BAB 33
Setibanya di depan pintu kantor Bu Callista yang pintunya setengah terbuka, aku menarik nafas panjang beberapa kali. Entah tegang atau karena berlari yang membuatku seperti ini, tapi dadaku terasa sesak dan nafasku tersengal.
Tok tok..!!!
“Permisi, bu.” sambil sedikit mendorong pintu.
Kulihat Bu Callista sedang fokus di depan laptopnya, sementara dekstopnya juga menyala menandakan ia sedang kerja dalam dua komputer. Bu Callista melirik ke arahku dan setelah tahu kalau aku yang datang, ia kembali fokus pada layar laptopnya sambil berkata, “Masuk!”
Suara itu teramat datar, tidak marah namun tiada juga ramah. Bodohnya, aku malah mengangguk walau ia tidak melihatku.
“Duduk!” suaranya masih datar saat aku hanya mematung di belakang kursi di hadapannya; terhalang meja kerja tentu saja.
Aku pun duduk sambil menunduk. Entah kenapa, nyaliku hilang, dan emosiku pada Karma teralihkan pada rasa khawatir menghadapi manusia yang sedang tak mengacuhkanku ini.
Tik tok tik tok!!
Kami hanya saling diam dengan kesibukkan masing-masing. Ia sibuk dengan laptopnya, sedangkan aku sibuk menenangkan pikiran seandainya Bu Callista marah-marah lagi. Sekali-kali kulirik wajahnya yang manis.. bibir bawahnya itu looh. Duuuh…!!
“Eheeem…!! Jam berapa ini?”
“Jam sebelas seperempat, bu.”
“Lalu?”
“Maaf.”
Aku menunduk tanpa berani membalas tatapannya.
“Masih saja..!! Dasar tukang terlambat!!” gerutunya. Lalu lanjutnya, “Kamu tahu alasan saya memanggilmu?”
Aku menggeleng pelan mendengar pertanyaannya. Aku sudah menduga alasanku dipanggil, tapi daripada salah menjawab dan semakin memancing emosinya, aku memilih pura-pura tidak tahu.
“Ini!!!” Bu Callista mengambil kertas dan meletakkannya tepat di depanku sambil setengah menggebrak meja. Sebuah formulir Perubahan Rencana Studi yang sudah kuisi dan kutandatangani. Aku sendiri tidak tahu kenapa kertas ini ada pada dia, padahal harusnya menjadi arsip Tata Usaha.
Untuk pertama kalinya aku mendongak dengan maksud mau bertanya perihal formulir ini.
"Kamu!!!"
Belum juga aku berkata, Bu Callista sudah mendahuluiku dengan mata terbelalak, sorot matanya berubah. Tangannya terangkat, mendekat ke arah wajahku. "Mati! Kenapa sih cewek suka sekalu menampar?" batinku tanpa mampu menggerakkan wajah sedikit pun.
Aku hanya bisa terperangah dengan tubuh kaku saat tangannya semakin dekat, bahkan ia berdiri dan menyondongkan tubuhnya.
“Aaaaww…!!”
Aku mengaduh. Bukan karena tamparannya, tapi karena sentuhannya pada rahangku. Ia menyentuhku, bukan menampar. Ya menyentuhku!
“Kamu abis berkelahi, ya Wa? Kenapa? Ama siapa? Ini sampai memar begini.. Mana berdarah pula.”
Aku hanya terkesima melihat perubahan sikapnya. Galaknya hilang, terganti oleh ekspresi kaget dan entah apa lagi… Kata-kata pedasnya terganti bawel yang penuh kekhawatiran.
“Bbbbu..” akhirnya bibirku bisa berkata, meski gugup, sambil mencoba mendorong halus tangannya yang masih memegang rahangku.
“Ehhh…!!” ia nampak sadar dan terkejut.
“Kenapa kamu berkelahi? Duh.. kenapa gak kamu obatin, sih?” Bu Callista menutupi kegugupannya dengan pertanyaan-pertanyaan lagi.
“Saya tidak apa-apa, bu. Maaf…” jawabku sambil mengusap bekas sentuhannya.
Mungkin karena tadi terlalu panik atas keterlambatanku, aku tidak menyadari luka ini; tapi setelah diingatkan oleh Bu Callista, sekarang malah terasa ngilu dan cenat-cenut.
“Nih kamu bersihkan bibirmu, masih berdarah tuh.” ujar Bu Callista sambil menyodorkan tissue.
Dengan sedikit bergetar aku menerimanya dan mengusapi ujung bibirku sambil sedikit meringis. Melihatku, Bu Callista nampak semakin khawatir dan membuka laci mejanya. Merasa yang dicari tidak ditemukan, ia membuka laci yang lain. Nihil!!! Entah apa yang dicarinya.
“Kamu tunggu di sini! Jangan ke mana-mana!!”
“Bb…”
Belum juga aku menjawab, Bu Callista langsung berlari meninggalkan ruangan, membiarkanku hanya terbengong melihat perubahan sikap dan tingkahnya.
“Sialan..” tanpa sadar aku menggerutu. Entah pada Karma atau pada Bu Callista gerutuan ini kutujukan. Yang jelas kejadian ini membuatku bingung, otakku turun pentium lagi.
Setelah menunggu sekitar lima menit, Bu Callista kembali masuk dengan sangat tergesa. Ia membawa kotak P3K, nafasnya nampak sedikit tersengal.
“Kamu obati dulu, itu sampai biru begitu.” ucapnya.
“Eh.. Bu. Saya.. saya tidak apa-apa kok.”
“Jangan rese kamu!”
Kata-katanya kembali judes, tapi tidak ada kemarahan. Aku hanya terpana melihat sikapnya yang dengan cekatan membuka isi kotak. Dibukanya botol alkohol 70%, dikeluarkannya kapas, lalu meneteskan isi botol ke atasnya.
Jantungku berdegup kencang saat tiba-tiba Bu Callista duduk pada kursi di sebelahku, dan tanpa permisi menarik daguku dan mengolesi luka memar pada rahangku dengan kapas berisi alkohol.
Wajah kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan terpaan nafas halusnya yang masih sedikit tersengal karena habis berlari. Begitu telaten ia mengobatiku, sedangkan aku hanya bisa terpana dan terpana. Fokusku malah pada wajah manisnya. Tidak kulihat seorang dosen yang terkenal judes dan galak, melainkan seorang gadis yang lembut dan penuh perhatian. Aku menggigit bibir melihatnya, tapi ini malah diterjemahkan oleh Bu Callista kalau aku sedang kesakitan. Ekspresi khawatir pun semakin terpancar.
“Bbuuu!!” akhirnya aku bisa berkata.
Ucapanku membuat Bu Callista menatap mataku dan menghentikan gerakan tangannya. Wajah kami begitu dekat. Pada satu titik kami hanya saling diam sambil berpandangan. Waktu seakan berhenti, kami malah bercumbu melalui sorot mata masing-masing.
“Eeeh!!!”
Bu Callista sadar duluan. Ia langsung berjingkat menjauhiku, sedangkan aku mengerjap menyadari keadaan.
“Ma.. maaf!”
Hanya itu yang bisa kukatakan dengan bibir bergetar. Bahkan kapas yang Bu Callista sodorkan tidak kuraih, membuatnya hanya menggeleng dengan salah tingkah dan mukanya memerah. Bu Callista pun meletakkan kapas di atas meja lalu berputar kembali ke tempat duduknya di seberangku.
Dengan grogi ia membereskan obat-obatan dan memasukkannya kembali ke dalam kotak, sedangkan aku hanya menunduk. Kejadian barusan hanya terjadi beberapa detik, tapi itu sudah membuat jantungku berdebar-debar dan cara pandangku padanya berubah sama sekali. Ada perasaan hangat yang ganjil, yang tak pernah kurasakan sebelumnya, sekalipun itu dengan almarhum Maya atau adiknya.
“Baiklah, Sirna. Kamu mau cerita ke saya?”
Pertanyaan Bu Callista membuatku mengangkat wajah. Ia nampak sudah bisa menguasai dirinya kembali dan bersikap seperti semula, walaupun kedua pipinya masih tetap memerah, dan matanya tetap lekat pada luka memarku.
Aku menggeleng sesaat, lalu jawabku, “Gak ada apa-apa kok, bu. Hanya urusan kecil.”
Bu Callista nampak tidak suka dengan jawabanku, dibenamkannya punggungnya pada sandaran kursi. Matanya masih tajam memandangku.
Sadar akan tujuan awal kedatanganku menghadapnya, aku pun langsung bertanya, “Kemarin di RSP ibu meminta saya untuk menemui ibu di kantor. Maaf kalau saya datang terlambat.”
“…”
“Jadi maksud ibu memanggil saya apa, ya? Apa karena ini?” kuraih formulir yang masih tergeletak di hadapanku.
“Nah, kamu tahu.” ketusnya. Ia sudah kembali menjadi gadis judes dan memasang power sebagai seorang dosen.
“Iya.. baik, bu. Tapi masalahnya apa ya?”
Pertanyaanku malah membuat Bu Callista nampak geram, sikap lembutnya kembali hilang. “Seharusnya saya yang mengajukan pertanyaan itu. Masalahmu apa? Hah..??”
“…” sambil menunduk.
“Sebegitu bencinya kamu ke saya, ya? Sebegitu buruknya saya di matamu? Sampai-sampai kamu membatalkan semua mata kuliah saya!!”
“…” sambil menggosok telapak tangan yang tiba-tiba terasa dingin karena keringat.
“Jawab!!”
“…” sambil menahan nafas.
“Kenapa kamu suka sekali melawanku. Apapun yang kulakukan sepertinya salah di depan matamu. Dan hanya kamu yang berani melawan aku di kampus ini.”
Mendengar ucapannya, aku hanya bisa kembali menunduk. Bukan kata-katanya yang membuatku merasa begitu heran, selain rasa takut, tapi gaya bahasanya yang berubah menjadi ‘aku’.
“Maaf, bu.”
“Aku tidak butuh permintaan maaf, tapi butuh penjelasan.”
“Ssaya…!!”
“Aaarggghh. Sirna.. Sirna… Sirnaaa!!!”
Bu Callista mengerang antara kesal dan gemas. Kedua tangannya dikepal, matanya tajam menatapku.
“Baik. Kalau kamu tidak mau bilang, saya beri kesempatan terakhir, mulai minggu depan kamu harus melanjutkan mengikuti mata kuliah saya.” kali ini ia kembali memanggil dirinya dengan ‘saya’.
“Tapi, bu..!!”
“Kamu mau atau tidak?”
“…”
“Sirna??!!”
“Mmmau, bu.”
Seulas senyum ia sembunyikan, ia seperti merasa lega.
“Tapi bagaimana…?”
“Ok. Saya anggap kamu mau. Urusan dengan dekan dan TU biar saya yang urus.”
“Terima kasih, bu.”
“Hmmm.” gumamnya sambil mengambil formulir yang ada di hadapanku dan meletakkannya ke dalam map.
“Jangan bilang terima kasih dulu, ada syaratnya.”
Meskipun nada suaranya sudah kembali lembut, tetap saja ucapannya membuatku kaget dan memberanikan diri untuk membalas tatapannya.
“Apa, bu?” kali ini tidak grogi lagi.
“Kamu ceritakan, kenapa wajahmu bisa seperti itu?”
Aku menghembuskan nafas panjang mendengar pertanyaannya, ternyata syaratnya hanya itu. Hal yang tidak penting sebetulnya untuk menjadi bahan kepo seorang Bu Callista. Siapa aku baginya…!!
Perubahan sikapnya membuat pentium otakku kembali ke semula. Aku tersenyum lalu kataku, “Maaf, bu. Ibu sendiri yang pernah bilang kalau urusan kantor hanya dibicarakan di kantor; dan urusan pribadi jangan dibawa-dibawa ke kantor apalagi dicampuradukan dengan pekerjaan.”
Aku sudah sangat siap mendapat hardiknya, toh aku sekedar ingin mencobainya. Tapi yang kulihat berbeda… memang ia mendengus kesal, tapi senyumnya semakin terpulas.
“Ok. Kamu benar, Wa.” jawabnya, dilanjutkan sebuah pertanyaan, “Setelah ini kamu masih ada kuliah?”
“Tidak ada, bu.”
“Baik. Sekarang kita makan siang di luar. Kebetulan saya juga tidak punya jadwal mengajar lagi dan mau langsung pulang.”
“Bu..??”
“Ini perintah,” potongnya. “Lagian urusan kita kemarin belum selesai. Masih ada yang ingin kubicarakan tentang kejadian kemarin; dan juga tentang Maya, adikku.”
Duaaaarr!!!!
Aku hanya bisa diam sambil memperhatikan Bu Callista menutup laptopnya dan memasukkan ke dalam tas. Ia merapikan beberapa dokumen dan juga map yang berisi formulis PRS-ku. Ia mematikan PC.. selesai!!
“Kok bengong? Ayo!!!”
“Tapi bu.. ini.. ini serius? Maaf bu, gimana kalau…”
“Sudah saya bilang kalau ini perintah!”
Aku pun berdiri tanpa tahu harus berkata apa lagi, lalu melangkah mendahuluinya keluar, sementara ia mengunci pintu kantornya. Kubantu membawa tas laptonya, sedangkan ia sendiri membawa tas tangan dan kotak obat yang rupanya ia ambil dari dalam mobil.
Kini aku benar-benar tak bisa berkutik, niatku mencobainya, malah berbalik menyerangku. Aku pun melangkah mengikuti Bu Callista tanpa berani menjejerinya. Hanya tengokan dan tatapan tajamnya yang membuat langkahku lebih panjang dan akhirnya berjalan bersisian. Banyak mata yang melihat ke arah kami, banyak sapaan yang disampaikan pada dosen di sebelahku, sementara aku hanya bisa mengangguk-angguk bego. Tak sedikit pula teman-teman seangkatan, yang belum pulang, yang menatap kami heran, sebagian ada yang menyeringai karena bagai mendapat tontonan mengejutkan.
Setibanya di parkiran, aku berhenti saat melihat Nur berlari mau mengejarku, namun ia mendadak berhenti saat aku sedang bersama Bu Callista.
“Bagaimana?” ia membuka mulutnya tanpa suara seolah bertanya.
Aku hanya menggeleng sambil merentangkan tangan dan mengangkat bahu. Aku sendiri bingung harus bagaimana.
“Wa, ayo!” ucapan Bu Callista membuatku menengok, ternyata ia sudah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin.
Aku kembali menatap Nur sambil memberi kode tangan di telinga, memberi gerakan seakan sedang menelpon. Dan Nur pun mengangguk, pancaran sinar matanya seperti tidak berkenan. Tapi apa dayaku… aku sudah masuk ke dalam lingkaran permainan Bu Callista yang membingungkan.
Aku pun berjalan ke dalam mobil di bawah pandangan Nur dari kejauhan; juga beberapa pasang mata yang kebetulan sedang lewat parkiran.
Cekleeek!!!
“Memangnya saya sopir kamu.” umpat Bu Callista saat aku membuka pintu mobil bagian belakang.
“Eh.. maaf, bu.”
Kututup kembali pintu dan berputar menuju pintu depan-samping. Aku pun duduk dengan perasaan berdebar. Perasaanku seakan tidak karuan. Jalan bareng dengan singa betina kampus seharusnya menjadi sesuatu yang membanggakan, apalagi terjadi di hadapan banyak pandangan mata; tapi yang kurasakan saat ini justru grogi dan bingung.
“Kita mau ke mana, bu?” tanyaku saat mobil yang ia kendarai bergerak keluar parkiran.
“Makan!” jawabannya teramat singkat, tapi menyisakan banyak pertanyaan panjang dalam benakku. Aku juga sudah tahu kalau kami mau pergi makan, karena ia sudah bilang. Tapi.. yasudahlah…
Suasana pun hening tanpa percakapan. Sekali-kali aku melirik ke arah “sang sopir” di sampingku, tapi ia seolah tak acuh dengan tetap fokus pada jalanan. Kuberusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik pada kedua paha mulus dan putihnya, karena tepian rok selututnya tertarik ke atas. Tapi gagal… beberapa kali mata ini tidak mau rugi memanfaatkan kesempatan yang sangat jarang.
“Masih saja mesum. Sifat kok gak diubah.” dengus Bu Callista sambil tetap menatap ke depan. Tapi yang mengherankan, nada suaranya biasa saja, dan bahkan seperti sambil menyembunyikan senyum.
“Maaf, bu. Maklum udah bawaan orok.” jawabku sekenanya sekedar menutupi rasa gugup karena kepergok.
“Hahaha.. mana ada bayi mesum.”
“Hehehe…”
Suasana pun menjadi cair dan obrolan mulai kerap kami lakukan, walaupun hanya sekedar mengomentari padatnya jalanan atau angkot yang berhenti sembarangan. Suasana seperti ini membuat Bu Callista terlihat beda, tidak seperti saat di kampus yang jutek dan galak. Nada suaranya lembut, terkesan manja, bahkan aku seolah melihat sebagian sifat Maya dalam dirinya. "Kamu lagi apa, May?" keluhku dalam hati. Kehadiran kakaknya yang seperti ini membuatku kembali merindukan gadis itu.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar