BAB 38
ASA YANG TERTUNDA
Semilir angin menerpa rambutnya yang dibiarkan tergerai. Harusnya indah, harusnya memesona. Tapi tidak kali ini. Pulasan make up tipis tak mampu menyembunyikan pucat wajahnya, tak jua menghilangkan gelayut tebal di bawah matanya. Mungkin kurang tidur, atau kebanyakan menangis. Entahlah…
Yang membuat hatiku sakit, tidak ada lagi binar bahagia yang terpancar dari balik bola matanya. Caranya menatap masih sama, caranya melirik demikian juga begitu, tapi ia tak bisa menyembunyikan kesedihan dan lara hatinya. Sendu.. sayu.. tanpa pancaran riang seperti biasa.
Itulah Maya. Seorang gadis yang pernah -dan masih- mengisi relung hatiku. Setelah kemarin kami saling kontak, akhirnya Maya mau bertemu lagi denganku. Dan kini.. kami sedang duduk di sebuah café di kawasan Dago, tepatnya di Selasar Si Karyo. Aslinya adalah sebuah gallery seni, tapi cukup terkenal juga dengan cafénya. Tongkrongannya memang menarik, membuat setiap pengunjung bisa memandang keindahan perbukitan, sekaligus hamparan kota Bandung di bawah sana.
Sudah setengah jam kami duduk sambil menikmati secangkir kopi tanpa saling berbincang satu sama lain. Hanya kebisuan yang kami pendarkan, meskipun hati riuh oleh berbagai rasa yang ingin diungkapkan. Komunikasi hanya sebatas melalui lirikan dan desah nafas yang sesekali sengaja dihembuskan.
“May..” akhirnya aku tak tahan juga hanya saling diam seperti ini.
Maya berpaling dari pandangan kosongnya ke kejauhan; ia menatapku. Perih rasanya melihat sinar tanpa sukma itu.
“Kenapa kamu memutuskan Ariya? Padahal…” aku sengaja menggantung ucapanku untuk melihat reaksinya. Ketika ia hanya diam, kulanjutkan lagi, “ia sangat baik dan bertanggungjawab.”
“Apakah rasa cinta bisa datang dan hanya bisa diukur oleh kebaikan dan tanggungjawab saja?”
“Mmaksudku bukan begitu, May, tapi…” aku malah kebingungan sendiri.
“Aku tidak menyayanginya.” Maya mengerti salah tingkahku. Ucapannya terdengar tegas dan judes.
“Maaf.”
“Aaaarrrrgh…” Maya mengerang halus sambil mengepalkan kedua tangan dan sedikit merentangkannya. “Sudahlah, Wa, aku dan Ariya memang bukan jodoh. Kami memang saling menyayangi, tapi bukan dalam arti sebagai kekasih, melainkan sahabat atau apalah.. kakak-adik mungkin.”
Mendengar Maya berbicara seperti itu, aku langsung menduga kalau Ariya pun telah jujur tentang perasaannya. Di hatinya selalu ada Rinjani yang tak bisa ia sangkal atau bantah. Sementara di hati Maya… entah apa yang terjadi… bahwa ia tidak marah lagi dan mau bertemu denganku, aku sudah mensyukurinya.
“Aku sudah ketemu Ariya.. dan…”
“Aku tahu!” Maya memotong.
“Tahu dari siapa?”
“Dari Ariya lah..!”
“Hmmm..!”
Fiuuuh… aku sangat tidak nyaman berada dalam suasana kaku seperti ini.
“Maafkan aku, May, kalau aku lancang. Tapi ada yang ingin kutanyakan kepadamu.”
“…”
“Dari kakakmu, aku mendengar bahwa sejak putus dari Ariya kamu banyak murung dan lebih senang berdiam diri di kamar. Mengapa, May?”
“…”
“Maaf. Kalau kamu keberatan, kamu tidak usah menjawabnya. Tapi bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak menyayangi Ariya dan mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kalian. Lalu kenapa kamu jadi seperti ini?”
“…”
Spontan aku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam kantong celanaku, aku butuh pengasapan agar bisa sedikit mencairkan isi kepalaku yang terasa kaku dan beku, juga biar aku tegar berada dalam situasi seperti ini.
“Boleh?” aku menatap Maya.
Gadis ini pun menggeleng, membuat aku hanya bisa mendesah dan memasukkan kembali batang rokok yang sudah setengahnya kucabut; lalu kuletakkan bungkusnya di atas meja.
“Hehehe.. boleh kok.” ia terkekeh meski nampak dipaksakan.
Kali ini aku yang menggeleng, aku sudah cukup tahu gadis ini. Isi hati dan ucapan bisa berbeda.
Maya mengambil zippo yang kutumpangkan di atas bungkus rokok dan memainkannya. Bekali-kali terdengar bunyi nyaring dan bening membuat beberapa orang melirik ke arah kami. Perokok sejati pasti tahu kalau zippo ini asli, meskipun hanya mendengar bunyinya. Maklum ini adalah zippo pemberian Ariya beberapa hari lalu. Yah.. walau rokoknya tidak sekece zipponya tapi setidaknya membuatku lebih pede.
“Kamu itu memang gak peka, Wa.” lirih Maya seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Tatapannya sendu pada zippo yang masih saja ia mainkan.
[POV Maya: Aku seperti ini bukan karena Ariya, tapi kamu. Aku kangen banget sama kamu.. tapi.. hiks…]
Mendengar ucapan lirih Maya, aku hanya diam sambil menatapnya lembut. Jantungku sedikit berdebar sambil mencoba menerka isi hatinya, mengira-ngira makna di balik ucapannya. Tapi aku blank.
"Fiiiiuuhhh... kita jalan-jalan yuks.” Maya nampak kesal. Tanpa menunggu persetujuanku ia langsung berdiri dan mengamit tas kecilnya. Aku sedikit tersentak melihat sikapnya, dan langsung berdiri sambil meraih bungkus rokok dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana.
“Maay!”
“Apa?”
“Itu.. zipponya.”
“Hhhhh….!!!! Jadi kamu lebih peduli ama zippo dari pada aku?”
Srrrrr…!!!
Perasaanku berdesir mendengar ucapannya. Zippo ini telah membawa malapetaka karena membuatnya ngambek, tapi juga menjadi berkah karena ada sesuatu yang tersirat di balik kata-katanya.
Belum sempat aku menjawab, ia sudah lebih dahulu melangkah meninggalkan café. Aku pun segera menyusul, untung minuman sudah kami bayar sehingga tidak perlu beribet untuk ke kasir dulu dan tidak harus ketinggalan langkahnya.
Kujejeri Maya yang melangkah ke arah gallery. Tanpa banyak kata ia mengamati beberapa lukisan hasil karya pemilik tempat ini, dan juga beberapa karya patung dan seni instalasi lainnya. Aku tahu, ia tidak terlalu mengerti tentang seni, sama halnya aku juga, tapi ia begitu khusyuk mengamati apa yang dipamerkan. Ia seakan sengaja mau mengalihkan diri dari kehadiranku.
Merasa jengah didiamkan seperti ini, aku langsung meraih tangannya pura-pura mau mengambil zippo yang masih ia genggam. Tapi yang terjadi… sentuhan ini malah membuat Maya tercekat, tubuhnya nampak kaku walaupun hanya sesaat. Kurasakan telapak tangannya begitu dingin. Ada perasaan tak karuan juga yang mengisi sanubariku.. biar bagaimana pun gadis ini selalu menjadi kerinduan di setiap malamku, sentuhan ini adalah keinginan terpendamku selama berminggu-minggu.
Maka kuambil zippo dari tangannya dan kukantongi, namun setelahnya… tangan ini kembali meraihnya dan kami pun bergenggaman. Tiada penolakan, selain semu merah pada wajahnya. Sorot matanya kembali memancarkan sinar kebahagiaan mesti seperti ia tekan dan sembunyikan.
Drrrrrtttt!!!
Hapeku terasa bergetar berulang-ulang pertanda ada panggilan, tapi aku terlalu enggan untuk melepaskan genggaman ini. Kuabaikan meski sedikit terasa mengganggu.
Drrrrrtttt!!!
Kembali bergetar satu kali pertanda ada pesan yang masuk. Masih kuabaikan, sentuhan ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Dalam diamku, kusampaikan rasa sayang. Bagai menerima dan merasakannya, telapak tangan Maya yang semula begitu dingin kini mulai terasa hangat seiring bias wajahnya yang tak lagi pucat. Dadaku pun berdesir, ada kebahagiaan yang kurasakan.
Hanya tangan ini yang saling mengabarkan rasa saat kami mengelilingi ruangan-ruangan gallery, tanpa kata, tiada ucap. Tidak banyak pengunjung yang kami jumpai, sehingga kami tetap masyuk dalam kemesraan diam melalui sentuhan ini. Sekali-kali kami saling melirik, dan beberapa kali kami bertatapan selama beberapa detik. Refrennya sama.. nafas panjang ketika kami mengakhirinya, dan seolah fokus kembali pada karya-karya seni yang ada.
Kami pun tiba di ruang gallery bagian belakang. Ada pintu kaca yang menjadi penghubung ruangan dengan balkon yang memajang beberapa patung batu. Tanpa sepakat kami pun melangkah menuju balkon melalui pintu itu, yang memang tidak dikunci. Sesaat kami melihat-lihat patung tanpa lagi berminat. Kami malah lebih menikmati hamparan hijau perbukitan dan beberapa perumahan warga di kejauhan. Nampak juga ada amphi theatre di sekitar taman dengan layar lebar membentang. Nampak ada sepasang muda-mudi yang sedang selfie dengan kemesraan yang mereka pancarkan.
Pemandangan itu membuat aku dan Maya menghela nafas lalu saling pandang. Kali ini cukup lama kami berdiri berhadapan, tanpa harus curi-curi pandang lagi. Sorot matanya sendu, giginya menggigit kecil tepi bibirnya seakan sedang menahan perasaannya yang bimbang dan entah apa lagi.
Aku yang sudah tidak kuasa menahan kerinduan ini langsung terbawa suasana dengan meraih kedua bahunya. Hanya sentuhan kecil tanpa tarikan, tapi….
Maya langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukanku. Kusambut dengan erat.. teramat erat.. tubuhku sedikit bergetar menahan perasaan yang bergejolak, sementara Maya terisak-isak. Tangannya melingkar erat pada pinggangku, sedangkan aku mengusapi rambut kepalanya yang terbenam pada bahu.
Mendengar isaknya, tanpa sadar kelopak mataku terasa hangat dan ada cairan bening yang mengembang. Sedih.. haru.. rindu.. bimbang.. takut.. semuanya menjadi satu. Akal sehatku memberi peringatan untuk tidak bermain perasaan karena masih banyak hal yang harus kuselesaikan tanpa sepengetahuan Maya, tapi hati ini tak mampu mengingkari diri. Aku teramat menyayanginya.
Entah berapa lama kami seperti ini. Tubuh kami tetap melekat, meski tangisnya sudah tak lagi terdengar. Ia masih menumpukan kepalanya pada bahuku seakan sedang menyandarkan semua beban hatinya. Bahkan tangannya yang tadi meremas punggungku, kini berubah menjadi elusan.
Kukecup ubun-ubunnya membuat Maya kembali mengeratkan dekapan. Cukup lama kukabarkan perasaanku, sampai akhirnya bibirku terlepas seiring geliatnya untuk melepaskan pelukan.
Sorot mata kami kembali beradu, sendu kusaksikan. Masih tanpa kata, kuulurkan tanganku untuk mengusap sisa air matanya. Ia menerima perlakuanku dengan sebuah senyum, senyum ketir yang menjadi perpaduan kebahagiaan dan kesedihan.
Aku merunduk untuk mengecup keningnya, dan mata itu kembali terpejam. Aku tulus mengabarkan rasa sayangku yang sesungguhnya, sedangkan ia tulus menerimanya, meskipun status kami bukan lagi sepasang kekasih.
Maya mendongak saat aku melepaskan ciumanku, nafasnya menerpa hangat. Sorot mata sendunya seakan meminta, bibirnya sedikit terbuka. Ia menginginkannya, aku juga.. tapi.. akal sehatku masih sedikit bekerja.
Aku menjauh sambil mengusap tepi bibirnya, membuat ia mendesah, rasa kecewa tak mampu lagi ia sembunyikan. Tapi ia hanya diam, tak berani juga meminta.
“Kita ngobrol di taman yuks.”
Kuraih tangannya saat kulihat Maya mengangguk. Aku menuntunnya kembali ke dalam, menyeberangi sisi lain gallery menuju tulisan “exit”. Begitu kami tiba di pojok-luar gedung yang sepi, Maya menahan tanganku. Pandangannya lekat, dengan nafas sedikit tersengal. Kelopak matanya berair seakan hendak menumpahkan kembali semua kesedihan dan kegundahannya.
“Mmmmh…” lenguh kami bersamaan ketika tanpa komando kami saling memeluk dan berciuman bibir. Bukan hanya mengecup, tapi saling melumat dan berbagi air liur. Lidah kami saling membelit dan menggelitik. Kurasakan wajahku basah karena air matanya, sedangkan ciuman ini kian dalam dan beringas. Semua beban perasaan dan kerinduan yang selama ini ditahan-tahan, akhirnya meluap juga, dan kami tak mampu lagi menahan. Semuanya ditumpahkan dalam panasnya ciuman, meski tak terbungkus nafsu. Yang ada hanyalah menyalurkan rasa sayang dan sesaknya rasa rindu.
Nafas kami tersengal saat mulut kami terpisah dan bibir ini terlepas. Aku langsung mengejarnya kembali, disambut lumatannya. Aku yang melepas, ia kembali mencari. Ia yang melepas, aku yang enggan mengakhiri. Jadilah… ciuman ini tak pernah terputus. Air matanya sudah berhenti, sinar keceriaan kembali terpancar.
“Kangeeeeeen!!!!”
Maya memeluk dan membenamkan wajahnya di balik dadaku saat ciuman ini benar-benar berhenti. Nafasnya masih tersengal, pun pula aku. Kubalas pelukannya dan kudekap erat. Aku bahagia.. teramat sangat… meski jauh di dalam lubuk hatiku bimbang dan gamang menghantui. Bukan karena Ariya.. bukan karena aku tidak mencintainya.. tapi aku takut akan apa yang telah dan akan kulakukan di belakang gadis ini. “Haruskah aku mengatakannya, padahal aku sudah janji pada Bu Mae untuk merahasiakan ini semua?”
Maya sudah kembali. Ia menjadi gadis yang asli dan kukenal. Dengan manja ia melingkarkan tangannya pada pinggangku, sedangkan aku memegang bahunya. Kami berjalan setengah berpelukan.. menuju sebuah kursi panjang di sudut taman.
Kami duduk bersisian dengan kepala Maya menumpang pada bahu kiriku, sedangkan tanganku mengusapi rambutnya. Dengan manja, sesekali ia mendongak sambil tersenyum manis. Sangat menggemaskan.. aku tak pernah kehilangan keinginan untuk mengecupinya.. tapi kutahan.. masih banyak yang harus kami bicarakan. Aku tak ingin larut dalam kebahagiaan singkat dan sesaat, yang kemudian akan berakhir dengan saling menyakiti di akhir pertemuan.
Maka hanya aku hanya membalas senyumnya tanpa berani lagi mengecup.
“Maaf.” lirihku sambil menatap bola matanya. Maya tidak menjawab, tapi hanya mendongak sambil mencolek hidungku, lalu mengusapi pipiku. Kuraih punggung tangannya dan kukecup sesaat; sisanya kami saling meremas lembut.
“Maaf kalau aku telah membuatmu sedih.” ucapku lagi.
“Aku yang minta maaf, Wa. Aku telah mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas waktu itu.” jawabnya lirih.
Kata-kata yang dimaksud adalah saat pertemuan terakhir kami sebelum ia meninggalkanku di café; saat kami putus.
“Kamu tidak salah apa-apa, May, aku yang salah.”
“Akuuu iiiih!!”
“Jadi aku tidak salah?” godaku.
“Ya salah juga!”
Aku hanya terkekeh mendengarnya. Kukecup kepalanya dengan rasa sayang dan gemas.
“Yaudah penerimaan maafnya ditunda dulu, masih banyak kesalahanku yang lain.” ucapku sambil -tanpa Maya tahu- tersenyum getir.
“Yaitu..?”
“Kamu banyak murung dan mengurung diri karena mikirin aku, kan?”
“Iiiih… geer banget!”
Maya langsung menegakkan duduknya dan menatapku dengan kedua pipi menggelembung. Kucolek seakan hendak mengempiskannya.
“Jadi aku salah?” tanyaku.
“Pake banget!” jawabnya dengan masih cemberut.
“Lalu kenapa kamu seperti itu?”
“Karena.. karena…”
Maya menggantung ucapannya sambil berdiri.
“Kangeeeeeen!!!” pekiknya sambil menghambur, duduk di atas pangkuanku dan memelukku erat. Untung aku masih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak terjengkang ke belakang.
“Sayang aah.. nanti dilihat orang.” ucapku sambil mencoba mendorongnya.
“Apa, Wa?”
“Eh.. mmaksudmu?”
“Tadi bilang apa?”
“Itu.. nanti dilihat orang.”
“Bukaaaan iiih!”
Maya memegang kedua pipiku, memaksaku untuk membalas tatapannya.
“Bilang apa barusan?”
“…” sambil pura-pura mengerutkan dahi, padahal jantungku berdebar kencang karena telah keceplosan.
“Sirnaaa iih.” Maya cemberut.
“Hehehe..”
“Huh.. nyebelin!! Tapi makasih..”
Maya tak memaksa, hanya binar bahagia yang ia pancarkan.
“Aku juga sayang kamu. Apapun pengakuanmu waktu itu, aku gak bisa mengingkari perasaanku.” ucapannya berubah lembut dan tulus.
Kini jantungku bukan hanya berdebar, tapi berdetak lebih kencang, senang mendengarnya.. tapi di atas semuanya aku tersesak oleh rasa bersalah.
“Lalu kesalahanmu yang lain apa?” tanyanya lagi sambil menempelkan dahinya pada dahiku.
“Kamu duduk dulu, gak enak dilihat orang kalau ngobrolnya kayak gini.”
“Iiih.. ini juga kan lagi duduk.”
“Iya tapi bukan kayak gini, sa..”
“…yang.” ia melanjutkan ucapanku yang terhenti.
Maya mengcup bibirnya singkat lalu kembali ke tempat duduknya. Timing yang tepat karena sedetik kemudian ada segerombolan pemuda yang keluar dari dalam gallery, mereka sepertinya pengunjung dari luar kota karena suaranya cukup kental dengan logat republik ngapak.
“Kamu tahu dari mana kalau aku sering mengurung diri?” tanya Maya sambil melihat para ngapakers yang lewat.
“Lia.” jawabku sekenanya.
“Bohooong!!” ia mendorong pipiku dengan telapak tangannya.
“Duh kok kakak dan adik punya kebiasaan yang sama ya?”
“Gak mungkin Lia cerita.. palingan dari kakak.” aku mendongak melihat ke atas pohon untuk menyembunyikan salah tingkahku. “Kamu dan kakak udah deket yah, gak kayak tom & jerry lagi. Bagus deh!!”
Kalimat terakhirnya membuatku semakin grogi, apalagi saat mendengar nada cemburu di balik kata-katanya.
“Kamu tahu dari mana, May?” sebuah pertanyaan bodoh kuajukan.
“Kamu tuh..” Maya merengut, lanjutnya, “Aku dan kakak itu tidak pernah menyimpan rahasia tahuuuu!! Kan kakak juga yang membujukku supaya membalas pesanmu dan mau ketemu denganmu.”
“…”
Maya kembali menyandarkan kepalanya pada bahuku, bersama sebuah desahan panjang seakan hendak mengusir semua perasaan yang belum ia sampaikan.
“Aku ingin kamu bahagia, May.” kusampaikan harapanku dengan tulus dan jujur, tanpa niat untuk membahas kakaknya terlebih dahulu. “Aku sangat sedih dan merasa bersalah begitu mendengar kamu seperti itu. Itu bukan kamu banget.. kamu harusnya ceria dan tidak boleh menumpahkan kesedihan dengan cara seperti itu.”
“Iyah, maaf. Tapi…” Maya seolah bimbang untuk melanjutkan ucapannya.
“Tapi karena memikirkan kakakmu? Kamu pernah cerita tentang Bu Callista, apa itu masih mengganggu pikiranmu?”
“Ibu??? Kata kakak kamu udah manggil dia gak pake ‘ibu’ lagi?”
“Eh…”
“Aku kan udah bilang, kalau tidak ada rahasia antara aku dan kakak sejauh itu masih wajar.”
“Ii..ya.. Callista.”
Tik tok tik tok!!
“Dalam beberapa hari ini aku semakin yakin, Wa.” Maya memulai kembali pembicaraan tanpa melepaskan pelukannya pada pinggangku.
“Yakin apa?”
“Kalau… eh tapi kamu gak boleh kegeeran dulu.. gak boleh!!” Maya mendongak, sorot matanya menggambarkan rasa cemburu.
“Iya.. emangnya apa?”
“Ya itu.. aku semakin yakin kalau Kak Calls suka sama kamu. Ia selalu antusias ketika ngomongin kamu, dan ketika kutanya tentang perasaannya, kakak selalu salah tingkah dan menghindar.”
“…”
“Aku senang kalau Kak Calls sudah kembali ceria dan tidak murung lagi karena masa lalunya. Tapi…”
“…”
“Aku takut… aku cemburu… hiks… aku sayang kamu.. gak mau kehilangan kamu.. tapi aku juga gak mau melihat Kak Callista kembali seperti dulu. Aku ingin kakak bahagia.”
Aku masih ingin menuliskan apa yang kurasakan saat mendengar ucapannya, biar readers tahu isi hatiku, tapi Maya kembali berkata dan merajuk, “Haaaiiiissshhh… kamu tuh nyebelin banget sih Sirnaaaa!!!! Sok kegantengan…!!! Sok keren…!!! Huuuh…!!!”
Maya menegakkan duduknya sambil menguyel-uyel rambutku gemas.
“Lah emang keren, makanya kamu suka aku.”
“Aaaaauuww… Sakit, Maaay!!” pekikku saat ia mencubit pinggangku dengan keras.
“Udah dibilang jangan kegeeran juga. Huuuh!!!”
“Geer itu.. kalau sok merasa padahal kenyataannya enggak. Ini kan kenyataannya emang… Eh iyah.. iyah… ampun.” aku langsung menghentikan ucapanku saat Maya kembali mau mencubitku.
Kukecup cepat bibirnya yang dimonyongkan, membuat matanya mendelik walau sambil mengulum senyum.
Dan… kalau aku bersikap cengengesan seperti ini, itu semata-mata untuk menutupi perasaanku yang asli. Aku sayang gadis ini… itu pasti. Tapi aku juga selalu memiliki perasaan yang sama saat sedang bersama kakaknya; walaupun aku belum bisa mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada Callista. Toh.. orang yang selalu kurindukan selama ini adalah gadis yang sekarang sedang merajuk sambil mencolek-colek pipiku.
“Jadi itu alasanmu sehingga kamu tidak mau menjawab telponku atau membalas pesanku? Kamu dilema gitu ceritanya?”
Maya mengangguk. Sebuah kejujuran ia sampaikan melalui sorot mata dan gerak tubuhnya.
“Bukan karena yang lain?” tanyaku lagi.
“Maksudmu?”
“Karena pengakuanku sebelum kita putus?”
Maya menarik nafas panjang sambil membuang muka dan memandang ke kejauhan.
“Ceritalah..” gumamnya, tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku diam sebentar untuk menimbang baik-buruknya seandaianya aku jujur pada Maya. Aku ingin memilikinya kembali, tapi ragu. Aku berpikir biarlah kami bersahabat saja, tapi aku tak mau. Mungkin sikap Maya nanti yang akan menjadi jawaban dan keputusan atas masa depan kami. Jujur adalah keharusan.. aku sangat sayang gadis ini.. lebih baik luka karena dibenci daripada luka karena membohongi. Tapiii….
“May, sebelum aku menceritakannya padamu, boleh aku menelpon seseorang dulu?”
“Siapa? Kak Calls?”
“Bukan.”
“Nur?”
Aku menggeleng.
“Ariya?”
Kembali menggeleng.
“Lalu?”
“Maaf, aku tidak bisa cerita, tapi percayalah aku hanya minta ijin untuk menyampaikan rahasiaku yang belum kamu tahu.”
“Baiklah.” jawab Maya sambil berdiri. Tanpa permisi ia langsung meninggalkanku.
“Maaaay… jangan marah donk. Dengerin penjelasanku dulu.. lagian ini tasmu…”
“Huuuh!!! Siapa yang marah? Orang mau ke toilet. Yaudah sanah.. katanya mau menelpon.”
Ingin rasanya aku mengejarnya dan melumat bibirnya karena gemas akan polahnya yang seakan sedang mengerjaiku. Tapi aku hanya menggeleng disambut oleh sikap Maya yang memeletkan lidah lalu beranjak ke dalam gedung.
Segera kukeluarkan hapeku untuk menelpon Bu Mae. Namun kubuka dulu notif yang ada di layar, ada banyak pesan karena tadi beberapa kali hapeku bergetar tanpa kupedulikan; aku lebih memilih fokus hanyalah Maya. Aku hanya membuka pesan-pesan yang menarik perhatianku…
Ada misscall dari Callista… juga dari nomor tak dikenal… nanti saja… kubuka aplikasi WA…
From: Calls
Wawa, kamu lagi ama Maya yah? Iiih…!!! :(
From: Calls
Wawa??
From: Calls
:(
:(
:(
Aku menarik nafas panjang. Wajah dan sikap manjanya terbayang. Kuputuskan untuk membalasnya nanti saja, kini ada hal lain yang lebih penting.
From: +62846166167
Wa, hati-hati!! Sebetulnya aku mau mengingatkanmu, agar gak salah langkah seperti bossku dulu. Tapi terserah kamulah kalau kamu memang ingin menang banyak.
“Kupret!!” gumamku. Kubaca berulang-ulang sambil mengeluarkan dan menyulut rokokku. Kuputuskan untuk membalas dan menanyakan identitas dan maksud dari isi pesannya. Ajaiiib!!! Ya ajaib!! Pesannya langsung hilang… kupikir hapeku error, tapi hanya pesan dia yang hilang, yang lain masih utuh.
Kuhisap rokokku berulang-ulang sambil mengerjap dan mengotak-atik hapeku, hasilnya sama saja, pesan itu sudah tidak ada.
Kuhembuskan asap rokok lalu aku kembali kepada tujuan awalku. Kucari nomor Bu Mae dan menelponnya. Tak perlu waktu lama suaranya langsung terdengar…
“Hallo, Wa, boleh kok.”
“Bu?? Mmm…”
“Iyah kamu cerita saja ke Maya.”
“…”
Aku malah bengong mendengar jawabanya yang to the point. Dari mana juga ia tahu maksudku menelpon? Dari mana ia tahu kalau aku sedang bersama Maya!
“Maaf, ibu lagi nyopir, ni anter si bungsu les.”
“Ii..ya.., bu.”
“Tapi ingat, Wa. Apapun keputusanmu, selalu ada resikonya, dan kita belum tahu pilihan Sawaka ke depannya.”
“Iya, bu. Makasih. Eh.. maaf, bu. Apakah ibu mengirim WA dari nomor lain?”
“Maksudmu? Nggak tuh.”
“Oh yaudah. Terima kasih banyak, bu.”
“Iya, sama-sama. Ibu bangga sama kamu. Kamu mulai berjiwa besar seperti adik ibu. Dadah sayang!”
Klik!!
“Whaaaat??? Sayaaaang??? Fiuuuh… ingat, Wa, ingat.. itu hanya panggilan kedekatan, mungkin ia sedang ingat almarhum adiknya, Senja.” aku membatin sendiri.
[POV Cintung: Bukan, Wa. Ia bilang begitu karena Mae memang sayang kamu.]
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar