BAB 48
Hari sudah jam sepuluh malam ketika aku dan Nur tiba di kostan. Kami telah menghabiskan sore dengan jalan-jalan dan bermesraan, lalu nonton film di Cihampelas Walk, dan ditutup dengan makan malam. Makan sederhana, hanya nasi goreng di pinggir jalan, tapi tak mengurangi indahnya hari ini.
Kumatikan mesin motor, tapi gadis ini masih belum mau turun. Ia malah mengeratkan pelukannya dari belakang.
“Nur?” ujarku sambil membuka helm.
“Aku masih belum mau hari ini berakhir.” ujarnya, ia berubah manja.
“Nanti dilihat orang.”
Pelukannya perlahan melonggar, lalu ia turun dari motor. Aku melakukan hal yang sama sambil mengaitkan helmku, lalu kubantu juga untuk membuka helm gadis ini dan menumpangkan pada kaca spion motor matic yang biasa ia pakai. Nur hanya mematung sambil melihat apa yang kulakukan. Ia memberiku seulas senyum manis, dan spontan aku merapikan rambutnya yang kusut, lalu kuelus pelipisnya dengan lembut.
“Makasih.” ungkap kami bersamaan, membuat kami sama-sama tersenyum.
Nur seperti ingin memelukku dengan merapatkan tubuhnya, tapi kutahan sambil celingukan, karena takut dilihat orang. Begitu merasa aman, kukecup kening Nur dengan tetap menahan bahunya agar tidak memeluk.
“Abis ini aku ke kamarmu yah.” bisiknya.
Aku mengernyit sambil menatapnya tajam.
“Aku gak semesum kamu.” ia seakan membaca ketakutanku, membuatku tersenyum kecut.
“Luka kamu kan harus diobatin lagi dan ganti plester.”
Masih saja ia mengkhawatirkanku, dan sangat perhatian pada hal-hal kecil.
Cuuuup!!!
Belum juga aku menjawab, Nur mencium pipiku lalu setengah berlari meninggalkanku. Tangannya sibuk mencari kunci rumah dari dalam tasnya.
Aku hanya bisa menghela nafas sambil terus memperhatikannya. Begitu tubuhnya hilang di balik pintu, aku langsung menuju kamarku. Lampunya terang.
Langkahku terhenti, jantungku berdetak. Jangan-jangan Bu Ratih sudah menunggu di dalam dan menagih janjiku, padahal Nur akan datang juga ke kamarku. Sadar akan itu, aku segera berlari dan mendorong pintu yang tidak tertutup rapat, dan…
“Kupret!!!” makiku.
Ketakutanku tidak menjadi kenyataan, karena yang kulihat adalah Rad dan Ray. Keduanya duduk di atas tikar yang mereka gelar di dekat ranjang, Rad sambil menyetem gitar.
“Kamu gak dapat ehem-ehem dari Nur, ya Wa? Datang-datang langsung maki-maki.” seringai Ray.
“Kupret!” makiku sekali lagi ketika mendengar celetukan sahabatku yang satu ini. “Tadi kirain ada maling karena kulihat lampu menyala.” aku membela diri.
“Halaaah…!!” jawab keduanya dengan seringai yang bikin mual.
“Mana ada maling menyalakan lampu.” timpal Rad.
Kedua sahabatku tertawa karena melihat rasa kesalku. Tanpa peduli, aku langsung mengaitkan jaket lalu melangkah ke dalam kamar mandi. Byuuuur.. aku pun mandi karena badanku terasa lengket oleh keringat. Ya.. keringat.. bukan lengket oleh yang lain.
Selepas mandi, aku keluar dengan hanya bertelanjang dada. Kulihat sudah ada Lia dan juga tiga cangkir kopi panas. Lia langsung menyembunyikan wajahnya pada bahu Rad karena melihatku yang tanpa baju.
“Eh…” gumamku, lalu segera kembali ke dalam kamar mandi.
Bukan karena Lia, tapi karena aku lupa kalau ada plester dan luka memar pada punggungku. Aku tidak mau ketiganya tahu, cukup Nur saja. Maka kuputuskan untuk memakai kembali kaosku yang kugantung di balik pintu, lalu kembali menghampiri ketiga sahabatku.
“Makasih Lia cantiiik.” ujarku sambil meraih cangkir kopi.
“Enak aja.. itu punyaku.” Lia memasang tampang sewot.
“Halaah… sejak kapan kamu ngopi.” gumamku sambil menyeruput isi cangkir.
Aku yakin, Lia menyeduh kopi ini untuk kami bertiga, karena ia tidak suka ngopi.
“Gimana jualan hari ini, Ray? Kok jam segini udah pulang?” tanyaku pada Ray.
“Ludes, Wa. Kalau aku yang jualan mah cepet habis, emangnya kamu…!!” jawabnya.
Aku mengernyit. Setahuku hari ini Kang Narto menambah porsi jualan, tapi habisnya malah lebih cepat. Belum juga aku membalas ledekannya, tiba-tiba Nur muncul. Wajahnya sudah segar selepas mandi dan berganti baju. Dan… ia membawa secangkir kopi.
Rasa penasaranku tentang lapak martabak pun teralihkan. Kini aku menjadi bulan-bulanan ledekan karena aku harus menghabiskan dua cangkir kopi. Nur? Ia sudah berubah seperti biasa, galak dan bawel, membuat Rad dan Ray akhirnya terdiam. Bukan hanya pada mereka, Nur juga menghardikku yang hanya cengengesan. Ia sudah kembali pada sikapnya sehari-hari, tidak lagi menunjukkan perhatian dan rasa sayang yang berlebihan.
Akhirnya, kedua gadis duduk di atas kasurku, sedangkan kami bertiga duduk di atas tikar sambil ngopi dan merokok. Seperti biasa, obrolan selalu tanpa arah, sesuai apa yang kami ingat dan ingin kami ungkapkan.
“Ehem.” dehemku setelah kami melewati keseruan dengan cerita masing-masing; dengan bumbu saling meledek tentu saja.
“Rencana kopi luwak gimana?” aku memulai pembicaraan yang lebih serius.
Rad menceritakan hasil pencariannya dari mbah google dan juga hasil observasinya pada usaha serupa di daerah Banjar tempo hari. Lia membantu dengan memasukan usulan-usulan tentang bagaimana memelihara luwak. Ray? Kalau tidak mengangguk, ya menggeleng.
Setelah mendengar pemaparan Rad, aku mulai menyampaikan ide besarku.
“Aku ada ide berkaitan dengan ini semua.” ujarku. Lalu, “Kita bisa kerjasama dengan Puting Bude.”
Nur melotot, Lia menutup mulut, Rad tergelak, Ray ngakak.
“Aku serius woiii.” hardikku.
“Aku dan Nur masuk tim Puting Bude di kampus.”
“Jadi kalian berdua mau nyusu pada bude? Bude siapa? Bu Ratih, bibi alias budenya si Nur?” koplak ni si Ray, main asal sebut nama saja.
Buuuuk!!!
Tentu saja pertanyaannya sukses membuat Nur sewot dan menimpuk Ray dengan bantal.
“Kamu juga sih, Wa!!!!” kali ini aku yang kena ***************************************************************.
“Laaah… emang bener kan.”
“Jadi gini…” Nur mengambil alih perbincangan, dan ia pun menjelaskan apa yang kumaksud dengan istilah itu yang aslinya adalah PMBE (Pusat Monitoring Budaya Dan Ekonomi). Kami semua menyimak meskipun Ray sambil menggigit kerah bajunya karena masih menahan tawa. Tak lupa Nur juga menyampaikan anggota tim yang ditunjuk Callista, tentu saja termasuk aku dan Nur yang ada di dalam Puting Bude itu.
“Jadi gitu…!!! PMBE ya.. bukan Put.. eh.. itu.. pokoknya PMBE. Titik!!!” Nur mengakhiri ceritanya. Hampir saja Rad menyemburkan kopinya mendengar Nur yang hampir menyebutkan istilah yang kuberikan; dan cubitan keras dari Lia pun tak ayal mendarat pada punggungnya. Sedangkan Ray hanya diam sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, kuyakin isi otaknya sedang memikirkan Syamida yang juga menjadi anggota Puting Bude.
Tik tok tik tok!!
Akhirnya kami terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan menyimak hubungan antara kopi dan si puting. Adalah Lia yang lebih dulu encer otaknya.
“Sawer bisa dijadikan sebagai tempat studi banding, dan Ewer bisa dijadikan pilot project PMBE.” seru Lia dengan antusias.
“Itu maksudku, Li. Kamu gemesin deh.. udah cantik, pinter lagi.” jawabku sambil berdiri untuk memeluknya, tapi Nur berhasil menutupi tubuh Lia dan Rad menarik tanganku sampai terduduk kembali.
Sesaat aku pun menjadi objek makian dan keriuhan.
“Mesum kok gak ilang-ilang!”
Aku hanya bisa cengengsan tanpa berani membantah karena yang mengatakan itu adalah Nur. Dan.. setelah kembali bisa fokus, kami kembali ke inti pembicaraan. Rad semakin bersemangat untuk menyiapkan tahap demi tahap pengolahan kopi, Ray akan menghubungi beberapa teman yang sampai sekarang tetap tinggal di Ewer, sedangkan aku dan Nur akan menyiapkan proposal untuk dipresentasikan di depan Callista dan putingnya, maksudku Puting Bude yang dibentuknya.
Kami pun mengakhiri hari dan mimpi sambil toast bersama, dan langsung bubar menuju kamar masing-masing, kecuali Nur yang masih bertahan.
“Buka bajumu.” ujar Nur setelah semua teman kami pergi.
Aku hanya menurut, walaupun aku tidak memerlukannya. Tapi daripada membantah dan mendapat omelan, kuturuti kemauannya.
Nur mengambil kotak obat di dalam laci mejaku, karena tadi pagi ia meletakkannya di sana. Dengan telaten ia mengoleskan alkohol dan mengganti plester pada lukaku. Sentuhan lembut tangannya membuatku meremang, tulus perhatiannya membuat hatiku berdesir. Aku menyayangi gadis ini, tapi aku lebih sayang dia. Aku mencintai Nur, tapi tetap tak bisa melupakannya. Itulah yang kurasa, itulah kenyataan yang ada di balik dada, yang aku sadari saat dalam perjalanan pulang dari Lembang sore tadi.
Ketika di kebun teh hatiku memang bergejolak, batinku bimbang dan penuh dilema, tapi akhirnya aku bisa meyakinkan diri, bahwa cinta sejatiku bukan untuk gadis ini. Aku sudah menetapkan hati untuk memilih dia sebagai pendamping hidupku di masa depan nanti, kecuali kalau memang Yang Kuasa menghendaki berbeda. Tapi itu nanti.. saat ini aku harus fokus pada kuliahku, pada pengembangan usaha martabak Kang Narto, pada rencana usaha kopi kami, dan tentu saja pada rencana menghidupkan dan mengembangkan Puting Bude. Di atas semuanya itu, aku akan tetap fokus pada misi ritual dan melanjutkan memberikan perlindungan pada Keluarga Besar Sawer. Efek kemarin malam mungkin bisa berbuntut panjang, dan bisa saja, ancaman datang bukan hanya pada keluarga Bu Tiurma, tapi juga kepada saudara-saudaranya yang lain.
Nur mengecup kepalaku, lalu memeluk leherku dari belakang, membuatku kembali pulang dari lamunan. Kupejamkan mataku sambil mengusapi punggung tangannya.
“Aku bobo bareng kamu yah.”
Degh!!
BERSAMBUNG?
Drrrrrtttt!!!
Hapeku bergetar, membuat aku membuka mata. Kurogoh hapeku dari dalam saku celana. Ada pesan WA dari Maya dan Callista di sana, tapi yang menarik perhatianku adalah pesan paling atas, yang baru saja masuk.
From: No Name
Wa, bilang ke mamang jangan bersambung di sini. Kentang!! Kali ini aku mengijinkanmu untuk menang banyak.”
Aku tersenyum membacanya, lalu mem-forward pesan itu kepada TS.
“Eh.. tadi apa, Nur?” aku bertanya pada Nur yang masih memeluk dengan dagu menumpang pada pundakku.
“Kamu maah.” bisiknya kesal. Lalu, “Aku bobo di sini yah.”
“Eh.. jangan atuh, Nur. Nanti dikirain kita macem-macem.” jawabku sambil mengusap pipinya.
“Ya biarin aja macem-macem juga, biar bibi nyuruh kamu ngelamar aku.” bisiknya sambil menghembuskan nafas pada telingaku.
Aku menghela nafas. Aku tahu Nur tidak serius dengan ucapannya, alias hanya bercanda, tapi tetap saja membuat file mesumku terbuka tanpa ku klik. Di atas semuanya itu, aku takut kalau Bu Ratih tiba-tiba datang untuk meminta jatah. Sudah sebulan suaminya tidak pulang.
“Ya tetep aja, nanti kalau aku khilaf gimana?”
“Ya khilaf aja, aku kan udah bilang sejak di kebun teh tadi.”
“Nuuur!!! Kamu.. aaah!!!” geramku.
“Hihi.. gitu banget sih kamu ke aku teh. Bercanda kali, Wa.” Nur cengengesan sambil menjembel kedua pipiku lalu mengecupnya kiri dan kanan.
Nur melepaskan pelukannya lalu turun dari atas tempat tidur. Aku ikut berdiri dan memakai kembali kaosku.
Mata kami beradu, dan pelukan ini kembali kami ulangi. Kuberikan kecupan pada keningnya, tapi setelahnya ia mencari bibirku. Kali ini sebuah cumbuan lembut, tak sepanas di kebun teh sore tadi. Kami saling mengulum dan saling bertukar bibir untuk dicecap dan diemut.
Aku benar-benar ingin khilaf, tapi aku terlalu menyayanginya. Maka sambil tetap saling berciuman, perlahan kubawa dia melangkah ke arah pintu. Nurlah yang melepaskan ciuman ini karena ia takut ada yang melihat. Matanya sendu, pipinya merona, dan nafasnya sedikit pendek.
“Malam, Nur.” lirihku sambil mengusap bibirnya yang basah karena air liur.
“Malam sayang.” senyumnya sambil mengerling.
“Kamu..!!!” kucolek hidungnya dan ia pun memeletkan lidah.
Sebuah kecupan kembali mendarat di pipiku sebelum ia beranjak meninggalkan kamar. Aku mengantar kepergian gadis itu dengan sebuah desah panjang. Rasaku tak bisa lagi digambarkan, membuat kepalaku tiba-tiba sedikit pening. Kututup pintu dan langsung membaringkan diri tanpa mematikan lampu.
Tik tok tik tok!!
Kuhitung detak jam dinding sambil menarik selimut. Kupenjamkan mataku.
Ceklek… Kreeek…!!!
Belum juga aku terlelap, kudengar pintu kamar kembali terbuka. Kubuka kembali mataku dan…
Aku cuma terbengong melihat sosoknya. Rambutnya acak-acakan. Wajah dan lehernya nampak licin berkeringat, pipinya kelihatan merah padam dan nafasnya sedikit tersengal. Tubuhnya dibungkus daster tanpa lengan, dengan beha dan celana dalam hitam yang terbayang. Mungkin ia abis colmek tapi tidak puas sehingga memintaku untuk menuntaskan.
“Lama banget kalian ngobrolnya!! Huuuh!!!” omelnya.
Ceklek!!! Ia mengunci pintu.
Nafasku tiba-tiba tersengal, aku tahu apa yang sebentar lagi akan kami lakukan. Sesaat aku mengingat Nur, juga membayangkan dua gadis kakak-beradik, tapi itu hanya sesaat, bayangan mereka langsung hilang, terganti oleh gairah pada wanita yang sudah berdiri di tepi ranjang. Dialah Bu Ratih!
“Bbbuuu…” hanya itu yang bisa kuucapkan sambil bangkit dan duduk di atas kasur.
Bukannya menjawab atau menyambut uluran tanganku, ia malah mundur dua langkah. Sejenak ia menatapku nakal dengan nafas kian pendek. Perlahan Bu Ratih meloloskan tangan kirinya dari lubang daster dan menurunkan kain itu, dan tali beha hitam pun terpampang. Ia mengerling sambil menjilati bibirnya sendiri, bersamaan dengan meloloskan tangan kirinya. Dasternya melorot, memamerkan dada dan belahan payudaranya yang besar. Namun daster itu tidak sepenuhnya luruh karena menyangkut pada kedua payudaranya.
Melihatnya, mataku langsung nanar. Berulang kali aku meneguk air liur. Tanpa memalingkan pandangan, kubuka kaosku sendiri dan melemparkannya ke atas kursi. Gagal…!!! Kaos itu jatuh ke lantai. Sedangkan Bu Ratih bukannya menurunkan dasternya, tapi malah membuka kaitan behanya.
Aku turun dari tempat tidur dan langsung berdiri saling berhadapan. Bu Ratih mundur seakan mau menghindar. Cukup kegeeran, karena aku berdiri bukan untuk menyentuh atau memeluknya, melainkan untuk meloloskan celana panjangku sendiri. Kalau ia bisa menggodaku seperti itu, pun pula aku. Kubuka ikat pinggangku bersamaan dengan lolosnya kedua tali beha pada pundaknya. Payudaranya kian terpampang, meski ujungnya masih terhalang cup beha dan dasternya.
Sambil saling menggoda, kuturunkan celana panjangku, sekaligus dengan celana dalamku, sementara ia menurunkan dasternya. Penisku mendongak, membuat matanya terbelalak. Sedangkan aku tersengal menyaksikan payudaranya yang menggantung di atas perutnya yang sedikit berlemak. Lalu Bu Ratih menurunkan daster yang menyangkut pada pinggulnya, sedangkan aku melepas celanaku. Dan jadilah… aku bugil, Bu Ratih telanjang dengan tinggal menyisakan celana dalam hitam yang nampak basah pada bagian depannya. Lipatan vaginanya nampak tercetak.
Tapi permainan ini belum berakhir. Bu Ratih meremasi payudaranya sendiri sambil sedikit mendongak, jentik keringat pada lehernya pun mulai nampak. Tak mau kalah, kukocok penisku di depannya sambil mataku menjelajahi seluruh tubuh Bu Ratih. Nafas kami sama-sama tersengal, dan mata kami sama-sama berbinar penuh birahi.
Remasan tangan pada payudaranya semakin liar, membuat air susunya muncrat beberapa kali ke atas lantai, sebagian meleleh di atas perutnya. Kocokanku makin cepat melihat pemandangan menggairahkan itu, dan karena tak ingin kalah sebelum bertarung, aku langsung menubruknya.
Hmmmmfff…!!!!
“Aaaau…!! Uuuh….!” ia sedikit menjerit dan dilanjutkan desahan saat aku memeluk dan menciumi pundak dan tengkuknya. Payudaranya terasa kenyal mengganjal, sekaligus lembab karena lelehan ASI. Kemaluan kami sudah menempel dan saling menekan meski masih terhalang celana dalam hitamnya.
Tubuh Bu Ratih sedikit melenting ke belakang, membuatku merunduk sambil menahan pinggang dan punggungnya, sedangkan tangannya mencari pegangan pada leherku. Dan…
Cuuuuppp!!!
Langsung kulumat bibirnya… ia membalas penuh gairah… Lidah kami langsung saling membelit dan melilit… lenguhan demi lenguhan mulai kerap kudengar.
Perlahan kubimbimbing tubuhnya ke atas kasur tanpa melepaskan lumatan. Namun karena terlalu bernafsu, kami kehilangan keseimbangan dan ciuman kami terlepas. Kami sama-sama terjerembab disambut derit ranjang.
Hash.. hash.. hassssh…!!!
Kami sama-sama tersengal sambil saling menggapai untuk menyatukan diri kembali, aku kalah cepat, Bu Ratihlah yang duluan menindihku. Celana dalamnya nampak melar seiring melembarnya pinggul besar yang menindih pahaku. Pahanya putih-merangsang, pangkalnya menggelembung. Cetakan basah bibir vaginanya pun terpampang, juga bayangan hitam di balik gundukan celana dalamnya. Nampak lembaran bulu-bulu halus keluar di pinggirannya.
Lalu tangan Bu Ratih turun ke selangkangannya. Bangkeee… ia menyewir-nyewir bulu vaginanya sehingga keluar dari pinggiran kain hitam itu. Di puncak gundukan memeknya mulai tampak rembesan basah… awalnya hanya membentuk titik tapi kemudian merembes makin lebar.
Sambil menggigit bibir bawahnya ia memindahkan tangan untuk menggulung rambutnya ke belakang, menampakkan lehernya yang indah dan memperlihatkan tiga lipatan yang membuatnya tampak sangat dewasa dan menggairahkan. Mengkilat-berkeringat. Puting susunya yang kecoklatan mengacung tegang di tengah bulatan hitam, dan jentik ASI.
Aku sudah tak kuasa lagi. Segera aku bangkit. Kuraih tubuh Bu Ratih dan menariknya. Aku kembali terjengkang di atas kasur bersama pekik mulutnya, ada rasa perih pada punggungku, tapi terkalahkan oleh gairah. Ia ambruk di atas tubuhku dan payudaranya terurai melebar karena lekatnya himpitan.
“Bu…”
Hmmmmffff.
Kami berciuman panas. Mulut kami saling menyosor. Menjilat. Mencecap. Kuremas bokongnya, dijambaknya rambutku. Kubalikan tubuhnya tanpa melepaskan ciuman, dan kutindih selangkangannya. Si jago sudah menempel di atas celana dalam basah. Sambil meremas payudara kanannya, kuhisap-hisap telinga kirinya.
“Aaaarrrrghhh”. iaa mendesah.
“Buuu…” Aku menggeram di telinganya.
“Iyah sayang.. hash..hash… aaaargggh…”
Kujilati seluruh mukanya, kedua telinganya. Bibirnya kulumat sebentar, lalu kujilat lehernya. Asin keringat sudah tak kupedulikan lagi. Aku terus menjilat. Haaaaap… akhirnya kujilat putingnya… kuemut dan kukecrot dengan lidah dan bibirku… ASI pun memancar di dalam mulutku dan langsung kuteguk tanpa peduli pada rasa amis-asinnya.
“Aaaarrrggg… i..iyah.. sayang… uuuh…. mmmhhhh… enaaaak…. aaah… duh…” Bu Ratih meracau. Sementara aku hanya mendengus-dengus.
Kuturunkan jilatanku ke perutnya sambil meremas payudaranya… kujilat… kusedot.. kucupang… Kumainkan lidahku di atas pusarnya sambil kupindahkan tanganku ke atas pahanya. Aku benar-benar mandi keringat, semua anggota tubuhku bekerja.
“Duuuh.. ampun… gatel… aaarrh.. uuuh.. shhhss…” Bu Ratih meracau.
Tubuhnya sudah sangat gelisah dan sekali-kali melenting dengan mengangkat pinggulnya.
Tak sabar, segera kutarik celana dalamnya ke bawah dibantu angkatan bokongnya, lalu kedua kakinya diangkat bergantian. Sesak dadaku melihat gundukan basahnya… Aku semakin tersedak oleh gairah, tapi kubiarkan cairan vaginanya yang meleleh.
Aku lebih memilih menjilati dan mengecupi kedua lututnya bergantian, sedangkan tanganku naik meremas bagian bawah pahanya. Tubuhnya kian menggelinjang dan mendesah…
“Hassssh…hasssh… sayang… aduh… aampuuun… enak… ibu enak… huh huh..haaah.”
Kuhentikan sejenak jilatanku. Aku mendongak dengan keringat bercucuran. Melihatnya menggelinjang-gelinjang sambil meracau, aku semakin terbakar gairah. Ciumanku kembali merambat naik, menyusuri paha dalamnya.
“Haaaasssh… du.. duuuh… iyah… duh… enak… aaarghhh. Wa… gataaal banget … uuuh…”
“Buuu…” Aku menggeram. Jilatanku semakin ke atas sampai hidungku menyentuh bulu kemaluannya. Anjrrriiit… aromanya yang khas menyengat membuat aku limbung oleh syahwat.
Kutarik-tarik bulu kelaminnya gemas.. membuatnya menjerit. Lalu kusibakkan bulu-bulunya dan kutarik kedua bibir nikmatnya… Memeknya menggelambir hitam bagian luarnya, dan merah basah bagian dalamnya. Kucolek-colek dengan ujung jariku… “Aaaaau…” Lalu kucolek juga klitorisnya yang menyempil. “Aaaaarrrrhhhh… sayang… Ibu gak kuaaat… ampuuunnn…”
Aku semakin bersemangat untuk mengobel menggosok-gosok klitorisnya. Lalu dengan cepat, aku menyosor lubang vaginanya. Kukecup dan kusapu dengan lidahku tanpa melepaskan usapan tangan pada klitorisnya.
“Waaaa… ampuuun sayang… aaah… memek ibu aaah… aaah… duh.. itil bucat.. ampuun… ibu bucaaat…”
Srrr…!!! Srrrr…!!! Srrrrrr…!!!
Cairan kental mengalir membasahi jari dan mulutku. Kusambut cairan orgasmenya sambil menjilati tepian bibir vaginanya, tapi tak berlangsung lama karena ia menjambak dan menarik rambutku ke atas.
Kulihat wajahnya licin karena keringat. Tubuhnya kejang dan bergetar-getar; bola matanya putih mendelik. Nafasnya ngos-ngosan. Aku sedikit terpana melihatnya… Menyaksikan wanita orgasme memang sangatlah seksi dan menggiurkan. Kukecup bibirnya dan kami berciuman sesaat. Lalu saling berpandangan.
Kuusap-usapnya keringatnya dan beristirahat beberapa saat. Setelah gelombang orgasmenya reda, aku mengecup keningnya yang basah oleh keringat.
“Lanjutin lagi?” tanyaku.
Ia menjawab dengan ciuman panas. Lalu tubuhku didorong sehingga kini ia yang menindihku.
Kedua putingku dikenyotnya dan si jago dielus, remas, elus, remas, kocok.
“Uuuh… Enaaak, bu. Hash…hash…. aaarghhh..” aku menggeram, membuatnya makin bersemangat.
Tak lama kemudian ia bangkit dan mengangkangi si jago. Gila bokongnya lebar banget dan memeknya terbuka merah. Aku pegang pinggangnya…. Dan ia menggenggam si jago. Clup… si jago mencucuk daging-kenyal-basah.
“Sssshhhh…” desah kami bersamaan.
Kepala si jago menerobos lubang beceknya.. Uuuh… ngilu dan cedutan…. Kuraih dan kupilin puting susunya. Bu Ratih kaget dibuatnya dan kehilangan keseimbangan… akibatnnya… bleeef.. cleeeep… “Anjrrrrriiiir… aaaarrhhh…”. “Aaaaaarggghhh… uuuh….” Kami bersahutan. Si jago amblas sekaligus.
Penisku cenutan di dalam lubang kenikmatannya, batangku ngilu karena diremas bibir vaginanya. Kami menahan nafas sesaat.
Ia kembali bertopang pada dadaku, telapakku meremas-remas susunya.
Clep…clep…cleeep…!!!
Ia mulai menaik-turunkan bokongnya. Batang si jago mengkilat-basah-muncul-tenggelam.
“Aaaargggghhh… uuuh… enak sayang… uuuh… sssshhh… mmmghhhh…”
“Hash hash hassssh… apanyaa yang enak bu… uuuhh…?”
“Mmmhhhhgrr.. kontol kamu. Aaaah mentok.. ssshh… shhhh… Duh memek.. ibu enak.. aaah… gateeel… memek ibu disodok… aaaah…”
Gerakan kami makin liar karena stimulus desah dan omongannya yang makin jorok. Jangan tanya yang di dalam. Sumpah enak bangggeeeeet.
“Aaa… ibu… bucaaaat… gak kuaaat… ampun.” ia berhenti naik turun, berganti dengan menggeol-mengebor…
Sumpah ngilu banget. Si jago mengembang di dalam tersedak sperma yang mulai mendesak.
“Kooon…toool… uuuuuh. Bucaaaat…” pekiknya.
“I..ibu… uuuh…. aaaah…. muncrat…” desahku penuh nikmat.
Kami berteriak bersamaan.
Seeeer…. cuuur… cuuuur….!!! cairan basah dan hangat mengucur.
Srrrrr… Crot… crooot… croooot…!!! Si jago muntah di dalam.
Bluuuuuphhh… hmmmmf…!!!
Ia ambruk di atas tubuhku.
Aku tak punya tenaga bahkan hanya untuk sekedar menggerakan tubuhku.
“….”
Sepintas kulihat ada bayangan putih yang meloncat keluar jendela.
“Sial.. dia ngintip lagi.” gerutuku dalam hati.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar