Cincin dari masa lalu part 39


BAB 39






Aku masih mematung saat Maya kembali. Ia mengernyitkan dahi melihatku yang sedang mematung.




“Iiih.. kok kamu ngerokok sih?”


“Hehehe.. maaf..” aku memelas sambil mematikan rokok dan memasukan puntungnya ke dalam bungkusnya yang tinggal setengah; lalu kukantongi kembali sekalian dengan hapeku.




Itu kulakukan karena aku tidak melihat ada tempat sampah di sekitar taman. Sok menjaga kebersihan? Bukan!! Karena kalau aku membuangnya sembarangan, Maya pasti marah, dialah yang selalu memperhatikan kebersihan lingkungan. Maklum dialah anggota geng go green di kampusnya.




Maya merengut sambil menyuapkan permen ke dalam mulutku. Aku hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala, kalau dia memberi permen sehabis kumerokok sudah pasti ia akan meminta sesi ngerujak lagi setelah ini. Itulah kebiasaannya. Ia tidak anti sama perokok, tapi anti berciuman dengan orang yang mulutnya bau rokok. Kok tahu? Laaah.. aku kan (mantan) kekasihnya.




Aku dan Maya kembali duduk bersisian sambil memperhatikan awan-gemawan di bawah langit yang tidak biru.




Tik tok tik tok!!




“Wa..!” lirihnya sambil melirik ke arahku. Kubalas sorotan matanya, membuat ia menunduk. Kali ini ia nampak sedang gelisah memikirkan sesuatu, dan aku sudah bisa menduga apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran dan perasaannya.




Kutarik nafasku dalam-dalam untuk membulatkan tekad. Kali ini aku tak berani menyentuhnya, sekalipun sekedar untuk menggenggam tangan. Pun pula Maya, ia seakan bisa membaca kegelisahanku dan sudah punya firasat buruk terhadap apa yang akan kusampaikan.




“Aku sayang kamu, May.” lirihku tanpa berani lagi menatap gadis di sampingku ini. “Dan aku minta maaf kalau perasaanku tidak sejalan dengan apa yang kulakukan di belakangmu.”




Kutarik nafas lagi dalam-dalam dan menghembuskannya, ingin rasanya beban perasaan ini segera lepas, tapi tentu saja tidak bisa hanya dengan tarikan dan hembusan nafas. Sedangkan dari sudut mataku, Maya nampak duduk kaku dengan mata menerawang ke kejauhan. Tangannya yang menumpang pada tepi bangku nampak dieratkan, seolah sedang berpegangan kuat.




“Semuanya itu bermula dari cincin yang selalu kupakai, May….”




Dengan sedikit terbata-bata kumulai cerita petualanganku dengan Ceu Ningrum, tentu saja tanpa menyebut namanya. Aku juga tidak menyebutkan kejadian itu terjadi di Ciwidey agar Maya tidak langsung bisa menebaknya, karena ia tahu kalau aku mengantar Ceu Ningrum ke sana. Aku hanya menyebutnya di saat purnama. Sebuah kebodohan memang… seandainya Maya cukup bisa berpikir, ia akan tahu bahwa purnama itu adalah saat aku sedang bersama Ceu Ningrum, karena peristiwa itu terjadi pada saat status kami masih berpacaran. Semoga saja Maya tidak menyadarinya.




Kuceritakan kalau perselingkuhan itu tanpa betul-betul kukehendaki. Cincin itulah yang telah memberi daya magis sehingga aku dan Ceu Ningrum tidak bisa saling mengontrol diri.




“Begitulah, May. Itulah alasannya aku tidak mencegahmu ketika kamu meninggalkanku di café saat itu. Aku bukan hanya merasa bersalah pada Ariya, tapi aku juga sangat merasa bersalah padamu. Aku telah membohongi dan mengkhianatimu.”




Kuakhiri ceritaku sambil memberanikan diri untuk menatap Maya. Gadis itu hanya diam membeku, air matanya meleleh tanpa isakan. Tatapannya kosong. Sakit rasanya dadaku melihatnya seperti itu. Ia pasti kecewa, ia pasti sakit hati, ia pasti merasa terkhianati. Tapi aku memang harus tega melukainya dengan kejujuranku sekarang, daripada menyakitinya di kemudian hari. Dampaknya tentu saja akan berbeda dan akan lebih menikam.




“Kamu sedang berbohong, kan Wa?” bibirnya bergetar saat mengeluarkan pertanyaan itu. Air matanya masih meleleh seperti tanpa niat mengusapnya. Ingin kugantikan tangan ini untuk mengeringkannya, tapi aku terlalu takut. Takut malah akan memancing emosinya dan membuat Maya beranjak pergi seperti kala itu. Ceritaku masih belum selesai, dan aku harus menuntaskannya.




Melihatku hanya diam, Maya mengatupkan kedua tangan pada mulutnya sambil merunduk. Tubuhnya hanya ditopang oleh tangan dengan kedua siku menumpang di atas kedua paha. Tubuhnya mulai sedikit bergetar menahan tangisan yang hampir meledak.




Kuraih tas kecilnya untuk mencari tissue. Setelah kutemukan, aku pun mengambil dan menyodorkan kepada Maya. Tapi ia hanya diam tanpa memedulikan. Aku menghela nafas sambil meletakkan tissue di atas bangku, di antara kami berdua.




“Sejujurnya aku sakit dengan ini semua, May. Sakit karena telah melukaimu, padahal, seperti tadi kubilang, aku ingin kamu bahagia. Aku telah gagal membahagiakanmu, May.”


“…”


“Asal kamu tahu, dan aku tidak ingin mengarang cerita, ini ada kaitannya dengan legenda Sawer yang bernama Sawaka. Ia adalah harimau putih yang menjadi pelindung kampung itu, sekaligus pelindung pendiri Kopi Sawaka, yaitu Senja, ayah angkatnya Ariya. Adik dari Bu Mae, Bu Hera, dan Bu Tiurma…”


“Wa!!!”




Ceritaku terhenti saat Maya tiba-tiba menegakkan kembali duduknya dan menatapku. Diraihnya tissue dan mulai membersihkan air matanya.




“Sawaka kan sudah dilepaskan oleh Senja kala itu.” heran Maya.


“Kok kamu tahu, May?” aku malah balik keheranan.


“Aku sudah membacanya dalam buku peninggalan almarhum yang berjudul Ketika Senja, juga mendengar kisah itu dari Ariya.”


“Kamu percaya kalau Sawaka itu ada?” tanyaku.


“Kamu?” Maya malah balik bertanya.


“Percaya..!!! Karena pernah melihatnya sendiri, saat ritual kami malam itu.”


“Kamu tidak sedang mencari pembenaran diri, kan Wa? Zaman gini masa ada yang gituan sih?” Maya menatapku setelah sebelumnya mengusap kembali air matanya.




Aku hanya bisa mengangkat bahu sambil memalingkan pandangan, aku masih sakit saat melihat Maya diliputi kesedihan dan berurai air mata seperti itu.




“Ini bukan masalah kamu harus percaya kalau Sawaka itu ada atau tidak, May, tapi kita sedang berbicara tentang aku. Karena biar bagaimana pun antara kita masih ada ganjalan yang harus diluruskan.” ucapku.




Aku pun menceritakan asal-usul Sawaka dari sejak zaman kakeknya Senja sampai turun pada pemuda itu. Tentu saja aku mendengarnya dari Bu Mae. Kuceritakan pula bagaimana Senja bisa sampai menjadi penguasa atas makhluk itu, yaitu melalui ritual-ritual yang ia lakukan, namun Senja tidak mau menyelesaikan ritualnya. Akibatnya, ia harus meninggal di masa muda dan masa jayanya, bersamaan dengan Sae, kekasihnya yang tinggal dua minggu lagi ia nikahi.




“Aku tahu semuanya ini dari orang dalam keluarga Sawer, tepatnya dari wanita ritualnya.” pungkasku sambil menghela nafas. Kini beban perasaanku mulai terurai dengan menceritakannya pada Maya, meski belum sepenuhnya lega karena aku belum bercerita tentang Bu Ratih.




Maya terperangah mendengar semua ceritaku, antara percaya dan tidak.




“Keluarga Sawer? Wanita ritual?” tanyanya. Air matanya sudah kering, meski kesedihan masih ia simpan di balik pertanyaan-pertanyaannya.




Aku mengangguk, lalu berkata, “Iyah. Tapi maaf aku tidak bisa memberitahumu siapa wanita itu, karena menyangkut rahasia dan nama baik Keluarga Sawer.”




Maya membenamkan punggungnya pada sandaran bangku, pinggulnya menggelosor dan kedua kakinya diluruskan. Matanya menatap langit seakan sedang berusaha menyimak apa yang ia dengar dariku, berusaha mempercayai, atau mungkin menyangkalnya.




“Lalu kenapa harus kamu yang dipilih, Wa? Apa hubungannya dengan cincin itu?” suaranya pelan tapi cukup jelas kudengar.


“Cincin itu milik Sae.”


“Apa???”




Maya terbelalak sambil kembali menegakkan duduknya. Mulutnya setengah terbuka mendengar apa yang baru saja kusampaikan. Aku sendiri lebih memilih menunduk karena tiba-tiba ingat almarhum yang boleh dibilang telah menjadi korban dari cincin itu.




“Jangan pernah kamu tiduri orang yang kamu sayangi, tepatnya pacarmu, sebelum kamu menyelesaikan semua misimu, akibatnya bisa fatal, kalian bisa tidak berjodoh.”




Kata-kata Bu Mae kembali terngiang saat ia menelponku kemarin malam. Ia sengaja menghubungiku untuk menyampaikan pesan itu, setelah sebelumnya ia menelpon wanita ritual pertama pada masa Senja. Pesan itu datang dari wanita pertama itu.




Tanpa sadar air mataku menggenang ketika mengingat hembusan nafas terakhir tunanganku di dalam pelukanku. Maut memisahkan cinta dan hidup kami berdua hanya beberapa saat setelah kami saling merengguk nikmat dan membagikan kasih sayang.




“Wa, kamu kenapa?” Maya mengguncang lenganku, membuatku tersadar dari lamunan.


“Eh.. nggak, May.” jawabku sambil mengusap air mata yang menjentik.




Tanpa berniat menyampaikan pesan Bu Mae pada Maya, aku menceritakan asal-usul cincin itu berdasarkan cerita ibu. Siapa yang memberikan cincin itu, sampai sekarang masih misteri.




“Aku mengerti, Wa.” ujar Maya setelah aku menjelaskan tentang cincin itu. “Tapi bukan itu yang membuat kamu menangis.” suara Maya penuh penekanan, ia begitu peka kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya.




Aku membalikkan setengah badan dan menatap Maya. Kupandang bola matanya yang sinarnya sudah kembali redup seperti di awal pertemuan kami. Aku hanya ingin memastikan apakah aku harus menyampaikan efek dari cincin ini atau tidak.




“Kamu masih ingat kan, May, ceritaku tentang almarhumah…” aku kembali meluruskan posisi dudukku tanpa memandang Maya lagi. “Kematiannya terjadi setelah kami bercinta. Itulah efek negatif cincin itu. Aku tidak boleh meniduri orang yang paling kusayangi sebelum aku menyelesaikan misi ritual untuk mengembalikan Sawaka. Kalau aku membantah seperti Senja dulu, mungkin aku akan tetap baik-baik saja, tapi tidak bagi orang yang kusayangi.”




Kulihat Maya kembali tercekat, bahkan kali ini ia menutupi mulutnya dengan tangan. Tepatnya bukan menutupi, tapi mengusap bibirnya sendiri yang pernah mencium cincin itu di kamarku saat aku menceritakan tentang masa laluku. Aku ingat sekali tingkah Maya saat itu…




Mulai sekarang kamu harus kuat. Kalau kamu rapuh, lalu kemana aku harus menyandarkan diri. Jangan seperti ini, masa depanmu masih jauh lebih panjang daripada apa yang sudah dilalui.”




“May, kamu.. kamu masih mau menerimaku?”




Ia tidak menjawabku. Ia mengulurkan tangannya pada leherku, “Boleh?” tanyanya sambil memegang rantai kalungku.




Aku mengangguk, membiarkan Maya mengeluarkan bandulnya. Ia menunduk dan mengecup cincin itu cukup lama. Aku hanya mematung melihat tingkahnya, aku masih ragu untuk menyentuhnya, apalagi memeluknya.




“Kamu ngapain, May?” tanyaku pelan saat ia mengembalikan kembali cincin itu ke balik kaosku.


“Berdoa.”


“Doa apa?”


“Rahasia!!”


“…”




“Sekarang kamu masih mengalungkan cincin itu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan ke arah kerah bajuku, tapi urung saat aku menggeleng.


“Baiklah, Wa, lalu sekarang apa rencanamu?” suara Maya terdengar pasrah, dan tiada marah.




Aku merekatkan gigi sejenak sambil mengatupkan bibir dan menariknya menyamping. Aku kembali harus menguatkan diri untuk melanjutkan ceritaku yang tertunda oleh kisah tentang Sawaka dan cincin tadi.




“Aku akan melanjutkan misi itu.” akhirnya aku bisa mengungkapkannya. Perasaan lega dan sakit bercampur menjadi satu. Lega karena aku telah berani mengatakannya, dan sakit karena peluang untuk kembali mendapatkan kasih sayang Maya semakin kecil.


“Sekalipun aku melarangmu.” suara itu sukses membuatku terkejut dan langsung menengok ke arahnya. Sorot mata kami kembali beradu, dan hanya hambar yang kulihat di sana.


“Iya, May. Sekalipun kamu melarangku, aku akan tetap melanjutkannya.”




Jawabanku disahut oleh desah panjang bersamaan.




“Mengapa, Wa? Kalau kamu mau, kita bisa mencari cara untuk membatalkannya.” suaranya terdengar gamang antara harapan-memohon dan bimbang-tidak yakin.


“Maaf.” lirihku. Ucapanku sudah cukup meyakinkan Maya bahwa keputusan dan tekadku sudah bulat.


“Aku sudah melangkah terlalu jauh, May. Dan aku juga tidak mau melukaimu lagi, aku sudah membuatmu kecewa dengan ceritaku dan dengan apa yang kulakukan, meski aku sendiri sama sekali tidak ingin menorehkan luka di hatimu.”


“Maksudmu, Wa? Aku tidak mengerti.”




“Untuk membangkitkan Sawaka, aku harus meniduri tiga orang wanita. Dan aku.. aku.. aku sudah melakukan dua di antaranya.” Lanjutku, “Jadi, May, purnama kemarin aku sudah melakukan ritual dengan wanita kedua.”




Melihat Maya hanya diam sambil meremas jemarinya sendiri, aku langsung melanjutkan, mumpung aku sedang punya keberanian untuk menyampaikannya: “Dan masih ada satu wanita lagi.. tepatnya seorang gadis… dan aku tidak tahu siapa. Yang jelas Sawaka sendiri yang akan menunjukkan siapa gadis itu, sebagaimana ia menunjukkan dua wanita sebelumnya.”




Aku langsung memejamkan mata setelah mengakhiri ucapanku. Aku lebih siap menerima gamparan atau cacian, daripada melihat wajah Maya yang sedih dan terluka. Kukepalkan telapak tanganku yang tiba-tiba terasa dingin, dan kurekatkan kembali gigi, juga bibirku.




Aku sudah siap… aku menunggu… aku siap menerima kemarahannya, asal jangan melihat lagi tangis dan air matanya. Aku terlalu rapuh untuk melihat Maya harus menanggung penderitaan yang disebabkan oleh kejujuranku.




Tik tok tik tok!!




Aku seakan berada di bawah bayangan penghakiman. Sunyi.. sepi.. inderaku seakan tidak berfungsi, meski pendengaran coba kutajamkan. Jantungku berdegup lebih kencang, dan…




“Sinih..!!”




Suara itu bukan getaran kemarahan, bukan tangis kesedihan, bukan caci kebencian. Teramat lembut penuh keibuan…




Kubuka mataku sambil perlahan melirik ke arahnya…




Maya sedang merentangkan tangan, seulas senyum ia berikan meski bukan senyum riang ataupun bahagia. Meski begitu senyum itu teramat tulus.




Ia memeluk tubuh kakuku. Aku hanya mengerjap tanpa mampu mengerakkan tubuh ini. Aku hanya bisa bengong mendapat perlakuan dan sikap Maya. Jangankan membalas pelukannya, berkata-kata pun aku tidak bisa. Aku seakan sedang berada di alam mimpi ketika tak kutemukan kemarahan dalam diri gadis ini. Sikapnya malah nampak lebih tegar dan dewasa, segala manjanya hilang, terganti oleh pelukan yang penuh empati dan rasa simpati. Dalam hal ini, Maya menjelma menjadi seorang gadis dewasa, bahkan nampak lebih dewasa dari kakaknya.




Pelukan ini.. bukanlah pelukan perpisahan, melainkan raihan tak mau melepaskan. Air mata pun mengembang dan meleleh tanpa sadar. Tubuhku bagai membeku seperti es, dan air mata ini adalah lelehan yang mengalir karena kehangatan yang Maya berikan.




Maya mulai menangis sambil mengeratkan pelukannya, aku menangis karena mendapat ketulusannya. Apa peduliku pada para pengunjung yang kebetulan lewat dan melihat ke arah kami. Apa peduliku pada tatapan mereka yang mungkin nyinyir melihat seorang pria menangis dalam pelukan gadisnya. Aku tidak peduli… aku terlalu haru…




Perlahan tanganku bergetar, bergerak membalas pelukan Maya. Kudekap erat dan tubuh kami pun sama-sama terguncang karena tangis masing-masing.




Cukup lama kami seperti ini, sampai akhirnya kami sama-sama bisa meluapkan segala emosi melaui pelukan dan tangisan.




Aku dan Maya membersihkan wajah masing-masing, sesaat setelah pelukan kami terlepas. Aku masih belum berani memandangnya, masih belum percaya bahwa pelukannya barusan adalah nyata. Aku juga masih takut melihat seandainya ada ekspresi sedih dan terluka di sana.




“Aku tidak bisa memaksa, Wa, itu hak kamu, walau aku masih belum misa menerima sepenuhnya.” ucapannya terdengar jujur. Lalu, “Meskipun kamu belum tahu siapa gadis ketiga itu, tapi apakah ada sedikit petunjuk tentangnya?”




Pertanyaannya mau tidak mau membuatku menengok dan memberanikan diri menatapnya walaupun hanya sesaat. Kulihat make up nya sudah luntur karena air mata, tapi itu malah membuatnya kelihatan lebih menawan, kecantikan alami ada di sana, meski sorot mata dan sinar wajah itu tidak menggambarkan binar riang.




Sedih dan kagum bercampur menjadi satu, maka segera kupalingkan kembali pandangan, dan duduk mematung sambil memperhatikan matahari yang sudah mulai turun, membinar merah di ufuk barat.




“Fiuuuh… shhhhyaaah….” aku mendesah sesaat.




Kataku, “Syaratnya, ia pernah ke Sawer dan mencintai kampung itu, tapi bisa juga belum pernah ke sana tapi tahu banyak tentang Sawer dan mencintai semua tradisi leluhurnya.”




[POV Maya: Hatiku memang perih, tapi tanpa ia sadari, aku tersenyum mendengar perkataan pemuda yang sangat kusayangi ini. Tiba-tiba berkelebat wajah Kak Calls dan juga terlintas ingatan tentang pengalamanku ketika aku berada di depan pusara Senja dan Sae dua belas tahun yang lalu.]




Aku tak mendengar Maya menanggapi ucapanku, ia seperti sedang terbenam dalam sebuah lamunan. Dari sudut mataku nampak dahinya mengkerut sedangkan tepi bibirnya ia gigit. Aku diam.. menunggu dan menunggu… sambil berpikir bagaimana aku bisa tetap dekat dan bersahabat dengan gadis ini, tanpa siap mengembalikan hubungan kasih sayang seperti yang dulu. Bukan aku sudah tidak menyayanginya lagi, bukan!!! Aku sangat sayang gadis ini, tapi aku lebih memilih menyelesaikan semua amanat leluhur tanpa terganggu oleh bayangan rasa bersalah pada -seandainya ia kembali menjadi- kekasihku. Semoga kelak semesta menunjukkan jalan hidup dan jodohku, mungkin Maya, atau yang lain. Siapapun.. aku tidak akan pernah bisa menghapus perasaanku pada gadis yang sedang termenung di sampingku ini.




“Kamu jahat, Wa, tega ama aku.”




Suara itu cukup pelan, tanpa nada marah atau bersedih, tapi telah cukup sukses membuat aku menahan nafas sesaat.




“Maafkan aku. Aku sudah mengambil keputusan, dan tidak bisa mundur lagi.”


“Nyebelin! Tapi…”


“…”


“...aku tak bisa berhenti menyayangimu.”




Aku langsung mengangkat wajahku dan menengok ke arahnya; disambut oleh tatapan matanya yang sendu. Seulas senyum ia berikan sambil sedikit merengut, sifat manjanya sudah kembali. Tapi bukan manjanya yang membuat aku terkejut, melainkan ucapannya yang tulus tanpa kepalsuan.




Aku mencoba tersenyum, lalu kataku, “Jangan kamu buang waktu dan energimu untuk memikirkan pemuda jahat dan nyebelin seperti aku, May.” Kutarik nafas sebentar sebelum melanjutkan kata-kataku, “Jalan hidupmu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk menyiapkan masa depanmu dengan pemuda yang mengantri di sekitarmu, daripada sekedar memikirkan pemuda sepertiku. Aku tidak layak untuk kamu sayangi, untuk kamu pikirkan pun sudah tidak pantas.”




Plaaaaak!!!




Tamparan ini memang tidak keras, tapi cukup mengejutkan dan membuatku terdiam.




“Aku tidak suka menciummu saat mulutmu bau rokok!!” Hardiknya, wajahnya nampak geram, dan lanjutnya, “Tapi apa yang kamu omongkan barusan membuat mulutmu lebih bau dari aroma tar dan nikotin.”


“Maaf.” gumamku tanpa menyentuh bekas tamparannya.


“Kamu tuh..!!!” sungutnya lagi, kali ini sambil mengusap pipiku yang tadi ia tampar.




Sikapnya membuatku serba salah, dan bingung bagaimana mulai masuk pada pembicaraan tentang kelanjutan masa depan hubungan kami berdua. Apalagi ketika Maya kembali menyenderkan kepalanya pada bahuku, aku mulai bimbang, antara tetap pada rencana semula, atau malah menyatukan cinta kami kembali.




“Wa…” suara Maya sedikit bergetar, ia seperti ingin menyampaikan sesuatu yang memenuhi pikirannya. Nadanya perpaduan antara yakin dan bimbang sekaligus.


“Pilih aku!” akhirnya ia bisa melanjutkan ucapannya.


“Mmmaksudmu, May?” aku tergagap.


“Pilih aku untuk menjadi gadis ritualmu.”




[POV Maya: “Aku tahu kalau Kak Callista sangat mencintaimu, dan aku ikhlas jika kamu menjadi kakak iparku. Tapi sebelum itu.. aku ingin memberikan seluruh diriku, karena kamu adalah cintaku sejak masa kecil dulu.”]




Mendengar ucapan Maya, aku langsung mendorong tubuhnya supaya melepaskan kepalanya dari bahuku. Tapi ia menolak, tangannya malah ia lingkarkan pada pinggangku.




Fiuuuuh…!!!




Aku sungguh-sungguh tidak mengerti akan jalan pikiran gadis ini, padahal aku sudah menjelaskannya. Ucapku, “Aku kan sudah bilang, May, kalau bukan aku yang memilih gadis itu, tapi Sawaka sendiri. Lagipula aku terlalu menyayangimu, May, sangat sayang. Jika kamu menjadi gadis ritual, maka cinta kita tidak akan pernah menyatu selamanya. Padahal…”




Kugantung ucapanku karena bimbang apakah harus melanjutkannya atau tidak.




“Karena kamu ingin agar aku menjadi istrimu dan hidup bersama selamanya?” Maya seakan tahu isi hatiku, membuatku mendesah halus sambil mengusap punggung tangannya yang menumpang di atas pinggangku.




Sikap diamku justru malah membuat Maya semakin yakin akan dugaannya, bisuku telah menjadi jawaban “amin” atas tebakannya, karena memang demikian adanya yang hendak kuucapkan.




“Aku ikhlas kok menjadi gadis ritualmu, karena dengan demikian aku bisa mempersembahkan seluruh diri dan kesucianku hanya untukmu.” ucapannya tulus dan jujur tapi membuat emosiku tiba-tiba meluap. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu, ia terlalu berharga untuk mengorbankan dirinya hanya demi seorang pemuda sepertiku.


“Kamu jangan ngawur, May!” suaraku ketus dan datar.


“Dan kalau aku tidak bisa menjadi gadis ritualmu…” Ia tak menggubris ucapanku, “Aku mau agar kamu mengambilnya. Aku sayang kamu dan akan kuberikan seluruh diriku dalam ritual ataupun bukan.”


“Maya!!!!”




Tanpa sadar aku membentaknya, membuat ia terkejut dan merengut. Tapi hanya sekejap, sikapnya kembali berubah tenang, ia malah mendongak sambil mengecup tepi daguku. Padahal aku sudah memelototinya dengan nafas yang sedikit tersengal karena menahan marah atas kata-katanya. Jelas-jelas aku sudah menyampaikan bahwa meniduri gadis yang kusayangi bisa berakibat fatal, kalau tidak seburuk kematian, sekurang-kurangnya cinta kami tidak akan pernah langgeng.




“Aku ikhlas memberikannya. Meskipun setelah itu aku harus tiada, tapi aku akan bahagia karena aku telah memberikan diriku untukmu, dan kamu bisa jadi milik Kkkk…” kurasakan tangannya meremas pinggangku.


“…” sambil menahan rasa marah dan jengkel.


“… Kak Callista.” ia menyelesaikan kata-katanya.




Kali ini aku benar-benar menarik tangannya supaya melepaskan pelukan, juga kudorong kepalanya supaya bangkit dan menegakkan duduknya. Kata-katanya sudah keterlaluan menurutku. Tidak seharusnya Maya berbicara seperti itu, meskipun ia begitu mencintaku. Sama seperti Maya… kakaknya memang gadis baik, cantik, cerdas dan penuh daya pikat. Terlepas dari sifat manjanya yang kadang keterlaluan, Callista bisa menjadi istri idaman bagi siapapun. Tapi bukan ini yang kumau… aku telah terlebih dahulu mengenal dan mencintai adiknya.




Maya sedikit meronta menolak doronganku, kini bukan hanya satu tangan yang melingkari pinggangku, tetapi memelukku dengan dua tangan sambil menautkan jari-jarinya agar tidak terlepas.




Aku hanya bisa mendesah.. baiklah… aku punya cara untuk menumpahkan kekesalanku…




“Kamu itu kalau ngomong jangan ngasal!!” dan dijawab oleh senyumnya. Sebetulnya senyum itu cukup tulus dan jujur meski memancar dari wajahnya yang masih sembab.


“Aku maunya..” kuberanikan menatap wajahnya yang sedang mendongak. “Callista adalah wanita ritualku dan kamu menjadi istriku.”


“Sirnnnaaaaa!!!!”




Buuukkk!!! Buuuk!!! Buuuuuk!!!!


Plak!! Plok!!! Pleeeek!!!!


Huuufff!!!! Breeeet!!!! Nyooooiiiyyyy!!!




Aku pun menjadi objek segala kekesalan. Pukulan, tamparan-tamparan kecil pada lengan dan punggungku, cubitan.. bertubi-tubi menyerangku. Mau tidak mau aku menghindar dengan berdiri dan berjingkat menjauhinya. Wajahnya cemberut dan matanya merah menahan kesal. Jika dalam keadaan normal, aku mungkin akan tertawa dan melanjutkan untuk terus menggodanya. Tapi semuanya ini adalah “sebuah permainan” dari rasa frustasi dan tidak berdaya. Dari rasa cinta yang terluka tanpa saling tahu bagaimana memulihkannya, dan tiada sepakat bagaimana cara menyatukannya kembali.




Maya masih tetap duduk sambil melengos memunggungiku. Nafasnya sedikit tersengal, aku yakin ia jengkel, seperti perasaan yang kurasakan ketika ia menyampaikan niat gilanya.




“May.” panggilku sambil mendekat. Bukannya menjawab, Maya semakin memunggungiku sembari melipatkan tangan di atas perutnya.




Aku melangkah melewati tubuhnya, lalu berdiri menghadapnya. Matanya masih melotot, kedua bibirnya menyerupai garis lurus,




“Sinih.” aku merentangkan tangan.




Maya diam sambil memalingkan wajah.




Aku pun menunduk sambil mengusap wajahnya, dan menekan kedua pipinya seolah mau mengempiskan cembung cemberutannya.




“Nyebeliin!!!” ucapnya tanpa menolak sentuhanku.


“Sinih.” ucapku sekali lagi sambil meraih tangannya supaya berdiri.




Setelah saling berdiri berhadapan, aku mencoba tersenyum sambil menatap bibirnya yang bikin gemas. Aku pun merentangkan tangan tanpa sepatah katapun, dan Maya menjatuhkan diri ke dalam dada dan pelukanku. Sangat erat kami seperti ini. Rasa sayang saling kami sampaikan, desir rindu kami tularkan, meski kami sudah saling tahu, ada luka di balik semuanya.




Diam tanpa kata, itu sudah mewakili semua rasa. Sampai akhirnya aku melepaskan pelukan dan kukecup tipis keningnya.




“Sambil jalan yuks.” lirihku. Kuambil tas tangannya dan kuberikan, lalu kami melangkah menyusuri taman sambil bergandengan tangan.




Aku merasa butuh suasana baru, perlu menemukan cara agar cinta kami tidak pupus, meskipun saatnya untuk menjadi kekasih seperti dulu, belumlah waktunya.




Sambil saling menautkan tangan kami pun berkeliling. Rasa ini ada.. dan tetap ada… menular dan menjalar melalui setiap sentuhan dan genggaman. Tapi aku sudah bertekad untuk menunda, gadis ini pun sepertinya tahu dan bisa menerima.




“May..” lirihku tanpa menengok dan menghentikan langkah. “Terima kasih atas ketulusanmu yang mau mengerti aku dan mau menerimaku apa adanya. Aku pikir memang inilah jalan yang harus kita lalui.”


“…” Ia melirikku sambil tersenyum kecut.


“Kita jangan melawan takdir, ijinkan aku menyelesaikan semuanya ini. Aku sayang kamu.. tapi aku masih belum bisa untuk kembali seperti dulu. Semoga kamu mengerti, May.”


“Jadi kita menunda asa kita?” akhirnya ia menjawab dengan sebuah tanya.




Langkah kami terhenti sambil saling menghadap dan menatap.




“Begitulah kira-kira.” ucapku sambil menyentuh dan merapikan poninya yang tidak berantakan.


“Kalau asa itu akhirnya tidak pernah menjadi milik kita?” tanyanya lagi.


“Kita akan selalu ada dan saling mendukung, apapun status kita nantinya.”




Maya menunduk sebentar sebelum melangkah kembali, dan aku menjejerinya tanpa melepaskan genggaman tangan.




“Kamu boleh menjalani hidupmu secara wajar. Aku tahu hatimu masih untukku, tapi jangan menutup diri untuk pemuda lain. Justru dengan itu, kasih sayang kita semakin dimurnikan dan akan semakin tahu untuk siapa cinta kita yang sesungguhnya.”


“Kalau aku tidak mau?”


“Kamu mau nunggu aku?”


“Huuumm.”


“Fiiiuhhhh…” desahku. Aku melirik ke arah Maya sambil berkata, “Kita sama-sama punya asa untuk hidup bersama ke depannya, tapi akan lebih baik kalau kita tunda, karena kita tidak tahu takdir ini mau dibawa ke mana.”


“Baiklah, Wa. Aku menerima keputusanmu. Kamu punya pilihan, aku pun punya. Kita jalani bersama seperti dua sisi rel kereta api.” ujarnya, ia nampak tegar.i


“Yang selalu bersisian, tanpa saling menyatu, tapi juga tidak pernah berpisah.” aku melanjutkan ucapannya, dan dijawab oleh anggukan serta senyumannya.




Senja sudah turun di tepi barat, memerahkan semesta, merekah indah di akhir hari. Menyala tanpa menyilaukan, benderang tanpa jiiìimemanaskan, seakan menjejakan kenangan sebelum hari berganti malam. Hadirnya seakan menjadi saksi sekaligus simbol atas apa yang kami rasa dan kami sepakati. Cinta kami tetap merah berkobar, sayang kami tak pernah pudar, meski harus mengakhirinya.




Hari sebentar lagi berubah gelap, matahari akan berganti bintang. Begitulah pula cinta kami. Kami saling menyayangi, meskipun status bukan lagi sepasang kekasih. Indah dan cerahnya rasa sayang sementara akan digantikan kerlip sumbu yang kecil, tapi tidak redup dan padam, tidak akan hilang. Apa pun yang akan terjadi di depan nanti, apapun yang akan kami jumpai dalam gelap dan terangnya, aku dan Maya tetap saling mencinta.




Kubiarkan gadis ini bercerita dan mengenang kembali apa yang sudah ia lewati. Menceritakan kembali rasa cinta yang sudah ia miliki sejak pertemuan pertama kami ketika kami masih sama-sama bocah, dan baru akan menanggalkan seragam putih-merah. Kusimak kisah hatinya yang selalu mengharapkan kami berjumpa kembali dan saling memiliki, sampai asa itu menjadi nyata ketika aku datang ke kota ini. Bahagia itu ada.. sampai akhirnya kini harus dipudarkan dan asa kami ditunda kembali untuk sementara.




Tanpa Maya sadar, aku menuntun gadis ini ke arah parkiran. Sudah saatnya kami pulang, dan mengakhiri perjumpaan. Biarlah hari ini aku dan Maya akhiri.. karena hari-hari esok masih bisa kami lalui bersama, masih bisa saling berjumpa dan berbagi kisah hidup, meski bukan lagi sebagai sepasang kekasih.




“I love you.”bisiknya saat kami tiba di depan mobilnya.




Kami harus sudah berpisah, karena kami membawa kendaraan masing-masing. Ia membawa mobilnya, dan aku meminjam motor milik Ray.




“I love you too.” jawabku sambil memegang kedua bahunya dan saling berbagi tatapan.




Sebuah pernyataan yang sama-sama kami ungkapkan, justru di saat kami sepakat untuk mengakhiri hubungan ini. Senyum pun kami bagikan dan berakhir dengan sebuah pelukan.




Aku tidak menolak ketika Maya mengajakku masuk ke dalam mobilnya. Kami duduk bersisian pada jok depan. Mata kami tak hentinya saling pandang. Lagi…




Kami saling memeluk, saling mendesah berat, saling mengabarkan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Tidak perlu lagi air mata dan isak haru. Kami sama-sama tahu apa yang ada dalam hati masing-masing. Bahagia karena saling mencintai itu ada, meskipun hampa karena perpisahan tak bisa kami pungkiri.




Ciuman perpisahan pun kami berikan. Berulang kali saling mengecup, bergantian saling menyentuhkan bibir. Kucium keningnya, ia melakukan hal yang sama setelahnya. Kukecup kedua kelopak matanya, pun pula dia. Pipinya… dan berakhir dengan sebuah kuluman pada bibir. Sebuah cumbuan perpisahan yang sama-sama takkan pernah bisa kami lupakan. Cumbuan terakhir sambil menunggu kehendak semesta atas nasib cinta kami berdua.




Setelah merasa cukup, aku pun turun. Tangan kami saling menggenggam, enggan berpisah, sampai akhirnya pelan tapi pasti benar-benar terlepas. Maya menyalakan mesin mobil, dan aku berputar ke jendela sebelah. Ia menurunkan kaca jendela dan kami kembali bertatapan sambil berbagi senyum. Aku membungkuk sambil meraih kepalanya. Kali ini kukecup ubun-ubunnya dengan penuh perasaan. Maya masih mengusap pipiku setelahnya, air matanya berlinang. Hanya dengan sebuah anggukan, tanpa kata yang kami ucapkan, Maya menaikan kaca jendela sambil mengusap air matanya. Mobilnya bergerak, meninggalkanku, membiarkanku mematung dalam rasa kosong dan hampa.




Aku pun melangkah menuju motorku. Kuputuskan untuk hanya duduk di atas joknya barang sebentar. Kusulut rokokku, dan kuhisap dalam-dalam. Hidup baru harus kujalani.. hidup tanpa kekasih bernama Maya… sekaligus hidup dengan seorang sahabat dengan nama dan orang yang sama.




Kukeluarkan hapeku yang tiba-tiba bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Senang melihat nama itu pada layar, sekaligus gamang untuk mengangkat panggilannya. Berbeda dengan Maya yang lebih sering menghubungiku melalui video call. Ya.. Callista menghubungiku lagi setelah banyak pesan kuabaikan.




Kllik!!!




Kutekan tombol ‘yes’ dan wajahnya langsung muncul.




“Wawa iiih…” ia langsung merengut manja saat melihat wajahku. Dan aku hanya bisa diam… hatiku berdesir… bukan hanya karena panggilan manjanya.. tapi juga karena posenya yang sepertinya sedang berada di dalam kamar.










BERSAMBUNG







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar