Cincin dari masa lalu part 37

 

BAB 37








Aku disambut senyum ramah security dan para pelayan coffe shop. Langkahku ringan melewati toko dan langsung menaiki anak tangga. Kusapu pandanganku ke arah café, tak kulihat teh Rahma atau anggota Keluarga Sawer ada di sana. Maka kuputuskan langsung menuju ruangan Bu Mae.




Tok tok!!!




Aku mengetuk pintu sambil menarik nafas dalam-dalam, jantungku tiba-tiba berdebar.




“Masuk!!”




Kudorong pintu setelah mendengar jawaban dari dalam. Kulihat wanita paruh baya dengan kemolekan alami sedang duduk di balik meja kerjanya sambil memandang ke arahku. Ia sedang bekerja sendirian, karena meja kerja di sebelahnya kosong.




Beberapa detik lamanya kami saling menatap bagai terhubung oleh aliran magnet yang saling memikat.




“Silakan duduk, Wa.” Bu Mae lebih dulu sadar dari ketertegunannya dan mempersilakanku duduk sambil menunjuk sofa.




Aku pun mengangguk sopan sambil melangkah ke arah sofa, bersamaan dengan Bu Mae yang berdiri dan menuju tempat duduk yang sama. Aku yang lebih dulu duduk masih sempat memperhatikan wajah manisnya yang dibalut jubah longgar dan kerudung warna ungu. Bibirnya yang sudah merah alami hanya dipulas glow sehingga terlihat basah dan seksi. Nampak serasi dengan make up tipis pada wajahnya. Ibu dua anak ini nampak masih begitu memesona dengan aura keibuan yang ia punya.




Bu Mae memilih tidak duduk di seberangku, melainkan duduk pada sofa pendek di sampingku, sedangkan aku duduk di atas sofa panjang. Posisi kami membentuk “letter L” yang hanya terpisahkan oleh sudut tempat duduk.




“Kami mau ngopi, Wa?”


“Eh.. nggak, bu. Terima kasih.”


“Beneran? Sudah makan siang?”


“…”


“Hehehe… yaudah nanti abis ini ibu minta Rahma supaya nemenin kamu makan di bawah. Kalau ibu sih udah makan.”


“Tapi bbu…”


“Udah gak usah sungkan. Malu berarti lapar.”


“Mmakasih, bu.”




Aku kembali diam saat Bu Mae tak hentinya menatapku, sorot matanya seakan sedang menyelidiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan kembali menatap mataku. Ia seakan sedang menyelami isi hatiku.




Desah nafas panjang pun terdengar. Bahagia dan sedih bercampur menjadi satu di balik teduh bola matanya.




“Kenapa bisa begini, Wa?” suara itu lebih seperti gumaman dari pada pertanyaan.


“Mmmaksud Bu Mae?”




Bukannya menjawab, Bu Mae pindah duduk ke sampingku. Matanya tak lepas pada bola mataku dan tangan meraih tanganku. Ia nampak terkejut menerima sentuhan ini, pun pula aku. Dadaku bergejolak dan berdesir hebat. Sebelumnya, aku belum pernah merasakan getaran seperti ini saat bersentuhan dengan gadis atau wanita mana pun.




“Kamu sudah pulang?” suaranya terdengar bergetar.


“Mmaksud ibu?”




Hmmmmffff!!!




Mataku nanar dan jantungku terkesiap ketika Bu Mae tiba-tiba memelukku erat. Ia seakan lupa kalau ia sedang berpelukan dengan pemuda asing. Ia tidak malu saat kedua buah dadanya yang menggunung terhimpit di antara tubuh kami.




“Hiks.. hiks…” tiba-tiba tangisnya pecah.




Mendengar tangisannya, refleks aku -yang tadinya kaku- membalas pelukannya. Nafasku tersengal karena perasaan-perasaan asing yang berdesir. Bahagia dan haru tiba-tiba mengisi sanubari.




Bagaikan sepasang kekasih yang sudah lama tidak saling bertemu, kami saling berpelukan dan saling menyentuh. Kemudian… sambil bercucuran air mata, Bu Mae melepaskan pelukkannya, berganti membelai wajahku. Aku langsung terkesima ketika wajahnya semakin mendekat.




Cuuup!!!




Diciumnya keningku.




Cuuup!!!




Kedua pipiku bergantian.




Cuuup!!!




Kedua mataku.


Wajahku basah oleh air matanya.




Cuuup!!!




Lagi keningku…




Daaan…




Kami sama-sama bergetar saat ia menempelkan bibirnya. Kami langsung berpagutan dan mengulum. Lenguh dan isak tangis bercampur memenuhi seisi ruangan, sementara kedua tangan sudah saling meremas punggung masing-masing.




Bahkan tangannya berpindah pada rambutku saat ia memiringkan kepala agar ciuman kami semakin dalam. Ia begitu menggebu, nafasku menderu. Ia mendesah basah, aku gelisah karena gairah.




Meski tanpa lilitan lidah, ciuman ini adalah ciuman terindah yang pernah kulakukan. Ciuman termanis yang pernah kukecap. Terasa indah. Namun…




Semuanya terhenti saat ia melepaskannya dengan nafas tersengal. Kuulurkan tanganku untuk mengusap air matanya sambil mengatur nafas masing-masing. Sebuah tindakan kurang ajar, tapi ia seakan ikhlas menerimanya. Matanya terpejam, mengalirkan sisa air mata yang mengembang. Kuusap lagi dengan lembut.




Jadilah…




Kami saling membelai wajah masing-masing. Tangisan berubah senyuman, kesedihan berubah desiran-desiran hangat penuh kerinduan.




“Haiiissssh.. haaaah… huuuh…”




Bu Mae akhirnya kembali pada kesadarannya. Ia menarik nafas panjang berulang-ulang untuk menenangkan diri, sedangkan aku kembali menggeser duduk untuk memberi jarak dan ruang. Kini aku malah kebingungan sendiri atas apa yang baru saja terjadi. Logika tak bisa menjelaskan, tapi perasaan meletup bahagia.




“Bu, maaf.. aku.. aku masih bingung.” akhirnya aku membuka percakapan.


“Jiwamu belum utuh, tapi bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Bu Mae bertanya tanpa memedulikan kebingunganku.




Aku menggeleng pelan sambil mencoba menyimak makna pertemuan ini, juga memikirkan atas apa yang baru saja kami lakukan. Aku mencoba menyimpulkan bahwa wanita ini adalah orang yang dimaksudkan oleh Cintung melalui Ceu Ningrum dan Bu Ratih. Kalau ternyata aku salah, ya sudahlah…




“Apakah ini karena Cintung?” tanyaku.


“Cintung?” siapa dia.




Aku cukup kaget mendengar pertanyaan baliknya. Bu Mae tidak mengenal orang itu adalah sesuatu yang aneh. Jangan-jangan aku salah…!




“Maksud kamu C-i-n-t-u-n-g atau C-i-n-t-h-u-n-k-s?” Bu Mae mengejar jawabanku.


“A.. aku gak tahu, bu. Aku malah bingung bedanya.”




Bu Mae nampak berpikir keras sambil mengamati wajahku, seakan mencari kebenaran dari apa yang ada dalam pikiran dan perasaanku.




“Cinthunks adalah temannya almarhum. Tapi kalau Cintung…” Bu Mae menggantung ucapannya.


“Apapun.. itu kita pikirkan nanti.” ucapnya. Lalu, “Yang menjadi pertanyaan ibu adalah bagaimana kamu bisa berhubungan dengan Sawaka?”




Mendengar pertanyaan itu rasa gamangku langsung hilang. Aku kembali yakin bahwa Bu Mae adalah wanita yang harus kucari dan akan menjelaskan semua misteri yang selama ini terjadi.




“Jadi begini, bu. Maaf kalau aku salah…”




Kuceritakan semua kisahku sejak awal tujuanku datang ke Bandung, tepatnya ke Cimahi. Semua berawal dari pertemuan misteriusku dengan seorang pria bernama Cintung dan juga nasihat-nasihat ajaibnya. Kusampaikan juga kisah perjumpaanku dengan Ceu Ningrum yang berujung pada pergumulan kami di saung sawah kala itu. Juga pergumulanku dengan Bu Ratih tadi malam.




Sebetulnya aku malu menceritakannya pada wanita ini, tapi aku tak mau lagi hidup dalam kebingungan dan menjalani kisah yang berselubungkan misteri.




Bu Mae menyimak semua penjelasanku sambil sekali-kali menggeleng, kadang juga mengangguk.




“Jadi intinya begitu, bu. Aku sendiri tidak tahu mengapa semuanya ini terjadi padaku. Yang pasti itu terjadi dalam dua purnama terakhir, tanpa ada SSI atau niat apapun sebelumnya.”


“SSI teh apaan?” polos Bu Mae.


“Semprotan Sirna Icikiwir.” batinku sambil menahan senyum, tapi yang keuar dari mulutku, “Speak-speak iblis, bu.”




Jawabanku membuat Bu Mae tertawa dan membuat suasana haru dan tegang kembali mencair. Kini kami sudah bisa sama-sama menguasai diri, tidak seperti tadi yang tiba-tiba dibalut rindu dan bahkan nafsu.




“Kalau menurut ibu mah bukan itu artinya, tapi Sawaka Selamanya (H)Idup.”




Aku tertawa kecil mendengarnya, walaupun dalam benakku masih menyimpan banyak rasa penasaran.




“Bu, jadi memang benar kalau Sawaka adalah legenda Sawer?” tanyaku.




Bu Mae menatap tajam sebentar lalu menarik nafas halus. Anggukannya sudah membuat segala tanyaku terjawab.




“Tapi ini rahasia.” gumamnya. “Orang terakhir yang menjadi titisannya adalah almarhum adikku. Tapi ia memilih melepaskannya karena cintanya yang teramat besar kepada Sae. Kamu tahu sendiri, untuk menjaga makhluk ini harus ditempuh dengan cara ritual dengan perempuan lain.”


“Pertanyaannya…” ucap kami bersamaan.


“Hehehe.. kamu mau nanya apa?” tanya Bu Mae.


“Kenapa Sawaka memilihku?”


“Itu juga yang mau ibu tanyakan. Secara kamu bukan berasal dari Sawer.”




Tik tok tik tok.




Kami sama-sama berpikir. Tiba-tiba aku ingat penyebab awal pergumulanku dengan Ceu Ningrum dan Bu Ratih. Semuanya selalu ditandai oleh pemasangan cincin pertunanganku pada jari mereka.




“Buuu…”




Bu Mae mantapku.




“Cincin.” gumamku.




Kurogoh kantong celanaku untuk mengeluarkan kalung cincinku, untung aku membawanya karena Bu Ratih mengingatkanku untuk membawa benda ini. Kugenggam rantainya sehingga cincinnya bergelantungan di antara wajah kami berdua.




Bu Mae terbelalak. Mulutnya yang terbuka langsung ia tutupi dengan tangannya.




“Sirna?? Dari mana kamu mendapatkan cincin ini. Hiks.. hiks…” Bu Mae kembali tersedu, air matanya berlinang kembali.


“Ini cincin pertunanganku, bu.”




Kuceritakan sedikit kisah tentang pertunanganku dengan Maya yang akhirnya gagal menikah karena maut memisahkan.




“Mmmaaf.” gumam Bu Mae. “Ibu mendengar cerita itu dari warga Sawer, dan ternyata pemuda itu adalah kamu.”


“Tidak apa-apa, bu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya.”


“Tapi..” Bu Mae menyusut air matanya dan mengambil kalung dari tanganku. Ia mencium cincin itu lalu menggenggamnya erat. “Dari mana kamu mendapatkan cincin ini?”




Belum juga aku menjawab, Bu Mae sudah melanjutkan, “Ini adalah cincin pertunangan Sae yang hilang, bersamaan dengan hilangnya cincin milik Senja.”




“Berarti kamu punya dua cincin?” cecarnya lagi.




Mendengar semua perkataan dan pertanyaan Bu Mae aku hanya bisa bengong. Aku tidak menyangka kalau cincin ini adalah milik sang legenda yang telah memajukan Sawer.




“Wa?”


“Aku hanya punya cincin ini, bu. Karena sebenarnya ini bukan cincin pertunangan dalam arti sesunggunya. Aku memberikan ini kepada Maya, almarhum, ketika ia menerima cintaku. Jadi tidak resmi dalam acara pertunangan.”


“Iya.. tapi.. tapi dari mana kamu mendapatkan cincin ini?”




Aku diam sebentar untuk mengingat kejadian sore itu. Begini bu…








Aku baru saja pulang dari tampian (tempat pemandian) saat ibuku memanggil. Seusai berganti baju aku pun menghampiri ibu yang sedang duduk di ruang makan. Hidangan sudah tersaji untuk kami berdua.




“Duduk, Wa.”


“Iya, bu.”


“Nih kamu simpan.” ujar ibu sambil menyodorkan sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati.


“Apa ini, bu?”


“Kamu buka saja.”




Dengan heran aku pun membuka isinya. Aku cukup heran saat melihat isinya adalah sebuah cincin.




“Cincin siapa ini, bu?”


“Tadi ada orang dari KUD yang mengambil kapulaga kita. Lumayan dapat 25 kg, tapi uangnya kurang, jadi sebagai gantinya ia memberikan cincin ini.”


“Loh kok ibu mau-maunya sih diganti ama cincin?” protesku.


“Yaudah tidak apa-apa juga, lagian kekurangannya cuma lima puluh ribu, padahal cincin ini asli dan sepertinya sangat mahal. Ibu malah tadinya menolak karena ini mah terlalu berharga. Tapi ia maksa, ya udah ibu terima saja.”


“Siapa orangnya, bu?”


“Orang baru sepertinya, karena baru pertama kali datang ke sini, dan bukan warga dari desa kita.”


“Baiklah kalau gitu. Tapi kenapa ibu berikan ke Sirna?”


“Kamu simpan saja. Nanti kalau sudah waktunya, kamu berikan kepada Maya, kalian kan sudah saling menyayangi.”


“Iya, bu.”






Aku tak mampu melanjutkan kenangan dan ceritaku kepada Bu Mae. Mataku terasa panas karena cincin ini kemudian telah membawa nasib pahit bagi hubungan cinta kami.




“Jadi begitu, bu. Siapa orang itu, aku sendiri tidak tahu.” kupilih untuk mengakhiri cerita.




Bu Mae nampak menyadari perubahan raut wajahku yang tiba-tiba sedih. Ia hanya mengangguk. Tangan kanannya masih menggenggam cincin itu, sedangkan tangan kirinya mengelus kepalaku.




“Sudah.. katanya sudah ikhlas.. jangan sedih lagi yah.” ujarnya lembut dan penuh keibuan.




Aku mengangguk pelan sambil mencoba tersenyum.




“Mungkin pria itu adalah orang yang sama.” gumam Bu Mae.


“Maksud ibu: Cintung?”


“Bisa saja. Tapi nanti kita cari tahu. Nih…!!” 


"Ehh.. jangan, bu. Kalau cincin ini adalah milik teh Sae aku tidak pantas menyimpannya. Aku kembalikan kepada ibu sebagai wakil dari keluarganya.”




Aku menolak cincin yang Bu Mae sodorkan. Tapi ia menggeleng sambil tersenyum. Ujarnya, “Ini memang milik adikku.” ujarnya dengan sorot mata menerawang seolah sedang mengenang almarhumah. “Tapi kamu bawa sampai kamu menyelesaikan tugasmu.”




“Buu??”


“Tidak boleh menolak. Dan kamu harus menyelesaikan tugas ini sampai sempurna. Jangan seperti adikku yang membatalkannya sampai akhirnya maut menjemput. Jangan ada lagi nyawa yang hilang, Wa.”




Aku merinding mendengar perkataan Bu Mae, segera kuraih kalungku dari tangannya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana.




“Apakah masih ada cerita yang belum ibu tahu?”


“Ada bu.” jawabku. Lanjutku lagi, “Menurut penuturan Bu Ratih, masih ada satu perempuan lagi yang harus kuajak ritual. Dan itu berat karena harus bisa menemukan gadis itu dan harus menjalankan ritualnya di Sawer.”




Bu Mae nampak terkejut walaupun langsung menyembunyikan. Tatapannya tajam ke arahku.




“Kapan kamu libur kuliah?”


“Masih lama, bu. Mungkin saat liburan semester baru aku pulang.”


“Kamu cari waktu untuk pulang. Kalau bisa sebelum liburan panjang.”


“Untuk ritual, bu?”


“Bukan. Kamu temui seseorang di sana.”


“Siapa, bu?”


“Nanti kamu akan tahu sendiri, Wa. Kamu pasti menemukannya karena sudah memiliki ikatan batin seperti apa yang terjadi antara kita berdua.” Lalu lanjutnya lagi, “Sebelum itu, ibu akan mempertemukan kamu juga dengan seseorang yang lain. Syukur kalau bisa di Bandung sini.”




Penjelasannya membuatku heran, tapi aku memilih diam dan mempercayakan semuanya pada Bu Mae.




“Wa.”


“Iya, bu?”


“Ibu mohon sekali lagi. Kamu selesaikan semuanya ini, dan jangan putus di tengah jalan. Ibu trauma, dan tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang sangat ibu sayangi.”


“Iya, bu. Aku janji.”


“Baguslah kalau begitu. Walaupun.. walaupun.. bukan hanya kamu yang harus berkorban, tapi ibu juga.”


“Maksud ibu? Maaf.. kenapa ibu jadi kebawa-bawa?”


“Haaaah…” Bu Mae menghembuskan nafas seakan ingin membuang semua beban.


“Nanti kamu akan tahu sendiri. Kamu jalani saja hidupmu secara natural, semuanya akan ditunjukkan dan datang sendiri.”




Aku mengangguk walaupun tak bisa mengerti semua pejelasannya.




“Satu lagi, Wa.”


“Iya, bu. 


"Jangan kamu bocorkan semuanya ini kepada semua orang. Kamu sudah cerita kepada siapa saja?”


“Mmmaaf, bu. Aku sudah cerita kepada para sahabatku, mereka adalah Rad, Ray, Nur, dan Lia pacarnya Rad. Tapi mereka hanya tahu dengan wanita pertama saja, dengan wanita kedua aku tidak berani cerita.”


“Baiklah, Wa.” Bu Mae kembali menghela nafas seakan menyesali bahwa sudah ada yang tahu tentang semuanya ini.


“Tapi aku jamin, bu, mereka bisa dipercaya. Dan…”


“Dan apa?”


“Ada satu lagi yang tahu. Tapi ia tidak tahu semua detailnya, ia hanya tahu kalau aku telah berselingkuh dan tidur dengan wanita lain.”


“Siapa? Pacarmu?”




Aku pun mengangguk.




“Lalu sekarang?”


“Kami sudah putus.”


“Maaf… apakah dia adalah Maya?”


“Iiibuu kok tahu?”


“Ariya! Ia sangat dekat dengan ibu, seperti Senja, ayah angkatnya dulu.”




Aku pun mengangguk mengerti.




“Dari pihak ibu, Ariya juga sudah ibu ceritakan tentang kamu. Maksud ibu, keyakinan yang ibu miliki sejak kita bertemu pertama kali. Jadi kamu jangan sungkan ke dia.”


“Baik, bu.”


“Masalah Maya, dan juga wanita ketiga, cincin ini akan membawa pada wanita ritualmu, dan juga kepada jodohmu yang sejati. Jadi kamu jangan terlalu bersedih. Hanya ibu mengingatkan, gadis ritualmu tidak akan pernah menjadi jodohmu. Bisa saja jodohmu adalah orang yang sekarang menyimpan cincin milik Senja.”


“Dan…” Bu Mae langsung memotong saat melihatku mau menjawab.


“Ketika kamu sudah melakukan ritual ketiga di Sawer, itu hanya menjadikan Sawaka lahir kembali dan menjadi pengawalmu di mana pun kamu berada. Setelah itu, kamu harus mengawinkannya dengan Mantili, pasangan abadinya. Mereka sudah terpisah cukup lama.”


“Caranya, bu?”


“Nanti kamu akan tahu sendiri.” Bu Mae seakan enggan menjawab, ia malah memalingkan muka sambil memandang foto keluarganya pada dinding di belakang meja kerjanya. Sebuah bingkai yang memajang Bu Mae bersama suaminya, juga kedua anaknya yang cantik-cantik.




Masih banyak lagi hal yang kami bicarakan berkaitan sejarah dan kisah Sawaka juga Mantili. Bu Mae menjelaskan bahwa Mantili masih tetap hidup dan menjadi pelindung Sawer selama ini, karena ketiga wanita ritual pada zaman Senja tidak pernah mau melepaskannya. Sedangkan Sawaka menghilang atas kehendak Senja, dan kini sepertinya penantian Mantili akan harimau jantannya tinggal menunggu waktu saja, dan semuanya tergantung padaku.




“Bisa jadi ke depan malah akan terjadi perkawinan kosmis yang mengikat antara kedua kampung kita.” ujar Bu Mae sambil tersenyum.




Aku ikut tersenyum mendengarnya, aku cukup mengerti akan apa yang ia maksudkan.




Kini aku merasa lega karena semua misteri yang melingkupi hidupku sudah terkuak. Memang masih ada tanya di balik semuanya itu, yaitu tentang identitas Cintung dan juga keberadaan cincin yang satunya. Juga ganjalan tentang hubunganku dengan Maya. Kenyataan bahwa aku harus melanjutkan ritual membuatku semakin merasa bersalah, dan memang tak selayaknya aku memilikinya, atau setidaknya menunggu sampai ia mau menerimaku apa adanya.




“Ingat, Wa, jangan kayak almarhum. Mantapkan tekadmu, jangan terganggu oleh Maya, kecuali kalau ia memang mau menerima kondisimu.” ujar Bu Mae yang seakan tahu isi pikiranku. Aku hanya tersipu mendengarnya.


“Ibu mau nelpon Rahma dulu biar nemenin kamu makan.”


“Eh gak usah, bu. Biar saya langsung pulang saja.”


“Beneran kamu?”


“Iya, bu. Saya langsung pulang saja.”




Bu Mae nampak berpikir sebentar, lalu ucapnya, “Kamu naik apa ke sini?”




“Tadi sih dianter teman, bu. Pulangnya naik angkot.”


“Sebelum kamu selesai ritual dan dikawal oleh Sawaka, kamu sangat membutuhkan kendaraan, karena keluarga kami akan membutuhkanmu. Kamu butuh kendaraan.”




Aku terpaku sebentar. Kenapa keluarga besarnya sangat membutuhkanku? Lalu dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membeli motor? Pikiranku kembali kacau.




“Oke. Sekarang kamu boleh pulang, nanti Ariya akan menghubungimu untuk mengambil motornya. Ia punya dua dan ia pasti setuju kalau salah satunya kamu pakai.”


“Bbuuu? Jaang…”


“Kamu tidak bisa menolak, Wa. Ingat ibu adalah yang akan membimbingmu sampai semua tugasmu mendatangkan sang legenda selesai.”


“Tapi, bu, aku.. aku…”




“Ini perintah! Perlu kamu ingat, Wa, dulu Sae pernah bermasalah dengan Senja gara-gara adikku membelikannya mobil. Dan sekarang.. kamu jangan mencari masalah denganku.” Bu Mae mengancam walaupun itu semua diucapkan sambil tersenyum.




Aku pun hanya bisa mengangguk pasrah. Sikap diamku dianggap setuju oleh Bu Mae sehingga ia menguyel-uyel rambutku gemas.




“Yaudah kalau gitu saya permisi dulu, bu.” pamitku sambil berdiri dan mengulurkan tangan.




Setelah berjabatan tangan aku melangkah menuju pintu keluar di bawah tatapan Bu Mae yang tetap berdiri di tempatnya.




“Sirna!” aku urung memutar gagang pintu dan menengok ke arah Bu Mae.




Ia sudah berjalan mendekatiku dan…




Tiba-tiba ia memelukku dan mulutnya mencari bibirku. Bagai dikehendaki oleh alam, kami kembali berpagutan, lebih panas daripada cumbuan di awal perjumpaan. Bukan hanya saling melumat, tapi lidah kami langsung saling mengecap dan membelit, melilit dan berkecipak menyalurkan kenikmatan.




Tangannya meremasi rambutku, sementara aku kian berani meremas bokongnya yang kenyal dan lebar. Aku terdesak pada daun pintu dan ciuman kami semakin dalam dan dalam… Rintih halusnya kian terdengar menandakan ia sangat menikmati percumbuan ini, tubuhnya kian merangsek agar saling melekat.




“Haaashhh… hasssh…” nafas kami sama-sama tersengal saat pagutan kami terlepas.




Tatapannya sayu, bibirnya terbuka basah karena air liur kami. Kukecup lagi… ia membalas… Ia mengecup aku membalas. Bahkan ketika aku berniat menyudahinya, ia semakin mengejar. Jadilah.. lebih dari lima menit kami saling memberi dan menerima kenikmatan walaupun sekedar melalui ciuman.




“Mmmmhhh… Belum saatnya.” lirihnya saat bibir kami benar-benar terlepas tanpa saling mengejar.




Srrrrrrr!!!




Dadaku berdesir.




“Kalau belum saatnya, berarti akan ada saatnya.” hatiku seolah berkata sendiri.




Kuusap tepi bibirnya yang basah, dan ia pun melakukan hal sama pada bibirku. Dua kecupan kecil saling kami berikan sebelum akhirnya aku membuka gagang pintu.




Ada perasaan tidak ikhlas saat kami benar-benar berpisah meskipun sebatas terpisah daun pintu. Kutarik nafas beberapa kali untuk menenangkan perasaan sambil merapikan rambut dengan jemariku.




Langkahku panjang, pulang adalah pilihan, masih banyak yang harus kurencanakan bersama Rad dan Ray berkaitan dengan usaha kopi yang akan kami rintis.




Drrrrrtttt!!!




Tanpa menghentikan langkah kukeluarkan hapeku yang bergetar. Sebuah pesan WA masuk.






From: Maya


“Wa..!”






Langkahku seketika berhenti dan mataku berkaca. Setelah sekian lama aku merindukannya, setelah banyak malam kulewatkan tanpa mendengar suaranya, kini ia menghubungiku. Pesannya sangat singkat, tapi sangat berarti bagiku.




Kuusap air mataku yang tiba-tiba berlinang sambil menekan tombol hijau pada layar. Kuputuskan untuk tidak membalas, melainkan langsung menelponya.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar