BAB 47
Aku mengajak Nur jalan-jalan ke perkebunan teh sekitar gunung Tangkuban Perahu. Sebuah pemandangan gratis yang mewah sekaligus kebersamaan yang indah; murah meriah. Yeaah.. sejak punya tunggangan baru ternyata hidupku tidak serta-merta menjadi enak, pengeluaranku malah menjadi lebih banyak untuk memberinya minum berliter-liter pertamax.
Aku duduk di atas motor sambil mengunyah tahu yang tadi sempat kami beli di Lembang, sedangkan Nur berdiri beberapa meter di depanku sambil menenteng botol air mineral. Wajahnya sumringah dan senyumnya cerah, ia nampak begitu menikmati indahnya pemandangan yang dianugerahkan semesta. Rambut sebahunya tergerai diterpa angin sore.
“Nur.”
Ia menengok sambil tersenyum, ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya bisa jalan-jalan berdua seperti ini. Kami memang tinggal dalam satu atap, kami memang sering bertemu, kami memang sering berangkat dan pulang kuliah bersama; tapi kami tidak pernah bisa menikmati quality time seperti ini. Aku terlalu sibuk kuliah dan jualan, pikiranku juga selalu terpaku pada Maya dan Callista.
“Apah?” tanyanya sambil mendekat.
“Nggak.” gumamku sambil membalas senyumnya.
“Yeee…”
Nur mendekatiku tanpa memalingkan tatapan.
“Kamu gak bisa bohong.” ucapnya sambil mengambil tahu dari bungkusan yang kupegang.
“Maksudmu?”
Nur tak menjawab, ia lebih memilih memakan tahu itu. Meski begitu, matanya tak lepas memandangku.
“Nur?”
“Kamu kenapa?” ia malah balik bertanya.
“Heh?”
Ia menggeleng sambil tersenyum. Dihabiskannya tahunya lalu mengambil yang baru. Bukan untuk ia makan, tapi menyuapkannya padaku.
“Kamu itu tidak pernah bisa menyembunyikan kegelisahanmu, Wa.”
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Kukunyah tahu suapannya tanpa menjawab. Ia benar, aku memang sedang gelisah; ia cukup peka untuk membaca apa yang selama ini kusembunyikan.
“Ceritalah. Apa ada hubungannya dengan perkelahianmu semalam?” tanyanya sambil membersihkan tangannya dengan tissue.
Sekali lagi aku menggeleng sambil menghembuskan nafas panjang, kini aku tidak perlu lagi berpura-pura di hadapannya. Aku turun dari motor dan menuntun tangan Nur menuju sebuah batu besar. Kami pun duduk bersisian sambil menatap ke kejauhan.
“Kamu..” aku memulai percakapan. “Rad, Ray, juga Lia sudah tahu tentang ritual yang harus kulakukan.”
“…”
“Terima kasih kamu mau mengerti aku, dan tidak pernah memutuskan persahabatan kita.”
“Kamu ngomong apa, sih Wa?” gumamnya.
“Kamu juga tahu ucapan Ray kemarin sore.. aku menang banyak dengan itu. Aku.. aku… bisa meniduri para wanita pilihan Sawaka. Tapi…”
Aku terdiam tanpa mampu melanjutkan ucapan.
“Hati kecilmu tetap menolak. Kamu merasa bersalah.. kamu telah merasa berkhianat pada orang yang kamu sayangi.” kata-kata itu mengalir begitu saja, ia begitu peka dan mengerti isi hatiku.
Aku hanya mengangguk mendengarnya.
Tiba-tiba Nur meletakkan kepalanya pada bahuku, nafasnya terdengar panjang.
“Aku tidak mengerti akan maksud dari semuanya ini, Wa, tapi aku percaya ada tujuan penting dari kebangkitan Sawaka.” lirihnya.
Aku mengamini ucapannya, kataku, “Keluarga Besar Sawer.”
“Maksudmu?” Nur mendongak.
“Ritual, motor yang Ariya berikan, luka di punggungku, dan juga berita tadi pagi yang Rad dan Ray tunjukkan, semuanya bukan kebetulan, tapi saling berkaitan, Nur.”
“Orang misterius itu adalah kamu?” Nur mencoba menebak.
Aku mengangguk meskipun Nur tak melihat karena sudah tak lagi mendongak menatapku.
“Aku sudah menemukan wanita keduaku, Nur. Dan kami sudah melakukan ritual.” aku menyampaikan rahasia yang selama ini baru Maya yang tahu, selain Ceu Ningrum tentu saja.
“Hah? Kamu gak bohong, kan? Siapa wanita itu?” Nur terheran-heran.
Ia nampak kaget bahwa aku sudah menemukan wanita keduaku dan mencoba mencari tahu, tapi aku enggan memberitahu siapa orang itu dan bagaimana awal mulanya. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan hidupnya.
“Siapa dia, itu tidak penting untuk kamu ketahui, Nur. Maaf, aku tidak bisa memberitahumu.” lirihku sambil menyembunyikan rasa bersalah karena aku telah meniduri bibinya sendiri. Lanjutku, “Yang jelas aku sudah melakukannya pada purnama kedua sejak ritualku dengan Ceu Ningrum.”
Nur hanya diam, ia sepertinya tidak berniat mencecarku untuk mencari tahu tentang wanita keduaku, meskipun sorot matanya mengekspresikan rasa penasaran.
“Pantesan kamu banyak berubah.” gumamnya.
“Heh?” heranku.
“Mesummu berkurang. Hehehe… Tapi cuma dikit…” kekehnya sambil menempelkan ibu jari dan telunjuknya lalu memberi jarak sedikit.
“Atulah Nuuur.” gerutuku.
“Hihihi.. emang bener, kan? Kamu tuh udah bawaannya mesum, mungkin setelah ritual ketiga pun, tetap gak akan hilang. Palingan cuma berkurang sesetrip.” ia masih mengolok-olok.
“Nuur!!!”
“Hehehe.. iyah iyah.. kamu gak mesum, cuma otakmu aja yang ngeres.”
“Yeee.. sama aja atuh.”
Kami pun sama-sama terkekeh, padahal di dalam hatiku tetap tersembunyi rasa bersalah pada gadis ini.
“Tapi aku serius, Wa…” gumamnya, tertawanya hilang. Sorot matanya teduh menatapku.
“Kamu beda…!!! Aku sendiri susah jelasinnya, tapi di balik sikap tengil dan… dan…”
“Mesum.” aku melanjutkan.
“Nah.. kamu sendiri yang bilang.” senyumnya kembali terulas. “Kamu seperti menyembunyikan sesuatu. Kayak lebih berkharisma gitulah… Aaaahhh… aku susah jelasinnya, Wa.”
Nur kebingungan sendiri sambil memainkan dan menciumi ujung rambutnya sendiri.
“Makasiiih.. ternyata aku berkharisma juga.” aku sok kepedean.
“Kharisma di bidang mesum. Wakakkakakk.” kali ini Nur tergelak, tawanya terdengar lepas.
Dengan gemas kuuyel-uyel rambutnya tanpa penolakan, dan juga tanpa menghentikan tawanya.
Setelah tawanya reda, ia menyenderkan kembali kepalanya pada bahuku. Maka… kusampaikan pada gadis ini tentang apa yang kurasakan sejak ritual kedua, seolah mau mengamini ucapan Nur tentang adanya perubahan dalam diriku. Intinya, sejak ritual kedua aku menjadi lebih peka, khususnya berkaitan dengan bahaya yang mengancam Keluarga Sawer dan juga orang-orang di sekitarku. Memang tidak serta-merta begitu, Cintung banyak memberi tahu tentang adanya bahaya, entah dengan kehadirannya yang tiba-tiba atau melalui pesan-pesan tanpa nomor.
“Sekarang aku mengerti, kenapa Ariya -melalui desakan Bu Mae- memberikan motor itu. Rupanya supaya aku bisa bergerak cepat jika ada keadaan darurat yang membutuhkan kehadiranku, seperti yang terjadi tadi malam.” aku memulai cerita.
Memang demikianlah yang terjadi tadi malam. Karena motor itu, aku bisa datang tepat waktu ke rumah Bu Tiurma dan Pak Langit, saat lima orang perampok menyambangi rumah mereka. Kelima perampok itu telah berhasil melumpuhkan dua satpam yang berjaga, tapi sebelum mereka menerobos ke dalam rumah, aku keburu datang, dan berhasil menggagalkan aksi mereka.
Aku tahu mereka tidak mencari harta, tapi hanya suruhan saingan bisnis untuk mencuri dokumen penting tentang strategi bisnis perusahaan FaF. Aku berhasil melumpuhkan mereka dan mengurung mereka di dalam pos satpam dan menguncinya dari luar. Tentu saja mereka kuikat supaya tidak melarikan diri. Setelah menolong kedua satpam yang terkapar, aku pun pergi dan hanya mengamati dari jauh sampai polisi datang.
Itulah kejadian itu.. tak lupa, kusampaikan kepada Nur, bahwa sejak ritual kedua, aku seakan punya kekuatan dan keahlian bela diri, sehingga hanya luka kecil saja yang kudapatkan.
“Tak seorangpun yang tahu, Nur. Rahasia ini kutitipkan hanya kepadamu.” aku mengakhiri cerita.
Remasan tangannya sudah cukup bagiku sebagai sebuah jawaban kesanggupan gadis ini. Entah sejak kapan kami saling menggenggam, aku tidak tahu, tapi inilah yang sedang terjadi. Tangan kami sudah saling bertautan.
Aku membalas remasannya sambil memantapkan hati. Aku akan selalu menjadi pelindung bagi keluarga itu, tanpa mereka sendiri harus tahu. Biar Nur saja… sebagai satu-satunya orang yang menjadi tempat curahan hatiku untuk urusan yang satu ini.
Nur hanya diam. Itulah cara dia menunjukan rasa simpati dan empatinya di hadapanku. Sifat galak dan cerewetnya hanyalah bungkusan luar yang menyembunyikan banyak kebaikan dan ketulusan hati.
Pikiranku pun melayang pada apa yang sudah sejauh ini aku jalani. Terutama atas kedekatan kami yang dimulai sejak perkenalan di atas bis yang membawa kami ke kota ini. Ia adalah satu-satunya gadis yang banyak membantuku untuk bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota, namun dalam perjalanannya banyak kuabaikan semenjak kehadiran Maya dan Callista.
“Kamu telah menjadikan yang pertama kamu kenal sebagai yang terakhir dalam hatimu, Wa.” ujar Ray tempo hari.
Aku hanya diam membenarkan ucapannya, sedangkan Rad pura-pura sibuk dengan smartphone-nya. Aku yakin ia menyimak dan sepakat dengan apa yang Ray sampaikan.
“Aku bisa membaca kalau Nur itu diam-diam menyayangi kamu lebih dari sekedar sahabat. Sikapnya yang selalu mengkhawatirkanmu, sampai-sampai menyusulmu ke RSP waktu itu, dan juga sering membawakan sarapan untukmu, sudah menjadi bukti.” Ray masih melanjutkan.
“…”
“Nur telah banyak memberimu perhatian dan kasih sayang.” kali ini Rad mengimbuhi.
“Sedangkan Maya dan Callista adalah orang yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.” kata Ray.
“Jadi…” lanjut Ray.
“Aku harus memilih.. antara membalas cinta orang yang sudah lebih dahulu memberiku banyak perhatian, atau mencintai orang yang membutuhkan dan mengharapkan perhatianku.” potongku.
Kedua sahabatku menangguk, sedangkan aku tidak bisa memberi keputusan untuk itu semua. Maya masihlah menjadi cinta terdalamku, meski aku sudah memutuskan untuk mengakhirinya. Biarlah.. aku baru akan menentukan masa depanku setelah semua urusan ritualku selesai.
Remasan kuat pada telapak tangan membuatku kembali dari lamunan. Tanpa sadar kuhela nafasku, membuat Nur mendongak. Keningnya mengkerut dan matanya seakan bertanya tentang apa yang sedang kupikirkan.
“Kamu jangan pernah ambil keputusan yang bisa mencelakakan dirimu sendiri, Wa.” ujarnya tulus. Sebuah harapan sekaligus permintaan dari hatinya yang terdalam.
“…”
“Cukup pendahulumu yang lebih memilih mengorbankan nyawa demi orang yang ia sayangi, tapi kamu jangan!!”
“Untuk itulah aku memutuskan Maya.” lirihku.
“Tapi sejak putus, kalian malah semakin dekat dan mesra.” sanggah Nur.
Aku diam. Nur sepenuhnya benar. Bahkan bukan hanya dengan Maya, melainkan aku juga semakin dekat dengan kakaknya. Sikap kami di kantor Callista siang tadi, tak ubahnya hubungan antar kekasih. Saling memeluk, dan bahkan mengecup.
Tiba-tiba pikiranku melayang mengingat kejadian tadi pagi ketika Nur membangunkanku. Bagiku, itu adalah ungkapan perasaan terdalam yang selama ini ia sembunyikan. Kucerna kembali kata-kata Ray dan Rad. Tanpa kumau, dadaku terasa sesak. Maksud hati ingin membuktikan pada Cintung bahwa aku bisa menang banyak, nyatanya malah aku memasukan diri ke dalam jeratan dilema.
Mataku terasa panas mengingatnya. Aku benar-benar telah mengabaikan perasaan gadis ini. Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Nur sangat erat. Terlampau erat.. membuatnya mengernyit.
“Wa..” lirihnya sambil mengubah posisi duduk menghadapku.
Kini sorot mata kami beradu, mungkin kedua bola mataku sudah merah karena menahan perih dan desakan air mata.
“Nur..” hanya itu yang bisa kuucapkan.
Tanpa menjawab, gadis ini memelukku dan menangis. Tanpa sebab ia seperti ini. Aku hanya bisa membalas pelukannya tak kalah erat, untuk bertanya pun aku sudah tidak bisa.
Hatiku kian sakit mendengar rintihan tangisnya. Kucoba menerka, berusaha membaca apa yang sebetulnya sedang ia rasakan. Dan pelukan ini sudah menjadi tanda… ia mencintaiku.
Kukecup kepalanya, tanpa ia tahu, air mataku menjentik, namun segera kuusap.
“Maafkan aku, Nur.” akhirnya aku bisa berucap.
“Maafkan aku jika selama ini sering mengabaikanmu, sering membuatmu khawatir dan kecewa, sering membuatmu cem…(buru).” kuurungkan mengucapkan kata terakhir.
“Hiks.. hiks… aku memang cemburu, Wa.” ia sudah tahu apa yang urung kukatakan.
Dan aku gagal… gagal membuat air mataku tidak mengalir.
Apa peduliku! Kuangkat wajah Nur dan kuusapi air matanya, meski air mataku sendiri semakin meleleh. Gadis ini bukannya menghentikan tangisnya, malah isaknya semakin keras. Apa yang selama ini ia sembunyikan, sudah tak bisa lagi ia bendung. Semuanya ia tumpahkan dan ia kabarkan dalam isak tangisnya.
Tak sanggup aku melihat air matanya yang menderas, maka kembali kubenamkan wajahnya ke dalam dadaku dan memeluknya erat. Kami sama-sama terisak dengan tubuh sedikit bergetar.
“Sejak aku mengenalmu, Nur… rasa itu sudah ada. Aku sayang kamu.. tapi semuanya tersamar begitu saja ketika.. ketika… Maya tiba-tiba hadir dalam hidupku, ditambah lagi Callista kakaknya. Maafkan aku…”
“Tapi.. tapi… aku juga tidak bisa membohongi diri. Rasa sayangku padamu berbeda dengan rasa yang kumiliki pada Maya dan Callista. Aku menyayangimu karena kehebatan dan segala kelebihan yang kamu punya, sedangkan aku mencintai mereka karena kekurangan mereka. Apakah itu cinta? Apakah cintaku yang sejati adalah untuk kamu? Maya? Callista? Aku tidak tahu, Nur. Aku tidak bisa memilih, dan saat ini aku sedang tidak ingin memilih.”
“….” hanya isak tangis yang terdengar.
“Aku bahagia kamu ada untukku, Nur. Aku bahagia punya kamu yang selalu mengkhawatirkan dan mengingatkanku saat aku bertingkah aneh-aneh, tapi aku belum bisa memutuskan bahwa kamu adalah cinta sejatiku… dan… aku juga tidak bisa mengatakan bahwa kamu akan menjadi cinta sejatiku. Aku tidak ingin kamu menunggu.”
“Jadi intinya kamu sayang aku walaupun kamu sendiri tidak tahu arti dari rasa sayang itu? Hiks.. hiks…” ia bertanya di sela isaknya.
“Begitulah, Nur.”
“Hiks.. hiks.. aku.. aku… hiks… sayang kamu, Wa. Sangat sayang. Hiiiksss…”
Pertahanan Nur runtuh, ia tidak bisa membohongi atau menipu diri lagi. Kata-kata sakti itu keluar dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja… ia menceritakan semua rasa yang selama ini ia pendam: kemarahan dan sakit hatinya ketika aku jadian dengan Maya, luka batinnya saat tahu aku telah tidur dengan Ceu Ningrum dan harus menjalankan ritual, juga kekecewaanya ketika aku malah jadi dekat dan sering jalan dengan Bu Callista. Bahkan ia pun jujur mengatakan ketika ia melihat aku dan Maya berpelukan di rumahnya malam itu, lalu menangis dalam pelukan Lia.
“Aku sayang kamu, Wa. Hiiiks…” sekali lagi kalimat itu terucap.
Diam. Itulah yang bisa kami lakukan selanjutnya. Tiada lagi kata dan ucap, selain eratnya pelukan dan isak tangisnya yang mulai memudar. Kupejamkan mataku dan mendekap Nur setulus hati. “Aku akan selalu menjagamu, apa pun status kita ke depannya nanti.” sebuah janji pun kuucapkan dalam hati.
Lima menit… sepuluh menit… entah berapa lama kami seperti ini… akhirnya pelukan ini terlepas. Seulas senyum saling kami bagikan sambil membelai wajah masing-masing. Awalnya hanya ingin saling mengeringkan sisa air mata, tapi entah kenapa tangan ini enggan menjauh setelahnya.
“Wa.” panggilnya. Ia menatapku sendu penuh keragu-raguan.
“Katakanlah.” balasku setengah berbisik.
“Jadikanlah aku… se… sebagai gadis ritualmu.”
Sangat tulus kalimat itu terucap, bahkan disampaikan dengan segenap harap.
Aku hanya bisa tercekat. Sedemikian besarkah cinta gadis ini padaku? Dan yang lebih menyakitkan lagi, permohonannya senada dengan apa yang pernah Maya minta.
“Bukan aku yang memilih, Nur, tapi Sawaka sendiri yang sudah menentukannya.” jawabku.
“Yeaaah.. mungkin Sawaka tidak akan memilihku, dan mungkin juga semesta tidak menakdirkan kita berjodoh, tapi.. tapi… maukah kamu memilikiku walau itu hanya sesaat?”
“Maksudmu, Nur?”
“Aku tidak meragukan rasa sayangmu padaku, tapi aku sendiri tidak yakin bahwa kamu akan meminangku, dan menjadikanku sebagai orang yang akan menjadi pendampingmu seumur hidup. Aku ingin kamu mengambil apa yang kupunya, dan aku sangat ikhlas walaupun kamu tidak akan menjadi suamiku kelak.”
“Nuuuur!!!!”
Aku membentaknya, membuat tubuhnya sedikit tersentak dan bergetar. Tanpa menatapku, ia memelukku erat seperti orang yang ketakutan.
“Hati-hati kalau bicara! Aku memang sayang kamu, dan kamu mungkin benar bahwa kita tidak akan pernah saling menyatu! Tapi aku tidak sepicik itu!!! Jaga apa yang kamu punya untuk orang yang tepat, orang terbaik yang akan menjadi pendamping abadimu!!!”
Rasa sedih dan haru bercampur dengan luapan marah. Tak sepantasnya ia berbicara seperti itu. Ia memang menyayangiku, tapi bukan berarti harus memberikan semua apa yang ia punya.
“Maaf.” singkatku ketika ucapanku malah membuat Nur kembali terisak dalam pelukanku.
Kuelus rambutnya, kukabarkan bahwa bukan maksudku mau menyakitinya dengan cara membentak dan memarahinya.
“Dengar, Nur…”
Setelah isak Nur reda, aku kembali berbicara. Kujelaskan dampak negatif jika aku meniduri seorang gadis sebelum aku menyelesaikan ritual. Gadis itu tidak akan pernah menjadi milikku selamanya, dan yang paling mengerikan adalah kematian, seperti yang dialami almarhumah Maya, tunanganku.
Nur bangkit dari pelukanku, ia tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Tapi itu hanya sesaat, lalu seulas senyum mengembang di antara sembab wajahnya.
“Bagus donk! Walaupun nanti memang hatimu bukan untukku, dan kita tidak bisa saling bersama, tapi kita sudah saling mempersembahkan cinta kita, dan juga tub… tub…”
“Nuuuur!!!! Kamu…”
Hmmmmmfff!!!
Nur menghentikan bentakan dan kemarahanku dengan cara mencium bibirku. Aku berusaha menolak, tapi ia malah melumat. Kedua tangannya memegang kepalaku seakan takut aku melawan dan menghindar.
Akhirnya… aku hanya bisa menerima apa yang ia lakukan, meski juga tak membalas lumatannya. Yang ada.. hatiku sangat perih menerima kenyataan bahwa cinta gadis ini teramat besar padaku. Aku tahu, kalau ia mendadak agresif seperti ini, itu bukan karena Nur adalah seorang gadis nakal; bukan karena ia kehilangan kealimannya. Sama sekali bukan!!! Tapi ia sudah tak mampu menyimpan rasa sayang yang sudah ia pedam sekian lamanya. Ia kehilangan pertahanannya, karena tak sanggup lagi memendam rasa yang selama ini memenuhi dirinya.
“Nuuurr…” desahku.
Tapi gadis ini semakin dalam melumat bibirku, dan secara naluriah aku langsung membalasnya. Lama dan lama… kami saling kulum dan lumat, saling memutar wajah dengan nafas yang mendesah. Dan.. entah siapa yang memulai, lidah kami sudah saling melilit dan membelit, menggelitik dan menjelajahi rongga mulut.
Tangannya gelisah meremasi rambutku, sedangkan aku menyangga punggungnya sambil juga meremas. Saling melumat, saling menghisap lidah, dan saling memberikan gigitan gemas. Itulah yang kami lakukan. Kami hanya berpisah beberapa detik untuk mengambil nafas, dan menyatu kembali dalam ciuman yang sangat dalam.
Dan aku tahu… meskipun ia menciumku seperti ini, itu bukan karena Nur bernafsu, tapi karena ia sungguh-sungguh menyayangiku.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar