Cincin dari masa lalu part 46

 

BAB 46








Tahtaku di kelas masih sama, barisan paling belakang dan paling pojok. Tapi itu hanya berlaku bagi dosen lain, dan tidak berlaku bagi mata kuliah Bu Callista… eh Callista. Semenjak hari pertama aku mengambil mata kuliahnya lagi, tahta keduaku adalah paling depan dan tepat berhadapan dengan meja dosen yang jaraknya tidak sampai dua meter.




Di awal-awal, Callista memang nampak grogi walaupun berhasil ia sembunyikan, tapi kini ia sudah terbiasa. Kadang-kadang ulahku yang lebih sering memperhatikan parasnya daripada materi kuliah, membuat Callista tak sungkan untuk memarahiku di depan kelas. Sekali waktu malah kemarahan itu berlanjut sampai ke kantornya seusai jam kuliah. Meski begitu, aku tak pernah lagi sakit hati atau melawan. Toh setelahnya… ia pasti akan bersikap lebih manja tanpa menyinggung lagi apa yang terjadi di kampus. Kemanjaan itu ia tunjukan entah melalui telpon dan pesan WA, atau ketika ia menjemput paksa untuk menemaninya makan. Pernah juga ia menculikku ke rumahnya untuk makan malam bersama keluarganya.




Dan hari ini.. Callista bernafas lega di akhir jam mengajarnya, itu ia lakukan sambil curi-curi melirikku. Betapa tidak, sepanjang mengikuti kuliahnya, mataku selalu menatapnya, dan mengajaknya senyum ketika ia melihatku. Kalau saja bukan di kampus, kekesalannya pasti ia tumpahkan dengan ekspresi-ekspresi manja dan rajukan yang ia punya.




“Sirna, Karma, Nurdin, Kubus, Nur, dan Aruna setelah ini ketemu saya di ruang rapat tiga.” ujarnya sambil membereskan laptop di atas mejanya.




Aku sih biasa aja, malah senang bisa bertemu dia lagi, cuma yang mengherankan mengapa harus menyertakan Nur dan para sahabatku yang lain. Kutatap Callista, tapi ia tak acuh. Kulirik Nur dan Aruna, mereka hanya mengangguk kepada sang dosen dan mengiyakan, sepertinya mereka juga tidak tahu. Kutengok ketiga sahabatku di belakang, ketiganya mengangkat bahu.




Maka setelah Callista meninggalkan ruangan diikuti oleh mahasiswa yang lain, kami berenam bergerombol saling menanyakan maksud pemanggilan kami. Nihil! Tak seorang pun tahu dan mengerti. Satu-satunya cara untuk mengetahui maksud pemanggilan ini adalah dengan menuju ruang rapat. Kami pun berjalan menuju ruangan yang ia sebutkan, yang terletak di lantai tiga.




Bukannya aku tidak tahu pada tatapan cemburu Karma saat ia menunjukkan sikap tidak sukanya ketika Nur tidak mau jauh dariku. Hari ini gadis ini memang berbeda, ia seakan menagih janjiku untuk meluangkan waktuku hanya untuk dia.




Setibanya di ruangan, ternyata Callista sudah ada di sana. Rupanya ia tidak kembali ke kantornya dulu seusai mengajar, melainkan langsung menuju ke sini. Bukan hanya dia, ada juga tiga kakak kelas yang kutahu bernama Adven yang mengenakan jaket dengan tulisan Adv001. Dia adalah ketua Himpunan Mahasiswa Fakultas. Ada juga Dirga yang mengenakan topi bertuliskan Sahidaku, mungkin nama gebetannya yang tidak pernah berhasil ia pacari. Dan satu lagi adalah bunga kampus yang menjadi bintang di antara para senior, namanya Syamida. Bodohnya aku, gadis ini ternyata adalah orang yang mendamprat Ray pagi itu. Aku baru tahu belakangan, kalau ia adalah mahasiswi di sini juga.




Callista didampingi Adven dan Syamida duduk di depan, sedangkan kami duduk pada barisan bangku di hadapan mereka.




“Baik.. karena sudah kumpul semua…” Callista langsung membuka rapat.




Dan…




Tenyata maksud pertemuan ini adalah informasi pengangkatan Callista sebagai ketua pusat kajian baru yang bernama PMBE (Pusat Monitoring Budaya Dan Ekonomi). Lembaga ini merupakan realisasi dari program unggulan Fakultas Ekonomi dengan status sampai tiga tahun ke depan. Tugas pertama dari PMBE adalah pembentukan tim dan menentukan pilot project.




Mendengar itu, otakku boleh mesum, tapi di balik itu langsung terpikirkan sebuah rencana besar yang bisa saling menguntungkan. Kampungku bisa menjadi proyek pertama dari lembaga ini. Maka ketika Callista menawarkan untuk menjadi anggota timnya, aku langsung menyetujuinya, tanpa banyak pertimbangan lagi. Pun pula yang lain, semuanya setuju dan bersedia terlibat.




Maka jadilah.. Callista menjadi koordinator umum dengan Adven dan Dirga sebagai wakilnya. Nur dan Syamida terpilih sebagai sekretaris. Aruna dan Karma menjadi bendahara. Sedangkan aku, Nurdin, dan Kubus menjadi anggota. Callista sengaja memilih mahasiswa dari angkatan baru dengan pertimbangan kami masih akan lama berada di kampus ini, sehingga program yang akan dibuatnya tidak akan terganggu oleh pergantian pengurus di tengah jalan. Memang ada tiga senior di sini, tapi dalam kapasitas mereka sebagai pengurus inti Himpunan Mahasiswa Fakultas Ekonomi.




Pertemuan pun berhenti sampai terpilihnya pengurus, dan akan dilanjutkan minggu depan. Sebelum bubar Callista membagikan booklet tentang visi dan misi serta segala hal yang berkaitan dengan PMBE. Kami harus mempelajarinya, dan pada pertemuan mendatang kami harus sudah punya usulan-usulan sebagai bahan brainstorming




“Terima kasih atas kesediaan dan kerjasama kalian semua. Selamat siang.” Callista menutup pertemuan yang sudah berlangsung sejam lebih.


“Hidup PUTING BUDE!” seruku bersemangat.




Semua orang memandangku, tak terkecuali Callista, sorot matanya tajam. “Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sangat tidak sopan!” galaknya.




"Ehh... itu bu.konomi. Lebih gampang mengingat dan ngucapinnya daripada PMBE.” jawabku tanpa dosa.




Nur menyubitku, Adven dan Syamida geleng-geleng kepala, sisanya menunduk menanti reaksi Callista. Memang, sorot mata sang dosen sangat tajam dan mukanya sedikit memerah. Setelah mendengus kesal, ia berkata, “Kamu ikut saya ke kantor.”




“Selamat siang!” ucapnya lagi sambil berdiri dan meninggalkan ruangan.




Jadilah… aku menjadi bulan-bulanan omelan Nur dan Syamida, sedang kaum cowok terbahak. Mereka sangat setuju dengan istilah yang kuucapkan, lebih keren dan gak terdengar formal layaknya istilah-istilah akademis pada umumnya.




“Udah ah.. aku menghadap dosen dulu.” ujarku sambil bergegas meninggalkan ruangan.


“Wa!!” Nur menyusul.


“Iya?”


“Ingat janjimu. Aku gak mau tahu!!” ucapnya setengah berbisik, wajahnya cemberut.


“Tunggu aku di kantin.” bisikku sambil melirik ke arah Karma yang sedang mengamati kami berdua.




Setelah mendapat anggukan setuju gadis ini, aku pun bergegas menyusul Callista di kantornya.




“Permisi, bu.”


“Masuk!” jawabnya tegas.


“Terima kasih.” jawabku sambil memasuki ruangan, lalu duduk berhadapan dan hanya terhalang meja kerjanya.


“Ingat, Wa, saya tidak suka dengan gaya dan celetukan-celetukanmu, ingat ini adalah kegiatan kampus bukan tempat mesum di Pasar Kembang.”


“Loh.. ibu tahu juga tempat itu?”


“Sirna!!!”


“Maaf.”




Callista mendengus kesal, lalu menatapku tajam. Ekspresi wajahnya boleh saja galak, tapi ia tak mampu menyembunyikan sorot matanya yang seakan gemas karena ulahku.




“Kamu saya hukum!!!”


“Eh bu.. tapi kan…”


“Mau membantah?”


“Hehehe.. gak berani, bu.”


“Malah cengengesan!!”


“Maaf. Apa hukumannya, bu?”


“Temani aku makan siang.”




Callista mengganti panggilannya menjadi 'aku' dan bukan 'saya lagi". Aku sangat senang mendengar hukuman yang harus kujalani, tapi aku langsung teringat akan janjiku pada Nur. Akhirnya aku hanya bisa menghela nafas sambil menunduk.




“Kamu gak bisa? Kenapa?” Callista menyadari perubahan raut mukaku.


“Maaf, bu. Saya sudah janji menemani Nur hari ini.”


“…”




Callista tidak menjawab, tapi sangat jelas kalau ada kilatan cemburu pada bola matanya.




“Yasudah.. kamu boleh pergi!” ketusnya.


“Beneran, bu?”


“Pergi!!!”


“Siap.”




Aku pun berdiri sambil sedikit membungkuk memberi hormat, lalu melangkah menuju pintu. Tiba-tiba…




“Wawa iiiih.”




Panggilan dan gaya khasnya membuat aku terkejut. Bukan karena ia memanggilku seperti itu yang membuatku kaget, tapi ia mengucapkannya di kampus. Sesuatu yang sangat di luar dugaan dan menyalahi komitmennya sendiri.




Aku pun membalikan badan. Benar saja.. ia sedang berdiri sambil kesal menatapku. Wajah itu bukan lagi wajah bu dosen, tapi seorang Callista yang manja. Aku tersenyum melihat sikapnya.




“Kamu nyebelin, hiks…” ia masih cemberut dan matanya mulai berlinang.




Gadis ini sudah tampil sebagai Callista dalam penampilan keseharian, maka aku pun harus menganggapnya demikian. Tanpa meminta ijin, aku menutup pintu ruangannya dari dalam, dan kembali kepada gadis itu.




“Nyebelin!!” sewotnya sambil menatapku dan membiarkan air matanya meleleh.


“Sinih…” lirihku, kuputari meja kerjanya sambil setengah merentangkan tangan.


“Gak mau!! Kamu jahaaat. Hiks…”




Aku hanya tersenyum mendengar rajuknya, lalu kutarik bahunya, kuraih ke dalam pelukan. Ia tidak menolak, tapi tangisnya semakin keras.




Kalau sudah seperti ini, percuma merayunya, maka kubiarkan ia menangis sambil mengeratkan pelukan. Yeah.. sejak kejadian malam itu di rumahnya, tak sedikit kami saling memeluk seperti ini, terutama ketika ia sedang kesal karena kemauannya tidak kuturuti.




“Dosen kok cengeng.” lirihku ketika isaknya terhenti.


“Bodo!!”


“Calls.. ini di kampus looh.”


“Biariiiiin. Kamu gak boleh pergi.. temenin aku makan…” rengeknya.


“Calls dengerin aku dulu donk.”


“Gak mauuu. Pokoknya kalau kamu gak nemenin, aku gak mau makan.”


“Tega kamu.” lirihku.


“Kok jadi aku yang tega? Ada juga kamu yang udah tega ama aku.”


“Ya kamulah.. kalau kamu sakit, kan akunya jadi sedih.”




Callista langsung menegakan kepalanya dan menatapku sendu. “Biarin aku sakit juga, biar kamu nemenin aku terus.”




Aku hanya bisa menggeleng sambil menguyel-uyel rambutnya.




“Nanti kusut Wawaaaa. Iiih….”


“Abisnya gemesin.”


“Kalau gemes emang kenapa.”


“Pengennya.. pengennya…” kugantung ucapanku, tapi ibu jariku mengusap tepi bibirnya.


“Maauuuuuu!” sontak wajahnya merah padam di akhir ucapannya, ia seakan tidak sadar mengucapkan itu.


“Bener mau?” aku malah semakin berani menggodanya.




Callista melingkarkan tangannya pada leherku, tapi tubuhnya melenting ke belakang sehingga aku harus menyangga pinggangnya supaya ia tidak terjengkang. Gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memanyunkan bibir, rambut terurai ke belakang, dan lehernya terpampang indah dan seksi.




Kalau saja tidak ingat akan komitmenku sendiri, rasanya aku ingin mengejar bibirnya dan langsung melumatnya. Dadaku berdesir karena rasa sayang dan gemas.




Aku merunduk sehingga ujung hidung kami bersentuhan. Sikapku membuat Callista diam, matanya sayu, dan jantungnya kurasakan berdetak kencang.




“Purnama ketujuh.” bisiku sambil menghembuskan nafas pada bibirnya.




Ia mengernyit… bukan karena ucapanku, tapi karena terpaan nafasku.




“Lamaa…” rajuknya.


“Jadi mau sekarang?” aku semakin berani.




Callista menggeleng sehingga ujung hidung kami seakan saling menggelitik.




Karena gemas, langsung kekecup keningnya seiring matanya yang terpejam. Tanpa Callista tahu, ada kata sakral yang kuucapkan dalam hati.




[POV Callista: “Aku sayang kamu.”]




Tubuh kami pun terlepas, pelukan kami berganti saling mengelus pipi dan merapikan rambut masing-masing.




Sekali lagi kukecup keningnya, kataku, “Aku sudah janji menemani, Nur. Tapi kamu harus percaya, aku dan dia tidak pacaran.”




Ciumanku seakan memgandung unsur magic , ia percaya pada apa yang kukatakan, mungkin ia merasakan apa yang kubatinkan saat mengecup keningnya tadi. Sisi dewasanya sudah kembali.




“Aku percaya.” lirihnya.


“Tapi kamu jangan lupa makan yah.”


“Iyah. Kamu juga..”




Aku mengangguk meng-iya-kan, dibalas senyum manisnya.




“Boleh aku pergi sekarang?”


“Boleh.”


“Makasih.”




Bukan aku yang mengecupnya, tapi kini bibirnya yang menyentuh pipiku dengan lembut.




“Dadah dosen manja.” godaku sambil melangkah mundur menuju pintu.


“Biariiiiin!!! Weeek…!”




Ia memeletkan lidah sambil mengibaskan rambutnya. Sesaat sebelum aku membuka pintu, ia memberi kode pada telinganya, membuat gerakan seperti orang yang sedang menelpon, dan aku pun mengangguk.




Kleeek!!!




Kuputar gagang pintu. Tapi…




“Wawa.”




Aku urung membuka pintu dan menengok, gadis itu berlari mengejarku.




Cuuuuup!!!




Seeeer… serrr…!!!




Jantung berdebar dan berdesir-desir. Singkat.. teramat singkat ciuman itu.. tapi ia mengecup bibirku.




Hmmmfff…!!




Ia memelukku dengan nafas yang sedikit tersengal.




“Calls..?”


“Biar kamu inget aku, kalau mau nyium cewek lain.”




Aku tak menjawab, hanya dekapan erat yang kuberikan. Tanpa gadis ini tahu, mataku berkaca-kaca.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar