil Rere dan memindahkannya ke tepi lapangan. Mamah berteriak agar Rere di bawa kepada mereka, tetapi raja memberi kode kepada Sri Kencana untuk tidak memenuhi permintaan mamah.
“Singa Anak Celenk, habisi anak muda itu!” perintah raja. Kini aku langsung tahu siapa lawan pertamaku.
Mendengar perintah raja, Singa Anak Celenk menjawab, “Adalah kehormatan bagi hamba untuk bisa membinasakan anak itu!” Ia langsung meloncat dan menapak di hadapanku. Senyumnya arogan dan sangat meremehkan.
Aku tetap berdiri tanpa memasang kuda-kuda. Aku sudah bisa mengukur kekuatannya. Rupanya sikapku malah memantik amarah Singa Anak Celenk. Ia menganggapku menyepelekan kesaktiannya.
Tanpa banyak kata ia langsung memutar kedua tangannya di depan dada, satu kaki menjulur ke belakang.
Sreeet.. sreeet… gerakannya gesit dan mengeluarkan hawa panas. Wuuussss.. ia meloncat menerjangku. Cakarannya langsung menerjang ke arah leher dan perutku. Aku bergeser ke samping satu langkah untuk menghindari sabetan mematikan.
Serangan Singa Anak Celenk luput dari sasaran, tubuhnya melewatiku karena terbawa oleh tenaganya sendiri. Sigap aku menangkap rambutnya yang gondrong dan menahannya agar tidak terjungkal keluar dari batu.
“Hati-hati jatuh.” ledekku. Lantas kucabut dua helai rambutnya.
“Bang Sat!!” murka Singa Anak Celenk.
“Yang benar bangsat!” jawabku sambil mengorek lubang hidungku dengan ujung rambutnya.
Tentu saja Singa Anak Celenk semakin terbakar oleh amarah. Tiga gerakan jurus ia lakukan.
Wuuuuuttt… ia kembali menyerangku.
“Ha.. haaaa ciiiiihhhh…!!” aku bersin.
Ingusku muncrat mengenai wajahnya yang sudah sangat dekat. Aneh bin ajaib, Singa Anak Celenk langsung terpental tanpa bisa menyentuhku. Tubuhnya melayang jauh dan membentur benteng sisi utara.
Keok!! Sorak sorai warga Anta langsung terdiam. Suasana berubah sunyi. Semua mata memandang ke arah Singa Anak Celenk yang sudah tidak bernyawa.
Aku membalikan badan untuk melihat ke arah raja, namun rupanya tujuh perwira lainnya sudah melayang untuk mengepungku. Berbagai senjata andalan masing-masing sudah terayun.
Kali ini aku langsung memasang kuda-kuda. Level permainan sudah semakin tinggi. Aku menjatuhkan diri di atas batu dan memutar tubuh bagai gasing.
Trang.. trang… bunyi senjata tajam yang beradu memekakan telinga. Hunusan mereka beradu dengan cahaya ajaib yang keluar dari putaran tubuhku. Mereka nampak terperangah. Kesempatan itu kupakai untuk melakukan serangan balik.
Buuuuk!! Satu kaki lawan kutendang.
Duuuuk!! perut musuh kutonjok.
Dessssh!! selangkangan lainnya berhasil kujejak.
Tiga lawan kuhajar sekaligus.
Buuuuk.. hmmmmf… oeeeeek…
Kali ini perutku yang terinjak. Rasanya bagai tertimpa kapas satu ton. Nafasku sesak, dan mulutku menyemburkan darah segar.
Putaran tubuhku otomatis terhenti dan jurus Sinar Patri Las Besi yang kukeluarkan buyar. Samar kudengar jeritan histeris para wanita gerombolan ayahku, disusul sorak sorai gembira rakyat Anta.
Para musuhku rupanya tidak memberi kesempatan, mereka langsung melakukan serangan susulan. Hanya dalam hitungan detik tubuhku akan segera tercincang.
Wuuuttt.. sebilah pedang menyasar. Cleeeeeb… wadaaaaaau…..
Wuuuussshh.. ujung tombak melesat pada dada… cleeeeb…
Traaaash… parang memangkas tenggorokan…
Darah memancar dan batu hitam berubah merah penuh genangan darah. Aku terengah-engah sambil mengusap mulut yang masih berdarah. Untung saja aku berhasil menghindar sehingga mereka saling tikam. Kalau tidak, akulah yang akan merenggang nyawa.
Sigap aku menangkap sebuah pedang yang melayang terlepas dari genggaman pemiliknya. Wuuut… trash.. traaazzz… kebabat leher dua musuh yang masih tersisa. Tak ada teriak, tak ada jerit tangis kesakitan. Dua kepala terlepas dan langsung menggelundung dan jatuh dari atas batu.
Semua musuh telah berhasil kulumpuhkan. Kuatur tenaga dalam untuk memulihkan rasa sakit bekas injakan, lantas menghadap ke arah raja dengan senyum penuh kemenangan.
“Bedebah!!!” raja murka melihat para ksatria andalannya merenggang nyawa hanya dalam sekejap mata.
Para panglima tempurnya yang tersisa langsung berdiri sambil menghunus senjata masing-masing. Tetapi raja mengangkat tangan untuk mencegah mereka.
“Mahapatih Sawaka.” teriak raja. “Buktikan bahwa kau memang layak menjadi mahapatih negeri ini. Buktikan kesaktianmu dan bunuh anak cecunguk itu!!”
Jegeeeeerrrrr!!! Aku terperangah.
“Ia anakku, bukan anak cecunguk.” jerit mamah.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar