Cincin dari masa lalu part 45

BAB 45

Malam pertama.. ya aku sudah melewati malam pertama meskipun kurang puas. Bukan dengan siapa, tapi di mana. Ya.. aku sudah meniduri kamar baruku, tidur sendiri tentu saja. Kamarku boleh dibilang istimewa, karena menjadi satu-satunya kostan yang memiliki kamar mandi di dalam. Bahkan rumah induk pun hanya memiliki satu kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Lebih istimewa lagi, karena biaya sewanya sama dengan kamar-kamar lainnya, alias tidak lebih mahal.

Sayangnya, malam pertamaku kurang memuaskan, dan pagi ini mataku bagai ditindih kentang, karena aku baru memejamkan mata bersamaan dengan kokok ayam pertama. Semoga besok atau lusa, kamar ini sungguh-sungguh menjadi malam pertamaku dengan seseorang sesuai pesan sang empunya kostan. “Aku harus jadi orang pertama yang tidur bersamamu di kamar ini.” Begitulah kata-kata Bu Ratih kemarin sore ketika ia menyerahkan kunci kamar kepadaku. Merinding juga aku mendengarnya, antara ingin disegerakan tapi juga takut ketahuan oleh keponakannya, yang juga adalah sahabatku.

Pagi ini, aku sebetulnya sudah bangun akibat si jago membangunkanku karena keselek air seni, sehingga aku harus memuntahkannya. Tapi setelah kencing aku memutuskan masuk kembali ke dalam selimut dengan bertelanjang dada. Tadi subuh, sebelum tidur, tubuhku terasa sangat lelah dan ngantuk, sehingga aku hanya menanggalkan kaosku yang terkena bercak darah, tanpa sanggup menggantinya dengan yang baru.

Kudengar pintu kamar terbuka tapi aku masih enggan membuka mata.

“Wa, bangun udah setengah tujuh.” suara itu terdengar, seiring aroma kopi hitam yang menghinggapi penciumanku.

Siapa lagi kalau bukan Nur. Gadis ini memang aneh.. sedikit-dikit manja, sedikit-dikit ngambek dan galak, kadang murung, tapi sikapnya tidak berubah, tetap baik dan hampir setiap pagi membawakanku sarapan sepaket dengan kopi hitam Sawaka kesukaanku.

Kuputuskan untuk tetap pura-pura tidur dan enggan menurunkan selimut, karena tidak mau membuat Nur malu kalau melihatku hanya bertelanjang dada.

“Wa!!” panggilnya lagi lebih keras

Melihat aku masih bergeming, terdengar langkahnya mendekat dan tempat tidurku bergerak karena ia duduk di tepi ranjang. Kurasakan ia menggoyang tubuhku.

“Wa, bangun!!!”

Kudengar ia menghela nafas, tapi ia tidak memanggilku lagi.

Hening….!!

“Wa…!!” suaranya cukup keras. Tapi aku enggan menjawab, rasanya aku ingin bolos kuliah saja.

Hening lagi, dan Nur seolah membiarkanku untuk melanjutkan tidur. Tapi…

Tiba-tiba tubuhku meremang ketika kurasakan ia mengusap dan mengelus dahi dan juga rambutku. Tubuhku terasa kaku, meskipun jantungku tiba-tiba berdebar tanpa kumau. Cukup lama ia membelaiku, sedangkan aku seolah tidak punya kekuatan untuk membuka mata ini.

Sensasi sentuhannya membuatku terbuai, bahkan anganku mengkhayal seandainya gadis ini adalah Maya, atau setidaknya Callista sang pemilik pasangan cincinku. Kupret memang nih otak. Tubuh memang kaku, tapi pikiran malah liar kemana-mana.

“Nur! Nur! Nur!!!” aku memberi komando pada isi kepalaku, bahwa gadis ini memang dia.

Belaian gadis ini sudah pindah pada pipi dan tepi bibirku, tapi bukan ini yang membuat jantungku kian berdegup, melainkan terpaan nafasnya. Aroma mentol obat kumur langsung terhirup.

“Wa!!” panggilnya, suaranya terdengar cukup bergetar.

Bukan karena mau menunggu tindakan Nur selanjutnya atau mau mencari kesempatan agar menang banyak di awal hari yang membuatku tetap diam, melainkan aku malah takut membuat gadis ini malu kalau aku tiba-tiba bangun.

“Bangun, sayang.”

Srrrrrr…!!!

Jantungku bukan hanya berdebak dan berdetak kencang, tapi juga berdesir halus “Kenapa Nur memanggilku seperti itu?” sebuah tanya kuajukan, meski hanya dalam hati.

Hangat nafas Nur semakin dekat, dan…

Cuuuuup!!!




Sebuah kecupan lembut hinggap di dahiku. Hanya sekejap, sangat singkat, tapi aku malah bisa mendengar nafasnya yang tersengal. Bibirnya memang terangkat, tapi tidak benar-benar menjauh. Mungkin hanya beberapa senti saja jaraknya, mungkin juga mili.




Cuuuup!!!




Ia mengecupku sekali lagi, masih pada dahi dan tempat yang sama. Bedanya, kali ini cukup lama, membuat bibirnya yang lembut dan basah sangat kurasakan. Andai saja Nur menyentuh dadaku mungkin ia akan merasakan betapa kerasnya degup jantung ini, atau setidaknya, andai saja ia dalam posisi duduk ia pasti melihat tubuhku yang terbujur kaku. Untung saja, aku sudah cukup terlatih untuk mengatur nafas sehingga tidak tersengal.




“Sayang.” bisikan itu terdengar merdu dan tulus.




Teeeessss!!!




Kurasakan ada setetes air yang jatuh di antara hidung dan pipiku. Aku lebih yakin kalau ini adalah air mata, daripada air liur. Mau tidak mau aku mengernyit, membuat terpaan nafas Nur tidak terasa lagi, ia sepertinya menjauh.




Hening…!!!




Aku hanya menunggu dan menunggu, tapi selebihnya tidak ada gerakan apapun. Samar-samar aku mendengar isaknya, tapi tidak berlangsung lama.




“Sirnaaa!!! Banguuun!!!!” suaranya berubah, nadanya tinggi dan keras. Kurasakan pipiku ditepuk-tepuk keras seolah Nur memang ingin membangunkanku, tapi jempol tangannya mengusap bekas tetesan air matanya.


“Mmmmh…” aku melenguh.


“Banguuun!!! Dasar pemalasan!!!” gerutu Nur, kini ia bukan hanya menepuk-nepuk pipiku tapi juga menggoyang tubuhku.




Aku menggeliat sambil mengerang seolah-olah baru terjaga, padahal jantungku masih berdebar karena ciuman gadis ini, yang bercampur rasa heran atas panggilan sayangnya bersamaan tetes air mata yang ia jatuhkan.




Kubuka mataku, nampak ekspresi kesal ada di sana. Sebuah sandiwara sebetulnya, karena kulihat bola matanya merah dan ujung kelopaknya masih basah.




“Aaah.. masih ngantuk Nur. Aku bolos kul…”




Plaaaak!!!!




Tamparan kecil pada pipiku membuat aku tak melanjutkan ucapan. Nur melotot pertanda jengkel, tapi itu malah membuatnya nampak semakin manis dan menggemaskan.




“Uuuh.. iyah.. iyah aku bangun. Udah jam berapa sih?” gumamku pura-pura.




Kuusap wajahku seakan mau memulihkan kesadaran pasca bangun tidur, padahal aku ingin menyentuh bekas kecupan dan belaiannya.




“Udah setengah tujuh lebih. Cepetan aaah!!!” judesnya.




Kalau tadi aku tidak pura-pura tidur, maka aku hanya akan tahu bahwa gadis ini memang judes, tapi tidak.. ia memiliki sisi lembut yang sangat jarang ia tunjukkan, juga sikap romantis yang ia sembunyikan. Dan satu yang tak kuragukan, ia menyayangiku. Aku merasa bahagia sekaligus sakit. Bahagia… siapapun akan merasakan hal itu ketika dicintai, tapi juga sakit… karena aku telah banyak mengabaikan perasaan dan perhatian-perhatian gadis ini. Selama ini aku lebih sibuk memikirkan Maya dan kakaknya.




Aku bagai mengejar elang di ketinggian, sedangkan merpati yang selalu mengikuti kuabaikan.




“Tuh kaan.. malah bengong. Buruan, Sirna!!!” geramnya.




Daripada kena jeweran tangannya yang sudah mau menyentuh kuping, aku pun segera bangkit dan menurunkan selimut. Nur pun melengos karena menyadari tubuh atasku yang polos.




“Nurrr…”


“Hmmm.” jawabnya sambil berdiri.


“Makasih.”




[POV Nur: Deeeg!!!]




“Untuk?” untuk sarapannya, kataku sambil menunjuk ke atas meja.


“Ss.. saama-sama.” suaranya sedikit gugup.


“Nur…” kataku lagi sambil memegang pergelangan tangannya agar ia tidak pergi.


“Nur, liat aku dulu.” kataku lagi.


“Nggak iiih.. Kamu pake baju dulu sana.”


“Tadi kamu ngeliatin tubuhku pas aku tidur, ya?”


“Heeeh??” Nur langsung berbalik dengan mata melotot.


“Sembarangan kamu! Lagian kamu kan pake selimut.” hardiknya.


“Kalau iya juga gakpapa kali, Nur. Aku juga kan udah ngeliat punya kamu waktu itu, jadi kita im…”




Ucapanku terpotong saat Nur langsung menjewer telingaku. Wajahnya berubah galak.




“Aaawww… ampun atuh, Nur. Iya ampun… ampun…” Aku mengaduh sambil mencoba melepaskan tangannya dari kupingku.


“Ampun, gak?” galaknya.


“Iiiya… aaauww.. ampun, Nur.”


“Minta maaf!!”


“Iiiya… Nur cantik.. sahabatku yang paling baiiik, maafin aku yah.”


“Bodo!!” ketusnya sambil melepaskan jewerannya. Telingaku terasa panas.


“Cepetan mandi.” suruhnya.


“Terima kasiiiih.” ucapku tanpa mengabaikan perintahnya. Aku langsung berdiri dan meraih gelas kopi. Bubur ayam langganan pun sudah terhidang di atas meja.


“Jorok kamu, mandi dulu baru sarapan.” gerutu Nur sambil berjalan seolah mau meninggalkan kamar.




Segera kusambar pergelangan tangannya membuat langkah gadis ini terhenti.




“Apaan lagi?” ia semakin judes.


“Temenin sarapan.”




“Kamu mandi dulu sana. Nanti aku temenin sarapannya, aku juga belum makan kok.” jawabnya.


“Beneran?”


“Iyah.”


“Sarapan semangkuk berdua?”


“Nggaklah..!! Aku mau ambil dulu buburku.”


“Gak usah kita sarapan bubur ini aja biar rom…”


“Mandiiiii!!!!!”




Bentakannya sukses membuatku beranjak ke kamar mandi. Tapi belum juga aku melewati ambang pintu kamar mandi. Nur memanggilku, kali ini suaranya penuh kaget dan khawatir, “Sirnaaa!!!”




“Apa lagi sih, Nur? Katanya suruh mandi?” aku membalikan badan.




Bukannya menjawab, Nur malah mendekatiku dengan dahi berkerut. Kini, ia tak lagi risih dengan tubuh tanpa bajuku. Dengan cepat ia membalikkan badanku dan melihat punggungku.




“Kamu kenapa?”


“Eh.. kenapa apanya?”


“Punggungmu terluka!! Memar-memar lagi.” nada suaranya penuh khawatir.




Aku mengernyit mendengarnya, dan mencoba berpikir cepat. Pertanyaan Nur barusan malah membuatku sadar kalau punggungku terasa sakit dan perih; tanpa kurasakan sebelumnya.




“Aku jatuh.” jawabku ngasal.


“Gak mungkin! Kamu jujur ke aku, semalam kamu kenapa?”


“Aku mandi dulu boleh, nanti aku cerita sambil sarapan?” jawabku, aku bertanya begitu karena mau memikirkan sebuah alasan yang bisa masuk akal.


“Nggak!!! Cerita sekarang!!”


“Nanti kita telat kuliah loh.”


“Fiiiiuhhh…” Nur menarik nafas panjang.




Ia seakan membenarkan ucapanku, meski tatapan khawatir tak bisa hilang.




“Yaudah kamu mandi, aku ambil alkohol dulu untuk ngobatin lukamu.”


“Nuuur…” aku memelas.


“Buruan!!!!!”


“Ii.. ya.. galak banget sih.”


“Cepeeet!! Kamu itu selalu bikin aku khawatir tahu!!”




Aku menatap Nur dengan tajam karena ucapannya barusan, sedangkan gadis itu segera memalingkan muka dan berlari meninggalkanku. Wajahnya bersemu merah.




Aku menggeleng melihat tingkahnya, gadis ini selalu bisa menyembunyikan salah tingkahnya, walaupun tak selamanya selalu berhasil.




Dengan cepat aku membersihkan diri sambil sekali-kali mengerang karena rasa perih di punggungku. Siaaal!!! Aku tak bisa menghindar lagi dari Nur. Bisa saja aku berbohong, tapi aku tidak mau melakukannya, gadis ini terlalu tulus. Bahkan suatu saat nanti, mungkin aku pun harus jujur tentang hubunganku dengan Bu Ratih, apapun resikonya.




Kuguyur tubuhku dengan tiga gayung.. sabunan… guyur lagi lima gayung… selesai. Bahkan aku sudah menyelesaikan mandiku sebelum Nur datang kembali. Hari ini kuputuskan untuk memakai jeans favoritku -karena hadiah dari almarhumah- yang sudah mulai belel dan memakai kaos putih hadiah dari Maya. Tapi kaosnya hanya kuletakan di atas kasur karena Nur akan mengobati punggungku.




Kuseruput kopi seduhan Nur beberapa kali dan kucatut sebatang rokok. Tapi belum juga kusulut gadis ini sudah datang dengan tergesa.




“Duduk!!” tegasnya sambil menunjuk ke atas kasur.




Aku pun hanya menuruti perintahnya, dan kukembalikan rokok pada bungkusnya.




Dengan sigap Nur mengoles punggungku dengan alkohol, membuatku meringis karena perih, lebih perih daripada ketika terkena pukulan dan sayatan itu sendiri. Untunglah ujung golok itu tidak sampai mencabik dagingku, dan hanya sedikit menggores tipis. Yeaaah.. mungkin karena di depan Nur sehingga aku merasa ogoan (manja, kolokan).




“Kamu kenapa sih, Wa?” lirihnya sambil meneteskan obat merah pada kapas.


“Berantem.” singkatku.




Dan terjadilah… bukan hanya punggungku yang perih, tapi telingaku juga panas karena omelannya. Lebih cerewet daripada ibuku sendiri, lebih galak daripada Bu Callista ketika mengusirku dari kelas kala itu.




Aku langsung membalikan badan ketika Nur selesai memasangkan tiga buah plester. Ia masih saja mengomel. Dan… aku tersentak, ternyata dibalik ocehan dan omelan kesalnya, Nur melelehkan air mata. Ia begitu mengkhawatirkan kondisiku, padahal lukaku tak seberapa.




“Heiii.” gumamku sambil meraih pipinya untuk membersihkan lelehan air matanya yang mengalir.




Tapi Nur menepisku sambil mendengus kesal.




Hmmmfff!!!




Mungkin inilah satu-satunya cara untuk membuatnya diam dan tidak khawatir berlebihan. Ia tidak menolak pelukanku, tapi isaknya semakin keras.




“Nyebelin.. jahat… kamu berantem ama siapa? Hiks…”


“Aku lapar.” gumamku sambil mengusap punggungnya.


“Kamu.. aaarggggh…” Nur kesal, ia mengangkat kepalanya dari dadaku. Wajahnya merengut dan air matanya masih saja mengalir.


“Nanti ceritanya setelah kuliah yah. Aku janji, aku akan meluangkan seluruh waktuku hari ini hanya buat kamu.”


“Janji? Hiks…”


“Janji!”


“Pembohong! Kamu kan nanti malam harus jualan.”


“Kan ada Ray, daripada mesumin anak orang, mendingan suruh gantiin aku jualan.”


“Dasar…!! Emang kamu sendiri gak mesum?” judesnya sudah mulai berubah jahil.


“Nggak tuh..!!”


“Iya, aku “percaya” kok…!!!” jawabnya sambil memencet hidungku gemas.




Nur pun mengambil mangkok bubur, sedangkan aku mengenakan kaosku.




“Nih..” ujarnya sambil menyodorkan mangkok.


“Suapin! Akunya kan lagi sakit!!”


“Yang sakit kan punggung bukan tangan.” Nur memaksaku untuk menerima mangkok dari tangannya.


“Gak disuapin berarti gak makan, ditambah bakalan telat kuliah, dikali berlipat kemarahan Bu Callista, dan dikurangi nilai. Maka hasilnya sama dengan…”




Ucapanku teputus saat Nur menyuapkan sendok dengan geram, membuat mulutku belepotan. Hal ini tentu saja membuat semua kekesalan, sedih, dan khawatirnya berubah menjadi senyum indah. Tiga sendok ia menyuapiku, lalu kuambil mangkok dari tangannya dan balik menyuapi Nur tanpa penolakan.




Keasyikan kami terganggu saat Rad dan Ray muncul dengan tergesa. Rad bahkan sambil mengeggam smartphonw-nya dan menunjukkan sebuah berita online . Usaha Perampokan di Rumah Orang Nomor Satu FAF Berhasil Digagalkan Orang Tak Dikenal.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar