BAB 40
Namaku Sirna, lengkapnya Sirnawa Purnama. Anak kampung yang beruntung. Selalu bernasib mujur, kecuali dalam urusan cinta. Dan ini adalah tongkrongan baruku…
Iri? Jangankan teman-teman kampus dan penghuni kostan, mamang TS saja iri melihat tungganganku. Aku sudah menjadi pengantar martabak terkeren dan sering membuat para pelanggan terbelalak saat membukakan pintu.
Sudah ah sombongnya… tak baik aku berubah sifat dan sikap hanya gara-gara tongkrongan baru. Ya.. motor ini kuterima bukan karena kumau. Semuanya karena Ariya. Motor ini adalah salah satu koleksi pemuda itu yang diperbolehkan untuk kupakai, lebih tepatnya, ia memaksaku untuk memakai motor itu. Bukan hanya tunggangannya yang Ariya hibahkan, tetapi juga sebuah jaket kulit hitam buatan Garut dan helm full face yang standarnya jauh di atas SNI (Sirna-Nur-Icikiwir?). Ketika ia menelponku untuk mengambilnya, kupikir hanya bebek biasa, tapi ternyata begitulah adanya, dan aku semakin tidak bisa menolak karena ada Bu Mae juga di sana. Alasannya demi sebuah misi, tanpa kumengerti maksudnya.
Gadis pertama yang beruntung kubonceng dan membuat iri kaum hawa bersegel dan tak bersegel -karena mereka pikir aku adalah orang kaya- adalah Nur. Ia mengantarku ketika mengambil motor itu beberapa hari yang lalu, sehingga aku memboncengnya saat pulang. Aku juga beruntung karena mendapat pelukannya sepanjang perjalanan. Jenis ninja seperti ini membuat siapapun yang dibonceng harus memeluk-merunduk, apalagi aku merasa sayang juga kalau melarikan si ninja hanya dengan kecepatan di bawah normal.
Bukan hanya Nur yang beruntung, tentu saja aku juga ketiban rejeki karena mendapat kehangatan pada punggungku. Kedua payudaranya selalu melekat empuk membuat dada berdesir. Aneh memang.. yang berdebar malah dada depan padahal yang menempel ada pada punggung belakang. Sudahlah… itu kejadian beberapa hari yang lalu.
Kini aku sedang berada di rumah Kang Narto, sebelum nanti malam meluncur ke rumah Bu Alya untuk memenuhi undangannya. Aku duduk bersandar pada dinding sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Kami baru beres menaikan bahan jualan ke atas gerobak. Tubuhku sedikit lelah karena tadi siang curi-curi meminta jatah kepada Bu Ratih, sebuah pergumulan singkat sekaligus meraup nikmat pertama di luar ritual; dengan tanpa cincin tentu saja. Ia ketagihan, dan sejak mengenal seks, aku pun jadi selalu punya keinginan untuk merasakannya lagi dan lagi.
Masih ada setengah jam sebelum Kang Narto berangkat, sore ini ia akan dibantu oleh Rayxy, sahabatku, karena ia baru masuk kerja minggu depan. Sedangkan aku ijin untuk tidak jualan.
Obrolan kami bertiga pun berkutat seputar banyaknya kebutuhan yang harus kakak angkatku keluarkan. Aku dan Kang Narto berencana menyewa sebuah toko kecil, tak jauh dari alun-alun, untuk dijadikan sebagai tempat jualan. Usaha kami sudah semakin maju, sehingga Kang Narto sudah punya cukup modal untuk menyewa tempat permanen dan bisa menarik pegawai baru. Tapi sepertinya rencana itu harus ditunda karena tabungan Kang Narto harus dicadangkan untuk biaya melahirkan istrinya. Aku menentang usul Ceu Ningrum dengan keras ketika ia mengusulkan untuk menjual sawah di Ciwidey.
Yeaah.. begitulah kami. Punya mimpi dan harapan, meskipun harus tetap realistis pada apa yang kami punya.
“Yaudah atuh, akang berangkat dulu.” Kang Narto mengakhiri obrolan sambil melihat jam pada hapenya.
Kami bertiga berdiri, aku dan Ceu Ningrum mengantarnya sampai halaman.
“Hati-hati, kang.” ujar Ceu Ningrum sambil mencium tangan suaminya.
Kang Narto mengangguk lalu membalas sikap sang istri dengan mengelus perutnya yang semakin membuncit.
“Ayah jualan dulu, ya nak.” ucapnya membuat wajah Ceu Ningrum sumringah dan menatap suaminya mesra.
“Wa, akang berangkat dulu. Kamu hati-hati tuh bawa motor, jangan ngebut.” ujarnya padaku.
“Iya kang, siap!!” jawabku.
Ningrum menghantar kepergiannya dengan tatapan sampai ia menghilang di pengkolan.
“Kamu mau nambah kopi, Wa?” tanya Ceu Ningrum ketika kami sama-sama memasuki rumah.
“Nggak ah, Ceu.” singkatku sambil kembali duduk di atas tikar.
Ningrum tidak menjawab, ia mengambil cangkir bekas kopiku dan Kang Narto, membuat setengah payudaranya terlihat menjuntai di balik kerah dasternya yang lebar, lalu membawanya ke dapur.
"Ceuceu udah ketemu dengan Bu Ratih.” ucapnya dari dapur, membuatku tersenyum kecut.
"Kamu tuh ya.. tahunya malah dari Bu Ratih, bukan dari kamu sendiri.” suaranya kini terdengar dekat seiring kemunculannya kembali.
“Hehee.. malu atuh da, Ceu .” kekehku.
Ceu Ningrum duduk di sebelahku sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. Lalu ia menyenderkan kepalanya pada bahuku dengan satu tangan mengelusi perutnya sendiri.
"Ceuceu jadi kangen deh, Wa. Keponakanmu lagi ngidam kayaknya.” ucapnya sambil mendongak. Wajahnya bersemu merah, antara pengen dan malu.
"Hehe.. aku juga pengen atuh, ceu. tapi kan udah sepakat.” jawabku sambil menarik nafas panjang untuk mengendalikan nafsuku yang tiba-tiba melonjak.
Ceu Ningrum ikut terkekeh sambil meraih tanganku dan menumpangkan pada perutnya. Kuusapi dengan lembut lembuat ceu Ningrum semakin membenamkan kepalanya dan memejamkan mata.
Sambil saling memberi sentuhan-sentuhan lembut, ia menceritakan pertemuannya dengan Bu Ratih. Wanita itu datang sendiri ke sini seakan sudah ada energi yang mempersatukan mereka, tanpa harus bingung mencari alamat. Setelahnya, beberapa kali mereka saling mengunjungi tanpa pernah kutahu. Intinya, keduanya sepakat untuk membantuku mencari wanita ketigaku, dan mendorongku agar menyelesaikan semua misi ini. Mereka juga siap membantu untuk membawa wanita ketiga ke Sawer, sekaligus siap membantu seandainya akan menimbulkan masalah dengan gadis itu atau dengan keluarganya. Sedangkan aku menyampaikan kisahku dengan Bu Ratih malam itu, meskipun ceu Ningrum tentu saja sudah tahu sebelumnya dari cerita Bu Ratih sendiri.
“Makasih, ya Ceu.” ucapku di akhir obrolan kami.
Ceu Ningrum tidak menjawab, ia malah mendongak dengan pandangan sayu. Bibirnya sedikit terbuka, nafasnya terasa hangat menerpa wajahku. Kupindahkan tanganku dari perutnya dengan mengelus pelipisnya dan…
Cuuuuup!!!
Aku merunduk dan mengecup bibirnya. Hanya ciuman tipis, tapi sudah cukup membuat bibirnya bergetar dan langsung menggenggam tanganku erat. Kuulangi lagi dan disambut dengan penuh kehangatan. Kini kami bukan hanya saling mengecup, tapi sudah saling mengulum dan mengemuti bibir.
Sejenak aku melupa pada komitmen kami, gairahku semakin melonjak. Segera kulumat bibirnya dan mencucukan lidah melalui lubang bibirnya. Belum juga ujung lidah kami saling bersentuhan…
“Eheeeem!!!”
Aku dan ceu Ningrum langsung blingsatan melepaskan pelukan dan ciuman. Bukan hanya karena ciuman ini yang membuat kami tersengal, tapi kehadirannya yang tiba-tiba dan tanpa suara.
Cintung sudah berdiri di ambang pintu, tanpa mengetuk dan tanpa kami tahu kapan ia mendorong daun pintu. Senyumnya sangat menjengkelkan seakan puas membuat kami kentang dan panik. Seringainya membuatku mendengus kesal, sedangkan ceu Ningrum tersipu sambil merapikan rambutnya.
"Sorry, kalau gue udah ganggu.” ucapnya dengan tampang tanpa dosa.
“Kupret!” gerutuku.
Kini aku tidak perlu banyak bertanya atau sungkan lagi, karena meskipun sudah lama tidak bertemu dengan pria ini, aku sudah banyak mendengar tentangnya dari Bu Ratih dan ceu Ningrum sekedar menenangkan diri karena masih belum bisa menghilangkan rasa kaget dan paniknya.
“Gak usah, Ning. Gue datang cuma untuk mengingatkan kalian berdua.” jawabnya sambil tetap menyeringai jail.
“Apaan?” tanyaku.
“Kalian tidak boleh lagi seperti itu.” jawabnya, lalu ucapnya lagi sambil menatapku dengan sorot mata cukup tajam, “Dan lu jangan mencari kesempatan, gue gak mau lu menang banyak.”
Aku sebenarnya kesal mendengar ucapanya, tapi aku menahan diri untuk tidak memaki, toh dia ada benarnya. Bukan soal tidak boleh menang banyak, tapi soal menjaga kehormatan dan kesetiaan ceu Ningrum pada suaminya.
"Dan kamu ning.." kali ini cintung menatap ceu Ningrum, “Bantu si Sirna untuk mengakhiri hubungannya dengan Bu Ratih. Ia harus belajar menahan diri untuk tidak terlalu mengumbar hawa nafsu.”
“Njiiir… dia beneran iri kalau aku menang banyak.”batinku.
“Gue denger, Wa.” busyeet dah, ngomong dalam hati aja dia bisa tahu.
"Iya kang. Tapi kenapa bukan akang sendiri yang ngomong langsung sama teh ratih?" Ceu Ningrum menyanggupi sekaligus mengungkapkan rasa penasarannya.
“Halaaah.. si Ratih agak susah diingetin. Lagian… Selama air susunya belum kering, ia akan susah dikendalikan.”
Ceu Ningrum manggut-manggut tanda mengerti, sedangkan aku tersneyum senang mendengarnya. Masih banyak kesempatan untuk membuang kesepian karena tidak punya pacar. “Bu Ratih, semoga air susumu tidak pernah kering.” batinku lagi.
“Sirnawa!!!” Cintung setengah membentakku membuatku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Iya.. iya.. aku akan mengakhiri hubunganku dengan bu ratih, kecuali khilaf.” kalimat terakhir hanya kuucapkan dalam hati, membuat Cintung menggeram kesal karena -tentu saja- ia bisa membaca isi hatiku.
“Satu lagi.” ucap Cintung.
Aku dan Ceu Ningrum menunggu kelanjutannya sambil sama-sama memandang ke arahnya.
“Gue kasih kalian satu permintaan dan pasti gue kabulkan.” ucapnya.
Tik tok tik tok!!!
“Agar jualan kami laku dan bisa punya rumah sendiri.” jawab ceu ningrum
“Agar kami berdua boleh icikiwir lagi.” jawabku.
Kami menjawab Cintung bersamaan, dengan isi permintaan yang berbeda. Cintung nyeringai menyebalkan, sedangkan Ceu ningrum mencubit pinggangku.
“Jadi mana yang bener?” tanya Cintung.
“Permohonanku.” aku dan Ceu Ningrum menjawab bersamaan.
Kami bertiga tergelak, seakan menjadi tiga sahabat yang sedang koplak.
“Permohonan Ceu Ningrum.” aku meralat jawabanku dengan tulus.
“Baiklah.. tapi ingat.. ini bukan pesugihan. Kalian harus tetap kerja keras, dan semakin rajin sholat dan ibadah. Gue hanya akan menjaga usaha kalian dari niat jahat para pesaing, bukan mendatangkan pelanggan atau memberi banyak uang.” jawab Cintung membuat aku dan ceu Ningrum bernafas lega. Lanjutnya lagi, “Ini sebagai ucapan terima kasih gue pada Ningrum yang telah mau membantu. Gue akan melindungi keluargamu, Ning.”
“Terima kasih.” jawab kami bersamaan.
“Ntung, aku boleh bertanya?” aku mencoba mengungkapkan beban pikiran yang sejak beberapa hari ini menggangguku.
“Nanti kamu akan tahu sendiri, bukan sekarang.”
Sial!!! Dia masih saja menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiranku. Padahal aku hanya ingin tahu siapa wanita ritual ketigaku. Kemarin si mamang SMS menanyakan hal ini, karena banyak temannya yang bertanya.
"Gue pergi dulu." Belum juga aku dan ceu Ningrum menjawab, ia sudah beranjak meninggalkan kami berdua. Aku segera berdiri untuk mengejarnya, tapi tak kulihat siapapun di halaman. Ia langsung menghilang.
Aku hanya bisa mengangkat bahu sambil berpaling kepada Ceu Ningrum yang sedang menertawakanku.
Aku pun hanya mendengus kesal sambil kembali masuk dan meraih jaketku. Kulihat waktu sudah menunjukkan jam enam sore.
“Aku pergi dulu, yah Ceu.” pamitku pada Ceu Ningrum.
“Iya, Wa. Kamu hati-hati yah.” jawabnya sambil mendekat.
Ningrum mencium keningku. Aku pun melangkah menuju si ninja merah dan kunyalakan mesinnya.
Sebelum berangkat kukirimkan pesan kepada seseorang.
To: RSP27
Mang, Cintung belum mau ngasih tahu siapa gadis itu.
Baru juga aku memasang helm, sebuah jawaban langsung muncul.
From: RSP27
Yaudah, gpp Wa. Berarti ceritanya akan kentang terus sampai gadis itu kamu temukan.
Aku pun menyeringai tanpa membalasnya lagi.
“Aku pergi, Ceu.” pamitku sekali lagi.
Bruuuum…!!!
Aku meluncur ke rumah Bu Alya. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Maya… eh Callista… eh dua-duanya. Eh tapi.. ibu mereka juga.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar