Cincin dari masa lalu part 32

 

BAB 32

SISI LAIN SEORANG CALLISTA

Wajahnya teramat garang, menutupi wajah cantik-ovalnya; dan kata-katanya singkat namun menyakitkan. Seumur-umur baru kali ini dibilang PK, dan itu keluar dari mulut gadis manis ini. Ya aku mungkin PK, tapi bukan penjahat kelamin, tapi Penyayang Kalista. Eh…!!!

Aku hanya bisa terpaku melihat gadis yang tiba-tiba memberiku stigma buruk seperti itu. Bahkan ketika ia mendekat dengan murka yang ia bawa, aku hanya biasa melongo. Bagaikan slow motion ia mendekat, siap melabrak dan menggampar, sedangkan aku hanya bisa terkesima dengan jantung berdetak kencang.

“Yaoloooh.. kenapa nasibku harus gini-gini amat?” hanya itu yang bisa aku katakan, dan itu pun dalam hati saja.

Aku mengerjap beberapa kali lalu memejam saat gadis ini sudah tiba di hadapanku. Sepintas tangannya melayang dengan amarah yang berkobar.

Srrttttttt!!!

Duuuukkk!!!!

Ia menabrak dada kananku membuatku sedikit terjejer ke dinding selasar.

Plaaaaakkkk!!! Plaaaak!!! Plaaaaaakkk!!!

“Aaaaauwww…!!!”

Bukan pipiku yang panas, bukan teriakanku yang kudengar, tapi orang di belakangku.

Dengan cepat aku membuka mata dan mebalikkan badan. Aku hanya bisa tertegun saat melihat apa yang sedang kusaksikan. Rayxy sedang mengaduh karena kena gamparan gadis itu. Karena kaget, sampai-sampai aku tak bisa menyimak segala caci maki gadis yang baru kukenal itu, melainkan fokus pada sosok pemuda yang kegantengannya di bawahku. Ya.. dia adalah sahabatku dari Ewer yang sejak setahun lalu merantau ke Bogor. Ia adalah teman bermainku, sekaligus kakak almarhumah Maya tunanganku.

“Mulai sekarang kita putus!!!”

Ucapan sang gadis membuatku sadar dari ketertegunanku.

Duuuukkk!!!!

Ia kembali menabrakku saat berjingkat dengan cepat.

“Ehh.. non.. neng.. nyai…!!” tiba-tiba aku punya keberanian memanggilnya, tapi pelototannya membuatku ngeper kembali. Aku hanya memantung sambil memandang punggungnya, sampai ia menghilang menuruni tangga.

“Hai, Onyet!” Rayxy menepuk bahuku dengan satu tangan mengusapi pipinya sendiri.

“Kejar, Ray!!!” aku belum sepenuhnya sadar, kejadian barusan masih menyisakan shock.

“Halaaah.. biarin aja. Dalam 1 x 24 jam ia akan kembali.” jawabnya enteng.

Mendengarnya aku benar-benar dibuat sadar oleh sahabatku yang satu ini, manusia yang level mesumnya dua strip di atasku.

Plaaaaak!!!

Kali ini aku melayangkan telapak tanganku, tapi bukan pada pipinya, melainkan pada kepalanya.

"Kumaha kabarna, euy?” tanya Rayxy tak acuh.

“Si monyooong…” gerutuku.

Dan kami pun saling meninju bahu sambil terkekeh. Lama juga tidak pernah bertemu lagi dengan manusia satu ini. Saling memaki khas a la persahabatan kami pun saling kami lemparkan.

“Kamu datang kapan, Ray?” tanyaku pada akhirnya.

"Kemarin malam. Dasar kampret... udah mah hape kamu gak bisa dihubungi, kamar malah dikunci segala, jadi aku tidur di kamar si Rad.” jawabnya.

“Lalu Rad?"

“Nggak tahu tuh. Semalam bilangnya mau nongkrong ama teman-temannya di Cipageran, tapi sampai sekarang belum balik.”

“Jadi semalam…????”

“Hehehe…”

“Kupret!!!”

Aku semakin sadar kalau suara desahan semalam bukan pergumulan antara Lia dan Rad, tapi manusia yang satu ini, entah dengan siapa. Masuk akal, karena Rad dan Lia adalah pasangan yang sangat memegang prinsip dan menjunjung tinggi “belah duren” di malam pertama.




Kemarin hapeku memang mati, dan baru pagi ini aku melihat beberapa misscall dari Rad, tanpa sempat kutelpon balik. Kini aku sudah tahu alasannya kenapa ia menelponku.




“Kamu masih lama di Bandung?” tanyaku sambil melihat petunjuk waktu pada hapeku.


“Semoga!!”


“Maksudmu?”


“Aku keterima kerja di pabrik textil fino alla fine."




Aku cukup kaget juga mendengar nama perusahaan itu, sekaligus senang karena tiga sekawan dari Ewer kini tinggal bersama lagi di satu kota. Dan aku masih ingin ngobrol banyak, tapi jam kuliahku tinggal dua puluh menit lagi, dan Nur sudah menelponku.




“Kupretlah…!!” seruku, “Yaudah.. nih kunci kamarku. Awas kalau masukin cewek ke dalam. Aku kuliah dulu.”


“Siap!! Kalau cewek sih liat sikon aja…”




Aku hanya bisa mendengus mendengar ucapan dan melihat seringai mesumnya, lalu segera berlari menemui Nur yang sudah menungguku.




Kujembel pipi Nur yang merengut kesal, lalu kupasang helm, dan kami pun berangkat beriringan dengan dua motor. Kami harus ke rumah Kang Narto dulu untuk mengembalikan motornya.








https://t.me/cerita_dewasaa








Masih ada dua puluh menit sebelum aku menghadap Bu Callista. Kuputuskan untuk merokok di belakang kampus sekedar menyiapkan batin menghadapi harimau betina yang satu ini. Sebetulnya aku ingin menyendiri, tapi Nur malah mengintil. Aku bisa mengelabui teman-temanku, tapi tidak dengan Nur, ia selalu tahu keberadaanku.




“Nanti jangan pakai emosi lagi yah.” ucapnya sambil duduk di sampingku.




Sorot matanya teduh, meski ucapannya penuh penekanan. Aku membalas tatapannya sejenak, sebelum akhirnya berpaling karena melihat senyum yang ia berikan. Sangat tulus dan penuh perhatian, tapi perbuatanku dengan Bu Ratih semalam membuatku sangat tidak enak hati.




“Wa, kok diem? Kamu dengerin aku gak sih?” nada suara Nur berubah.


“Iyaah. Aku denger, kok.”


“Lalu?”


“Iya.. iya gak pakai emosi.”


“Janji?”


“Hmmm.”




Kulihat Nur kembali tersenyum sambil menumpangkan kepalanya pada puhu lenganku.




“Nanti rambutmu bau asap rokok.” aku mengingatkannya.




Padahal bukan asap rokok ini yang menjadi alasan penolakan halusku, tapi sikapnya membuat jantungku berdesir. Sejak kemarin Nur begitu perhatian dan sikapnya berubah lebih lembut dan manja. Aku senang.. tapi jauh di dalam lubuk hatiku, rasa bersalah terus menggelayuti, aku merasa sudah mengkhianati kepercayaannya.




“Biarin,” jawabnya singkat. Kudengar ia menarik nafas panjang, lalu ujarnya lagi, “Aku itu gak mau kalau kamu terus-terusan mencari masalah dengan Bu Callista, Wa.”




Aku hanya diam mendengarnya. Bukan tidak menyimak ucapannya yang membuatku seperti ini, tapi sikap baiknya malah semakin membuatku merasa bersalah pada gadis ini.




“Kamu kok jadi banyak diam sih, Wa?”


“Nggak kok.”


“Beneran?”


“Hehe.. ada yang dipikirin sih.”




Kuputuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Dan ucapanku telah sukses membuat Nur menegakkan duduknya kembali. Ia menatapku penuh rasa penasaran.




“Kemarin Rad dan Lia udah cerita tentang aku?”


“Maksudmu Ceu Ningrum?”




Aku mengangguk sambil mencoba membalas tatapannya.




“Udah.. kenapa emang?”


“Kamu gak marah atau gimana gitu ke aku?”


“…”


“Nur?”


“Marah sih enggak, cuma kecewa aja.”


“Lalu?”


“Ya.. gak tahu.. aaah…” Nur kebingungan sendiri.




[POV Nur: “Kamu gak peka banget sih, Wa. Aku itu suka kamu tahuuu. Ya kecewalah begitu tahu kalo orang yang kusayangi malah tidur dengan wanita lain.”]




Aku semakin berani menatap Nur untuk menunggu jawabannya. Sikapku membuat Nur nampak grogi. Setelah menghembuskan nafas panjang, ia pun menjawab, “Aku ya gak suka aja kamu seperti itu, tapi.. tapi begitu Rad cerita tentang Cintung aku merasa ada yang aneh.”


“Emang.” gumamku.


“Mungkin ada baiknya kamu cari dia.”


“Ya mau nyari gimana, Nur? Alamatnya aku gak tahu, nomornya aku juga gak punya.”




Kamu pun sama-sama menghembuskan nafas dengan tatapan kosong ke arah kebun. “Emang bener yah.. kamu melihat harimau itu?”




"Dibilang engga, ya aku melihat sendiri. Tadi malam pun aku melihat harimau yang sama.” Kalimat terakhir hanya kuucapkan dalam hati. “Dibilang iya, tapi aku tidak punya bukti, bahkan jejaknya pun gak ada.”


“Kok mirip yah?” gumam Nur.


“Maksudmu mirip?”




Nur nampak berpikir sambil melihat jam tangannya. “Ya ampun, Wa. Sudah jam sebelas.” serunya. “Buruan kamu temuin Bu Callista,” sambil mendahuluiku berdiri dan menarik tanganku.




Aku berdiri sambil membuang puntungku. “Buruaaan, Wa.” Nur tidak sabar sambil mendorong punggungku. Melihatku hanya berjalan biasa, Nur makin tidak sabar. Ditariknya tanganku sambil berkata, “Aduh gimana ini… udah telat, Wa. Kena lagi deh kamu.”




Adalah untuk membuat Nur lebih tenang yang membuat aku mengimbangi larinya sambil tetap bergandengan tangan. Aku tidak menyadarinya, entah kalau Nur.




Setibanya di ujung lorong gedung fakultas, kami berpapasan dengan Karma yang sedang celingukan, bahkan Nur hampir menubruknya.




“Hai, Karma.” sapa Nur pada temanku sambil tetap menarik tanganku.




Kulihat Karma sempat kaget sebentar, lalu wajahnya berubah merah penuh emosi saat melihat tangan kami berpautan.




Duuuuk!!!!




Langkahku terhenti dan pegangan tangan kami terlepas. Karma menahan dadaku dengan sorot mata yang tajam. Kemarahan langsung kulihat di wajahnya.




“Oooh.. jadi ini yang namanya teman?” hardiknya.


“Kar.. Kar… nanti aku jelasin. Sorry banget aku sedang buru-buru.” ucapku dengan anfas tersengal.


“Brengsek kamu!! Di depan memberi lampu hijau, tapi di belakang menikung.” Karma semakin marah karena menganggapku mau menghindar.




Belum juga aku menjawab, Nur sudah mendahului. “Ini ada apaan sih? Sirna, ayo buruan udah telah dua menit.” Nur tak sabar sambil meraih tanganku.




Sikapnya tentu saja membuat Karma semakin tidak suka. Aku menjadi salah tingkah karena telah membuat Karma salah paham. Akhirnya aku pun hanya terdiam sambil menahan tarikan tangan Nur.




“Sirna!” hardik Nur lagi, kali ini bukan hanya menarik tanganku tapi juga melingkarkan tangannya pada pinggangku supaya aku berjalan. Ia benar-benar tidak mengerti kalau sumber kemarahan Karma adalah sikapnya sendiri. Tindakannya tentu saja membuat Karma naik pitam.


“Kar.. tolong kamu ngertiin aku. Aku harus ketemu Bu Call…”




Buuukkk!!!




Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku saat sebuah pukulan menghantam rahangku. Tubuhku pun terhuyung, tapi berhasil ditahan oleh Nur sehingga membuatku tidak tersungkur. Aku merasa limbung dan pandanganku sedikit berkunang-kunang menerima hantaman keras tinjunya. Aku tahu, kalau temanku yang satu ini adalah anak taekwondo sabuk hitam.




“Karmaaa!!!” hardik dan jerit Nur.


“Minggir, Nur!!!” geram Karma.


“Kamu ini apa-apaan sih? Kalian ada masalah apa?” bentak Nur sambil melihat kami bergantian.




Aku merasa tidak terima diperlakukan seperti ini oleh orang yang sudah kuanggap sebagai sahabat sendiri. Aku merangsek untuk membalas pukulannya, tapi Nur lebih cepat menghalangi kami berdua.




Maka kegaduhan pun terjadi, tapi perkelahian ini tidak terjadi karena ada sekelompok mahasiswa yang memisahkan kami. Karma meronta sambil menunjuk-nunjuk wajahku, sedangkan aku hanya berdiri dengan nafas tersengal sambil dipegangi oleh Nur dan dua mahasiswa lain.




“Sirna buruan temui Bu Callista. Karma biar aku yang urus.” perintah Nur. Ia masih bisa berpikir jernih, walaupun sumber kekeruhan ini sebetulnya adalah dia sendiri.


“Awas kamu!!” aku meninggalkan gerombolan di bawah gertak dan ancaman Karma. Aku sebetulnya sangat emosi, tapi kini ada urusan yang lebih penting, yaitu Bu Callista. Aku sudah telah sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan.




Orang mungkin akan berpikir kalau aku pengecut saat aku berlari meninggalkan Karma, tapi ada urusan lebih penting yang berkaitan dengan masa depanku di kampus ini. Terserah mereka mau bilang apa.




Aku baru sadar kalau ada cairan hangat dan rasa asin pada ujung bibirku, begitu kuusap ternyata ada darah yang keluar. Aku hanya bisa menggerutu sambil mengelapnya pake ujung baju. Kuulangi beberapa kali sampai aku merasa darahnya sudah hilang. Kuabaikan pandangan heran beberapa mahasiswa, juga sapaan beberapa teman seangkatan, fokusku hanyalah menemui Bu Callista. Rasanya lebih menakutkan menemui dosen yang satu ini daripada bertarung melawan Karma.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar