Bab 82
Langit senja sangatlah indah. Pantulan cahanya menyemburat pada air telaga yang jernih. Burung-burung bercicitan mencari dahan peraduan, dan sepoi angin menjernihkan paru serta pikiran.
Aku berjalan pelan. Seluruh lukaku sudah sembuh, dan tenagaku pulih. Dengan pakaian serba putih langkahku tertuju pada sisi tebing di seberang telaga.
Sri Kencana sang pengawal setia tersenyum manis ketika melihatku. Senyumnya sangat tulus tanpa bumbu cemburu. Ia mengangguk, lantas beranjak pergi.
Aku mematung sebentar. Dadaku yang sejak tadi berdebar berubah berdetak kencang.
Kekasihku sedang duduk di atas batu sambil menatap merahnya langit barat. Sepoi angin menggelitik helaian rambutnya hingga berkibar. Nampak bercahaya karena cumbuan sang surya senja.
Aku mendekat. Bibirku yang terbuka urung terucap.
Kuyakin ia menyadari kehadiranku, tetapi ia tetap tidak bergeming dari duduknya. Tatapannya selalu lurus ke depan.
Kupetik setangkai bunga, lantas mendekat. Kuselipkan di atas telinganya. Rere tidak bergeming. Ia tidak antusias menyambutku, tetapi juga tidak menolak perlakuanku. Dunianya hanyalah semesta senja.
Aku menghela nafas. Dadaku bergetar. Rere benar-benar sangat cantik. Parasnya sangat menawan.
Rinduku membuncah, tetapi kuputuskan untuk duduk di sampingnya tanpa menyentuh atau berucap. Kami sama-sama menikmati senja dalam diam.
“Aku kangen.” lirihku setelah sekian lama hanya saling berdiam diri.
Rere masih diam, meski ada seulas senyum bahagia yang ia sembunyikan. Ujung bibirnya sedikit ia gigit. Kuyakin ia sedang menahan rasa rindu yang sama.
Tanpa diminta, aku menceritakan semua petualanganku sejak meninggalkan alam manusia untuk menyusul dan mencarinya. Juga semua petualanganku mencari kesaktian untuk mengalahkan raja Anta.
“Tentang Inka…” ceritaku sampai pada hubunganku dengan gadis itu.
Aku merasa grogi sendiri karena ini menyangkut ‘pengkhianatan’ atas hubungan antara aku dan Rere. Walaupun secara status, sebetulnya kami sudah putus.
“Aku dua kali tidur dengan Inka. Pertama di puri dan kedua ketika memilih dia untuk ritual.”
Gadisku masih diam meski kuyakin ia menyimak semua ceritaku dari sejak awal perjumpaan.
“Aku dan Maharaja Sawaka (kini Sawaka sudah sah menjadi penguasa kerajaan Anta) merencanakan ini sebagai bagian dari rencana kami untuk menggerogoti kekuatan Raja Anta. Dan itu berhasil.” aku terus berkata.
Kini aku sudah tidak lagi terganggu oleh sikap diamnya.
“Aku memilih Inka untuk ritual juga karena aku punya alasan. Pertama, jika ternyata ritual gagal dan aku tidak bisa mengalahkan Raja Anta, kamu masih punya peluang pulang, walaupun mungkin kita tidak bisa bersama. Aku dan Inka memilih merenggang nyawa…”
“…”
“Alasan kedua…” aku berhenti sebentar sambil menatap jauh ke depan. “Hanya melalui ritual aku bisa memulihkan keperawanan Inka. Aku sayang kamu dan aku lebih memilih hidup menyendiri jika akhirnya kita ditakdirkan tidak bersama. Seorang Inka pun tak bisa menggantikan kamu di hatiku, Re. Untuk itulah aku harus memulihkan kehormatan Inka karena aku pasti tidak akan memilihnya.”
Akhirnya aku merasa sangat lega setelah tuntas menyampaikan semua ceritaku selama aku berpisah dengan Rere. Kini hidupku sudah tanpa beban. Misi sebagai pewaris tradisi dan penerus ritual sudah kutuntaskan; dan rahasia perasaanku yang sesungguhnya sudah kusampaikan.
Aku siap. Siap jika Rere tidak mau kembali ke dalam pelukanku, dan tentu saja juga sangat siap jika Rere mau menerimaku sebagai pasangan abadinya.
“Sudah?”
Untuk pertama kalinya Rere berucap. Suaranya sangat merdu. Perasaanku berdesir ketika untuk pertama kalinya ia menoleh dan menatapku. Sorot mata kami beradu.
Aku tercekat. Rere sangatlah cantik.
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku tidak membutuhkan semua ceritamu.” ujarnya lagi.
Rere nampak menahan sesuatu di dalam dirinya. Ia terlihat sedang berusaha mengatur nafasnya yang tiba-tiba tersengal. Kedua pipinya berubah merah.
“Maaf.. lalu apa yang kamu inginkan dariku?” tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
“Aku ingin dipeluuuukkkkk…” usai berkata begitu, Rere langsung mengatupkan kedua tangannya menutupi muka. Ia nampak begitu malu.
Tubuhku bergetar. Tanpa Rere tahu, kuusap jentik air mata yang tiba-tiba merembes.
“Haaaaaaah….” rasa lega kuhembuskan.
Tanpa banyak kata, kuraih bahunya, dan Rere menjatuhkan diri. Kudekap erat, sangat erat. Rere membalas tak kalah eratnya.
Kekasihku menangis tersedu. Ia sudah tidak bisa menahan diri. Rasa rindu ia kabarkan. Air mataku ikut berlinang, dan kubiarkan menetes ketika mengecup kepala gadisku. Cukup lama aku dan Rere saling mendekap tanpa ucap. Rindu ini sudah tak terwakili oleh kata-kata.
Setengah jam kemudian, isaknya perlahan reda. Ia mendongak, sorot mata kami beradu. Kuberikan seulas senyum, Rere malah memasang wajah cemberut. Sungguh menggemaskan.
Kurapikan rambutnya. Kuusap sisa air matanya. Selebihnya adalah belaian sayang, sambil mengagumi kecantikan parasnya.
Rere semakin menggelayut dalam pelukan, meresapi setiap sentuhan sayang yang kuberikan. Ia nampak begitu sangat nyaman, tenang, dan bahagia.
“Jahat!!” ucapnya sambil menepuki pipiku gemas.
“Kok?!”
“Pokoknya kamu jahat!!!”
Ia tertawa setelah berkata begitu, aku ikut tertawa.
“Aku sayang kamu, Re, dan aku mau kamu menjadi istriku.” aku bertutur tulus.
Rere berhenti tertawa, ia membalas tatapanku penuh selidik. Lantas pipinya merona. Senyum bahagia tak mampu lagi ia sembunyikan.
“Aku juga sayang kamu. Hiiiks….” air mata bahagia kembali berlinang. “Selalu sayang.. dan tak tergantikan…”
Sebetulnya tanpa berkata begitu, aku sudah tahu perasaan Rere yang sesungguhnya, seluruh pilihan hidupnya untuk mengurbankan diri adalah luapan dari rasa sayangnya.
Kukecup keningnya. Kutumpahkan rasa sayangku. Kukecup juga kedua kelopak matanya. Rere terpejam sehingga gelombang air mata merembes keluar. Kuusap dengan jemari dan kukeringkan dengan kecupan.
“Cintaku tetap sama, I love you.” bisikku.
“I love you too. Aku bahagia..” jawabnya.
Aku semakin merunduk untuk mengecup bibirnya, tetapi kekasihku menggelinjang. Ia seolah malu bagai mau menerima ciuman pertama. Ia menyembunyikan wajahnya ke dalam dekapanku sambil tertawa manja.
Tak mau kukecup bibirnya, kekasihku merebahkan diri sambil menempatkan kepala di atas pangkuanku. Ia memejamkan mata meresapi. Senyumnya tak berhenti terulas.
Kurapikan rambutnya, kebelai wajahnya. Setiap lekuknya kujelajahi dengan jemari. Perjalanan panjang kisah-kasihku bersama Rere kembali kukenang. Rasa bahagia tentu aja. Luka juga pernah ada. Dan kini… ada secuil rasa sesal karena aku telah membuatnya merana. Aku telah ‘membiarkannya’ mati rasa ketika akan digagahi oleh Raja Anta. Meskipun hal itu tidak terjadi, karena Sawaka bisa mengelabui raja dengan mengganti sosok Rere, tetapi tetap saja aku telah melukainya. Aku merinding sendiri ketika membayangkan jika Sawaka gagal menjalankan rencana.
“Kenapa?” kekasihku membuka mata.
Tangannya terulur mengusap setetes air mata yang mengalir. Aku menggeleng. Rere tentu saja tidak percaya, tetapi ia tidak lagi bertanya. Kasih sayangnya ia tunjukan dengan mengusapi pipiku.
Kali ini giliran Rere yang bercerita. Mulai dari ketika ia memutuskan meninggalkan acara pertunangan kakak sampai saat ini. Tiada yang ia tutupi. Aku paham semua. Bukan hanya aku, Rere juga ada yang melindungi. Ia aman selama ada di Anta. Selain karena peran Sawaka, juga ada pendahulu yang setia menjaga.
Selama ia berkisah tak hentinya aku menatap dan membelai wajahnya. Rasa sayangku tercurah. Sedangkan Rere menggelendot memeluk lenganku, sekali-kali sambil memainkan kancing kemejaku.
Segala tanya sudah terjawab, meski butuh waktu panjang untuk saling bertukar kisah detailnya. Aku dan Rere hanya tahu satu hal: kami sama-sama saling mencintai. Perpisahan adalah bentuk saling berkorban; ingin menjaga kehidupan pasangan, meski nyawa sendiri harus menjadi taruhan.
Rasa duka dan perih lara telah punah, terganti rasa bahagia yang tak lagi terkata. Sorot mata kekasihku bening dan berbinar. Senyumnya selalu terurai, tawa manjanya juga renyah berderai. Dalam diamku aku berjanji untuk tidak akan pernah merenggut semua rasa damai yang ada dalam dirinya. Aku akan selalu menjaganya, membahagiakannya, seumur mampuku.
Kekasihku bangkit duduk. Pelukan erat saling kami berikan. Bisikannya tulus. Kami mengungkapkan kalimat suci yang sama, secara bersama, kami saling ada, saling mencintai. Menghapus kata ‘perpisahan’ dari kamus kehidupan kami berdua.
Usai saling mengikat janji, samar-sama terdengar suara seruling dari dalam lembah. Lantas lantunan ayat-ayat cinta berkumandang merdu. Aku dan Rere saling tatap dan berbagi senyum. Kami sama-sama tahu tanpa harus mengatakannya.
Aku berdiri dan membantu kekasihku untuk ikut berdiri. Kupeluk tubuhnya dari belakang sambil menempelkan pipi. Sorot mata kami tertuju ke tempat yang sama. Rere malah melambaikan tangan sambil tersenyum bahagia.
“Kita pulang. Mamahmu dan keluarga kita sudah kangen.” ujarku.
“Udah ketemu kok.” kekasihku memeletkan lidah.
“Lah.. kapan?”
Rere berubah menggemaskan. Ia berbalik menghadapku sambil membentangkan tangan. Pertanyaanku tidak ia jawab.
Pelukan hangat saling kami berikan. Seakan enggan berpisah walau sejengkal.
Sekali lagi kuajak pulang. Kekasihku akhirnya mengangguk setuju.. Ia meloncat ke atas pinggangku sambil tertawa riang. Aku menggendongnya menuju istana kerajaan. Malam ini akan diadakan pesta besar pengangkatan penguasa baru negeri ini, dan besok kami semua akan pulang ke alam kami.
“Capek gak, yank?”
“Banget. Kamu berat.”
“Iiih.. jadi aku gendut.”
“Iyah.”
“Nyebelin!!”
“Tapi lebih berat kehilangan kamu.”
“Masa?” sambil menghadiahi sebuah kecupan pada pipi.
“Aku gak mau deh jadi pacar kamu soalnya kamu jahat. Bilang aku gendut.”
“Terus maunya jadi apa?”
“Jadi istri kamu.”
Aku tak tahan menanggapi tingkah manjanya. Kuturunkan tubuhnya dan kucari bibirnya. Langsung kulumat hangat. Seluruh rasa rindu kutumpahkan dalam ciuman. Kekasihku membalas tak kalah hangat. Inilah cumbuan yang menjadi akhir dari semua derita perpisahan, sekaligus awal dan titian masa depan.
“I love you.”
“Hihi.. aku nggak.”
Ia kembali meloncat minta digendong.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar