Sang pewaris part 79


Bab 79

Tiga minggu kemudian…

Alam baru saja redup. Hari sudah berganti malam. Di ufuk timur bulan purnama sudah menampakan diri.

Aku berdiri di atas bukit sambil melihat ke arah kota kerajaan. Suara tabuh-tabuhan terdengar, pesta sudah dimulai. Kuhela nafas sesaat sebelum melafalkan aji penyamar sukma. Kini tak sesiluman pun akan mencium kehadiranku sebagai bangsa manusia.

Tak mau mengulur waktu untuk tahu apa yang sedang terjadi, aku langsung duduk bersemedi. Tak perlu menunggu waktu lama, aku sudah bisa memasuki alam gaib Anta. Aku bisa melihat semuanya secara nyata; seolah aku sedang berada di sana.

Jiwaku langsung bergetar saat menyaksikan gelaran pesta yang akan berpuncak tengah malam nanti, yaitu ketika purnama berada di titik vertikalnya. Bukan meriahnya pesta yang membuatku bergetar, melainkan karena orang-orang yang kusayang ada di sana. Ayah, mamah, Tante Nur, Tante Maya, Oma Ningrum, dan Oma Ratih. Mereka semua diikat pada barisan tiang di atas benteng.

Di antara istana dan tempat mereka disandera terdapat lapangan yang membentang luas. Penuh dengan kerumunan siluman yang berwujud manusia. Tepat di tengah lapangan terdapat batu bundar yang menyerupai altar. Bertabur bunga. Di sekilingnya menyala perapian dengan asap mengepul dan disertai bau kemenyan.

Di serambi istana sudah duduk berbaris para pejabat negeri, termasuk Mahapatih Sawaka dan Mantili. Tetapi tahta megah di bagian tengah belum terisi, pertanda Raja Anta belum menampakan diri.

Kukirimkan pesan telepati. Nampak Sawaka terkejut, namun terlihat lega setelahnya. Kami pun saling bercengkerama sehingga aku tahu apa yang akan terjadi. Rencana ia sampaikan, dan aku sedikit merasa lega karena orang-orang yang kucintai cukup aman untuk sementara. Sisanya keselamatan mereka berada di pundakku.

Tak lama setelah kami menjalin komunikasi, bunyi sangkakala menggaung diikuti tetabuhan gending. Mahapatih Sawaka dan para pejabat negeri berdiri dan menundukan kepala, sedangkan rakyat yang berada di lapangan tersungkur menyembah.

Nampaklah raja keluar dari dalam istana dengan pakaian kebesarannya. Lantas berdiri di depan tempat duduknya dengan wajah pongah. Ia mengulurkan tangan ke arah rakyatnya, dan semua berdiri kembali.

“Para pejabat negeri dan rakyatku.” suaranya menggema lantang.

“Malam ini wadal manusia kembali kita dapatkan.” disusul sorak riuh warga Anta, dan senyum-senyum najis para pejabat negeri.

“Tetapi berbeda dari purnama-purnama sebelumnya, malam ini akan menjadi awal dari keabadian negeri kita. Negeri Anta akan langgeng dan kita akan menjadi penguasa atas kerajaan-kerajaan lainnya.” sambung raja setelah sorak-sorai reda.

Dengan pongahnya raja menyampaikan bahwa akan ada dua peristiwa penting malam ini, yaitu kurban ritual gadis perawan bangsa manusia, dan ritual meminum ramuan mawar hitam yang akan membuat hidup raja abadi; tidak akan pernah bisa mati.

“Untukku telah disediakan dua gadis bernama Rere dan Inka, dan untuk kalian, tiga perempuan di atas sana menjadi milik kalian!!”

“Hidup raja! Hidup raja!!”

Darahku rasanya langsung mendidih, dan nafasku tersengal karena amarah. Tiga wanita yang dimaksud tentu saja mamahku bersama Tante Maya dan Tante Nur, mengingat Oma Ratih dan Oma Ningrum sudah expired, kecuali kalau mereka doyan.

Kulihat lima wanita yang tertawan itu menangis histeris, sedangkan ayah meronta dan mencaci-maki. Hanya ayah kemudian terlihat bisa kembali tenang, itu pun setelah beradu pandang dengan Sawaka.

“Lepaskan mereka semua, termasuk Rere dan Inka.” teriak lantang ayah, mengalahkan sorak sorai rakyat.

“Hahaha.. tidak semudah itu Suwir Jagad.” sahut raja dengan suara menggema.

Terjadi perdebatan hebat di antara keduanya. Karena jarak mereka terpisah jauh, maka masing-masing bersuara lantang sehingga semua yang ada bisa mendengar. Ayah mengingatkan raja akan perjanjian penguasa negeri antah berantah itu dengan leluhur Sawer, sedangkan Raja Anta sendiri mengatakan bahwa perjanjian itu akan batal malam ini juga. Penyebabnya adalah karena aku dianggap telah melarikan diri dan mati di dasar jurang.


“Anakku tidak matiii!!!” jerit mamah.


Kulihat Sawaka berdiri dan berbisik kepada raja. Raja terlihat setuju, lantas menyeringai.


“Hahaha baiklah, Suwir Jagad, aku punya satu penawaran untukmu.” teriak raja.

“Istri dan semua wanita ritualmu bisa selamat dengan satu syarat, yaitu engkau harus bisa mencabut Pacek Lintang dan menyerahkannya padaku.” sambil menunjuk ke arah tongkat yang masih tetap tertancap pada posisinya.

“Lalu bagaimana dengan Rere dan Inka?” tanya ayah.

“Hahaha.. hanya Rei yang bisa membebaskan salah satu dari mereka.”


Keduanya kembali berdebat, namun ayah kalah. Ia menyanggupi permintaan Raja Anta untuk mencabut tongkat itu.


“Hahaa.. bagus!! Tapi kalau kamu gagal, maka istrimu sendiri yang akan pertama kali digagahi oleh salah satu panglima kami dan dijadikan mangsa warga.” Raja Anta terbahak.


Kulihat ayah berbicara kepada mamah dan para wanita ritualnya. Anehnya aku tidak bisa mendengar suara mereka (alasan si mamang saja biar tidak harus menulis panjang-panjang). Yang kulihat dan kudengar hanyalah tangisan mereka.


Setelah mendapat persetujuan raja, seorang panglima memerintahkan anak buahnya yang berjaga di atas benteng supaya melepaskan ikatan pada lengan dan tubuh ayah.


Setelah terbebas, ayah pun meloncat. Tubuhnya melayang di atas kerumunan menuju letak Pacek Lintang tertancap. Puluhan serdadu ikut melayang untuk mengawal ayah agar tidak meloloskan diri.


Kini aku yang berharap-harap cemas. Aku tidak tahu bagaimana cara membantu ayah. Bisaku hanyalah berharap agar ia berhasil mencabut Pacek Lintang.


Kulihat Raja Anta kembali berdiri dari tempat duduknya. Ia melihat aksi ayah dengan ekspresi sama tegangnya. Sedangkan suasana seketika hening seolah tak ada seorang pun manusia dan tidak ada sesiul siluman pun.


Kulihat ayah memeragakan beberapa jurus sebelum menyentuh Pacek Lintang. Tap tap taap… dengan gerakan gesit dan cepat ayah menyambar Pacek Lintang dan berusaha mencabutnya.


Traaassshhhh… kilatan api keluar dari Pacek Lintang dan ayah pun terjengkal beberapa meter tanpa berhasil mencabutnya. Percobaan pertama gagal. Percobaan kedua? Gagal juga. Yang ketiga sama saja. Haiiish.. payah nih si ayah. Namanya saja Suwir Jagad.


Kulihat ayah mulai panik. Raja menghela nafas kecewa karena gagal mendapatkan tongkat itu.


“Cukuuup!!!” raja terlihat tidak bisa menutupi kekesalannya.


Ayah kembali diikat, kali ini bukan oleh tali, melainkan oleh benang-benang cahaya yang melingkupi tubuhnya. Ia pun hanya bisa berdiri tanpa bisa menggerakan tubuhnya.


“Panglima Singa Anak Celenk.” teriak Raja Anta pada salah satu perwira yang duduk di barisan sebelah kanannya. “Kau mendapat kehormatan untuk menggagahi istrinya si Suwir Jagad.”


Jerit tangis pun melengking. Sementara tubuhku sendiri berkeringat. Aku mendongak menatap bulan, masih terlalu rendah. Jika aku bertindak sekarang maka energiku masih akan kalah oleh gravitasi bumi.


“Mah, maafkan aku.” keluhku dengan mata mulai berair.

“Ayolah Suwir Jagad!” kesalku pada ayah.


Tak lama kemudian, atas perintah raja, mamah dilepaskan dari ikatannya. Rontaan dan ratap tangisnya hanyalah ungkapan sia-sia yang sama sekali tidak mengundang iba bangsa Anta.


Kulihat mamah dibawa ke atas batu altar. Di atas serambi istana, Singa Anak Celenk menyembah Raja Anta sebelum ia meloncat menyusul ke atas batu. Mamah masih terus meronta dan mencaci maki. Kulihat ia juga berusaha meloncat ke dalam kobaran api yang mengelilingi batu untuk bunuh diri. Apapun usaha mamah, hasilnya tetaplah sia-sia.


Kulihat Singa Anak Celenk menampar pipi mamah dan wanita yang paling kuhormati itu pun terdiam. Ia tidak lagi melawan dan terlihat patuh pada Singa Anak Celenk. Entah ilmu apa yang dikeluarkan oleh panglima itu.


Kurasakan aura panas Sawaka. Dia nampak mulai gelisah, sama gelisahnya denganku. Ketidak-tenangan ini membuat komunikasi telepati kami terhambat. Suara batinnya hanya terdengar samar-samar.


Sementara di atas benteng, empat wanita menangis histeris dan mengingatkan mamah supaya sadar. Ayah hanya bisa bergerak sedikit tanpa bisa menolong. Jangankan menyelamatkan mamah, bersuara pun sepertinya tidak bisa.


Pemandangan selanjutnya membuatku benar-benar membuatku terbakar amarah. Mamah sudah kehilangan sukmanya, tersirep oleh ajian si Singa Anak Celenk. Dua makhluk berbeda dunia itu berdansa di atas batu, diiringi gending dan tarian seluruh warga Anta. Bahkan dengan sukarela mamah mulai melucuti pakaiannya sendiri, dan hanya menyisakan beha serta celana dalam.


Anjaaaay… mamahku memang cantik. Meski sudah tidak muda lagi, tapi tubuhnya tetap molek. Pantesan si Suwir Jagad selalu gandrung pada istrinya itu. Aku sebagai anaknya pun langsung terpesona. Akal sehatku sedikit kabur.


Kulihat jemari mamah terulur hendak membuka kancing baju Singa Anak Celenk. Disertai dengan gerakan-gerakan erotis. Jeritan-jeritan dari atas benteng sama sekali tidak mempengaruhi mamah.


Singa Anak Celenk menangkup kedua pipi mamah dan bersiap melumat bibirnya. Dengan sukarela mamah membuka bibir sambil melanjutkan membuka kaitan kancing terakhir sosok siluman itu. Wajah mereka semakin dekat. Dan….


“Tunggu!!!”


Terdengar teriakan dari atas serambi kehormatan.


“Maafkan kalau hamba telah lancang, Baginda Raja.” Sawaka sujud menyembah di hadapan raja.

“Hamba menemukan cara agar baginda raja bisa mendapatkan Pacek Lintang.” lanjutnya lagi.

“Bangkitlah, Mahapatih. Jelaskan padaku!” jawab raja.

“Begini, baginda, menurut hemat hamba, Pacek Lintang hanya bisa dicabut jika Suwir Jagad dan para wanita ritualnya menyatukan kekuatan mereka. “Tongkat” si Suwir Jagad telah menancap pada kemaluan para wanita itu sehingga mereka memiliki ikatan batin yang kuat…” penjelasan panjang lebar pun ia sampaikan.

“Kamu jangan mengada-ada, Mahapatih!” raja bimbang.

“Mungkin penerawangan hamba salah, Maharaja, tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba. Kecuali kalau maharaja sudah tidak menginginkan tongkat itu lagi.”


Kulihat Raja Anta berpikir keras. Ia menatap siluman-siluman kepercayaannya. Sebagian hanya diam, beberapa mengangguk.


“Panglima Singa Anak Celenk, hentikan!” akhirnya Raja Anta menerima usulan Sawaka. Tangannya menunjuk ke arah Singa Anak Celenk dan mamah. Tabuhan gending pun berhenti.

“Hiyaaaaa!!!” mamah menjerit sambil memunguti pakaiannya dan langsung dipakai untuk menutupi dadanya, lupa bagian selangkangan tidak ia tutupi juga. Nampaknya ia sudah sadar dari pengaruh ilmu si Singa Anak Celenk.


Wuuuuut… buuuuk… tendangan mamah melayang dan sukses mendarat pada selangkangan Singa Anak Celenk.


“Hhhhhk…” Singa Anak Celenk merunduk dengan mata melotot dan berair.


Duaaaak.. kali ini tendangan mamah mendarat pada dagunya sehingga Singa Anak Celenk terpental dari atas batu.


Dengan cepat mamah mengenakan pakaiannya kembali dan meloncat ke arah ayah dan merangkulnya. Sedangkan ayah hanya bisa diam karena masih terikat sinar ajaib.


Tak lama kemudian Raja Anta memerintahkan untuk melepaskan belenggu ayah; juga belenggu keempat wanita yang terikat di atas benteng istana.


Ayah membalas pelukan mamah, sedangkan empat sosok wanita meloncat mendekat. Mereka berangkulan bergantian. Penuh tangis drama, dan baru berhenti ketika Raja Anta membentak mereka.


“Suwir Jagad, cabutlah Pacek Lintang dengan segera!” perintah raja.

“Kalau kami berhasil mencabutnya, apakah anak-anak kami bisa bebas?” tanya ayah sambil mendongak mengingat posisi mereka berada di bawah anak tangga.

“Hahaha.. seperti kataku tadi.. kalian akan aku bebaskan, tetapi tidak dengan Rere dan Inka.”

“Kalau begitu, kami juga memilih mati di sini.” pekik mamah.


Kali ini ayah yang menenangkan mamah, dan mereka berdebat. Lagi-lagi aku tidak bisa mendengar suara mereka. Mungkin aku hanya bisa mendengar percakapan antara siluman dengan siluman, siluman dengan manusia, tetapi tidak bisa mendengar percakapan manusia dengan manusia. Ah.. kisah hidup yang aneh!


Raja Anta terlihat mulai kehilangan kesabaran. Ia pun berdiri dan menunjuk-nunjuk ke bawah. Ayah beserta mamah dan para wanita ritualnya nampak mengalah. Mereka duduk bersila mengelilingi Pacek Lintang. Tangan mereka menyatu saling menggenggam.


Suasana kembali hening dan tegang. Sawaka nampak yang paling tegang. Jika usaha ayah gagal, bukan tidak mungkin kalau ia pun akan terkena dampak kemurkaan raja.


Setelah beberapa menit bersemedi, secara serempak tangan mereka terulur ke depan. Seperti ada magnet yang menarik, tubuh mereka terseret ke tengah, berpusat pada tongkat Pacek Lintang. Tangan mereka sudah menggenggam batang tongkat.


Aku mendongak ke langit. Posisi bulan belum sampai pada titik yang kuharapkan. Kukerahkan ilmu agar Pacek Lintang tidak tercabut. Jadilah.. aku seakan sedang saling beradu tenaga dalam dengan ayah dan para wanitanya. Tubuhku langsung bermandi keringat.


Dan…


Traaaash… aku kalah. Pacek Lintang berhasil mereka cabut.


Tubuhku terpental dan menggulung di antara ilalang. Terhempas dengan nafas terengah. Sialan!!!


Semediku ambyar dan penglihatanku akan keadaan sekitar istana hilang.


Waktunya semakin terbatas, aku tidak ingin Pacek Lintang jatuh ke tangan Raja Anta. Melawan dengan ilmu kanuragan adalah pilihan.


Aku berlari menembus hamparan ilalang dan rerimbunan hutan. Aku memanjat sisi timur benteng istana, dan berjalan di antara para pengawal yang berjaga. Mereka sama sekali tidak mencurigaiku, tersirep oleh ilmu baru yang kumiliki.


Tak lama kemudian, aku sudah sampai di tempat ayah dan mamah tadi dibelenggu. Pandanganku tertuju ke depan ke arah istana.


Ayah rupanya sedang bernegosiasi dengan Raja Anta. Ia hanya mau menyerahkan Pacek Lintang jika Raja Anta menghadirkan Rere dan Inka terlebih dahulu. Sepertinya ayah memiliki tujuan terselebung untuk berusaha menyelamatkan kedua gadis itu.


Raja tentu saja menolak, tetapi ayah mengancam untuk menancapkan kembali Pacek Lintang, dan mereka kompak memilih merenggang nyawa. Ancaman ayah berhasil mengintimidasi raja, ia pun menyetujui permintaan ayah.


Tak berselang lama segerombolan bidadari beriringin dari arah kaputren. Mereka menari sambil menaburkan bunga sepanjang jalan yang mereka lewati. Rakyat pun ikut menari dengan mengeluarkan suara-suara aneh seperti dengungan, kadang terdengar auman-auman yang menggetarkan.


Ingin rasanya aku meloncat ke arah mereka. Gadis yang selama ini kucari berjalan di tengah arak-arakan. Ia terlihat sangat cantik dengan pakaian serba putih yang ia kenakan, layaknya pengantin perempuan. Bukan hanya dia, Inka juga ada di sana dengan mengenakan pakaian yang serupa.


Keduanya hanya berjalan biasa, tanpa ikut menari. Langkah mereka anggun, tetapi sorot mata keduanya nampak kosong. Jiwa dan tubuh mereka tidak sinkron. Hati menolak, tetapi tubuh hanya bisa menurut tanpa bisa dikendalikan.


“Sayaaaaang!!” Tante Nur dan mamah teriak bersamaan.

“Mamah.” ujar Rere.

“Tante.” lirih Inka.


Anehnya kali ini aku bisa mendengar percakapan mereka. Mungkin karena aku bisa melihat dan mendengarnya secara langsung, bukan lagi melalui semedi.


Ayah dan mamah, juga para wanita ritualnya, hendak menghambur menyambut Rere dan Inka. Tetapi para pengawal sigap menahan mereka. Usaha mereka sia-sia. Sementara kedua gadis itu tidak berusaha sama sekali untuk mendekat. Hanya air mata yang mereka tunjukkan, sisanya seperti tidak berdaya untuk melakukan dorongan hati.


Pertemuan itu sesungguh mengharukan, dan semakin menyedihkan ketika mereka hanya bisa saling melihat, tanpa bisa saling mendekat. Hanya tangis pilu yang kudengar. Dan tanpa sadar, air mataku sendiri sudah berlinang.


“Tolonglah, bebaskan mereka.” ayah memohon kepada raja.

“Hahaha.. ingat perjanjian kita tadi tidak seperti itu. Hanya anakmu si Rei yang bisa membebaskan salah satu dari mereka. Hahahaa….!!!” raja menjawab pongah.


Aku paham. Raja masih sedikit mengingat perjanjiannya dengan leluhur Sawer. Ritual adalah sarana untuk meneruskan perjanjian itu secara turun-temurun. Namun seiring ambisi serakahnya, ia sudah tidak memedulikannya lagi. Yang terpenting baginya sekarang adalah memiliki Pacek Lintang dan meminum ramuan mawar hitam pada puncak purnama nanti.


Bagi raja, jika aku ada dan mau melakukan ritual, itu akan ia anggap sebagai kemurahan hatinya untuk meneruskan perjanjian. Singkatnya, ada atau tidak adanya ritual, itu bukan masalah bagi raja. Toh jika aku melakukan ritual dengan gadis pilihan, ia tetap akan meminta wadal untuk melepaskan syahwatnya sekaligus untuk menyenangkan rakyatnya.


Tak terasa malam pun semakin larut. Namun suasana sekitar cukup terang karena sinar purnama dan kibaran obor di berbagai sudut.


Rere dan Inka di tempatkan di samping kiri dan kanan raja, sedangkan ayah dan mamah beserta para ritual ayah disediakan tempat duduk di dataran antara barisan anak tangga. Suasana sudah lebih mencair. Raja percaya diri dengan ambisinya, sedangkan ayah melunak sambil memikirkan cara.


Sementara itu, beberapa bidadari membawa sebuah cawan emas yang kuduga berisi ramuan mawar hitam. Cawan itu ditempatkan pada meja tepat di depan raja.



Sawaka said:

Raja akan menggagahi Rere dan Inka di atas batu itu, setelahnya baru akan meminum ramuan mawar hitam.



“Sesuai janjiku, aku akan membebaskan kalian berenam setelah aku mendapatkan tongkat itu.” ujar raja kepada ayah.

“Aku ingin engkau membebaskan Rere dan Inka juga.” jawab ayah sambil mengusapi bahu Tante Nur yang sejak tadi menangis karena melihat anaknya yang bagai mayat hidup; ibarat manusia bertubuh tanpa sukma.


Lagi-lagi raja menolak permintaan ayah. Dan entah apa yang dipikirkan oleh ayah, ia pun melangkah menaiki anak tangga untuk menyerahkan tongkat Pacek Lintang. Kini saatnya aku beraksi dan menampakan diri.


Dengan sigap aku meloncat sambil mengibaskan tangan, hanya beberapa saat sebelum tongkat itu berpindah tangan.


Wuuuussssh… tongkat pun melayang ke arahku dan sigap kutangkap.


Taaaap…


Aku menginjakan kaki di ujung bawah anak tangga.


“Kau?!” raja terperangah.

“Sayang…” kudengar teriakan dari dua perempuan yang berbeda: Rere dan mamah.


Bedanya, Rere hanya diam mematung sedangkan mamah berburu menuruni anak tangga dan memelukku. Tangisnya pecah. Tante Nur, Tante Maya, Oma Ratih dan Oma Ningrum menyusul. Sedangkan ayah dan raja beserta seluruh pejabat negerinya bagai terkesima.


“Sayang, hiks.. hiks…” dekapan mamah semakin erat.


Lidahku sendiri bagai kelu tanpa bisa berbicara sepatah katapun. Bisaku hanya membalas pelukannya, dan pelukan para wanita lainnya.


Ayah yang sadar dari rasa kagetnya, langsung meloncat mendekat. Suasana haru semakin menjadi.


“Mamah dan ayah harus percaya kepadaku, sekarang semuanya menjadi urusanku.” ujarku.


Waktunya sudah semakin singkat, dan aku tidak bisa melayani semua ungkapan rindu mereka, apalagi menjawab semua pertanyaan.


Begitu aku terlepas dari pelukan, aku langsung meloncat dan menapak di hadapan raja. Sikapku cukup tenang, meski tetap waspada kepada para petinggi negeri yang sudah menghunus senjata andalan masing-masing.


“Raja sudah menerima mawar hitam, dan akan kuberikan juga Pacek Lintang. Tapi aku mengajukan satu syarat.” ujarku tenang.


Raja yang sedari tadi nampak waspada, berubah tenang.


“Hahaha.. akhirnya kau kembali, anak muda. Apa syarat yang kauminta?”

“Ritual!” tegasku.

“Aku ingin perjanjian raja dan leluhur Sawer tetap diteruskan melalui ritual.” aku menyambung ucapanku.

“Hahahha.. bagaimana aku bisa percaya padamu?”

“Aku akan menyerahkan tongkat ini sebelum ritual. Itu pun kalau raja setuju.”

“Hahhaa… baiklah anak muda. Kau cukup bijaksana. Tapi aku juga punya syarat. Kau harus memilih pasangan ritualmu antara Rere atau Inka. Siapapun yang kamu pilih, kamu bisa membawanya pulang bersama orangtuamu, dan juga bersama para wanita ritual ayahmu. Sedangkan gadis yang tidak kaupilih, akan menjad wadal atas perjanjian kita.”

“Aku setuju.” jawabku tanpa pikir panjang.


Kudengar mamah menjerit protes dari arah bawah, sedangkan Rere dan Inka hanya berlinang air mata. Meskipun posisi aku sekarang berdekatan dengan Rere dan Inka namun aku sama sekali tidak berniat untuk menyapa mereka.


Raja mendongak menatap rembulan. Kutahu masih ada cukup waktu.


“Kau pilihlah!! Siapa yang mau kamu jadikan sebagai wanita ritual?” ujar raja.


Dugh.. dugh.. dugh.. jantungku berdetak lebih kencang. Kutatap Rere, gadis itu membalas dengan tatapan kosong. Tapi kutahu, dari dalam jiwanya yang terdalam terpancar cintanya yang teramat besar. Bagi seorang Rere, keselamatanku adalah yang utama. Bahkan ia sangat mengkhawatirkan keselamatan Inka, ia rela berkorban untuk kami berdua.


Kugenggam Pacek Lintang dengan sedikit bergetar. Kurekatkan pula gigi untuk membulatkan tekad.


“Maafkan aku, Re. Aku sangat menghargai pengorbananmu. Tetapi aku mencari seorang gadis yang mau hidup untukku, bukan yang rela mati untukku.” ujarku dingin. Sebetulnya aku sedang mengungkapkan kekecewaanku karena ia telah memilih untuk datang ke Anta dan menyerahkan diri demi keselamatanku.


Kini hasilnya hanya sia-sia belaka. Keputusannya telah membuat kami semua berada di sini untuk menyelamatkannya. Bukan dia yang menyelamatkanku, tetapi kami yang berada di ambang kematian untuk menyelamatkan dia.


Kulihat Rere menangis tanpa suara.


Kini pandanganku beralih pada Inka. Gadis itu sama berkaca-kaca. Aku bisa membaca, bahwa di balik jiwanya yang terdalam tersembunyi pula rasa cinta padaku. Sama seperti Rere, ia rela berkorban asalkan aku dan Rere selamat dan bisa hidup bahagia di masa depan.


“Hmmm…” aku bergumam sambil menatap raja.


Keputusan sudah kubuat.


“Aku ingin orangtuaku dan seluruh warga Anta tahu tentang perjanjian kita.” ujarku.

“Kau meremehkanku, hah?!” Raja Anta nampak tersinggung.


Sebelum aku menjawab, ia langsung berdiri sambil mengulurkan tangan kepada rakyatnya supaya tenang. Suasana pun berubah hening.


“Wahai rakyaku, kalian dengarlah baik-baik…”


Raja pun menyampaikan bahwa jika aku mau menyerahkan Pacek Lintang dan malam ini melakukan ritual, maka Raja Anta akan menjadi pelindung atas Sawer dan Ewer, dan tidak boleh ada sesiluman pun dari negeri Anta yang mengganggu kesejahteraan kedua kampung itu.


“Demikian janjiku. Dan jika ada di antara kalian yang menggangu Sawer atau Ewer maka tebusannya adalah nyawa kalian.” pungkasnya disambut sorak gemuruh rakyat.


Sejauh ini aku bisa memegang ucapan raja, walaupun sebenarnya aku ingin agar raja juga tidak mengganggu kehidupan manusia dari kampung atau desa manapun. Tetapi aku memilih diam. Aku takut rencanaku menjadi berantakan jika terlalu banyak syarat dan permintaan.


“Sekarang katakan padaku, siapa gadis yang kaupilih untuk kaujadikan sebagai wanita ritualmu?” kali ini ucapan raja ditujukan padaku, tetap dengan suara lantang agar rakyat tetap mendengar.


Sekali lagi aku menatap Rere dan Inka bergantian. Memilih Rere berarti membiarkan Inka mati di tangan raja Anta, sedangkan jika memilih Rere maka Inkalah yang akan mati.


Kupasang ekspresi dingin untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Kutahan pula kelopak mataku yang panas agar tidak mengeluarkan air mata.


“Aku memilih INKA!!” jawabku tegas.


Rere langsung menangis tersedu. Mamah dan Tante Nur menjerit dari arah bawah.


Sedangkan gemuruh sorak-sorai rakyat langsung membahana menyerukan kata


BERSAMBUNG…

Posting Komentar

0 Komentar